http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/062007/07/0901.htm


Impian Parlemen Bikameral 
Oleh Dr. PANDJI SANTOSA, M.Si. 


IMPIAN Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga yang setara dengan DPR 
untuk melakukan kontrol, rupanya belum begitu dikenal di kancah politik 
Indonesia. Buktinya DPD selama ini hanya sebatas penonton saat politisi DPR 
mengambil sebuah keputusan politik seperti mengesahkan UU dan APBN. Padahal, 
DPD sebenarnya memiliki legitimasi sangat kuat. Ia tercantum dalam konstitusi 
dan mereka dipilih secara langsung oleh rakyat. 

Namun, peran dan fungsi lembaga yang terbentuk pada 2004 itu dibatasi, baik 
oleh konstitusi maupun Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan 
Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Kewenangan DPD pada intinya mencakup 
pengajuan RUU kepada DPR, ikut dalam pembahasan RUU, dan turut mengawasi 
pelaksanaan undang-undang. 

Dari kewenangan, DPD terlihat dibangun hanya sekadar aksesori spirit 
reformasi.Ide pembentukan DPD sebenarnya terkait dengan upaya bagaimana 
mengubah sistem parlemen yang unikameral menjadi bikameral. Seperti patron 
parlemen di negara lain, sistem dua kamar membuat dua lembaga di legislatif itu 
bisa saling mengawasi. DPR mewakili suara rakyat dan DPD mempresentasikan 
kepentingan daerah dan masing-masing punya peran dan fungsi yang jelas dan 
tegas. 

Wajar, bila DPD berkeinginan mengamendemen untuk kelima kalinya Undang-Undang 
Dasar (UUD) 1945 karena selama ini dirasakan belum mempresentasikan konstituen 
yang menjadi amanahnya. Fokusnya tiada lain adalah memperkuat posisi DPD agar 
sistem bikameral di legislatif menjadi jelas. Yakni, DPR dan DPD punya peran 
yang sama-sama kuat. Tidak seperti sekarang, DPR amat superior, sementara DPD 
sebaliknya. Padahal parlemen itu bisa sehat, apabila memiliki dua mata untuk 
mengontrol dan saling mengingatkan (check and balance). Prinsipnya, dua mata 
lebih baik ketimbang satu mata (two eyes is better than one eye).

Konsep bikameral yang ideal, sebenarnya bisa belajar dari 62 negara yang 
sekarang menerapkan bikameral. Menurut studi Tsebelis dan Jeannette Money 
(1997) disimpulkan bahwa 99 persen negara federal menganut sistem bikameral, 
sedangkan 84 persen negara kesatuan menganut sistem unikameral. Konsep 
bikameral atau parlemen dua kamar di Indonesia saat ini belum mencapai standar 
ideal. Sistem bikameral yang dilakukan di Indonesia hanya ideal dalam tataran 
pemilihan.

Jika merujuk pada Staten General di Belanda atau Majelis Tinggi (House of 
Lords) di Britania Raya yang terdiri atas sejumlah anggota hereditary peers, 
sistem pemilihan mereka masih bernuansa feodal sebagai sisa-sisa dari tradisi 
kebangsawanan yang dulu mendominasi politik Britania Raya. Baru pada Majelis 
Rendah (House of Commons), anggotanya dipilih sepenuhnya. Malaysia, dewan 
negara yang terdiri atas 70 orang itu, 44 orang dipilih oleh DPRD, selebihnya 
diangkat raja di negara bagian masing-masing. 

Di Indonesia mekanisme pemilihan DPD lebih mirip Amerika Serikat yang dua 
calonnya dipilih langsung oleh masyarakat lokal di setiap provinsi atau negara 
bagian. Pola pemilihan DPD yang demokratis itu belum mampu mengoptimalkan 
fungsi dan peran DPD secara ideal. Seharusnya majelis tinggi atau yang 
setingkat dengan DPD memiliki otoritas politik yang kuat dalam proses pembuatan 
undang-undang (legislasi). 

Paling tidak ada dua mainstream gagasan mengenai penambahan otoritas DPD, 
yakni; pertama, perlunya menggunakan sistem bikameral murni yang kuat, dan 
semua bidang menjadi wilayah garapan DPD. Kedua, mengikuti koridor kewenangan 
yang ada laiknya otonomi, sumber daya daerah, agama, pendidikan, kesejahteraan 
sosial, dan lainnya. Artinya, DPD akan dikonsentrasikan pada wilayah tertentu, 
tapi harus terlibat di dalam semua konteks wilayah tersebut. 

Keberadaan DPD sejatinya merupakan perangkat kenegaraan yang menyeimbangkan 
peran dan fungsi DPR. Pilihan untuk menegaskan sistem parlemen dua kamar 
(bikameral) diasumsikan sebagai bagian dari pembenahan tata politik yang 
berpegang pada konsepsi sistem demokrasi, di mana perwakilan populasi lewat 
saluran partai politik, harus juga diikuti dengan perwakilan wilayah, yang 
proses dan pemilihannya sama dengan proses pemilihan perwakilan populasi. 
Substansi yang membedakannya hanyalah pada calon perseorangan dari perwakilan 
wilayah haruslah bukan anggota atau kader dari suatu partai politik, dengan 
terlebih dahulu mendapatkan dukungan dari populasi di wilayah tersebut yang 
diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Anggota DPR, DPRD, dan DPD.

Oleh sebab itu, perbaikan sistem ketatanegaraan dalam hal ini komposisi 
keanggotaan di parlemen menjadi sesuatu yang bersifat urgen. Mengingat bahwa 
komposisi keanggotaan di parlemen setidaknya mewakili dua hal; pertama 
perwakilan populasi yang termanifestasi dalam calon-calon dari partai politik 
yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua, perwakilan kewilayahan yang 
termanifestasi pada calon-calon independen perseorangan yang akan duduk di 
Dewan Perwakilan Daerah.

Menurut Robert A. Dahl (1966;154) bahwa pembagian kamar dalam parlemen yang 
demokratis akan melahirkan partisipasi publik yang signifikan. Dalam pengertian 
bahwa keberadaan perwakilan populasi dan perwakilan kewilayahan akan mampu 
menyerap partisipasi politik publik yang lebih luas lagi. Meski diakui akan 
terjadi arus kepentingan politik yang saling berlawanan, namun secara prinsipil 
partisipasi politik publik harus diwadahi dalam berbagai kanal, baik lewat 
partai politik maupun perseorangan yang dinilai cakap untuk mewakili wilayahnya 
untuk duduk di parlemen nasional. 

Format dua kamar dalam parlemen yang ideal adalah dengan memosisikan 
kamar-kamar tersebut dalam posisi yang setara, yakni memiliki fungsi dan 
wewenang yang sama. Secara implisit menunjuk model bikameral kuat yang 
dipraktikkan di Amerika Serikat sebagai model bikameral yang ideal untuk 
dipraktikkan. 

Prinsipnya bahwa proses politik harus dibangun dalam kultur politik demokratis 
yang lemah dengan menerapkan model bikameral kuat, sebab akan memberikan efek 
politik yang positif dengan berbagai proses politik yang terjadi di dalamnya. 
Karena apabila menerapkan sistem bikameral lemah, hanya akan membiarkan proses 
politik dimonopoli oleh partai-partai politik yang bisa jadi tidak mewakili 
kepentingan publik secara umum (Dennis C. Mueller, 1979:173).

Mengapa DPD harus diperkuat? Sekurang-kurangnya ada tiga alasan, yakni pertama, 
sistem dua kamar lebih menjamin demokrasi dan kesejahteraan. Negara-negara 
besar dengan jumlah suku dan agama yang beragam umumnya mengadopsi sistem 
parlemen dua kamar. Negara-negara besar yang makmur secara ekonomi dan 
demokratis secara politik menerapkan parlemen dua kamar, seperti Amerika, 
Jerman, Kanada, Belanda, Italia, Austria, Swiss, Jepang, dan Australia. Bahkan 
Malaysia dan Filipina juga mengadopsi sistem tersebut. 

Kedua, memperkuat sistem checks and balances. Hadirnya kamar kedua (second 
chamber) mengandaikan terciptanya checks and balances bukan hanya antarcabang 
kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif), tetapi juga di dalam 
cabang kekuasaan legislatif itu sendiri. Kamar kedua memungkinkan bekerjanya 
sistem double checks, yaitu terbukanya peluang pembahasan yang berlapis 
terhadap setiap produk legislatif yang berdampak bagi rakyat. Kamar kedua 
berfungsi mengutip CF Strong (1973), untuk mencegah lahirnya undang-undang yang 
dibuat secara tergesa-gesa oleh satu majelis. 

Ketiga, memperjelas sistem parlemen Indonesia. Dengan memperkuat DPD, parlemen 
Indonesia semakin didorong ke arah bikameralisme murni, tidak 
pseudo-bicameralism seperti sekarang. Memperkuat DPD juga merupakan bentuk dari 
tindakan politik yang fair. Sebab, syarat untuk menjadi anggota DPD jauh lebih 
berat ketimbang menjadi anggota DPR. Untuk menjadi calon saja, anggota DPD 
harus memperoleh dukungan 1.000 sampai 5.000 tanda tangan pemilih. Mereka 
langsung berhadapan dengan rakyat, berbeda dengan DPR yang dipilih melalui 
partai politik. 

Keberadaan DPD dalam parlemen Indonesia terlepas dari kuat atau lemahnya fungsi 
yang diemban oleh DPD, telah mampu memberikan stimulasi positif bagi kemajuan 
demokrasi di Indonesia. Sehingga apa pun kondisinya, secara prinsip DPD harus 
tetap dipertahankan dengan mendorong terjadinya penguatan terhadap lembaga 
tinggi tersebut, baik oleh internal DPD, anggota DPR, maupun masyarakat. 
Permasalahan bahwa DPD memiliki tugas dan wewenang yang terbatas adalah sebuah 
realitas politik, namun realitas tersebut tidak sebagai sesuatu yang bersifat 
baku, melainkan masih mungkin dapat dilakukan perubahan yang sesuai dengan 
napas demokrasi.

Perdebatan bahwa negara kesatuan seperti Indonesia tidak cocok menganut sistem 
perwakilan bikameralisme, namun lebih cocok unikameralisme adalah suatu 
pemikiran yang tidak membebaskan dan cenderung menyesatkan. Bahwa sistem 
bikameralisme cenderung cocok diterapkan di negara federal, dan bila diterapkan 
di negara kesatuan justru berpotensi menghancurkan bangsa adalah upaya untuk 
membangun satu kesimpulan yang tidak teruji kesahihannya. 

Faktanya, sistem bikameral, ternyata bersifat lintas bentuk negara; kesatuan 
ataupun federal, hal yang sama juga terjadi pada sistem unikameral. Artinya 
bahwa sistem legislatif, apakah unikameralisme ataupun bikameralisme tidak ada 
sangkut pautnya dengan eksistensi bentuk kenegaraan, komposisi penduduk, 
ataupun golongan. Sebagai contoh, perubahan dari sistem legislatif bikameral ke 
sistem legislatif unikameral yang terjadi di Denmark, Swedia, Norwegia, 
Islandia, maupun Selandia Baru adalah karena keefektifan perwakilan politik 
yang ada di negara-negara tersebut. 

Bila membandingkan dengan komposisi penduduk yang ada di Indonesia, dapat 
dilihat bagaimana rumitnya sebuah bangsa bernama Indonesia menjalankan roda 
pemerintahan dan kebangsaannya tanpa melibatkan unsur kewilayahan, selain 
perwakilan dari populasi. Sebab, dengan luas wilayah dan beragamnya etnis dan 
keheterogenan penduduk, dapat dipastikan bahwa harus ada kanal politik yang 
dapat memberikan ruang bagi eksistensi sebuah perwakilan lain selain perwakilan 
populasi melalui partai politik. Dengan kata lain, tidak ada cara lain untuk 
menegaskan bahwa DPD, sebagai lembaga tinggi baru dalam parlemen Indonesia 
harus diperkuat eksistensinya, tidak sekadar menjadi pelengkap dari keinginan 
untuk membangun check and balances dari hubungan antarlembaga tinggi dalam 
parlemen. *** 

Penulis, pemerhati masalah sosial politik dan dosen tetap Kopertis Wilayah IV 
Jabar-Banten dpk. Universitas Langlangbuana (Unla) Bandung. 


[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke