Terlebih dahulu kepada sahabatku Bambang Sulistomo, putra Bung Tomo, saya 
menyampaikan Selamat Atas Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional Kepada Bung 
Tomo. Walaupun penganugerahan ini terlambat puluhan tahun, karena Bung Tomo 
tidak selalu sejalan dengan penguasa di masa lalu. Nama Bung Tomo tidak dapat 
dipisahkan dengan perjuangan rakyat Indonesia di Surabaya pada bulan Oktober 
dan November 1945.
 
Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan, untuk 
mengenang perjuangan rakyat Surabaya melawan tentara Inggris, untuk 
mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Namun berapa banyak orang Indonesia yang mengetahui, mengapa Inggris pada waktu 
itu mengerahkan kekuatan militer terbesarnya –angkatan darat, laut dan udara- 
setelah Perang Dunia usai, untuk menghancurkan kota Surabaya? Mengapa Inggris 
mengirim Divisi V, yang memenangkan pertempuran melawan tentara Jerman di bawah 
komando Marsekal Erwin Romel, perwira Jerman yang legendaris, dalam pertempuran 
di El Alamein, Afrika?
Apa dan di mana akar permasalahannya sehingga pemenang Perang Dunia II itu 
secara membabibuta melakukan pengeboman terhadap satu kota yang mengakibatkan 
tewasnya sekitar 20.000 penduduk, yang sebagian besar adalah penduduk sipil 
–non combatant- termasuk wanita dan anak-anak?
Berapa banyak orang Indonesia yang mengetahui mengenai pertempuran heroik di 
Surabaya pada 28/29 Oktober 1945, di mana tentara Inggris, yang baru saja 
memenangkan Pernag Dunia II di Eropa melawan Jerman dan Asia Tenggara melawan 
Jepang, oleh rakyat Indonesia dipaksa mengibarkan BENDERA PUTIH?
Dalam pertempuran dahsyat tersebut, boleh dikatakan seluruh sukubangsa 
Indonesia diwakili oleh para pemudanya di Surabaya mempertahankan kemerdekaan 
yang baru diproklamaasikan dua bulan sebelumnya.
Apabila pada 28 Oktober 1928 para pemuda di jajahan Belanda mencetuskan 
kehendak untuk memiliki Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, maka TEPAT 17 
TAHUN KEMUDIAN, yaitu pada 28 Oktober 1945, keinginan tesebut memperoleh wujud 
nyata. Para pemuda bersatu padu dengan satu tekad, mengorbankan jiwa untuk 
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
 
Pada 9 November 1945 pukul 14.00, disebarkan pamphlet di atas kota Surabaya 
yang berisi ultimatum Panglima Divisi V tentara Inggris, Mayor Jenderal RC 
Mansergh, di mana diberikan dua alasan, yaitu:
Pertama, orang Indonesia di Surabaya pada 28 Oktober 1945 secara licik dan 
tanpa sebab telah menyerang tentara Inggris, yang datang untuk melucuti tentara 
Jepang, membantu tawanan perang dan interniran sekutu dan memulihkan hukum dan 
ketertiban.
Kedua, dalam penyerangan tersebut yang mengakibatkan prajurit Inggris terbunuh, 
luka-luka atau hilang, wanita dan anak-anak dibantai dan akhirnya dengan keji 
membunuh Bigadir Jenderal Mallaby, yang berusaha melaksanakan gencatan senjata 
yang telah dilanggar oleh orang Indonesia.
 
Oleh karena itu Mansergh mengancam, apabila rakyat Surabaya tidak mematuhi 
perintahnya secara penuh sampai paling lambat pada 10 November pukul 06.00, 
maka dia akan mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya dan orang-orang 
Indonesia yang tidak mematuhi perintahnya, akan bertanggungjawab atas 
pertumpahan darah yang akan timbul.
 
Perintahnya antara lain:
 “Seluruh pemimpin bangsa Indonesia termasuk pemimpin-pemimpin  Gerakan Pemuda, 
Kepala Polisi dan Kepala Radio Surabaya harus melapor ke Bataviaweg pada 9 
November jam 18.00. Mereka harus datang berbaris satupersatu membawa senjata 
yang mereka miliki. Senjata-senjata tersebut harus diletakkan  di tempat 
berjarak 100 yard dari tempat pertemuan, setelah itu orang-orang Indonesia itu 
harus mendekat dengan kedua tangan mereka di atas kepala mereka dan akan 
ditahan, dan harus siap untuk menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat.” 
 
Mansergh telah menyusun perintahnya yang sangat merendahkan dan menghina 
pimpinan  Indonesia, sehingga tidak akan mungkin dipenuhi oleh pihak Indonesia, 
terutama kalimat: “harus mendekat dengan kedua tangan mereka di atas kepala 
mereka dan akan ditahan, dan harus siap untuk menandatangani dokumen menyerah 
tanpa syarat.” 
Dengan formulasi yang sangat keras dan kasar ini, Mansergh pasti 
memperhitungkan, bahwa pimpinan sipil dan militer di Surabaya tidak akan 
menerima hal ini, sebab apabila pimpinan bangsa Indonesia menandatangani 
pernyataan MENYERAH TANPA SYARAT, berarti melepaskan kemerdekaan dan kedaulatan 
yang baru saja diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. 
Ternyata kedua alasan yang dikemukakan oleh Meyjen Mansergh tidak benar, dan 
bahkan sebaliknya, yaitu pihak tentara Inggris yang telah melanggar gencatan 
senjata sehingga terjadi tembak-menembak yang mengakibatkan tewasnya komandan 
Brigade 49, Brigadir Jenderal AWS Mallaby.
Apabila kedua alas an tersebut tidak benar, maka apa alas an Inggris yang 
sebenarnya?
Berikut ini saya sampaikan cuplikan dari buku Batara R. Hutagalung “10 November 
’45. Mengapa Inggris Membom Surabaya? Millenium Publisher, Jakarta Oktober 
2001, xvi + 472 halaman.
 
Semoga tulisan ini dapat memberikan informasi mengenai peristiwa yang setiap 
tahun, pada 10 November, diperingati oleh bangsa Indonesia.
 
Jakarta, 8 November 2008.
 
Batara R Hutagalung
 
============================================================
 
10 NOVEMBER 1945. MENGAPA INGGRIS MEMBOM SURABAYA?
Bagian satu
 
Pertempuran 28 – 30 Oktober 1945
Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby mendarat di surabaya 
tanggal 25 Oktober 1945. Pada tanggal 27 Oktober 1945 sekitar pukul 11.00, satu 
pesawat terbang Dakota yang datang dari Jakarta, menyebarkan pamflet di atas 
kota Surabaya. Isi pamflet -atas instruksi langsung dari Mayor Jenderal 
Hawthorn, panglima Divisi 23- yang disebarkan di seluruh Jawa,  memerintahkan 
kepada seluruh penduduk untuk dalam waktu 2 x 24 jam menyerahkan semua senjata 
yang mereka miliki kepada Perwakilan sekutu di Surabaya, yang praktis ketika 
itu hanya diwakili tentara Inggris. Dalam seruan tersebut tercantum a.l.: 
“Supaya semua penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali semua 
senjata dan peralatan Jepang kepada tentara Inggris….Barangsiapa yang memiliki 
senjata dan menolak untuk menyerahkannya kepada tentara Sekutu, akan ditembak 
di tempat (persons beeing arms and refusing to deliver them to the Allied 
Forces are liable to be shot).”  
 
Dikabarkan, bahwa Mallaby sendiri terkejut dengan isi pamflet, karena jelas 
bertentangan dengan kesepakatan antara pihak Inggris dan Indonesia tanggal 26 
Oktober, sehari sebelum pamflet tersebut disebarkan. Namun pimpinan brigade 
Inggris mengatakan, mereka terpaksa melakukan perintah atasan. Mereka mulai 
menahan semua kendaraan dan menyita senjata dari pihak Indonesia. Maka 
berkobarlah api kemarahan di pihak Indonesia, karena mereka menganggap pihak 
Inggris telah melanggar kesepakatan yang ditandatangani tanggal 26 Oktober. Di 
samping itu langkah-langkah Inggris yang akan mendudukkan Belanda kembali 
sebagai penguasa di Indonesia kian nyata. Gubernur Suryo segera mengirim kawat 
yang disusul dengan laporan panjang lebar ke Pemerintah Pusat di Jakarta. 
Jawaban baru diterima sekitar pukul 15.00 dan berbunyi:
“Diminta kebijaksanaan Pemerintah Jawa Timur setempat agar pihak ketentaraan 
dan para pemuda-pemudanya tidak melakukan perlawanan terhadap tentara Sekutu…”
 
Gubernur Suryo tidak berhasil menemui Mayor Jenderal drg. Mustopo, lalu 
menyerahkan kawat tersebut kepada Residen Sudirman. Tepat pukul 17.00, Residen 
Sudirman tiba di markas Divisi TKR Surabaya di Jalan Embong Sawo dan 
menyerahkan kawat tersebut kepada komandan Divisi, Mayor Jenderal Yonosewoyo.
Tak lama kemudian, datang Kolonel Pugh, yang menyampaikan pendirian Brigadier 
Mallaby mengenai seruan pamflet terrsebut, bahwa Mallaby akan melaksanakan 
tugas, sesuai perintah dari Jakarta. Pugh kembali ke markasnya, tanpa mendapat 
jawaban dari pimpinan Divisi TKR.
Setelah kepergian Kolonel Pugh, dilakukan perundinngan sekitar setengah jam 
antara Residen Sudirman dan Panglima Divisi Yonosewoyo, dengan keputusan: 
“Komando Divisi Surabaya akan segera memberikan jawaban terhadap ultimatum 
tersebut secara militer.” 
Dalam pertemuan kilat pimpinan Divisi TKR Surabaya, dibahas berbagai 
pertimbangan dan diperhitungkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Apabila 
mereka menyerahkan senjata kepada Sekutu, berarti pihak Indonesia akan lumpuh, 
karena tidak mempunyai kekuatan lagi. Apabila tidak menyerahkan senjata, 
ancamannya akan ditembak di tempat oleh pasukan Inggris/ Sekutu. 
Kubu Indonesia memperhitungkan, pihak Inggris tidak mengetahui kekuatan pasukan 
serta persenjataan lawannya. Sedangkan telah diketahui dengan jelas, bahwa 
kekuatan Inggris hanyalah satu brigade, atau sekitar 5.000 orang. Artinya, 
kekuatan musuh jauh di bawah kekuatan Indonesia di Surabaya dan sekitarnya, 
yang memiliki pasukan bersenjata kurang lebih 30.000 orang. Jenis senjata yang 
dimiliki mulai dari senjata ringan hingga berat, termasuk meriam dan tank 
peninggalan Jepang yang, sebagian terbesar masih utuh. Selain kekuatan pasukan 
terbatas, pasukan Inggris yang baru dua hari mendarat, dipastikan tak mengerti 
liku-liku kota Surabaya. 
Sesuai dengan strategi Carl von Clausewitz, pakar teori militer Prusia, bahwa: 
”Angriff ist die beste Verteidigung” (Menyerang adalah pertahanan yang 
terbaik), maka dengan suara bulat diputuskan: “Menyerang Inggris!”. 
Perintah diberikan langsung oleh Komandan Divisi Surabaya, Mayor Jenderal 
Yonosewoyo. Subuh baru merekah. Serangan besar-besaran pun mulai dilancarkan 
pada hari Minggu, 28 Oktober pukul 4.30 dengan satu tekad, tentara Inggris yang 
membantu Belanda, harus dihalau dari Surabaya, dan penjajah harus dipaksa 
angkat kaki dari bumi Indonesia. Praktis seluruh kekuatan bersenjata Indonesia 
yang berada di Surabaya bersatu. Juga pasukan-pasukan dan sukarelawan Palang 
Merah/kesehatan dari kota-kota lain di Jawa Timur a.l. dari Sidoarjo, Gresik, 
Jombang dan Malang berdatangan ke Surabaya untuk membantu. 
Hal ini benar-benar di luar perhitungan Inggris, terutama mereka tidak 
mengetahui kekuatan dan persenjataan pihak Indonesia. Selama ini, informasi 
yang mereka peroleh mengenai Indonesia, hanya dari pihak Belanda, sedangkan 
Belanda sendiri diperkirakan tidak mengetahui perkembangan yang terjadi di 
Surabaya –di Indonesia pada umumnya- sejak Belanda menyerah kepada Jepang 
tanggal 8 Maret 1942. Sebagian terbesar dari mereka diinternir oleh Jepang, dan 
baru dibebaskan pada akhir Agustus 1945. Nampaknya, informasi yang diberikan 
oleh Belanda kepada Inggris sangat minim, atau salah.
Di samping BKR/TKR yang menjadi cikalbakal TNI, juga tercatat sekitar 60 
pasukan dan laskar yang didirikan oleh para pemuda atau karyawan berbagai 
profesi, Pasukan Pelajar (TRIP), Pasukan BKR Tanjung Perak, Pasukan Kimia TKR, 
Pasukan Genie Tempur (Genie Don Bosco), Pasukan BKR Kereta Api, Pasukan BKR 
Pekerjaan Umum, Pasukan Sriwijaya,  Pasukan Buruh Laut, Pasukan Sawunggaling, 
TKR Laut, Barisan Hizbullah, Lasykar Minyak, TKR Mojokerto, TKR Gresik, Pasukan 
Jarot Subiantoro, Pasukan Magenda Bondowoso, Pasukan Sadeli Bandung. Selain 
itu  ada pula pasukan-pasukan pembantu seperti Corps Palang Merah, Corps 
Kesehatan, Corps PTT, Corps Pegadaian, bahkan ada juga Pasukan Narapidana 
Kalisosok, dll. Puluhan kelompok pemuda yang berasal dari suku tertentu 
membentuk pasukan sendiri, seperti misalnya Pasukan Pemuda Sulawesi 
(KRIS-Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), Pasukan Pemuda Kalimantan, Pemuda 
Ponorogo, dan juga ada Pasukan Sriwijaya, yang sebagian terbesar
 terdiri dari pemuda mantan Gyugun (sebutan Heiho di Sumatera) dari Batak dan 
ada juga yang dari Aceh. Pasukan Sriwijaya ini telah mempunyai pengalaman 
bertempur melawan tentara Sekutu di Morotai, Halmahera Utara.
Bukan saja BKR/TKR yang menjadi cikalbakal Angkatan Darat, melainkan dibentuk 
juga pasukan Laut dan Udara. Tercatat a.l. Pasukan BKR Laut/TKR Laut Tanjung 
Perak, Pasukan Angkatan Muda Penataran Angkatan Laut, Pasukan BKR/TKR Udara di 
Morokrembangan. 
Selain pasukan-pasukan yang bersenjata, diperkirakan lebih dari 100.000 pemuda 
dari Surabaya dan sekitarnya, hanya dengan bersenjatakan bambu runcing dan 
clurit ikut dalam pertempuran selama tiga hari. Kebanyakan dari mereka yang 
belum memiliki senjata, bertekad untuk merebut senjata dari tangan tentara 
Inggris. 
Selain para wanita yang rela berkorban sebagai anggota Palang Merah, juga tak 
dapat diabaikan peran serta ibu-ibu juru masak dan yang membantu di dapur umum 
yang didirikan untuk kepentingan para pejuang Republik Indonesia. Para pejuang 
dan sukarelawan itu bukan hanya penduduk Surabaya, melainkan berdatangan dari 
kota-kota lain di sekitar Surabaya, seperti Gresik, Jombang, Sidoarjo, 
Pasuruan, Bondowoso, Ponorogo bahkan dari Mojokerto, Malang, pulau Madura, dan 
Bandung.
Inggris Mengibarkan Bendera Putih
Serbuan ke pos-pos pertahanan Inggris di tengah kota dilengkapi dengan blokade 
total: Aliran listrik dan air di wilayah pos pertahanan Inggris dimatikan. 
Truk-truk yang mengangkut logistik untuk pasukan Inggris, terutama yang akan 
mengantarkan makanan dan minuman bisa dicegah. Kekacauan demi kekacauan 
menyebabkan suplai yang dijatuhkan  pesawat Inggris dari udara, ikut pula 
terganggu. Tidak sedikit yang meleset dari sasaran, bahkan boleh dikatakan 
hampir semua jatuh ke tangan pasukan Indonesia. 
Dalam penyerbuan itu, korban di pihak Indonesia tidak sedikit, sebab berbagai 
pasukan –khususnya laskar pemuda- tanpa pendidikan militer dan pengalaman 
tempur, hanya bermodalkan semangat dan banyak yang hanya bersenjatakan clurit 
atau bambu runcing, begitu bersemangat maju menggempur musuh yang notabene 
tentara profesional. 
Dengan bermodalkan keberanian serta semangat ingin mempertahankan kemerdekaan 
dan tak mau dijajah lagi, para pejuang Indonesia akhirnya mampu 
memporak-porandakan kubu Inggris. Setelah dua hari tidak menerima kiriman 
makanan dan minuman, serta korban yang jatuh di pihak mereka sangat besar, 
pasukan Inggris akhirnya mengibarkan bendera putih, meminta berunding. 
Mallaby menyadari, bila pertempuran dilanjutkan, tentara Inggris akan disapu 
bersih, seperti tertulis dalam kesaksian Capt. R.C. Smith: 
“…….. on further consideration, he (Mallaby, red.) decided  that the company 
had been in so bad a position before, that any further fighting would lead to 
their being wiped out.
 
Walaupun ia sadari tidak ada pilihan lain, tetapi ketika persyaratan yang 
diajukan Indonesia  antara lain Inggris harus angkat kaki dari Surabaya dan 
meninggalkan persenjataan yang ada di pos-pos pertahanan yang telah dikepung, 
Mallaby menilai tampaknya terlalu berat  baginya sebagai pimpinan tentara yang 
baru memenangkan Perang Dunia II untuk melakukan hal itu. 
 
Presiden Sukarno Diminta Melerai “Insiden Surabaya”
Ternyata pada hari pertama penyerbuan rakyat Indonesia terhadap pos-pos 
pertahanan tentara Inggris di Surabaya, pimpinan tentara Inggris menyadari, 
bahwa mereka tidak akan kuat menghadapi gempuran rakyat Indonesia di Surabaya. 
Mallaby (lihat kesaksian Kapten R.C. Smith) memperhitungkan, bahwa Brigade 49 
ini akan “wiped out” (disapu bersih), sehingga pada malam hari tanggal 28 
Oktober 1945, mereka segera menghubungi pimpinan tertinggi tentara Inggris di 
Jakarta untuk meminta bantuan. Menurut penilaian pimpinan tertinggi tentara 
Inggris, hanya Presiden Sukarno yang sanggup mengatasi situasi seperti ini di 
Surabaya. Kolonel. A.J.F. Doulton menulis:
”The heroic resistance of the british troops could only end in the 
extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the passion of 
the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the 
influence of Sukarno.” (Perlawanan heroik tentara Inggris hanya akan berakhir 
dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada yang dapat mengendalikan nafsu rakyat 
banyak itu. Tidak ada tokoh seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu 
pada pengaruh Sukarno).
 
Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Timur, Letnan Jenderal Sir Philip 
Christison meminta Presiden Sukarno untuk melerai “incident” di Surabaya. 
Pimpinan tentara Inggris menilai, situasi di Surabaya sangat mengkhawatirkan 
bagi mereka, sehingga Presiden Sukarno yang sedang tidur, didesak agar segera 
dibangunkan. Dalam Autobiografi yang ditulis oleh Cindy Adams, Sukarno 
menuturkan:
“Tukimin yang setia berbisik-bisik. Itu ada seorang yang menamakan dirinya 
Pembantu Khusus (ADC - aide-de-camp = perwira pembantu –pen.) dari komandan 
Tentara Inggris. Ia menyatakan, bahwa ada persoalan yang amat penting. 
Kepadanya telah saya jawab, bahwa Bapak sedang tidur, tetapi ia mendesak agar 
supaya saya membangunkan Bapak.
Akhirnya setelah saya bangun, selama 30 menit terpaksa berbicara melalui 
telepon. Tetapi tidak sepatah kata pun apa yang sedang menggelisahkan perasaan 
saya dari pembicaraan telepon itu saya ungkapkan kepada intern keluarga saya, 
baik Fatmawati maupun kepada Tukimin. Saya hanya menyatakan bahwa besok pagi 
saya akan ke Surabaya dengan kapal terbang militer kepunyaan Inggris. Dan 
kemudian saya kembali ke kamar tidur, dan pelan-pelan menutup pintu.
Saya dengan Hatta, yang baru saja dipilih menjadi Wakil Presiden, selama lebih 
kurang 2 jam berbicara dengan pihak Sekutu Inggris, tetapi pihak Inggris 
mengharapkan saya, sebab saya dibutuhkan. Dan saya tahu, bahwa tidak akan ada 
sesuatu pun yang akan dapat menghentikan persoalan ini.
Di Surabaya, ternyata Inggris telah menempatkan markasnya di gedung-gedung di 
tengah kota Surabaya sebagai pusatnya….”
 
Pada 29 Oktober 1949 di Kompleks Darmo, Kapten Flower yang telah mengibarkan 
bendera putih, masih ditembaki oleh pihak Indonesia; untung dia selamat, tidak 
terkena tembakan. Kapten Flower, yang ternyata berkebangsaan Australia, 
kemudian diterima oleh Kolonel dr. Wiliater Hutagalung. Hutagalung mem-fait 
accompli, dengan menyatakan:
“We accept your unconditional surrender!”, 
dan mengatakan, bahwa pihak Indonesia akan membawa tentara Inggris -setelah 
dilucuti- kembali ke kapal mereka di pelabuhan.
Pimpinan Republik Indonesia di Jakarta pada waktu itu tidak menghendaki adanya 
konfrontasi bersenjata melawan Inggris, apalagi melawan Sekutu. Pada 29 Oktober 
sore hari, Presiden Sukarno beserta Wakil Presiden M. Hatta dan Menteri 
Penerangan Amir Syarifuddin Harahap, tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat 
militer yang disediakan oleh Inggris. Segera hari itu juga Presiden Sukarno 
bertemu dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang 
dituangkan dalam “Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident; a 
provisional agreement between President Soekarno of the Republic Indonesia and 
Brigadier Mallaby, concluded on the 29th October 1945.”  Isinya a.l.:
·         Perjanjian diadakan antara  Panglima Tentara Pendudukan Surabaya 
dengan PYM Ir. Sukarno, Presiden Republik Indonesia untuk mempertahankan 
ketenteraman kota Surabaya.
·         Untuk menenteramkan, diadakan perdamaian: ialah tembakan-tembakan 
dari kedua pihak harus diberhentikan.
·         Syarat-syarat termasuk dalam surat selebaran yang disebarkan oleh 
sebuah pesawat terbang tempo hari (yang dimaksud adalah pada tanggal 27 Oktober 
1945) akan diperundingkan antara PYM Ir Sukarno dengan Panglima Tertinggi 
Tentara pendudukan seluruh Jawa pada tanggal 30 Oktober besok.
 
Mayjen Hawthorn tiba tanggal 30 Oktober pagi hari. Perundingan yang juga 
dilakukan di gubernuran segera dimulai, antara Presiden Sukarno dengan 
Hawthorn, yang juga adalah Panglima Divisi 23 Inggris. Dari pihak Indonesia, 
tuntutan utama adalah pencabutan butir dalam ultimatum/pamflet tanggal 27 
Oktober, yaitu penyerahan senjata kepada tentara Sekutu; sedangkan tentara 
Sekutu menolak memberikan senjata mereka kepada pihak Indonesia. Perundingan 
alot, yang dimulai sejak pagi hari dan baru berakhir sekitar pukul13.00, 
menghasilkan kesepakatan, yang kemudian dikenal sebagai kesepakatan Sukarno – 
Hawthorn. Isi kesepakatan antara lain:
·         The Proclamation previously scatttered by aircraft shall be annulled; 
that is to say, the disarmament of the TKR and the Pemudas shall  not be  
carried out. 
·         The Allied forces shall not guard the city. 

The TKR shall be recognized; its continued use of arms shall be allowed. 
Yang terpenting bagi pihak Indonesia dalam kesepakatan ini adalah pencabutan 
perintah melalui pamflet tertanggal 27 Oktober dan pengakuan terhadap TKR yang 
bersenjata. 
 
Brigadir Jenderal Mallaby Tewas
Setelah disepakati truce (gencatan senjata) tanggal 30 Oktober, pimpinan sipil 
dan militer pihak Indonesia, serta pimpinan militer Inggris bersama-sama 
keliling kota dengan iring-iringan mobil, untuk menyebarluaskan kesepakatan 
tersebut. Dari 8 pos pertahanan Inggris, 6 di antaranya tidak ada masalah, 
hanya di dua tempat, yakni di Gedung Lindeteves dan Gedung Internatio yang 
masih ada permasalahan/tembak-menembak.
Setelah berhasil mengatasi kesulitan di Gedung Lindeteves, rombongan 
Indonesia-Inggris segera menuju Gedung Internatio, pos pertahanan Inggris 
terakhir yang bermasalah. Ketika rombongan tiba di lokasi tersebut, nampak 
bahwa gedung tersebut dikepung oleh ratusan pemuda. Setelah meliwati Jembatan 
Merah, tujuh kendaraan memasuki area dan berhenti di depan gedung. Para 
pemimpin Indonesia segera ke luar kendaraan dan meneriakkan kepada massa, 
supaya menghentikan tembak-menembak. 
Kapten Shaw, Mohammad Mangundiprojo dan T.D. Kundan ditugaskan masuk ke gedung 
untuk menyampaikan kepada tentara Inggris yang bertahan di dalam gedung, hasil 
perundingan antara Inggris dengan Indonesia. Mallaby ada di dalam mobil yang 
diparkir di depan Gedung Internatio. Beberapa saat setelah rombongan masuk, 
terlihat T.D. Kundan bergegas keluar dari gedung, dan tak lama kemudian, 
terdengar bunyi tembakan dari arah gedung. Tembakan ini langsung dibalas oleh 
pihak Indonesia. Tembak-menembak berlangsung sekitar dua jam. Setelah 
tembak-menembak dapat dihentikan, terlihat mobil Mallaby hancur dan Mallaby 
sendiri ditemukan telah tewas.
            Ada dua kejadian pada tanggal 30 Oktober 1945, yang pada waktu itu 
dilemparkan oleh Inggris ke pihak Indonesia, sebagai yang bertanggung jawab, 
dan kemudian dijadikan alasan Mansergh untuk “menghukum para ekstremis” dengan 
mengeluarkan ultimatum tanggal 9 November 1945:
1.       Orang-orang Indonesia memulai penembakan, dan dengan demikian telah 
melanggar gencatan senjata (truce), 
2.       Orang-orang Indonesia membunuh Brigadier  Mallaby.
Tewasnya Mallaby memang sangat kontroversial, tetapi mengenai siapa yang 
memulai menembak, di kemudian hari cukup jelas. Kesaksian tersebut justru 
datangnya dari pihak Inggris. Ini berdasarkan keterangan beberapa perwira 
Inggris yang diberikan kepada beberapa pihak. Yang paling menarik adalah yang 
disampaikan kepada Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai 
Buruh (Labour). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen (House of 
Commons) Tom Driberg, menyampaikan:
“….. some of the press reports from Indonesia have been entirely responsible. 
In particular, I have learned from officers who have recently returned that 
some of the stories which have been told, not only in the newspaper, but, I am 
sorry to say, from the Government Front Bench in his House, have been very far 
from accurate and have innecessarily imparted prejudice and concerns the 
lamented death of Brigadier Mallaby. That was announced to us as a foul murder, 
and we accepted it as such. I have learned from officers who were present when 
it happened the exact details and it is perfectly clear that Brigadier Mallaby 
was not murdered but was honourably killed in action……. The incident was 
somewhat confused –as such incidents are- but it took place in and near Union 
Square in Surabaya. There had been discussions about a truce earlier in the 
day. A large crowd of Indonesians –a mob if you like- had gathered in the 
square and were in a rather
 excited state.
 About 20 Indians, in a building on the other side of the square, had been cut 
off from telephonic communication and did not know about the truce. They were 
firing sporadically on the mob. Brigadier Mallaby came out from the 
discussions, walked straight into the crowd, with great courage, and shouted to 
the Indians to cease fire. They obeyed him. Possibly half an hour later, the 
mob in the square became turbulent again. Brigadier Mallaby, at a certain point 
in the proceedings, ordered the Indians to open fire again. They opened fire 
with two Bren Guns and the mob dispersed and went to cover; then fighting broke 
out again in good earnest. It is apparent that when Brigadier Mallaby gave the 
order to open fire again, the truce was in fact broken, at any rate locally. 
Twenty minutes  to half an hour after that, he was unfortunately killed in his 
car –although it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians 
who were approaching his car;
 which exploded simultaneously with the attack on him.
I do not think this amounts to charge of foul murder …..because my information 
came absolutely at first hand from a British officer who was actually on the 
spot at the moment, whose bona fides I have no reason to question…..”
 
Di sini Tom Driberg meragukan, bahwa Mallaby terbunuh oleh orang Indonesia. Dia 
menyatakan: 
“….it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were 
approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.” 
 
Selanjutnya dia juga membantah, bahwa tewasnya Mallaby akibat “dibunuh secara 
licik” (foully murdered). Kelihatannya pihak pimpinan tentara Inggris -untuk 
membangkitkan/memperkuat rasa antipati terhadap Indonesia- rela mendegradasi 
kematian seorang perwira tinggi menjadi “dibunuh secara licik” daripada 
menyatakan “killed in action” –tewas dalam pertempuran- yang menjadi kehormatan 
bagi setiap prajurit.
Juga penuturan Venu K. Gopal, waktu itu berpangkat Mayor, yang adalah Komandan 
Kompi D, Batalion 6, Mahratta. Kompi D ini mengambil tempat pertahanan di 
Gedung Internatio. Tanggal 8 Agustus 1974, dia menulis kepada J.G.A. Parrot 
antara lain :
“Let me first give you some background. “D” Coy had been under fire off and on 
and had already casualties. The firing came from other buildings on the square 
and by and large we were able to contain it. We could, however, see that armed 
men barred all the exits from the square. 
Meanwhile armed Indonesians swarmed over to the veranda of the building and I 
had to bluntly tell them that I would fire if they started pressing into the 
building. By this time I could not see Brigade Mallaby or the LOs (Liaison 
Officers) because of the crowds on the veranda.
Just then Capt. Shaw and Kundan ( I did not know their names at that time) 
tried to get into the building but were prevented. Kundan then shouted to the 
crowd that he would get us surrender and he and Capt.Shaw were then allowed to 
go into the building if they took an Indonesian officer with them. I allowed 
them in hoping to play for time. After a little time Kundan went out of the 
building, leaving Capt. Shaw and the Indonesian Officer behind.
Soon thereafter the armed men started pushing in and I was left with no option 
but to open fire. The Decision was mine and mine alone. Capt. Smith is correct 
when he says that BM (Mallaby-pen.) did not give any orders to Capt. Shaw..”
 
Dengan pengakuan Mayor Gopal, Komandan Kompi D yang bertahan di Gedung 
Internatio, sekarang terbukti, bahwa yang memulai menembak adalah pihak 
Inggris; tetapi kelihatannya dia masih ingin melindungi bekas atasannya dengan 
menggarisbawahi, bahwa perintah menembak tersebut adalah keputusannya sendiri. 
Ini jelas bertentangan dengan kesaksian T.D. Kundan, yang diperkuat dengan 
kesaksian seorang perwira Inggris melalui Tom Driberg. Dengan pengakuan ini 
terlihat jelas, bahwa Inggris pada waktu itu memutar balikkan fakta dan menuduh 
bahwa gencatan senjata telah dilanggar pihak Indonesia (the truce which had 
been broken). Di dalam situasi tegang bunyi ledakan ataupun tembakan akan 
menimbulkan kepanikan pada kelompok-kelompok yang masih diliputi suasana 
tempur, sehingga tembakan tersebut segera dibalas; maka pertempuran di seputar 
Gedung Internatio pun pecah lagi.
Dari pengakuan kedua perwira Inggris tersebut telah jelas, bahwa pemicu 
terjadinya tembak-menembak adalah pihak Inggris sendiri. Dugaan ini sebenarnya 
tepat, bila disimak jalan pikiran Mallaby, seperti dituliskan oleh Capt. Smith: 
“…He (Mallaby, red.) did not believe in the safe-conducts in so far as it 
applied to us, but thought that some at least of the Company might get away. 
Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary 
orders…..”  
 
Sebelum itu, menurut Smith, telah terjadi perbedaan pendapat antara  Kapten 
Shaw dan Mallaby mengenai permintaan para pemuda Indonesia, agar tentara 
Inggris meninggalkan persenjataan mereka di dalam gedung. Awalnya, Kapten Shaw 
menyetujui permintaan ini, tetapi Mallaby kemudian membatalkannya. Smith : 
“…Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down 
their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safeconduct 
back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal. 
After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the 
indonesians through his job as FSO, and who had been a considerable strain 
since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. 
The Brigadier at once countemanded this………”
 
Uraian Tom Driberg di Parlemen Inggris (House of Commons) kelihatannya 
keterangannya diperoleh dari KaptenShaw 
Kemudian tuduhan kedua, bahwa orang Indonesia “secara licik membunuh Mallaby”, 
perlu diteliti lebih lanjut. Di pihak Indonesia banyak orang mengaku bahwa 
dialah yang menembak Mallaby. Hj. Lukitaningsih I. Rajamin-Supandhan mencatat, 
ada sekitar 12 orang yang mengaku sebagai yang menembak Mallaby. Namun menurut 
penilaian beberapa pelaku sejarah, dari sejumlah keterangan yang diberikan, 
cerita yang benar kemungkinan besar yang disampaikan oleh Abdul Azis. (Lihat: 
Barlan Setiadijaya, 10 November 1945…., hlm. 429-435.) Dul Arnowo mencatat 
laporan seorang saksi mata, Ali Harun, yang kemudian diteruskan ke Presiden 
Sukarno. Surat tersebut dibawa oleh Kolonel dr. W. Hutagalung ke Jakarta, dan 
diserahkan langsung kepada Presiden Sukarno pada tanggal 8 November 1945.
Dari berbagai penuturan, memang benar adanya penembakan dengan menggunakan 
pistol oleh seorang pemuda Indonesia ke arah Mallaby, tetapi tidak ada seorang 
pun yang dapat memastikan, bahwa Mallaby memang tewas akibat tembakan tersebut. 
Yang menarik untuk dicermati adalah pengakuan Kapten R.C. Smith dari Batalyon 
6, Resimen Mahratta, yang pada waktu itu menjabat sebagai Liaison Officer 
Brigade 49. Tanggal 31 Oktober, dia memberikan laporannya yang pertama, 
kemudian pada bulan Februari, sehubungan dengan keterangan Tom Driberg di House 
of Commons. Laporan Smith dimuat oleh J.G.A. Parrot, dalam analisisnya, Who 
Killed Brigadier Mallaby?  Kapten R.C. Smith menulis: 
“The Report by Capt. R.C. Smith.
            
At approximately 1230 hrs. on 30th October, Capt T.L. Laughland and I were 
ordered by Col. L.H.O.Pugh, DSO, 2i/c (Second in Command) of the Bde., to 
proceed to the Government offices, where we were each to collect an Indonesian 
representative. From there one of us was to go north, and the other south, 
through the town, and try to persuade the mobs to go back to their barracks. 
Brigadier Mallaby was at this time in conference with the Governor in the 
Government Offices.
            On arrival there, we were told by the Brigadier that the 
Indonesians had refused to treat with anyone except him. Accordingly we set off 
with the Brigadier and the FSO (Field Security Officer), Capt. Shaw, plus the 
leaders of the various parties, in several cars, the foremost of which was 
flying the white flag.
            The first place to which we went was a large building about 150 
yards west of the Kali Mas River, which runs north and south through the town. 
One Coy of the 6 Mahrattas had been having a very stiff fight in this building 
against about five hundred Indonesians, and had been in considerable 
difficulties.
            On our arrival there, the mob was collected round the cars, and the 
various party leaders made speeches to them, in an attempt to persuade them to 
return to their barracks. The speeches were at first quite well received, and 
the necessary promises given.
            We then got into our cars and set off for the next position. We had 
only gone about 100 yards when we were stopped by the mob aproximately 20 yards 
from the Kali Mas. From then on the situation rapidly deteriorated. The mob 
leaders began to incite the mob, and the party leaders gradually lost control. 
The mob, which up to that time had seemed fairly friendly towards us, became 
distinctly menacing: swords were waved, and pistols pointed at us and we were 
left with very little doubt as to their intentions.
            Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid 
(sic) down their arms and marched (sic) out:  they and us (sic) guaranteed a 
safe-conduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider 
this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known 
to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been under a 
considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his 
own responsibility. The Brigadier at once countemanded this: on further 
consideration, he decided that the company had been in so bad a position 
before, that any further fighting would lead to their being wiped out. 
            He did not believe in the safe-conduct in so far as it applied to 
us, but thought that some at least of the company might get away. Accordingly 
Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders.
            The rest of us were disarmed – except for a grenade which Capt. 
Laughland managed to keep concealed – and made to sit in one of the cars. 
The Brigadier was on the side nearest to the Kali Mas, Capt. Laughland in the 
middle, and myself on the outside nearest to the building in which our troops 
were.
When Capt. Shaw got into the building, the Indonesians brought up a machine gun 
to cover the entrance. He and the company commander decided that any attempt to 
walk out unarmed would lead to a massacre and so the order to open fire was 
given.
As soon as the firing started, the three of us who were in the car crouched 
down on the floor as far as possible. An Indonesian came up to the Brigadier’s 
window with a rifle. He fired four shots at three of us, all of which missed. 
He went away while we shammed dead. The battle went on for about two and a half 
hours, to about 2030 hrs, by which time it was dark. At the end of that time, 
the firing died down to some extent, and we could hear shouting as though the 
Indonesians were being collected. Two of them came up to the car and attempted 
to drive it away. That failed and one of them opened the back door on the 
Brigadier’s side. The Brigadier moved, and as they saw from that, that he was 
still alive, he spoke to them and asked to be taken to one of the party 
leaders. The two Indonesians went away to discuss this, and one of them came 
back to the front door on the Brigadier’s side. The Brigadier spoke to him 
again, the Indonesian answered, and
 then suddenly reached his hand in through the front window, and shot the 
Brigadier. It took from fifteen seconds to half-a-minute for the Brigadier to 
die, but from the noise he made at the end, there was absolutely no doubt that 
he was dead. (Notes from Parrot: This was the first time that these details of 
the final moments of Brigadier Mallaby had been made public. In this second 
report Smith offered the following explanation:”In the report made by 
Capt.Laughland and myself the following morning we stated that the Brigadier 
was killed instantly. This was done in order to spare the feelings of the 
family.”)
As soon as he had fired, the Indonesian ducked down beside the car, and 
remained there until after the Brigadier was dead. I took the pin out of the 
grenade which Capt.Laughland had previously passed to me, and waited. The 
Indonesian appeared again, and fired another shot which grazed Capt. 
Laughland’s shoulder. I let go the lever of the grenade, held it for two 
seconds to make sure it was not returned and threw it out of the open door by 
Brigadier’s body. As soon as it had exploded, Capt. Laughland and I went out of 
the door on my side of the car, waited for a short time, then ran around the 
car and dived into the Kali Mas. As the two Indonesians by the side of the car 
did not attemp to interfere with us it is presumed that they were killed by the 
grenade—which also set the back seat of the car on fire. After five hours in 
the Kali Mas, we managed to reach our troops in the Dock area.”
 
Keterangan Smith ini a.l. menguatkan penjelasan Gopal, bahwa memang benar pihak 
Inggris yang memulai penembakan. Kesaksian Smith ini mirip dengan keterangan 
Abdul Azis; dan ternyata dia tidak mati seperti dugaan Smith.
Sehubungan dengan penembakan dengan senapan yang terjadi sebelum penembakan 
terhadap Mallaby, dalam surat kepada Parrot tertanggal 23 November 1973, Smith 
menulis antara lain:
“I have no idea what hapenned to the four shots from the rifleman. He 
approached the car from the left (the Brigadiers side) with the rifle at the 
ready, and looking at the three of us. I am not ashamed to say at this point I 
shut my eyes and started counting the shots!
I think all three of us were equally surprised at finding both ourselves and 
the others alive afterwards!”
 
Tentu sangat luar biasa, bahwa menembak tiga orang yang sedang duduk di dalam 
mobil yang sempit dengan empat tembakan, namun tak satupun yang mengena. Hal 
ini menunjukkan, bahwa dapat dipastikan, pemilik senapan itu baru pertama kali 
menembak, sehingga menembak tiga orang dengan jarak mungkin paling tinggi 2 
meter, empat tembakan meleset semua.
Mengenai ciri-ciri penembak Mallaby, dalam surat kepada Parrot tanggal 20 
Februari 1974, Smith menulis:
“… the indonesian who killed the Brigadier was a young lad around 16 or 17 
approximately, but it was too dark to see whether he was wearing any sort of 
uniform. The weapon was an automatic pistol …”
 
Kemudian pada 20 Februari 1974, Smith menulis kepada Parrot yang isinya antara 
lain:
“I have no recollection of the conversation that the Indian interpreter 
reported and while I certainly could not state that I heard everything that 
happenned, I think I should have remembered this, if not now after 30 years, 
certainly at the time when I wrote my report. However, in all fairness, I must 
say that there were moments when my attention was distracted from the Brigadier 
myself. For instance, I can remember spending some time trying to convince a 
very angry young Indonesian that I had not personally be responsible for his 
brother’s death.
Going back to my report, the position of all of us was very closely gouped 
around one car so that there was only a matter of a very few feet between us. 
Therefore, Brigadier Mallaby was certainly able to hear when Captain Shaw 
agreed to the demands of the mob, which was why he was able to countermand it 
immediately. As I said, he then changed his mind in the hope that some of the 
men at least might reach safety, but the orders that he gave Captain Shaw were 
that the troops in the building should lay down their arms and come out 
unarmed, in the hope of safe-conduct.
I definitely did not hear any suggestion that they should be ordered to open 
fire after a certain length of time had elapsed. The one thing that has always 
been quite firmly established in my memory is that the orders to fire were 
given by Captain Shaw once he had got into the building.”
 
Yang perlu diragukan di sini adalah dugaan Smith, bahwa Mallaby tewas sebagai 
akibat tembakan pistol pemuda Indonesia. Seperti dalam tulisannya, dia 
mengatakan bahwa pada saat itu sekitar pukul 20.30 dan keadaan gelap. Memang 
aliran listrik di daerah tersebut telah diputus oleh pihak Indonesia. Dia hanya 
mengatakan:
 “…berdasarkan suara yang didengar dari arah Mallaby, dia yakin bahwa Mallaby 
telah tewas 15 – 30 detik setelah ditembak dengan pistol…” 
 
Selain itu dia juga mengakui, bahwa granat yang dilemparkannya melewati tubuh 
Mallaby telah mengakibatkan terbakarnya jok belakang mobil mereka, artinya 
tempat Mallaby duduk. 
Menurut pemeriksaan di rumah sakit, jenazah Mallaby sangat sulit dikenali, 
karena hangus dan hancur. Dia dikenali melalui tanda bekas jam tangan di kedua 
lengannya, karena Mallaby dikenal dengan kebiasaannya untuk memakai dua jam 
tangan; jadi bukan identifikasi wajah atau ciri-ciri tubuh lain. Hal ini 
disampaikan oleh dr. Sugiri, kepada Kolonel dr. W. Hutagalung.
Seandainya keterangan Smith benar, bahwa Mallaby tidak memberikan perintah 
untuk memulai menembak, bahkan sebaliknya, yaitu menginstruksikan Kapten Shaw 
untuk memerintahkan tentara Inggris yang di dalam gedung agar mereka meletakkan 
senjata dan ke luar gedung tanpa senjata, maka telah terjadi pembangkangan yang 
berakibat fatal, yaitu perintah dari komandan kompi, Mayor Gopal, untuk memulai 
menembak. Dilihat dari sudut mana pun, timbulnya tembak-menembak yang berakibat 
tewasnya Mallaby, adalah kesalahan tentara Inggris.
Mengenai tuduhan bahwa Mallaby tewas akibat tembakan pistol, sangat diragukan. 
Jelas untuk membela diri, Smith dan Laughland harus menyatakan dahulu bahwa 
Mallaby telah tewas ketika Smith melemparkan granat, yang kemudian justru 
membakar bagian belakang mobil yang mereka dan Mallaby tumpangi. Beberapa saksi 
mata di pihak Indonesia mengatakan bahwa mobil Mallaby meledak akibat granat 
tersebut sehingga dengan demikian, boleh dikatakan Mallaby tewas karena 
kesalahan pihak Inggris sendiri. Dari kronologi kejadian dapat disimpulkan, 
bahwa Mallaby tewas karena tembak-menembak berkobar lagi. 
Yang sangat menarik untuk dicermati sehubungan dengan pelemparan granat oleh 
Kapten Smith, adalah kesaksian Imam Sutrisno Trisnaningprojo, seorang pemuda 
berpangkat kapten, mantan anggota PETA. Trisnaningprojo ikut dalam 
iring-iringan mobil dalam rangka penyebarluasan hasil kesepakatan 
Sukarno-Hawthorn. Bahwa Smith adalah orang yang melemparkan granat yang 
mengakibatkan mobil yang ditumpangi Mallaby terbakar, diakui oleh Smith 
sendiri, tetapi Trisnaningprodjo menuturkan, bahwa Smith tidak berada di dalam 
mobil bersama Mallaby, melainkan bersama Laughland di luar mobil ketika terjadi 
penembakan terhadap Mallaby. Trisnaningprojo melihat, Smith berada di dekat 
gedung dan melemparkan granat ke arah pemuda yang menembak Mallaby, tetapi 
granat meledak di sebelah mobil Mallaby yang pintu belakangnya terbuka. Jadi, 
Captain Smith melempar granat tidak dari dalam mobil, melainkan dari luar 
mobil. Ini berarti bahwa tidak ada yang mengetahui kondisi Mallaby setelah
 penembakan dari pemuda Indonesia tersebut, apakah terluka atau memang telah 
tewas seperti penuturan Smith.
Baik dari kesaksian Smith, maupun keterangan Trisnaningprojo yang dilengkapi 
sketsa lokasi pada saat kejadian, pemuda Indonesia menembak dengan pistol ke 
arah Mallaby melalui jendela depan di sisi kiri mobil, sedangkan Mallaby –masih 
menurut Smith- duduk di jok belakang, di sisi paling kiri. Dari posisi pemuda 
Indonesia tersebut, walaupun dia menggunakan tangan kiri, kemungkinan besar 
bagian tubuh Mallaby sebelah kanan yang akan terkena tembakan, dan ini biasanya 
tidak mematikan. Berbeda, apabila yang terkena adalah tubuh bagian kiri, di 
bagian jantung. 
Di samping itu, juga tidak ada yang bisa memastikan, bahwa tembakan pemuda 
tersebut benar mengenai sasaran karena sebelumnya -juga menurut Smith- ketika 
bertiga masih duduk di bagian belakang mobil, ada yang menembak ke arah mereka 
dengan senapan sebanyak empat kali, namun tak satu peluru pun yang mengenai 
mereka. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa pemuda yang menembak dengan pistol, 
juga baru pertama kali memegang pistol, sehingga belum mahir menggunakannya.
Ketika diwawancarai oleh Ben Anderson pada tanggal 13 Agustus 1962, Dul Arnowo 
menyatakan, bahwa dia yakin Mallaby secara tidak sengaja, telah terbunuh oleh 
anak buahnya sendiri.
Dalam laporan rahasia kepada atasannya, Kolonel Laurens van der Post mantan 
Gubernur Militer Inggris di Batavia/Jakarta tahun 1945, menuliskan ((Sir 
Laurens van der Post, The Admiral’s Baby, John Murray, London, 1996):
“The detail of what happenned at Sourabaya is not really relevant to this 
review but it is interresting that the very latest evidence suggests that the 
Mallaby Murder, far  from being premiditatet or a deliberate breach of faith, 
was caused more by the indescribable confusion and nervous excitement of 
everyone in the town. Had General Hawthorn, the General Officer Commanding Java 
at the same time, had proper Civil Affairs and political officers on his staff 
to draft his unfortunate proclamations for him and to keep [in] continuous and 
informed contact with population, the story of Sourabaya may well have been 
different.”
 
 


      

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke