Sabtu, 27 Januari 2007 | 17:36:57 WIB 

Mufid A. Busyairi

Relevansi Survei Korupsi Dewan
TEMPO INTERAKTIF, Kamis, 25 Januari 2007 



Sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat awal tahun ini diwarnai hujan 
interupsi. Salah satunya tentang keberatan sebagian anggota Dewan terhadap 
hasil survei Transparency International Indonesia yang menempatkan institusi 
wakil rakyat ini sebagai salah satu lembaga terkorup. Sebelumnya, Ketua DPR 
Agung Laksono menyatakan tidak masuk akal jika DPR dikategorikan lembaga 
terkorup karena DPR tidak mengelola anggaran dan tidak mengeluarkan perizinan.

Survei ini dilakukan Transparency International Indonesia dari Juli hingga 
Agustus 2006. Jumlah respondennya seribu orang, tersebar di Jakarta (500 
responden), Surabaya, dan Bandung (masing-masing 250 responden). Dengan nilai 
keparahan dari 1 hingga 5, DPR memperoleh skor 4,2 bersama kepolisian dan 
peradilan, disusul partai politik (4,1), lembaga bisnis/sektor privat dan 
lembaga perizinan (3,6), lembaga pendidikan dan militer (3,3), lembaga 
pelayanan umum (telepon, listrik, air, dan lain-lain) dan lembaga swadaya 
masyarakat (2,9), media (2,8), serta lembaga keagamaan (2,3).


Term korupsi

Secara hukum, definisi korupsi telah dijelaskan dalam 13 buah pasal pada 
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan itu, 
korupsi dirumuskan dalam 30 bentuk, yang dikelompokkan ke dalam kerugian 
keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan 
curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.

Selain itu, ada jenis tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana korupsi. 
Di antaranya merintangi proses pemeriksaan korupsi, tidak memberikan keterangan 
atau memberikan keterangan yang tidak benar, bank yang tidak memberikan 
keterangan rekening tersangka, saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan 
atau memberikan keterangan palsu, orang yang memegang rahasia jabatan tidak 
memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu, dan saksi yang membuka 
identitas pelapor.

Namun, dalam survei, pendapat responden terhadap korupsi tentu lebih luas dan 
beragam berdasarkan kemampuan menginterpretasi informasi yang diterima. Karena 
itu, sangat mungkin korupsi tidak hanya dimaknai secara konvensional, tapi juga 
menyangkut kinerja, perilaku, dan etika. Maka terbuka kemungkinan terjadinya 
ambiguitas, generalisasi, bahkan pembiasan.


Peran media

Sebagai representasi publik, masyarakat berkepentingan pada informasi tentang 
proses politik yang terjadi, kebijakan yang dihasilkan, dan perilaku 
anggotanya. Dengan prinsip bad news is good news, hal ini menjadi konsumsi 
empuk media, di samping misi pers sendiri sebagai watchdog. Dari pemberitaan 
media, masyarakat tahu tentang beberapa anggota DPR yang menyalahgunakan dana 
reses atau menerima "amplop" saat kunjungan kerja dan pembahasan rancangan 
undang-undang. Juga berita tentang anggota DPR yang menjadi calo haji, menjadi 
broker proyek, atau terlibat kasus korupsi di sejumlah daerah. Belum lagi 
kehidupan pribadi yang penuh fasilitas, jauh dari cerminan rakyat.

Kontinuitas terpaan berita atas suramnya kinerja dan perilaku anggota DPR jelas 
menciptakan opini tersendiri tentang institusi ini. Kita bisa membaca tanggapan 
masyarakat melalui pesan pendek (SMS) saat acara Bedah Editorial berjudul 
"Melawan Persepsi Korupsi" di Metro TV (10 Januari 2007). Di antaranya "Selamat 
Bapak-bapak maling berjas!", "Benar ide Gus Dur dulu bubarkan DPR", "Bagaimana 
korupsi dapat ditekan kalau aparat penegak hukum, terlebih-lebih DPR/DPRD, 
menjadi sarangnya para koruptor?", "Anggota DPR punya segalanya, kecuali malu 
dan moral", dan "DPR paling banyak menghabiskan uang negara tanpa hasil".

Semua tahu korupsi di Indonesia adalah organized crime. Dengan logika sederhana 
bisa diketahui lembaga yang memiliki kekuasaan, memegang kekuasaan sedemikian 
lama, serta berpotensi melakukan tumpukan kejahatan korupsi terstruktur dan 
tersembunyi. Namun, jika dikaitkan dengan persepsi publik, kembali peran media 
expose dan kualitas individu dalam menerjemahkan informasi sangat berpengaruh. 
Selain itu, persepsi bisa jadi merupakan refleksi pengalaman individu atau efek 
dari opini yang telah membaku di publik.

Bagi DPR sendiri, ada pekerjaan berat untuk memperbaiki warisan citra yang 
rusak. Namun, harus dipahami, ini tak cukup hanya dengan perang kata-kata dan 
propaganda. Harus ada kerja yang lebih serius, dan yang tak kalah penting 
adalah keterbukaan lembaga agar bisa dikontrol oleh publik dan menghindarkan 
berbagai prasangka negatif tentang lembaga wakil rakyat ini.


Pendapat umum

Dalam pandangan Leonard W. Doob, apa yang dipikirkan rakyat baru bisa disebut 
dan menjadi pendapat umum jika telah diekspresikan. Survei merupakan salah satu 
cara pengekspresian pendapat umum. Survei berguna untuk mengukur sikap dan 
pandangan masyarakat terhadap isu tertentu.

Untuk itu, dibutuhkan komunitas yang peduli pada kehidupan politik dan bebas 
mengungkapkan pendapat, pers yang independen dan mendukung, pemerintah (dalam 
arti luas) yang demokratis, dan sebuah sistem yang memaksa agar survei 
benar-benar diperhatikan. Dan tentu yang tak kalah penting adalah keberadaan 
lembaga survei yang kredibel.

Dalam survei Transparency International Indonesia ini, dengan pembatasan 
diskursus pada pilihan yang telah ditentukan, teknik wawancara tentu 
mempengaruhi kecenderungan responden. Selain itu, ada persoalan pada pemahaman 
masyarakat tentang tugas dan fungsi DPR serta definisi korupsi yang beragam. 
Hal lain menyangkut metodologi, jumlah dan karakteristik responden, siapa saja 
mereka, tingkat pendidikan, serta apakah sudah mewakili masyarakat perkotaan, 
pedesaan, bagian timur, tengah, dan barat Indonesia. Sebab, latar belakang akan 
mempengaruhi keragaman jawaban, bagaimana sampel ditarik, dan sebagainya. 
Singkatnya, penyelenggara survei harus memperhatikan dengan serius teori 
probabilitas, statistik, dan sampling.

Keraguan sebagian kalangan terhadap metodologi ini adalah menyangsikan hasil 
survei bisa disebut sebagai pendapat umum, apalagi dikatakan sebagai indeks 
kepercayaan publik Indonesia. Padahal, ketika diumumkan, survei tidak hanya 
dipahami sebagai hasil penelitian, tapi juga dianggap sebagai pendapat umum. 
Karena itu, ia memiliki implikasi politik dan sosial. Dalam konteks ini, bisa 
dimengerti kekhawatiran Ketua DPR Agung Laksono bahwa survei Transparency 
International Indonesia ini dapat menimbulkan delegitimasi terhadap DPR 
(bandwagon effect).


Masukan berharga

Dalam pertemuan dengan pemimpin DPR, Ketua Transparency International Indonesia 
Todung Mulya Lubis mengatakan lembaganya bisa menerima kritik dan saran dari 
para pemimpin DPR. Namun Todung juga meminta DPR tidak mengabaikan hasil survei 
ini. Benar, perbaikan lembaga adalah tugas mutlak DPR yang perlu didukung oleh 
semua elemen.

Survei dengan metodologi yang benar berkorelasi positif dengan efektivitas dan 
kualitas demokrasi karena menjamin informasi mengalir dari bawah ke atas tanpa 
harus menunggu ritual periodik seperti pemilu. Inilah yang diimpikan James 
Bryce (1891): sebuah tahapan evolusi demokrasi ketika kemauan dan pandangan 
mayoritas warga dapat dipastikan setiap waktu tanpa perlu badan perwakilan, 
bahkan tanpa alat pemilihan sekalipun.

Betapapun terpuruknya citra DPR, kehadiran lembaga perwakilan tak bisa 
dimungkiri. Selain kemustahilan demokrasi langsung, kita telah sepakat 
mengakhiri sejarah kelam otoritarianisme dan mewujudkan demokrasi deliberatif 
yang menjadikan civil society sebagai sumber kedaulatan. Wakil yang kita pilih 
memiliki kewajiban untuk menjaga keseimbangan ini, dan rakyat berkewajiban 
mengontrol mereka.

Terlepas dari persoalan peringkat dan metodologi yang debatable, DPR sendiri 
memang harus berbenah, bukan hanya persoalan pesona, melainkan menyangkut 
pertanggungjawaban terhadap rakyat. Berbagai studi banding dari keringat rakyat 
yang dilakukan DPR harus menginspirasi lembaga ini menjadi sebuah perwakilan 
yang kuat, amanah, dan tepercaya. Kecuali jika Dewan memang ingin merasakan 
delegitimasi berkepanjangan, politik tanpa publik.


Mufid A. Busyairi, anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa






[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Reply via email to