RIAU POS

      Ketika Suara Rakyat Buntu        


      16 Juni 2007 Pukul 09:42  
      RAKYAT itu king maker. Rakyatlah penentu Calon Presiden (Capres), Calon 
Gubernur (Cagub), bupati dan para wali kota (serta para wakilnya) terpilih. 
Bukan oleh DPR dan DPRD, perpanjangan tangan partai politik (parpol). Inilah 
musim madu ketika zaman sistem pemilihan langsung bersemi. Parpol yang tidak 
beradaptasi dengan tuntutan zaman akan beringsut ke masa senja. 

      Namun dalam realitas, ternyata peranan parpol dalam proses penentuan 
Capres dan Cagub sangat dominan seperti diatur Undang-Undang. Terbukti 
pendaftaran Cagub Independen, seperti Sarwono Kusumaatmadja dan Faisal Basri 
untuk Pilkada DKI pada 7 Juni 2007 lalu telah dianulir oleh KPUD. Yang diproses 
hanya Cagub Fauzi Bowo yang dicalonkan 19 parpol, di antaranya Golkar, PDIP, 
PPP, Partai Demokrat dan PAN serta Cagub Adang Daradjatun yang diusung oleh 
Partai Keadilan Sejahtera.

      Nahasnya, Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyidangkan judicial review agar 
Cagub Independen diloloskan, diperkirakan akan putus sekitar akhir Juli 2007. 
Sangat mungkin pula MK mengabulkannya, karena menurut ahli Tata Negara, Harun 
Al Rasyid dalam kesaksiannya, menolak Cagub Independen berarti menolak UUD 1945 
yang jelas-jelas menegaskan setiap orang berhak dipilih dan memilih, baik dalam 
Pemilihan Presiden maupun Pilkada. Tapi sebagai galibnya putusan MK tidak dapat 
pula berlaku surut, seperti jauh-jauh telah diisyaratkan oleh Ketua MK, Jimly 
Asshidiqie. 

      Apa mau dikata, meskipun Cagub Independen disokong oleh UUD 1945, namun 
karena MK belum memutuskannya maka UU No32/2004 yang menyebutkan Cagub mestilah 
dicalonkan parpol atau gabungan parpol yang mempunyai kursi minimal 15 persen 
di DPRD Provinsi masih tetap berlaku. Tragis. Teks konstitusi itu telah keok 
oleh formalitas-legalitas dari UU yang berada setingkat di bawah UUD 1945. 
Jangan lupa bila UUD 1945 itu pun telah seusia republik ini, tapi bisa 
dikalahkan oleh UU yang lahir pada 2004 lalu. Makin diskriminatif, karena 
justru di Nanggroe Aceh Darussalam, Cagub Independen diperbolehkan melalui UU 
Pemerintahan Aceh.

      Sesungguhnya parpol yang demikian telah mengkhianati perannya, yang kata 
Schattsheider (1942) sebagai political parties created democracy. Skeptisme dan 
kritisisme pun bangkit dan mendakwa parpol hanya sebagai kenderaan segelintir 
elitnya yang memuaskan "birahi" politikya. Kira-kira, berhasil memenangkan 
suara rakyat yang mudah dikelabui untuk memaksakan kebijakan public tertentu, 
at the expence of the general will, seperti disindir oleh Rosseau (1762) dan 
Perot (1992).

      Disebut begitu, karena dari hasil polling yang dilakukan oleh Lembaga 
Survei Indonesia (LSI), ternyata 60 persen responden menghendaki Cagub 
Independen, dan bukan Cagub yang dicalonkan parpol. Responden Program Pacsa 
Sarjana Ilmu Komuniaksi UI bahkan 79 persen menginginkan Cagub Independen. Ini 
sebuah bukti yang menunjukkan bahwa Cagub yang diajukan parpol ternyata tidak 
sesuai dengan aspirasi rakyat.

      Oligarki dan Mutilasi
      Fenomena ini menunjukkan bahwa parpol cenderung bersifat oligarkis. 
Seringkali  partai dengan lantang berteriak bahwa mereka bertindak demi 
kepentingan rakyat, tetapi ternyata berjuang untuk kepentingan elitnya belaka. 
Maklum, partai kita masih dicekam hegemoni personalisasi, mungkin oleh ketua 
umum atau "sesepuh" partai. "Organisasilah yang melahirkan dominasi si terpilih 
atas para pemilih, antara si mandataris dan si pemberi mandat. Siapa saja yang 
berbicara tentang organisasi, sebenarnya ia berbicara tentang oligarki," kata 
Robert Michels.

      Publik belum lupa bagaimana 40-an pengurus sebuah partai di tingkat akar 
rumput telah berunjuk rasa ke kantor sebuah DPP partai, karena partai mereka 
justru mencalonkan Cagub lain, dan bukan Cagub yang mereka kehendaki. Memang, 
elit partai berpendapat bahwa  rakyat tidak tahu Cagub terbaik bagi mereka. 
Akibatnya, demokrasi dimonopoli pengurus partai, dan rakyat cuma kambing 
congek. Elit partai melantik diri menjadi gembala, dan rakyat bagai "kawanan" 
kambing yang dapat pula dijajakan di "supermarket politik" dalam bahasa metafor.

      Kita ingat filsuf Plato pun selalu ogah jika urusan politik dan demokrasi 
diserahkan kepada rakyat jelata. "Tahu apa rakyat tentang politik," kata Plato. 
Aneh. Yang memilih adalah rakyat, tapi yang menentukan Cagub adalah partai. 
Semestinya aspirasi rakyat tentang siapa Cagub yang ideal harus ditampung 
partai sebagai sarana demokrasi. Bukan memenggalnya, bagai mutilasi demokrasi.

      Parpol yang tidak aspiratif dengan suara rakyat pantas dibubarkan saja. 
Namun menurut UU No31/2002 tentang Parpol, partai hanya bisa dibubarkan jika 
berkaitan dengan kejahatan keamanan negara. Misalnya, jika menganut dan 
menyebarkan ajaran marxisme dan komunisme dan melakukan kegiatan yang 
bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah. Termasuk karena menerima atau 
memberi sumbangan dan bantuan dalam bentuk apapun ke dan dari negara asing yang 
merugikan kepentingan bangsa.

      Belum ada satu klausula pun dalam UU kita yang menyebutkan bahwa sebuah 
partai dapat dibubarkan jika kebijakannya bertentangan dengan aspirasi rakyat. 
Sangat kental sekali bahwa regulasi parpol disusun untuk kepentingan Negara dan 
elit partai. Terbukti, partai hanya bisa dibubarkan atas kehendak pengurusnya 
maupun karena bergabung dengan partai lain tersebab perolehan suaranya dalam 
Pemilu tak berhasil mencapai batas minimal. Hukumannya pun ada yang bersifat 
administratif, pidana, perdata, dan pembubarannya dilakukan oleh putusan MK 
untuk kasus yang menyangkut ideologi dan keselamatan negara.

      Padahal, menurut riset Venice Commision, selain pelarangan masalah 
ideologi dan keselamatan negara, banyak negara maju yang melarang kegiatan 
partai yang bertentangan dengan prinsip rule of law dan kedaulatan rakyat. 
Misalnya, seperti yang berlaku di Austria dan Yunani.

      Rakyat hanya bisa menjatuhkan "hukuman" dengan cara tak memilih partai 
tertentu dan para pemimpin pada Pemilu atau Pilkada mendatang. Tapi walaupun 
sebagian rakyat menjadi Golput, tak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu, 
Pemilihan Presiden dan Pilkada, hasilnya  tetap saja sah. Bahkan jika 
pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memberatkan rakyat, seperti kasus 
kenaikan BBM, dan disetujui DPR sebagai alat partai, rakyat hanya bisa mengelus 
dada. Mau apa lagi?***


      Bersihar Lubis, 
      wartawan senior tinggal di Depok.  


[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke