http://www.indomedia.com/poskup/2006/12/20/edisi20/opini.htm

NTT: Potret kemiskinan holistik?

(Refleksi Ulang Tahun NTT 20 Desember 2006)

Oleh Hendrikus Nayuf *

MENCENGANGKAN! Itulah kesan yang muncul ketika membaca berita Harian Umum 
Kompas edisi 24 November 2006 tentang kemiskinan informasi yang memrihatinkan 
di Nusa Tenggara Timur (selanjutnya disingkat NTT). Secara jujur Kornelis Kewa 
Ama (penulis berita tersebut) menempatkan kemiskinan informasi di NTT sebagai 
situasi yang memrihatinkan. Kenapa memrihatinkan? Kewa Ama mengemukakan 
beberapa fakta. Pertama, Ketua Pengawas Pendidikan Dasar Pulau Adonara, Flores 
Timur mengakui, bahwa baru pertama kali mendengar yang namanya internet ketika 
berjumpa dengan Kompas. Sedangkan koran seperti Kompas, Pos Kupang, Flores Pos 
diketahui ketika mereka berbelanja di pasar. Ironisnya, koran-koran itu 
diketahui melalui para pedagang di pasar yang membungkus jualannya dengan 
koran-koran bekas.

Kedua, tidak ada tambahan informasi yang dimiliki guru untuk mengapresiasikan 
mata pelajaran yang ada. Bahkan, guru-guru di desa terpencil cenderung mengajar 
sesuai selera masing-masing, tidak berpedoman pada kurikulum yang berlaku. 
Ketiga, pengakuan Bupati Kupang bahwa camat pun jarang membaca koran dan sulit 
mengikuti perkembangan di pusat kota atau kabupaten.

Dominasi kultur

Saya sengaja 'hanya' memaparkan tiga pejabat publik di atas sebagai fakta 
keprihatinan Kewa Ama (baca: Kompas) untuk menunjukkan bahwa jika 
pejabat-pejabat publik seperti pengawas pendidikan dasar, guru, dan camat saja 
tidak mampu mengakses berita untuk disampaikan kepada masyarakat di 
daerah-daerah terpencil, apalagi masyarakat yang tidak memiliki tanggung jawab 
secara struktural untuk membangun manusia NTT.

NTT yang berbentuk kepulauan dengan jumlah pulau di atas 100 buah pulau adalah 
sebuah kenyataan geografis. Sarana transportasi yang sering menjadi persoalan 
serius adalah pergulatan tidak terselesaikan. Daya saing ekonomis yang 
berdampak pada daya beli masyarakat adalah cerita klasik masyarakat NTT. 
Bencana alam adalah rutinitas informasi yang laku dijual oleh media maupun 
berbagai pihak demi proyek kemanusiaan. Semua itu adalah komoditi politik 
menjelang berbagai kesempatan gelanggang terbuka mengumbar janji. Persoalan 
serius yang dihadapi adalah persoalan dominasi kultur.

Dominasi kultur yang dimaksudkan adalah kepasrahan menerima takdir, dan 
menganggap kebutuhan informasi hanyalah kebutuhan orang kota, PNS, polisi, TNI, 
politisi, dan lain-lain. Dominasi ini kemudian dipertegas dengan sikapeksklusif 
yang diperankan oleh sebagai anak desa yang 'kebetulan' dimungkinkan untuk 
melanjutkan studi hingga perguruan tinggi. Di daerah-daerah terpencil, pada 
umumnya yang mampu menempuh studi hingga perguruan tinggi adalah mereka yang 
berasal dari keluarga kaya dengan kedudukan sosial yang lebih terhormat. 
Mungkin anak kepala desa, mungkin anak mantan kepala desa, mungkin anak guru, 
atau mungkin anak keturunan bangsawan. Dari mereka inilah kemudian muncul sikap 
individualisme dan paling berhak untuk mengetahui segala sesuatu.

Salah satu contoh yang pernah saya alami di kampung saya (Kecamatan Amanatun 
Utara - TTS). Ketika pulang berlibur, ada anggapan bahwa saya paling berhak 
untuk mengetahui segala macam berita melalui pesawat radio. Orangtua saya, 
adik, kakak saya tidak berbuat apa-apa. Mereka tetap menerima kenyataan bahwa 
'memang' hanyalah saya yang paling berhak untuk menikmati informasi. Dominasi 
kultur diawali dari komunitas yang paling kecil.

Perlu pencerahan yang bertanggung jawab

Letak geografis yang sulit dijangkau dan berbagai kesulitan serta persoalan 
serius lainnya akan sedikit diminimalisir, jika dominasi kaum 'mapan' yang 
mengatasnamakan kultur diberi pencerahan melalui tindakan riil. Di sini peran 
pengawas pendidikan dasar, guru dan camat menjadi penting. Mereka telah 
'dicerahi' melalui proses pendidikan hingga mencapai jabatan yang terhormat 
dalam masyarakat. Mereka seharusnya tidak berada di balik kultur yang 
menempatkan persoalan informasi sebagai sesuatu kebutuhan kaum kota yang mapan. 
Tetapi, mereka sesungguhnya berperan sebagai katalisator untuk memberi 
pemahaman baru, bahwa informasi pembangunan di daerah ini akan diketahui jika 
masyarakat di pedesaan minimal memiliki pesawat radio.

Mereka sesungguhnya berperan sebagai motivator yang memberi motivasi bagi 
masyarakat di pedesaan untuk mau belajar dari keberhasilan daerah lain. Dan itu 
hanya dimungkinkan melalui komunikasi yang intens baik melalui media komunikasi 
maupun melalui pejabat publik di daerah itu sendiri.

Ketika zaman Orde Baru, saat departemen penerangan menjadi corong pemerintah, 
ada juru penerangan yang bertugas hingga di daerah-daerah terpencil untuk 
menyampaikan berbagai informasi bagi masyarakat. Walaupun informasi-informasi 
pada saat itu sangat lips service, namun paling tidak masyarakat diberitahu 
bahwa pajak yang mereka bayar digunakan untuk kepentingan pembangunan. Saat 
ini, ketika informasi menjadi salah satu kebutuhan strategis, siapa yang 
diharapkan menjadi juru penerangan? Wakil rakyat? (baca: DPRD dan DPD), PNS 
yang ditugaskan di tiap kecamatan? Pastor, pendeta, haji, ustadz, biksu, atau 
wartawan?

Masyarakat bukan tidak mau tahu tentang berbagai perkembangan informasi, namun 
mereka tidak diberitahu oleh wakilnya sendiri. Mereka tidak diberipencerahan 
yang bertanggung jawab dan membebaskan. Mereka sesungguhnya membutuhkan 
informasi, tetapi informasi yang dibutuhkan adalah informasi tentang menata 
hidup menghadapi situasi NTT yang tidak stabil curah hujannya. Masyarakat 
membutuhkan informasi tentang praksis kehidupan, bukan iklan ponsel plus pulsa 
elektrik yang menghadirkan problem baru bagi masyarakat di pedesaan lantaran 
tuntutan anak-anak mereka utuk membeli ponsel yang sebenarnya sangat tidak 
fungsional.

Di Hari Jadi NTT tanggal 20 Desember 2006 ini apa yang kita perlu lakukan? 
Apakah kita akan gonto-gontokan memperebutkan tulang tanpa isi? Apakah kita 
akan terus membiarkan masyarakat di pedesaan dan kaum miskin kota dijadikan 
obyek pemberitaan bebagai media lantaran kemiskinan, kemelaratan, 
keterbelakangan, dan ketidakmampuan mengakses informasi?

Jika para punggawa NTT mengikis kegersangan NTT dengan slogan, kalau bukan kita 
siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi; gerakan membangun desa, tanam, 
tanam, sekali lagi tanam hingga batu tungku sebagai filosofi kecintaan terhadap 
NTT, maka giliran kita sekarang adalah gerakan tiada hari tanpa informasi, 
tiada hari tanpa baca, baca, dan baca. Pos Kupang sebagai aset daerah NTT bisa 
mengoptimalkannya.

* Penulis, mahasiswa Pps. Theologia STT INTIM

Makassar, penulis "Buku Religiositas Cinta Ibu Teresa"


[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke