http://www.indomedia.com/bpost/112006/11/opini/opini1.htm

Paradoks Pemindahan Ibukota

Oleh: 
Gusti Nurpansyah
Alumni FISIP Unlam



Penarik untuk dikaji bersama, terkait rencana pemindahan perkantoran pemerintah 
provinsi ke Banjarbaru. Apalagi di saat hangatnya pembahasan Raperda Rencana 
Program Jangka Menengah (RPJM) Daerah yang tengah berlangsung di Rumah Banjar. 
Paling tidak, umpat jua memberikan kontribusi pemikiran sebagai rakyat yang 
peduli pada pembangunan banua.

Secara substansi, ada persoalan yang muncul sebagai ekses dari akan 
direalisasikannya janji politik Gubernur Rudy Ariffin sebagaimana dikampanyekan 
saat Pilkada lalu. Beragam opini yang berkembang tidak sedikit diwarnai 
berbagai kekhawatiran. Hal ini tentunya menjadi sebuah paradoks atau 
kontradiksi ketika respon masyarakat masih multitafsir. Secara sederhana lazim 
diungkapkan sebagai perencanaan yang dianggap kurang matang, tidak komprehensif 
dan mendalam serta bagi sebagian kalangan bahkan dipadahakannya tidak 
melibatkan masyarakat secara luas. Beragam ungkapan yang menyisakan keraguan.

Berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (SE Mendagri) Nomor 050/2020/sj 
pada 11 Agustus 2006 lalu yang ditujukan kepada seluruh kepala daerah, Depdagri 
mewajibkan setiap kepala daerah membuat peraturan daerah (Perda) yang memuat 
janji, visi dan misinya saat berkampanye. Perda itu bertujuan menjaga komitmen 
kepala daerah tersebut setelah terpilih menjadi gubernur atau bupati/walikota. 
Dengan demikian, masyarakat dan DPRD bisa mengawasinya. Perda tersebut mestinya 
harus disahkan paling lambat tiga bulan terhitung setelah kepala daerah 
tersebut dilantik.

Mengingat rencana pemindahan ibukota provinsi (bukan hanya perkantoran) 
merupakan janji politik pasangan gubernur dan wakilnya sekarang, maka menjadi 
kewajiban pula untuk segera melaksanakannya dalam rentang waktu 3,5 tahun yang 
tersisa. Hal ini tentu saja menjadi tolak ukur keberhasilan kinerja mereka 
dalam memenuhi janji yang telah dikampanyekan. Di sisi lain dalam perspektif 
hukum, sebagaimana merujuk pada SE Mendagri tentang petunjuk penyusunan dokumen 
rencana program jangka panjang (RPJP) daerah dan rencana program jangka 
menengah (RPJM) daerah, yang mengharuskan memuat janji, visi dan misi kepala 
daerah saat berkampanye. 

Bagi kepala daerah yang tidak mau membuat perda atau menjalankan perda yang 
memuat janji kampanyenya itu, akan diberi sanksi administrasi oleh pemerintah 
pusat. Sanksi itu berupa pengurangan besaran dana alokasi umum (DAU) dari yang 
biasa diterima oleh daerah tersebut setiap tahun. Selain itu, rakyat akan 
memberi sanksi politik jika kepala daerah melanggar janjinya. Hal ini mengacu 
pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Dalam menyusun RPJM dan RPJP, kepala daerah harus mengacu pada rencana program 
di atasnya. RPJP daerah provinsi harus mengacu kepada RPJP nasional, begitu 
juga dengan RPJP daerah kabupaten/kota yang harus mengacu ke RPJP provinsi. 
Apabila RPJP di atasnya belum ada, maka dilakukan secara simultan dan 
terkoordinasi. Pemerintah Pusat rencananya meningkatkan legalitas kewajiban 
membuat perda yang berisi janji, visi dan misi kepala daerah tersebut dengan 
membuat Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perencanaan Pembangunan Daerah, yang 
sedang dipersiapkan dan Desember 2006 nanti ditargetkan dapat disahkan.

Resistensi

Beragam tanggapan baik pro maupun kontra terhadap pelaksanaan rencana itu, 
harus dihimpun dalam kerangka pemikiran yang konstruktif guna optimalisasi 
peran pemda bersama DPRD untuk lebih memantapkan pembahasan Raperda RPJM 
Daerah. Terlebih saat ini setiap fraksi mempersiapkan pendapat akhir yang akan 
disampaikan pada rapat DPRD pada 15 November nanti. Sebagian pihak mencoba 
kembali membenturkan rencana ini pada permasalahan waktu, bahwa agenda 
pemindahan ibukota itu bukan sesuatu yang mendesak dan dianggap masih banyak 
persoalan yang lebih penting.

Rencana pemindahan ibukota ini memang memiliki resistensi. Pertama, biaya 
pemindahan dikhawatirkan sangat mahal, sementara keuangan daerah sedang 
memburuk. Kedua, kekhawatiran tindakan korupsi yang menyertai rencana tersebut. 
Ketiga, ibukota pindah maka persoalan pun turut pindah. Keempat, kultur 
sebagian besar Urang Banjar yang anti perubahan. Kelima, kepentingan vested 
interest yang mengatakan ibukota jangan pindah hanya karena keterbatasan lahan 
yang kian sempit, pembangunan yang berdesakan dan berbagai alasan lainnya. 
Keenam, kekhawatiran adanya perubahan perencanaan oleh gubernur periode 
berikutnya yang mungkin tidak sinergi dengan yang sekarang.

Terhadap keberatan pertama, jawabannya dalam jangka pendek proyek pemindahan 
itu akan mahal, tetapi untuk tujuan jangka panjang hal itu akan menguntungkan. 
Keberatan kedua, kekhawatiran tersebut memang wajar, karena itulah pengawasan 
dari setiap kalangan termasuk masyarakat secara langsung menempati peran yang 
sangat penting. Tidak hanya terhadap rencana pemindahan ini, tapi untuk semua 
program pemerintah memang harus dilakukan pengawasan agar korupsi tidak 
merajalela. 

Kontraproduktif dengan SE Mendagri, sebagian masyarakat tampaknya keliru 
mempersepsikan bahwa rencana pemindahan tersebut dianggap hanya merupakan 
ambisi prestisius dari mimpi dan keinginan politik gubernur dan wagub terpilih. 
Seolah-olah mereka mengabaikan atau memang tidak memperhatikan sejak jauh hari 
saat kampanye pilkada, bahwa 'jualan gagasan' pasangan kepala daerah yang ada 
memang menjanjikan pemindahan ibukota, mestinya hal itu berkorelasi dengan 
pilihan saat pilkada bagi mereka yang bertentangan. 

Tak dapat dipungkiri juga, akan banyak kepentingan baik pribadi maupun kelompok 
yang terganggu sehubungan rencana tersebut. Oleh karena itu, mereka yang 
memiliki agenda tersendiri itu cenderung anti perubahan demi melanggengkan yang 
selama ini sudah ada dan membudaya serta telah dinikmati sekian lama. 
Kekhawatiran mengenai perubahan rencana jika telah terjadi pergantian kepala 
daerah, dengan mengacu pada payung hukum yang ada dan sedang dipersiapkan oleh 
pemerintah pusat, hal tersebut tentu saja tidak mudah dan dapat dilakukan 
seenaknya saja.

Di sisi lain, dalam perspektif mewujudkan pelaksanaan tata pemerintahan yang 
baik (Good Governance) juga terkait rencana pemindahan ibukota, setidaknya ada 
empat prinsip berkesesuaian yang dijalankan. Prinsip itu: wawasan ke depan, 
daya tangkap, efektivitas, profesionalisme.

Masyarakat Kalsel juga tentu tidak mau mendapatkan sanksi pengurangan Dana 
alokasi umum (DAU) sebagaimana ketentuan yang diedarkan. Karena kita juga tahu, 
untuk DAU yang biasa diterima saja masih jauh dari cukup untuk pembangunan 
daerah, apalagi jika mengalami pengurangan.

Penantian dan Harapan 

Sebagaimana diketahui, gagasan untuk menjadikan Banjarbaru sebagai ibukota 
Provinsi sudah sangat lama digaungkan. Dari berbagai arsip, bahkan sejak 1953, 
Banjarbaru (eks Gunung Apam) oleh Gubernur Kalimantan diproyeksikan menjadi 
ibukota kalimantan. Gagasan brilian futuris itu dirancang oleh DAW van der 
Peijl bekerjasama dengan bagian Planologi ITB, bersamaan dengan Palangka Raya. 
Pada 1954 mulai dibangun gedung pemerintahan. Seiring bergulirnya waktu, wacana 
publik tersebut rupanya mengalami kendala. Terakhir semasa Gubernur Sjachriel 
Darham pun diungkapkan: tidak usah pindah sekarang. Kita sedang repot. 
Realistis saja.

Akhirnya, setelah sekian lama baru sekarang mulai ada titik terang. Bagi 
masyarakat yang berdomisili di Kota Banjarbaru, hal ini merupakan sebuah 
penantian panjang, yang sejak lama diyakini pula seiring pemindahan itu akan 
membawa perubahan besar bagi kota tersebut ke arah pembangunan yang lebih maju. 
Sebuah harapan yang sudah lama dinantikan.

Memang harus disadari oleh semua pihak, memindahkan ibukota tidak semudah 
dibayangkan, tak seperti membalikkan telapak tangan. Justru karena itu, tidak 
cukup hanya membayangkannya, tapi segera lakukan gerak nyata ke arah yang 
signifikan. Hal ini tampaknya yang menyemangati Gubernur Rudy Ariffin dengan 
segera menganggarkan dana untuk gagasan bersejarah tersebut. Di samping 
mempertegas kembali komitmen untuk menunaikan janji kepada masyarakat yang 
memilihnya menjadi kepala daerah. Bagaimana pun, janji adalah utang. Jadi harus 
dipenuhi. Terlebih janji seorang pemimpin, karena pertanggungjawabannya nanti 
tidak hanya di dunia. Semoga Allah SWT meridhai. Wallahualam bishawab.

e-mail: [EMAIL PROTECTED]




[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke