kata anak kampung versinya gini:
   
  ada orkay (orang kaya) yg jago nulis (dulunya berasal dari kampung juga), 
berpengaruh, dan punya kerajaan seni. sebagaimana layaknya kerajaan, maka ada 
gaya feodalisme jugalah, yg bikin perbedaan klas di dunia seni, ada yg 
"kampungan" (miskin), ada yg "kotaan" (kayaraya). 
   
  yg kampungan di cap "ngirian" oleh blok orkay, sedangkan geng orkay seniman 
salon (kecantikan) tentu aja menangkis tuduhan "memonopoli seni", wong katanya 
wiratmo soekito udah ada di sana sejak awal taon 60an di abad yg lalu, ingat 
kan semboyan "seni untuk seni", pundi2 masuk kantong sendiri.... 
   
  inilaaaah yg jadi persoalan, kerna seni buat rakyat itu penting sekali, sebab 
rakyat dari sejak taon satu hidupnya selalu melarat berat, lalu buat apa bos 
sastra wangi mendukung kenaikan harga bbm? apa gak sadar bahwa nama seniman yg 
besar itu dipakai untuk menindas? 
   
  awalnya kerna ada yg maen monopoli, dan kayaknya bakalan nongol lagi 
persoalan lama yg belum selesai, konflik antara seni buat rakyat versus seni 
untuk seni.
   
  cerita lama tentang koalisi seniman/intelektual dan pemilik modal muncul 
kembali dengan jas model borsalino.
   
  salam, heri latief
   
  --- In [EMAIL PROTECTED], "BISAI" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
   
        Perebutan Hegemoni Sastra
  
      Oleh : Asahan Aidit 
   
        18-Sep-2007, 10:35:50 WIB - [www.kabarindonesia.com]
       
    
   
  Seingat saya adalah pada tahun 1995 ketika saya dan Pak Teeuw (Prof. Dr. 
Teeuw) mengantarkan Ajip (Ajip Rosidi) pulang ke Indonesia di Bandara Schiphol 
(di Amsterdam, red). Pak Teeuw bilang, pengarang Indonesia selalu suka ribut 
suka bertengkar. Meskipun perkataan Pak Teeuw itu dikatakannya sambil jalan 
menuju terminal, tapi seorang sarjana serius seperti Dr. Teeuw tidak akan 
pernah bicara serampangan dalam situasi yang bagaimanapun meskipun sebagai 
manusia Pak Teeuw adalah juga seorang yang cukup suka humor. Dan ternyata Pak 
Teeuw telah mengatakan sekeping fakta sejarah yang menyangkut perilaku para 
sastrawan dan penulis Indonesia. Mereka memang suka bertengkar, suka 
ribut-ribut. Tapi bukan semata bertengkar, karena di balik semua itu terselip 
sebuah motivasi yang berintikan perebutan hegemoni sastra.
   
        Selintas pintas kita ingat polemik besar antara Sanusi Pane dan Sutan 
Takdir Alisyahbana, lalu melompat ke antara Pram dengan kelompok Manikebu. 
Melompat lagi setelah Manikebu pecah dari dalam dan Pram meninggal, 
pertengkaran antara kelompok sastra masih terus berlangsung.
   
        Apakah memperebutkan hegemoni sastra itu penting? Jawabnya ada pada 
pihak-pihak yang berebut. Sastra itu sendiri adalah hasil kerja, hasil 
pemikiran, hasil peng-aktivan bakat yang biasa  disebut orang sebagai seni 
sastra yang menawarkan kepada peminatnya untuk dinikmati sebagai hasil seni, 
hasil karya seseorang penciptanya. Jadi di luar tujuan tersebut sastra tidak 
memerlukan hegemoni, tidak memerlukan kapten, jendral apalagi marsekal. Sastra 
adalah arena kompetisi yang diwasiti oleh masyarakat sastra, dan bahkan seluruh 
kemanusiaan. Siapa yang menghasilkan karya sastra yang terbaik dialah yang 
dikagumi  dan dihargai serta dihormati masyarakat sastra. Jadi penentunya bukan 
salah satu hegemonist. Tapi dalam satu masyarakat sastra yang sedang terjadi 
pertempuran memperebutkan hegemoni, akan timbul bermacam-macam klas sastra: 
Sastra dominan, sastra Pemerintah, sastra Partikulir, sastra yang dipencilkan 
dan sebagainya. 
   
        Dalam masyarakat sastra yang demikian, tidak akan terdapat atmosfir 
sastra yang sehat karena sastra dalam perang perebutan itu bersifat agressif, 
super spontan dan bahkan bisa pula melahirkan sastra ekstrim: kiri, kanan, 
muka, belakang. Kompetisi yang terjadi bukan lagi bagaimana agar bisa 
melahirkan sastra yang paling baik mutunya tapi hanya yang paling garang 
bunyinya. Dalam  hal ini sastra yang terpencilkan adalah satra yang hampir 
dibikin setara dengan sastra Paria, sastra klas terbawah, tak punya hak suara. 
Umpamanya apa yang dinamakan sastra Eksil sebagai yang kurang dikenal, para 
pemulis Eksilan Indonesia yang menetap di luar negeri korban peristiwa politik 
65.
       
      Sastra dan juga sastrawaan eksil Indonesia ini sudah lama di luar 
pertempuran perebutan hegemoni dan cuma jadi penonton pasif meskipun masih 
tetap aktif berkarya (sebagian). Klas sastra yang dipencilkan ini otomatis 
menjadi sastra oposisi terhadap sastra Pemerintah, oposisi kecil yang bahkan 
tak pernah diketahui oleh sastra Pemerintah atau sastra yang sedang berdominasi 
dan mereka ini rendah hati tapi bukan rendah diri. Klas golongan ini ingin 
dihapus dari sejarah sastra resmi, diabaikan dan dianggap rendah mutu 
karya-karya mereka meskipun sangat mungkin tak permah dibaca atau diperhatikan 
secara memadai oleh kesan prematur rendahnya mutu karya mereka.
   
        Perebutan hegemoni sastra tentu saja antara lain yang terpenting adalah 
merebut berbagai media sebagai sarana  untuk mempublikasikan hasil karya 
mereka. Siapa yang lebih banyak menguasai media seperti majalah, koran-koran, 
radio, penerbit-penerbit dan sebagainya, dialah yang akan berdominasi. Itu 
tentu saja akan bersangkutan dengan uang, modal dan para sponsor, besar dan 
kecil, dalam dan luar negeri. Sastra di abad ini adalah juga UANG, UANG dan 
UANG.
   
        Tapi para sastrawan dan sastra terpinggirkan masih beruntung ada 
internet yang mau menampung karya-karya mereka meskipun tidak dibayar malah 
membayar ongkos penggunaan komputer dan sebagainya. Sastra internet atau sastra 
gratis tanpa hambatan editor ini oleh para hegemonist sastra resmi dianggap 
sebagai sastra sampah, tidak bermutu dan bukan sastra. Yang bernilai adalah 
cuma sastra hegemonist, sastra yang dimuat dalam majalah, dalam koran, di radio 
dan TV serta yang diterbitkan penerbit besar dan terkenal. Tidaklah 
mengherankan kalau dalam masyarakt sastra yang selalu dalam keadaan perang 
memperebutkan hegemoni ini, atau seperti juga apa yang pernah dibilang Pak 
Teeuw sebagai para sastrawan yang selalu suka ribut dan bertengkar. Nilai 
sastra tidak lagi pada sastranya tapi pada para raja sastra pemegang hegemoni 
yang itupun masih ada tingkat-tingkat klasnya: hegemoni tingkat satu, dua, tiga 
dan seterusnya. 
   
  Lalu bagaimanakah nilai obyektif hasil sastra dalam masyarakat stabil perang 
sastra demikian?
        
  Jawabnya ada dalam pepatah: "TIDAK ADA ELANG, BELALANG TERBANG TINGGI". Waktu 
akan menilai sampai setinggi mana terbangnya sastra-sastra dominan atau sastra 
resmi yang menguasi banyak media itu. (Asahan Aidit)    


      
[EMAIL PROTECTED]
milisgrup opini alternatif

  
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/
penerbit buku sejarah alternatif

  
http://progind.net/
kolektif info coup d'etat 65: kebenaran untuk keadilan

  http://herilatief.wordpress.com/




       
---------------------------------
 Check out  the hottest 2008 models today at Yahoo! Autos.

[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Reply via email to