JAMBI EXPRESS
Saturday, 19 August 2006 

      Meludahi Perjuangan Sendiri        
     
      Oleh Kuswaidi Syafi'ie
      "Setiap perjuangan selalu melahirkan sejumlah pengkhianat dan para 
penjilat
      Jangan kau gusar, Hadi."


      Sudah berpuluh kali Agustus lewat di negeri ini. Sudah berpuluh kali pula 
kita seakan dipaksa oleh sejarah untuk menekurkan kepala sembari 
menimang-nimang apa sesungguhnya arti sebuah perjuangan, terutama yang 
dipersembahkan para leluhur, baik jauh sebelum pekik proklamasi disemburkan 
maupun pada detik-detik ketika negeri ini sudah siap mau belajar untuk 
berdaulat sendiri.
          etiap Agustus datang, setiap itu pula mata batin kita seolah digedor 
keras-keras untuk membaca gemuruh makna di balik bendera-bendera, untuk membaca 
filosofi upacara-upacara, untuk membaca murad dari berbagai seremoni yang 
selalu riuh-rendah dan gegap-gempita. gustus yang memergoki kita kali ini, 
sebagaimana yang sudah-sudah, adalah juga Agustus yang tiba di depan batang 
hidung kita dengan membawa serta kewajibannya: melepas berbagai potret 
perlawanan terhadap berbagai modus penjajahan dari kerangkeng masa silam yang 
kemudian menjelma naga raksasa yang meraung-raung di angkasa: bacalah, bacalah, 
bacalah, dengan pedih atau tertawa.
          Tapi, siapakah yang sanggup menyimak raungan naga sejarah itu secara 
seksama dengan penuh kesungguhan dan ketulusan? Orang-orang yang dulu pernah 
mengalami atau menyaksikan sengitnya perlawanan terhadap para penjajah 
sekalipun belum tentu sanggup dan bersedia meletakkan diri mereka pada posisi 
yang ideal serta bersih sebagaimana yang ditempati naga sejarah itu.
          Mungkin hanya sedikit orang, apalagi dari kalangan para penguasa, 
yang hingga kini masih berdiri kukuh di atas garis perjuangan demi tetap 
berupaya, seberapa pun redupnya, menyingkirkan berbagai tindakan bejat yang 
menyerimpung dan merongrong sejatining kemerdekaan.
          Selebihnya tak lain adalah bagian dari involusi centang-perenang tak 
bernilai yang tidak hanya menyesakkan dan membuat suasana jadi gemuruh oleh 
kepengapan, tapi lebih dari itu juga menebar kemarung serta racun di 
jalan-jalan dan berbagai kesempatan: sebentuk penjajahan internal yang biadab 
dalam pengertiannya yang terbentang luas.

      ***
      Dengan menatap dan menganalisis episode sejarah yang durhaka seperti 
itulah, seorang penyair kawakan Indonesia, Taufiq Ismail, dengan murung 
kemudian menarik seutas konklusi sebagaimana termaktub dalam sebait puisinya di 
atas bahwa perjuangan itu tidak selamanya menjadi penyebab bagi lahirnya 
hal-ihwal yang suci, seperti yang mungkin diharapkan para pejuang yang 
bertempur habis-habisan antara hidup dan mati di garis depan.
          Seperti halnya setiap ibu yang sangat mungkin melahirkan anak-anak 
yang saleh dan berengsek, perjuangan juga begitu berpeluang untuk tidak hanya 
mencetak para pahlawan, tapi juga sejumlah pengkhianat dan para penjilat.
          Bahkan, idiom selalu dalam bait di atas itu dengan lantang 
mengindikasikan adanya peristiwa yang rutin, yang terus-menerus menguntiti 
berlangsungnya perjuangan, baik dalam merebut kemerdekaan dari tangan 
orang-orang seberang yang jahat maupun dalam rangka mengusir kezaliman yang 
dicekikkan orang-orang dari kalangan bangsa sendiri.
          Pengkhianatan adalah perampokan dari dalam terhadap cita-cita agung 
perjuangan yang ditempuh secara kolektif. Penjilatan merupakan tindakan tidak 
tahu malu yang dilakukan orang-orang yang tidak memiliki harga diri demi 
mengendus-endus "prestasi" yang dekil serta jorok.
          Dengan demikian, siapa pun yang meyakini perjuangan sepenuhnya hanya 
sebagai permulaan dari babak sejarah yang mulia dan luhur, mereka akan 
menenggak ludah kekecewaannya sendiri yang pahit, sebagaimana corak kekecewaan 
yang bergema di antara sela-sela berbagai idiom pada bait di atas. Sebagian 
pejuang di sekitar 1945 yang kemudian berongkang-ongkang kaki di atas 
kursi-kursi kekuasaan terbukti telah dengan sewenang-wenang menabuh genderang 
pengkhianatan terhadap idealisme perjuangan mereka semula.
          Bukan lantaran apa-apa: kekuasaan itu, kapan saja dan di mana pun, 
memang gampang mengalami pembusukan dan penyalahgunaan. Sehingga, tidaklah 
perlu heran kalau jauh-jauh hari Lord Acton pada 1887 dengan geram berucap: 
Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.

      ***
      Di Indonesia, pengkhianatan yang dilakukan sebagian pejuang di sekitar 
1945 memasuki puncak klimaksnya pada 1960-an yang memancing lahirnya gelombang 
demonstrasi mahasiswa dan orang-orang yang melek politik. Termasuk, puisi 
Taufiq Ismail yang ditulis pada 1966 berjudul Memang Selalu Demikian, Hadi yang 
bait pertamanya saya kutip di atas. Dengan nada yang gundah dan sedih, dia 
tampil sebagai bagian penting di antara barisan para demonstran yang 
mendesak-desak kekuasaan.
          Tapi, tidak setiap orang yang menjadi saksi terhadap keculasan para 
penguasa itu lantas serta-merta bertekad menggabungkan diri dengan 
letupan-letupan kritik yang digelindingkan orang-orang yang merasakan apa 
artinya dibohongi dan diinjak. Di antara mereka ada yang hanya setengah hati 
memberikan respons, ada pula yang gemetar karena digerus ketakutan.
          Berbagai "pertimbangan" pragmatis yang menciutkan nyali 
menggocoh-gocoh mereka. Karena itu, mengapa pada bait berikutnya Taufiq Ismail 
menulis: "Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita/Pada kaum yang bimbang 
menghadapi gelombang/Jangan kau kecewa, Hadi."
          Imbauan agar tidak gusar atau kecewa pada dua baris tersebut sama 
sekali bukanlah dorongan untuk mempersembahkan toleransi yang lapang terhadap 
kekeruhan perilaku para penguasa, tapi sepenuhnya tak lain merupakan upaya 
mengangkasakan batin agar sanggup menampung serta melampaui berbagai antologi 
kebejatan para tiran dan kroni-kroninya. Sehingga, kita tidak linglung dan 
pingsan di tengah medan perjuangan.
          Betapa pentingnya mengolaborasikan kesadaran berbangsa dan bernegara 
dengan semangat profetik yang menyala dalam puisi Taufiq Ismail tersebut. Bukan 
tanpa alasan, puisi semacam itu telah terbukti tidak hanya kontekstual pada 
zamannya. Hingga hari ini atau bahkan mungkin sampai kapan pun, puisi semacam 
itu akan senantiasa menemukan relevansi ketika dihadapkan pada kekuasaan yang 
dikomando oleh ambisi dan angkara murka, seberapa pun takarannya, meski 
sebelumnya kekuasaan tersebut juga lahir dari niat dan iktikad yang paling suci 
sekalipun.
          Ketika berkuasa, angkatan 1960-an yang bernama rezim Orde Baru 
akhirnya meludahi perjuangan mereka sendiri. Lalu, angkatan reformasi naik 
panggung dengan sejumlah kehendak serta harapan yang besar bagi terciptanya 
kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal. Tapi, hingga kini, kita tidak 
(belum?) bisa keluar dari pusaran kabut yang mereka ciptakan.
          Kini, Agustus datang lagi. Dan, kita semoga tetap jernih dalam 
mengevaluasi, memaknai ulang, dan menakar langkah-langkah perjuangan kita ke 
depan. Wallahu ma'akum aynama kuntum.

      Kuswaidi Syafi'ie MAg, penyair; juga staf pengajar tasawuf di PP UII 
Jogjakarta
     


[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to