UNJUKRASA dan PENYAMPAIAN PETISI KEPADA PEMERINTAH BELANDA Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) akan menyampaikan PETISI kepada Perdana Menteri Belanda, Dr. Jan Peter Balkenende, yang akan dilakukan dalam Aksi Damai pada: Hari/tanggal : Jumat, 15 Agustus 2008 Tempat : Kedutaan Besar Kerajaan Belanda Jl. H.R. Rasuna Said Kav. S 3, Kuningan Jakarta Selatan Waktu : Pukul 10.00 10.30 Bagi simpatisan yang mendukung Aksi Damai dan Petisi kepada Perdana Menteri Belanda, mohon hadir di tempat dan waktu yang telah ditentukan. Hormat kami, Btara R Hutagalung Dian Purwanto Ketua KUKB Sekretaris KUKB Kami lampirkan di bawah ini keterangan mengenai latar belakang Aksi Damai dan teks Petisi. =================================== Pengantar. Aksi Damai ini juga akan diikuti oleh beberapa janda korban, saksi mata dan seorang korban yang selamat dari pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di Rawagede pada 9 Desember 1947. Pada 9 Desember 1947, sehari setelah dimulainya perundingan perdamaian Indonesia Belanda di atas kapal perang AS Renville, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, semua laki-laki di atas usia 15 tahun. Setelah pembantaian di Sulawesi Selatan Desember 1946 Februari 1947, ini adalah pembantaian terkejam yang dilakukan oleh tentara Belanda terhadap penduduk sipil (non combatant). Seperti di Sulawesi Selatan, tidak seorangpun pelaku pembantaian yang dimajukan ke pengadilan. Di Belanda, tanggal 5 Mei dan tanggal 15 Agustus merupakan dua hari yang sangat istimewa. Pada 5 Agustus 1945, Belanda resmi bebas dari pendudukan Jerman. Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito, menyatakan Jepang menyerah tanpa syarat, dan hari itu juga merupakan hari pembebasan sekitar 300.000 orang Belanda yang sejak tahun 1942 mendekam di kamp-kamp konsentrasi Jepang di Indonesia. Hingga sekarang, Belanda selalu mengenang masa pendudukan Jerman yang sangat kejam, dan para mantan interniran tetap menuntut Pemerintah Jepang meminta maaf atas perlakuan buruk yang dialami oleh orang-orang Belanda selama mendekam di kamp konsentrasi dan juga menuntut kompensasi. Setelah bebas dari pendudukan Jerman yang kejam dan masa interniran Jepang yang buruk, Belanda melakukan hal yang sama bahkan di beberapa tempat lebih kejam- daripada yang telah mereka alami dari Jerman dan Jepang. Latar belakang sejarah Pada 9 Maret 1942, di Kalijati dekat Subang, Jawa Barat, Letnan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi Tentara Belanda menandatangani dokumen pernyataan MENYERAH TANPA SYARAT dan menyerahkan jajahannya kepada Jepang. Penjajahan Belanda resmi berakhir! Jepang sendiri kemudian menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, namun kapitulasi Jepang kepada Tentara Sekutu secara resmi baru ditandatangani tanggal 2 September 1945. Antara tanggal 15.8.1945 dan 12.9.1945 terjadi vacuum of power (kekosongan kekuasaan) di seluruh wilayah yang diduduki Jepang. Di masa kekosongan kekuasaan tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sehari kemudian, pada 18 Agustus Ir. Sukarno diangkat menjadi Presiden dan Drs. M. Hatta menjadi Wakil Presiden. Kemudian dibentuk cabinet pertama Republik Indonesia. Dengan demikian, tiga syarat pembentukan Negara telah terpenuhi, yaitu: 1. Adanya wilayah, 2. Adanya penduduk, dan 3. Adanya pemerintahan Kemudian beberapa Negara, seperti Mesir, Liga Arab dan India mengakui kemrdekaan RI, dan di beberapa Negara tersebut, Indonesia menempatkan Duta Besar. Belanda tidak mau mengakui pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia dan masih berusaha menjajah kembali. Dalam upaya menegakkan kembali penjajahannya di bumi Nusantara, tentara Belanda banyak melakukan kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan berbagai pelanggaran HAM berat. Sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB, 23 Agustus 2 November 1949), disepakati a.l.: 1. Pembentukan Uni Belanda Indonesia di bawah Ratu Belanda, 2. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), 3. Integrasi mantan tentara KNIL ke dalam tubuh TNI, 4. RIS yang dipandang sebagai kelanjutan Pemerintah India-Belanda (Nederlands Indië), harus membayar utang Pemerintah India-Belanda kepada Pemerintah Belanda sebesar 4,5 milyar gulden. Di dalamnya termasuk biaya agresi militer I (Juli 1947) dan agresi militer II (19 Desember 1948). 5. Penyelesaian masalah Irian (Papua) Barat ditunda, sehingga Papua Barat tidak termasuk di dalam RIS. Pada 27 Desember 1949, Pemerintah Belanda melimpahkan kewenangan (soevereniteitsoverdracht) kepada Pemerintah RIS. Pada 16 Agustus 1950, Presiden RIS Sukarno menyatakan pembubaran RIS, dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17 Agustus 1945. Tahun 1956, Indonesia secara sepihak membatalkan Uni Belanda - Indonesia, dan menghentikan sisa pembayaran utang Pemerintah India-Belanda kepada Pemerintah Belanda sebesar setengah milyar gulden. Hingga tahun 1956, telah dibayar secara mencicil sebesar 4 milyar gulden, yang sangat membantu menghidupkan perekonomian Belanda yang hancur setelah Perang Dunia II. Hal ini yang paling ironis, karena Indonesia menanggung biaya yang dikeluarkan Belanda untuk melancarkan agresi militernya ke Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Sampai 17 Agustus 2005, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui samasekali baik de facto maupun de jure Republik Indonesia, dan baru pada 16 Agustus 2005 Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot menyatakan, bahwa kini Pemerintah Belanda menerima proklamasi 17 Agustus 1945 secara moral dan politis, artinya hanya de facto, dan tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Pemerintah Belanda tetap menyatakan bahwa de jure kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949. ================================================== Teks Petisi KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA (Committee of Dutch Honorary Debts) Sekretariat Indonesia: Jl. Wahyu No. 2 B, Gandaria Selatan, Jakarta Selatan 12420 Tel./Fax: (+62) - 021 7590 1884. Email: [EMAIL PROTECTED] __________________________________________________________________ P E T I S I Jakarta, 15 Agustus 2008 Kepada Yth. Perdana Menteri Kerajaan Belanda Mr. dr. Jan Peter Balkenende Den Haag Nederland Dengan hormat, Masalah kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan pelanggaran HAM memang masalah yang paling peka bagi setiap bangsa. Kami sangat menghargai kegigihan Anda dalam memperjuangkan keadilan bagi seorang wartawan Belanda, Sander Robert Thoenes, yang tewas di Becora, Dili, Timor Timur pada 21 September 1999. Dalam pertemuan dengan Presiden Yudhoyono di Jakarta pada 8 April 2006, selain menyinggung soal kelanjutan kasus Munir, Anda juga menanyakan soal penanganan kasus Sander Thoenes, wartawan Belanda yang dibunuh di Timor Timur tersebut. Sebelum itu, pada 2 September 2002 di sela-sela KTT Pembangunan Berlanjut (the World Summit on Sustainable Development, 26 August - 4 September 2002) di Johannesburg, Afrika Selatan, Anda menemui Presiden RI Megawati Soekarnoputri sehubungan dengan tewasnya Sander Thoenes, dan kepada Radio Nederland (Warta Berita Radio Nederland Wereldomroep, 3 Septemer 2002), Anda menyatakan bahwa Anda: telah menekankan kepada Presiden Megawati bahwa kasus ini sangat peka di Belanda. Selain itu baik parlemen maupun masyarakat sangat khawatir akan jalannya persidangan yang dilangsungkan di Indonesia. Belanda tidak mempercayai pengadilan di Indonesia dan menyerukan agar didirikan tribunal internasional untuk kejahatan perang tentara Indonesia di Timor Timur. Tetapi bagaimana dengan pengadilan Belanda yang tahun 1952 membebaskan Westerling yang bertanggungjawab atas pembunuhan puluhan ribu orang- dari seluruh tuduhan? Selain itu, tidak satupun pelaku pembantaian massal selama agresi militer Belanda di Indonesia yang dimajukan ke pengadilan. Kami menyetujui pembentukan tribunal internasional tersebut, namun kami mengharapkan Pemerintah Belanda tidak buta sebelah mata. Dalam hal ini, kami menuntut agar untuk kasus-kasus kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1946 1950, seperti pembantaian massal di Sulawesi Selatan, pembantaian di Rawagede, pembantaian di Kranggan (Temanggung), gerbong maut (Lijkentrein) Bondowoso, dll., juga dibentuk pengadilan Ad Hoc/tribunal internasional di Den Haag, sesuai dengan Statuta Roma yang digunakan oleh International Criminal Court di Den Haag. Pemerintah Belanda tahun 2000 menugaskan Prof. Peter Drooglever melakukan penelitian mengenai Penentuan Pendapat Rakyat PEPERA (Act of Free Choice) di Papua Barat yang telah dilaksanakan tahun 1969. Setelah melakukan penelitian selama 5 tahun, pada 15.11.2005, Drooglever meluncurkan bukunya setebal lebih dari 700 halaman dengan judul Daad van Vrije Keuze, de Papuans van Westelijk Nieuw Guinea, en de grenzen van het Zelfbeschichtings recht, dan menyatakan bahwa PEPERA adalah suatu penipuan sejarah. Rakyat Indonesia ingin mengetahui alasan Pemerintah Belanda, mengapa setelah 30 tahun masih mempermasalahkan hal ini, yang terbukti tidak membantu menyelesaikan masalah Papua Barat, melainkan sebaliknya, semakin memperkeruh situasi dalam negeri Indonesia, sehubungan dengan upaya perdamaian di Papua Barat. Kami melihat, bahwa Pemerintah Belanda tetap berpegang pada hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), yaitu penyerahan kedaulatan (soevereniteitsoverdracht) kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949, tanggal yang dipegang oleh Pemerintah Belanda sebagai de iure kemerdekaan RI. Irian (Papua) Barat tidak termasuk di dalam RIS! Oleh karena itu, pengakuan terhadap kadaulatan NKRI berdasarkan proklamasi 17.8.1945 mutlak harus dinyatakan oleh Pemerintah Belanda! Kami juga tidak sependapat dengan persamaan peristiwa yang dialami penduduk desa Putten di Belanda dengan yang dialami oleh penduduk desa Rawagede di Jawa barat.Di Putten, terjadi pembalasan tentara Jerman atas pembunuhan seorang perwira dan penculikan seorang perwira lainnya di desa Putten tanggal 30 September 1944, yang kemudian diikuti dengan razzia pada 1 dan 2 Oktober 1944, kemudian 601 penduduk desa laki-laki di deportasi ke kamp konsentrasi Jerman di Neuengamme, dan usai Perang Dunia II, hanya 48 orang yang hidup dan kembali ke desanya. Yang terjadi di desa Rawagede pada 9 Desember 1947, satu hari setelah dimulainya perundingan perdamaian Indonesia Belanda di atas kapal Renville, adalah pembantaian massal terhadap semua penduduk laki-laki di atas usia 15 tahun, methode yang digunakan oleh Westerling dalam pembantaian di Sulawesi Selatan, yaitu eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties). Hari itu, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede. Desa petani kecil itu menjadi desa yang penuh dengan janda dan anak yatim piatu. Tidak seorangpun dari para pelaku pembantaian di Sulawesi Selatan, Rawagede, pengawal gerbong maut Bondowoso, dll., dimajukan ke pengadilan militer atas kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan. Pemerintah Belanda juga tetap tidak mau meminta maaf dan bertanggungjawab atas kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militer Belanda di Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Apabila dua Negara akan menjalin hubungan diplomatik, sudah sewajarnya kedua Negara tersebut saling menghargai dan mengakui satu dengan lainnya. Apabila negara yang satu tidak mau mengakui menghargai dan kedaulatan negara lainnya, untuk apa ada hubungan diplomatik? Ada beberapa hal di mana terlihat bahwa Belanda tidak mau menerima Indonesia sebagai mitra yang sejajar, misalnya dalam masalah visa. Bagi warga Belanda yang akan berkunjung ke Indonesia, dipermudah dengan berlakunya Visa-on-arrival, namun hal ini tidak berlaku resiprokal, sebagaimana seharusnya. Sangat sulit bagi orang Indonesia untuk memperoleh visa ke Belanda. Oleh karena itu, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) tetap menuntut Pemerintah Kerajaan Belanda untuk: I. Meminta Maaf Kepada Bangsa Indonesia Atas Penjajahan, Perbudakan, Pelanggaran HAM Berat dan Kejahatan Atas Kemanusiaan, II. Memberikan kompensasi Kepada Keluarga Korban Pembantaian Yang Dilakukan Oleh Tentara Belanda Selama Agresi Militer Belanda Di Indonesia Antara Tahun 1945 1950. III. Mengakui Secara Yuridis (De Jure) Kemerdekaan Republik Indonesia Adalah 17 Agustus 1945, Atas perhatian yang diberikan kami sampaikan terima kasih. Hormat kami Batara R. Hutagalung Dian Purwanto Ketua Sekretaris Tembusan : 1. Yth. Presiden Republik Indonesia 2. Yth. Menteri Luar Negeri RI 3. Pimpinan dan anggota DPR/MPR-RI 4. Yth. Sekretaris Jenderal PBB 5. Yth. Seluruh Duta Besar di Jakarta
[Non-text portions of this message have been removed] ------------------------------------ Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/