http://www.indomedia.com/bpost/112006/6/opini/opini4.htm
Perbedaan Makin Terbuka DIAKUI atau tidak, perbedaan sikap antara Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla semakin terbuka. Yang terakhir adalah keputusan Presiden membentuk Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R) yang dilakukan tanpa setahu Wapres. Partai Golkar yang dipimpin Jusuf Kalla bereaksi keras. DPD Golkar Lampung mencabut dukungannya kepada Yudhoyono, dan akan disusul oleh 16 DPD lainnya. Tentu saja DPD-DPD itu tidak berani bertindak tanpa persetujuan DPP. Bukan sekarang saja kedua negarawan itu menunjukkan persaingannya. Jusuf Kalla lebih terkesan di atas angin, karena Yudhoyono tidak tegas. Perjanjian Aceh berasal dari ide Jusuf Kalla, janji membantu korban gempa di Jogja/Jateng (meski tidak direalisasi) lebih dulu muncul dari Wapres. Soal lumpur Lapindo Brantas, Wapres juga lebih banyak berbicara daripada Presiden. Kita masih ingat, belum satu minggu Presiden Yudhoyono menginjakkan kaki di tanah air dari lawatan ke luar negeri (Finlandia, Norwegia dan Kuba - yang terakhir untuk menghadiri Konperensi Tingkat Tinggi Non Blok) akhir September lalu, Wapres Jusuf Kalla ganti melakukan lawatan yang sama dengan tujuan Amerika Serikat, Kanada dan Timur Tengah. Melihat minimnya informasi tentang kunjungan Wapres tersebut, orang bisa berprasangka bahwa kunjungan itu tidak terlalu penting, kecuali sekadar mengimbangi kegiatan Presiden di luar negeri. Ini juga indikasi adanya persaingan internal di istana. Pasangan Yudhoyono-Kalla mendapat kepercayaan mayoritas rakyat, karena semasa kampanye tampak amat harmonis. Waktu itu Jusuf kalla belum sebesar sekarang. Ia bahkan tidak dicalonkan oleh Partai Golkar untuk menjadi Wapres. Jujur saja, ia diuntungkan oleh popularitras Yudhoyono. Di awal pemerintahannya, Yudhoyono-Kalla bahkan harus berhadapan dengan koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Golkar. Keadaan berbalik 180 serajat ketika dalam pemilihan Ketua Umum DPP Golkar di Bali, Akbar Tanjung jatuh dan Jusuaf Kalla naik. Sejak itu lah ia menjadi 'penguasa' negeri, karena Golkar yang dipimpinnya ganti mendukung pemerintah. Kalau sekarang Golkar bereaksi keras atas kebijakan Presiden yang tidak melibatkan wakilnya itu sah-sah saja, karena merasa ditinggalkan. Harus dicermati adalah apa yang akan diperbuat Golkar selanjutnya. Kalau benar partai ini menarik dukungannya kepada pemerintah, berarti posisi pemerintah akan lemah dan jangan-jangan dwi tunggal akan pecah dan tidak bisa bertahan sampai 2009. Ini artinya, rakyat akan menjadi korban. Keinginan rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang bisa membawa perubahan, hanya impian. Melihat perkembangan yang terus bergulir ini, tampaknya petinggi partai politik tengah melakukan hitung-hitungan dagang sapi, karena ada arus besar. PDIP yang pernah berkoalisi dengan Golkar tentu akan kehilangan pamornya, jika kali ini mau 'rujuk' kembali dengan Golkar. PDIP menjadi oposisi lebih karena perselisihan pribadi ketua umumnya Megawati Soekarnoputri dengan Yudhoyono, bukan karena ingin mendapat kekuasaan. Beberapa usulan hak angket yang diusulkan PDIP selama ini juga kandas di tangan Golkar. Jadi ada perbedaan yang prinsip antara keduanya. Koalisi di manapun akan melahirkan pemerintahan yang lemah, karena masing-masing ingin berkuasa. Pasangan Yudhoyono/Kalla juga tidak akan efektif bekerja untuk rakyat, karena sebagian waktunya untuk mengatur strategi bagaimana caranya agar yang satu bisa berkuasa lagi dan yang lain merebutnya. Di daerah, gubernur, bupati dan walikota masing-masing dengan wakilnya yang berbeda partai juga akan 'perang' begitu mereka terpilih, untuk mempertahankan atau meraih kedudukan nomor satu pada pemilihan yang akan datang. Ini terjadi, karena partai di Indonesia lemah. Tidak ada yang bisa mencapai 51 persen suara atau lebih, sehingga perlu koalisi. Menurut hemat kita, sistem kepartaian di Indonesia perlu ditata kembali agar tidak melahirkan pemimpin kelas ecek-ecek. Partai harus berani menampilkan calonnya sendiri agar pemerintahannya kuat, tidak saling berebut antara yang nomor satu dan nomor dua. Bisa saja 'koalisi', misalnya dengan cendekiawan atau pemimpin agama bukan dengan parpol lain, sehingga tidak terjadi perebutan kekuasaan seperti yang terjadi sekarang. Kita tidak ingin kepentingan rakyat dikorbankan oleh ambisi parpol atau pimpinan parpol. Demokrasi harus tetap di dalam bingkai kepentingan rakyat. Keretakan Yudhoyono dan Kalla adalah contoh, bahwa kepentingan partai lebih ditonjolkan dari kepentingan rakyat. [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/