http://www.tempointeraktif.com/

Peran Strategis Komisi Pemberantasan Korupsi
Senin, 16 Juli 2007 

Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didasarkan pada perkembangan 
pemikiran di dunia hukum bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Label 
demikian dianggap tepat untuk disematkan dalam konteks Indonesia, mengingat 
daya rusak praktek korupsi telah mencapai level tinggi. Maka, tak mengherankan 
jika hingga hari ini Indonesia masih terjebak dalam suatu kondisi 
sosial-ekonomi dan politik yang memprihatinkan.

Indikasinya bisa dilihat dari deretan angka kemiskinan yang tinggi, besarnya 
tingkat pengangguran, rendahnya indeks sumber daya manusia Indonesia, serta 
rendahnya kualitas demokrasi. Secara langsung ataupun tidak, keadaan di atas 
disebabkan oleh korupsi yang sudah telanjur mewabah. Korupsi telah membuat 
lumpuh sebagian besar daya dan kekuatan yang dimiliki bangsa ini untuk bangkit 
dari keterpurukan.

Selama ini, program pemberantasan korupsi melalui pendekatan konvensional telah 
divonis gagal dalam mengurangi tingginya korupsi yang terjadi. Kegagalan demi 
kegagalan dalam memberantas korupsi menumbuhkan sebuah keyakinan bahwa, dalam 
sebuah sistem tempat korupsi telah menjadi endemik, mekanisme penegakan hukum 
yang biasa hanya akan menutupi pejabat negara yang korup.

Institusi penegak hukum konvensional yang bertindak menegakkan hukum semakin 
tidak berdaya dalam mendeteksi dan menuntut kasus-kasus korupsi yang kian 
kompleks. Bahkan institusi-institusi tersebut telah menjadi bagian dari mata 
rantai korupsi yang merajalela. Karena itu, kehadiran KPK seharusnya merupakan 
sebuah jawaban bagi deadlock-nya upaya melawan korupsi.

Akan tetapi, berdasarkan hasil evaluasi ICW terhadap kinerja institusi KPK 
selama kurun waktu 2003-2007 dalam memberantas korupsi, terdapat berbagai 
kelemahan yang ditemukan. Salah satu yang mendasar adalah tidak mencukupinya 
basis analisis untuk melihat akar dan problematika korupsi itu sendiri. 
Sehingga desain kebijakan dan program pemberantasan korupsi yang dikembangkan 
oleh KPK dirasa kurang efektif, efisien, relevan, dan berkelanjutan.

Dalam analisis berbagai pakar, Indonesia saat ini berada pada tipologi korupsi 
ketika state capture type of corruption telah mendominasi ruang-ruang kebijakan 
publik, sementara korupsi birokrasi juga berada pada tingkat yang 
mengkhawatirkan. Dua keadaan ini menyebabkan kita disandera oleh sistem yang 
teramat korup (UNDP, 2002). Atau, dengan kata lain, tidak dapat berbuat apa pun 
untuk membenahi persoalan korupsi yang sudah sedemikian pelik.

Sementara itu, di sisi yang lain, KPK masih berkutat pada penanganan korupsi 
yang bertipologi petty administrative corruption. Karena itu, proses hukum atas 
kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK tidak memiliki dampak yang berarti, 
karena hilangnya nilai strategis dari sebuah kasus korupsi yang ditangani. 
Nilai strategis itu dilihat dalam dua pendekatan, yakni sumber korupsi yang 
selama ini menjerat bangsa Indonesia dalam keterpurukan ekonomi, sosial, dan 
politik, serta dampak langsung pemberantasan korupsi dalam bentuk pembenahan 
sistem yang rentan terhadap korupsi setelah penegakan hukum dilakukan.

State capture bisa dilihat pada aktor utama pelaku korupsinya, yakni pejabat 
politik, pejabat negara, dan kalangan swasta/pengusaha yang berkolusi 
menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan negara/publik. Aktor inilah yang 
menciptakan sebuah kondisi negara yang terus-menerus tersandera oleh 
ketidakberdayaan sosial-ekonomi dan politik.

Di samping karena kerugian negara dan masyarakat yang dapat mencapai triliunan 
rupiah, state capture telah menciptakan monopoli dalam penguasaan dan alokasi 
sumber daya ekonomi publik. Melalui praktek komunikasi dan lobi secara 
informal, tertutup dengan contact person di level tinggi, state captors bekerja 
mempengaruhi kebijakan publik yang dapat menguntungkan aktor-aktornya. Pendek 
kata, dalam korupsi bertipologi state capture, kebijakan publik merupakan arena 
transaksi dan sumber akumulasi kekayaan.

Namun, sayangnya, hingga saat ini, pun setelah KPK lahir, aktor-aktor state 
capture masih tetap tidak tersentuh. KPK masih sebatas menangani kasus-kasus 
korupsi yang melibatkan kepala daerah, pejabat eselon, dan pemimpin 
proyek--yang sebagian besar korupsinya terjadi di sektor pengadaan barang dan 
jasa. Barangkali sektor ini memang rawan terhadap korupsi. Tapi berbagai sektor 
lain, tempat sumber ekonomi publik yang demikian besar dikelola, seharusnya 
menjadi pilihan-pilihan yang strategis untuk dihantam.

Memang KPK tidak didesain untuk menegakkan hukum korupsi di semua lini. Karena 
itu, seharusnya pilihan dalam membidik sebuah kasus korupsi harus didasarkan 
pada pertimbangan strategisnya. Terutama pada titik di mana kejaksaan dan 
kepolisian memiliki hambatan politik untuk menanganinya. Jika KPK menangani 
perkara korupsi yang sederajat dengan kualitas perkara milik kejaksaan dan 
kepolisian, hal ini justru hanya akan menimbulkan naiknya ongkos dalam 
memberantas korupsi.


Supaya KPK dapat terfokus pada kasus-kasus korupsi yang memiliki spektrum 
politik besar, sekaligus memiliki dampak terhadap perbaikan ekonomi dan 
pelayanan publik, mekanisme supervisi dan koordinasi harus dioptimalkan. 
Mengingat banyak kasus korupsi birokratis yang ditangani kejaksaan dan 
kepolisian mengalami kemacetan, KPK harus mengawasi secara serius proses 
penegakan hukumnya. Dengan kewenangan itu, diharapkan penanganan kasus-kasus 
korupsi birokrasi, yang selama ini menjadi tanggung jawab kejaksaan dan 
kepolisian, menjadi lebih efisien dan tidak koruptif.

Selama ini tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat penambahan jumlah kasus yang 
ditangani kejaksaan dan kepolisian setelah mekanisme supervisi dan koordinasi 
dilakukan KPK, tapi hal itu tidak mengurangi praktek korupsi dalam penanganan 
kasus korupsi. Karena itu, untuk mendorong proses penegakan hukum pada tingkat 
kejaksaan dan kepolisian, KPK seharusnya memulai upaya pemberantasan korupsi 
dengan melakukan pembersihan pada tubuh aparat penegak hukum. Upaya 
membersihkan kejaksaan dan kepolisian akan sangat membantu KPK dalam menangani 
perkara-perkara korupsi yang sedemikian banyak.

Namun, sayangnya, hingga menjelang berakhirnya masa tugas pemimpin KPK periode 
2003-2007, belum ada satu pun aparat penegak hukum yang diproses, kecuali 
Suparman selaku penyidik KPK sendiri. Padahal mustahil mendorong program 
pemberantasan korupsi di tubuh kejaksaan dan kepolisian seandainya upaya-upaya 
pembersihan tidak segera dilakukan. Demikian juga halnya lingkup pengadilan, 
yang seharusnya menjadi prioritas mengingat semua proses hukum akan bermuara di 
tangan para hakim.

Karena itu, ke depan sudah seharusnya pemimpin KPK terpilih harus benar-benar 
memiliki perspektif yang kuat sehingga dapat melihat secara lebih tajam 
persoalan mendasar dari merajalelanya korupsi. Sudah seharusnya desain program 
dan kebijakan pemberantasan korupsi harus becermin pada tipologi korupsi yang 
mendominasi. Bukan sekadar menjalankan tugas dan kewajiban memberantas korupsi 
sebagaimana mandat undang-undang tapi tanpa bekal yang cukup memadai.

Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch 


[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Reply via email to