Bagus dah...

Dan bukan hanya dengan korban kekejaman tentara Belanda di Rawagede,
tapi juga dengan korban kejahatan tentara Belanda yang lain...

Yang jelas spula: ini adalah satu contoh  yang perlu ditiru oleh
anggota Parlemen Indonesia: kapan mereka mendengar korban pembunuhan
tahun 1965-1699, korban pembunuhan di Aceh dan korban pembunuhan lain
yang dilakukan oleh serdadu Indonesia terhadap penduduk Indonesia dan
Timor-Timur.

--- In proletar@yahoogroups.com, Batara Hutagalung <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> PERISTIWA BERSEJARAH!!!
>  
> Akhirnya anggota parlemen Belanda bertemu dengan korban pembantaian
di Rawagede.
>  
> Pada hari kedatangan delegasi parlemen Belanda di Jakarta, Minggu,
12 Oktober 2008, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), Batara
R Hutagalung bersama Sekretaris KUKB, Dian Purwanto, menemui Harry van
Bommel, anggota parlemen dari fraksi Partai Sosialis, partai oposisi
terbesar di parlemen Belanda, di Hotel JW Marriott, tempat delegasi
parlemen Belanda menginap.
>  
> Tujuan kunjungan delegasi parlemen Belanda ke Indonesia setiap
tahun, selain memantau proyek-proyek yang didanai oleh Belanda, mereka
juga "memantau" dan "mengawasi" kondisi HAM di Indonesia. Fokus mereka
selalu pelanggaran HAM di Aceh, Maluku dan Papua. Dahulu sebelum
merdeka, juga Timor Timur. 
> Sebagaimana diberitakan oleh pers di Indonesia, kunjungan delegasi
parlemen Belanda kali ini juga "memantau" kondisi HAM di Indonesia.
Dalam pertemuan dengan Wapres Jusuf Kalla, ketua delegasi HJ Ormel
menyampaikan bahwa mereka "mengkhawatirkan" kasus HAM di Indonesia,
terutama di Maluku dan Papua. (lihat Kompas, 17.10.2008).
>  
> Dengan latar belakang ini, KUKB mengusulkan agar delegasi parlemen
Belanda juga mengunjungi desa Rawagede, yang letaknya hanya sekitar 80
km dari Jakarta. Sebagaimana kini telah diketahui oleh banyak orang
Belanda, pada 9 Desember 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk
desa Rawagede, tanpa proses, tuntutan, pembelaan, dsb. Hal ini bukan
hanya merupakan pelanggaran HAM berat, melainkan kejahatan perang,
karena yang dibantai adalah penduduk sipil, non-combatant, dan jelas
melanggar konvensi Jenewa. 
>  
> KUKB memberikan pilihan, apabila delegasi menyatakan bahwa acara
mereka sangat padat dan waktu mereka sempit, KUKB menawarkan untuk
mendatangkan para janda dari Rawagede ke Jakarta dan bertemu dengan
mereka di Hotel tempat mereka menginap.
>  
> Pada hari Senin, 13 Oktober, Harry van Bommel membawakan usulan KUKB
ke rapat delegasi parlemen Belanda. Ternyata mayoritas delegasi
menolak kedua usulan tersebut.
>  
> Pada hari Selasa, 14 Oktober, Harry van Bommel dan KUKB menggelar
jumpa pers bersama (joint press meeting), yang juga dihadiri oleh
koresponden harian Belanda terkemuka, NRC Handelsblad. Sebelumnya,
koresponden NRC Handelsblad, Elske Schouten, telah mewawancarai Ketua
KUKB melalui telepon, dan pada hari itu juga, diberitakan di Belanda.
(lihat berita di bawah ini). 
> Harry van Bommel menyampaikan kekecewaan dan kesedihannya, atas
keputusan mayoritas rekan-rekannya.
> Batara Hutagalung menyatakan, dengan demikian terbukti, bahwa
sebagian besar anggota parlemen Belanda buta sebelah mata. Mereka
hanya mau mengawasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh orang
Indonesia terhadap orang Indonesia sendiri, namun menolak untuk
membicarakan kejahatan perang yang telah dilakukan oleh tentara
Belanda terhadap orang Indonesia di Indonesia. NRC Handelsblad
mengutip ucapan Batara Hutagalung dalam beritanya pada hari itu juga,
14 Oktober. (lihat berita Handelsblad di bawah ini).
>  
> Hampir seluruh media di Belanda memberitakan penolakan delegasi
parlemen Belanda untuk bertemu dengan para janda dan keluarga korban
pembantaian di Rawagede.
>  
> KUKB kemudian mengusulkan kepada Harry van Bommel, apabila dia
satu-satunya yang bersedia untuk bertemu dengan keluarga korban
Rawagede dan waktunya sempit, KUKB akan menghadirkan beberapa janda
dari Rawagede, untuk bertemu dengannya di Hotel Marriott, tempat dia
menginap.
>  
> Pada 18 Oktober 2008 pukul 16.30, Harry van Bommel mengirim SMS
kepada Batara Hutagalung, bahwa selain dirinya, seorang anggota
delegasi yang lain, Joël S. Voordewind dari Partai Uni Kristen juga
bersedia menerima kunjungan para janda dari Rawagede pada hari Minggu
jam 14.00 di Hotel Marriott.
> .
> Dalam waktu singkat, KUKB mengorganisir pertemuan di Lounge Hotel
Marriott.pada hari Minggu, 19 Oktober yang dimulai tepat pukul 14.00
sesuai rencana.
> Dari Rawagede hadir Sa'ih, 86 tahun, orang terakhir yang selamat
dari pembantaian di Rawagede. Dia kena tembak dua kali, tetapi dia
hanya terluka, namun ayahnya yang berdiri di sampingnya, mati
ditembak. Selain itu hadir dua orang janda korban yaitu Wanti, 84
tahun, Wisah, 81 tahun dan hadir juga Sukarman, Ketua Yayasan Rawagede.
>  
> Dari delegasi parlemen Belanda, di luar dugaan, selain Harry van
Bommel dan Joël Voordewind, juga hadir Harm Evert Waalkens dari Partai
Buruh (PvdA). Yang istimewa dalam hal ini adalah, Partai Uni Kristen
dan Partai Buruh, merupakan partai koalisi di pemerintahan Belanda.
Oleh karena itu, van Bommel menyatakan bahwa pertemuan ini mempunyai
bobot yang besar.
>  
> Dari KUKB hadir Batara Hutagalung, Ketua KUKB dan Purwanto,
Sekretaris KUKB.
>  
> Pers yang meliput adalah TVRI, tvOne, RRI, Detikcom dan koresponden
dari harian Belanda NRC Handelsblad. Jawa Pos dan Rakyat Merdeka
meminta keterangan melalui telepon dan email.
>  
> Joël Voordewind dan Harm Waalkens hadir selama sekitar 1 jam, sampai
pukul 15.00. Pertemuan dengan Harry van Bommel dilanjutkan hingga
pukul 16.00. Secara keseluruhan pertemuan selama 2 jam berlangsung
dalam suasana yang sangat ramah. Ketiga anggota parlemen Belanda
menyampaikan rasa simpati yang sedalam-dalamnya kepada para janda dan
Sa'ih atas penderitaan yang dialami oleh keluarga korban pembantaian
di Rawagede.. 
>  
> Voordewind dan Waalkens mengatakan, tidak akan mengeluarkan
pernyataan apapun, karena sebagai anggota partai pemerintah, mereka
menunggu pernyataan resmi dari pemerintah Belanda.
>  
> Inti pembicaraan dalam pertemuan tersebut adalah rencana petemuan
perdamaian/ rekonsiliasi antara para veteran Belanda yang pada waktu
itu terlibat dalam pembantaian di Rawagede dengan para janda dan
keluarga korban pembantaian. Mereka menyatakan, bahwa mereka tidak
menaruh dendam lagi terhadap para pembunuh suami/ayah mereka, dan
bersedia memberikan maaf. Namun masalahnya dalam hal ini, kepada siapa
maaf akan diberikan apabila tidak ada yang meminta maaf. Namun mereka
akan bergembira, apabila mereka menerima kompensasi dari pemerintah
Belanda atas derita yang mereka alami selama puluhan tahun. Selama
lebih dari 60 tahun, pemerintah Belanda tidak pernah memberi perhatian
terhadap para korban agresi militer Belanda.
> Kepentingan mereka kini banyak ditangani oleh Yayasan Rawagede.
>  
> Masalah kompensasi ini tidak dibicarakan lebih jauh, karena hal ini
telah ditangani oleh pengacara Gerrit Pulles di Belanda.
>  
> Mereka juga menyutujui gagasan KUKB, untuk mengundang veteran
Belanda tersebut untuk hadir pada acara peringatan peristiwa
pembantaian yang akan diselenggarakan di Rawagede pada 9 Desember
2008. Sa'ih mengatakan, mohon disampaikan kepada para veteran Belanda,
bahwa mereka tidak usah takut datang ke Rawagede.
>  
> Batara Hutagalung mengatakan, Menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot pada
16 Agustus 2005 di Jakarta,  mengakui bahwa: "…. In retrospect, it is
clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put
the Netherlands on the wrong side of history…" Dengan demikian Ben Bot
mengakui bahwa pada waktu itu politik Belanda salah. Hal ini berarti
bahwa bukan hanya orang Indonesia saja yang menjadi korban, melainkan
tentara Belanda dan para pembangkang wajib militer Belanda (indonesië
weigeraars) juga merupakan korban dari politik yang salah.
>  
> Harry van Bommel mengatakan, beberapa veteran Belanda pernah
menyatakan, bahwa mereka memikul beban berat di pundak mereka selama
puluhan tahun. Pasti mereka akan bergembira apabila mengetahui, bahwa
para janda dan keluarga korban pembantaian bersedia memaafkan mereka.
Van Bommel mendukung penuh rencana mengundang para veteran Belanda ke
Rawagede dan akan berusaha sekuatnya agar hal ini dapat terwujud.
> Harry van Bommel menyatakan, bahwa pertemuan tersebut sukses besar
dan merupakan langkah penting dalam hubungan Indonesia-Belanda.
>  
> Langkah pertama telah dimulai oleh Ben Bot, Menlu Belanda tahun
2005, ketika menghadiri peringatan Hari kemerdekaan RI di Jakarta pada
17 Agustus 2005. Pada waktu itu Ben Bot mengatakan, bahwa kini
pemeritah Belanda menerima proklamasi kemerdekaan RI 17.8.1945 secara
politis dan moral, jadi hanya de facto, dan tidak secara yuridis (de
iure), karena pengakuan de iure telah diberikan pada 27 Desember 1949,
yaitu ketika penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat
(RIS).
>  
> Van Bommel dan rekan-rekannya kembali ke Belanda pada hari Minggu malam.
>  
> Tak lama setelah Harry van Bommel pergi, Duta Besar Belanda untuk
Indonesia, Dr. Nikolaos van Dam datang dan berbincang-bincang sebentar
dengan Ketua KUKB Batara Hutagalung. Dubes van dam mengatakan, telah
mengetahui rencana pertemuan ini dari detikcom, yang telah
memberitakan di internet pukul 12.34. 
>  
> Batara Hutagalung mengusulkan kepada Dubes van Dam untuk melanjutkan
Forum Dialog yang telah dilakukan oleh Komite Nasional Pembela
Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) bersama Kedutaan Belanda pada bulan
September 2002, dalam menyelenggarakan seminar internasional mengenai
VOC. Para aktifis  KNPMBI mendirikan KUKB pada 5 Mei 2005.
>  
> Jakarta, 20 Oktober 2008
>   
>   
> Batara R Hutagalung 
> Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) 
>  
> Bagi yang berminat untuk mengetahui lebih jauh mengenai peristiwa
Rawagede dan masalah hubungan Indonesia Belanda, silakan kunjungi
weblogs: http://indonesiadutch.blogspot.com, dan
http://batarahutagalung.blogspot.com
>  
> Petisi-online kepada pemerintah Belanda:
> http://www.petitiononline.com/brh41244/petition.html
>  
> ============================================
>  
>
http://www.nrc.nl/international/Features/article2023396.ece/Massacre_survivors_snubbed_by_Dutch_delegation
>  
> Massacre survivors snubbed by Dutch delegation 
> Published: 14 October 2008 15:43 | Changed: 14 October 2008 15:46
> By Elske Schouten in Jakarta
> Dutch members of parliament on an official visit to Indonesia have
refused to meet survivors of a massacre by Dutch soldiers in 1947. The
leader of the delegation says it would be "inappropriate". 
> The Indonesian village of Rawagede was the scene of a massacre
perpetrated by Dutch soldiers in 1947, shortly after the colony
declared its independence and troops were sent in to restore order. 
> The village claims 431 men were shot, while a Dutch government
investigation into war crimes in Indonesia puts the figure at 150. 
> Voted down 
> One man who survived the massacre and nine widows of victims still
live in the village, which has been renamed Balongsari. Last week, a
letter was sent on their behalf to the Dutch government asking for a
formal apology and compensation. Their request is still being looked at. 
> Socialist Party member of parliament Harry van Bommel says he
suggested a meeting with survivors twice but that the proposal was
voted down by the rest of the delegation. 
> The delegation, made up of seven members of the parliamentary
foreign affairs committee, is in Indonesia to discuss a range of
issues until October 19. 
> Delegation chairman Henk Jan Ormel, member of parliament for the
Christian Democrats, says he feels a meeting with the survivors, or
their representatives, would be `inappropriate" while legal procedures
are still ongoing. 
> False expectations 
> "A visit from an official Dutch delegation could create false
expectations", Ormel said, adding that he did not want Rawagede to
become the focus of the visit to Indonesia. "A lot more has happened
in this country," he said. 
> Van Bommel, who feels the Netherlands should apologise and pay
compensation, had wanted a "reconciliatory meeting". "It would have
been the first Dutch high-level visit," he says. "For the survivors of
Rawagede, this is far from over." 
> The members of the delegation did not want to meet Batara
Hutagalung, founder of the committee which filed the claim for
compensation, either. Hutagalung says he finds it "odd" for
parliamentarians to come to Indonesia to talk about human rights and
not pay any attention to Rawagede. 
> "It is almost as if they are blind in one eye: they only see the
atrocities perpetrated by others," he said. 
>  
> polling
> http://www.nrc.nl/
>  
>  
>  
>  
> 
> __________________________________________________
> Do You Yahoo!?
> Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
> http://mail.yahoo.com 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>



------------------------------------

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Reply via email to