10 NOVEMBER 1945. Mengapa Inggris Membom Surabaya?
Bagian dua
 
 
Setelah Letnan Jenderal Sir Phillip Christison mengeluarkan ancamannya, dalam 
waktu singkat Inggris menambah kekuatan mereka di Surabaya dalam jumlah sangat 
besar, mobilisasi militer Inggris terbesar setelah Perang Dunia II usai. Pada 1 
November, Laksamana Muda Sir. W. Patterson, berangkat dari Jakarta dengan HMS 
Sussex dan  mendaratkan 1.500 Marinir di Surabaya. Mayor Jenderal Mansergh, 
Panglima 5th British-Indian Division, berangkat dari Malaysia memimpin 
pasukannya dan tiba di Surabaya tanggal 3 November 1945. Masuknya pasukan 
Divisi 5 yang berjumlah 24.000 tentara secara berangsur-angsur, sangat 
dirahasiakan. Divisi 5 ini sangat terkenal karena ikut dalam pertempuran di El 
Alamein, di mana pasukan Marsekal Rommel, perwira Jerman yang legendaris 
dikalahkan. Mansergh juga diperkuat dengan sisa pasukan Brigade 49 dari Divisi 
23, kini di bawah pimpinan Kolonel Pugh, yang menggantikan Mallaby. Rincian 
pasukan Divisi 5:
 
4th Indian Field Regiment.
5th Field Regiment.
24th Indian Mountain Regiment.
5th (Mahratta) Anti-Tank Regiment (artileri).
 
17th Dogra Machine-Gun Battalion.
1/3rd Madras Regiment (H.Q. Battalion).
3/9th Regiment (reconnaissance battalion)
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal Robert Guy Loder-Symonds. Tewas 
pada 
11 November 1945. Dimakamkan di Menteng Pulo, Jakarta)
 
9th Indian Infantry Brigade.
2nd West Yorkshire Regiment.
3/2nd Punjab Regiment.
1st Burma Regiment.
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal H.G.L. Brain)
 
123rd Indian Infantry Brigade.
2/1st Punjab Regiment.
1/17th Dogra Regiment.
3/9th Gurkha Rifles.
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal E.J. Denholm Young)
 
161st Indian Infantry Brigade.
I/1st Punjab Regiment.
4/7th Rajput Regiment.
3/4th Gurkha Rifles.
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal E.H.W. Grimshaw)
 
Armada di bawah komando Captain R.C.S. Carwood a.l. terdiri dari: Fregat HMS 
Loch Green dan HMS Loch Glendhu; kapal penjelajah HMS Sussex serta sejumlah 
kapal pengangkut pasukan dan kapal pendarat (landing boot). 
Persenjataan yang dibawa adalah skuadron kavaleri yang semula terdiri dari tank 
kelas Stuart, kemudian diperkuat dengan 21 tank kelas Sherman, sejumlah 
Brenncarrier dan satuan artileri dengan meriam 15 pon dan Howitzer kaliber 3,7 
cm. Tentara Inggris juga dipekuat dengan squadron pesawat tempur yang terdiri 
dari 12 Mosquito dan 8 pesawat pemburu P-4 Thunderbolt, yang dapat membawa bom 
seberat 250 kilo. Jumlah pesawat terbang kemudian ditambah dengan 4 Thunderbolt 
dan 8 Mosquito.
Tanggal 9 November 1945, Mansergh menyerahkan 2 surat kepada Gubernur Suryo. 
Yang pertama berupa ULTIMATUM yang ditujukan kepada “All Indonesians of 
Sourabaya” lengkap dengan “Instructions”. Yang kedua merupakan 
penjelasan/rincian dari ultimatum tersebut.
 
Bunyi ultimatum yang disebarkan sebagai pamflet melalui pesawat udara pada 9 
November pukul 14.00. adalah :
 
“November, 9th. 1945.
 
TO ALL INDONESIANS OF SOERABAYA.
 
On October 28th, the Indonesians of Soerabaya treacherously and without 
provocation, suddenly attacked the british Forces who came for the purpose of 
disarming and concentrating the Japanese Forces, of bringing relief to Allied 
prisoners of war and internees, and of maintaining law and order. In the 
fighting which ensued British personel were killed or wounded, some are 
missing, interned women and children were massacred, and finally Brigadier 
Mallaby was foully murdered when trying to implement the truce which had been 
broken in spite of Indonesian undertakings.
The above crimes against civilization cannot go unpunished. Unless therefore, 
the following ordes are obeyed without fail by 06.00 hours on 10th.November at 
the latest, I shall enforce them with all the sea, land and air forces at my 
disposal, and those Indonesians who have failed to obey my orders will be 
solely responsible for the bloodshed which must inevitably ensue.
 
                                                                         
(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
                                                                        
Commander Allied Land Forces,
East Java.
 
Instructions
 
My orders are:
1.       All hostages held by the Indonesians will be returned in good 
condition by 10.00 hours 9th. November.
2.       All Indonesian leaders, including the leaders of the Youth Movements, 
the Chief Police and the the Chief Official of the Soerabaya Radio will report 
at Bataviaweg by 18.00 hours, 9th November. They will approach in single file 
carrying any arms they possess. These arms will be laid down at a point 100 
yards from the rendezvous, after which the Indonesians will approached with 
their hands above their heads and will taken into custody, and must be prepared 
to sign a document of unconditional surrender.
3.       (a)  All Indonesians unauthorized to carry arms and who are in 
possession of same will report either to the roadside Westerbuitenweg between 
South of  the  railway  and North of the Mosque or to the junction of Darmo 
Boulevard and Coen Boulevard by 18.00 hours 9 th November, carrying a white 
flag and proceeding in single file. They will lay down their arms in the same 
manner as prescribed in the preceeding paragraphs. After laying down their arms 
they will be permitted to return to their homes. Arms and equipment so dumped 
will taken over by the uniformed police and regular T.K.R. and guarded untill 
dumps are later taken over by Allied Forces from the uniformed police and 
regular T.K.R.
(b)     Those authorises to carry arms are only the uniformed police and the 
regular T.K.R.
4.       These will thereafter be a search of the city by Allied Forces and 
anyone found in possession of firearms of conealing them will be liable to 
sentence of death.
5.       Any attemp to attack or molest the Allied internees will be punishable 
by death.
6.       Any Indonesian women and children who wish to leave the city may do so 
provided that they leave by 19.00 hours on 9th November and go only towards 
Modjokerto or Sidoardjo by road.
 
(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces, East Java
 
Mansergh telah menyusun “orders”nya pada butir 2 sedemikian rupa, sehingga 
boleh dikatakan tidak akan mungkin dipenuhi oleh pihak Indonesia: 
“Seluruh pemimpin bangsa Indonesia termasuk pemimpin-pemimpin  Gerakan Pemuda, 
Kepala Polisi dan Kepala Radio Surabaya harus melapor ke Bataviaweg pada 9 
November jam 18.00. Mereka harus datang berbaris satupersatu membawa senjata 
yang mereka miliki. Senjata-senjata tersebut harus diletakkan  di tempat 
berjarak 100 yard dari tempat pertemuan, setelah itu orang-orang Indonesia itu 
harus mendekat dengan kedua tangan mereka di atas kepala mereka dan akan 
ditahan, dan harus siap untuk menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat.” 
(All Indonesian leaders, including the leaders of the Youth Movements, the 
Chief Police and the Chief Official of the Soerabaya Radio will report at 
Bataviaweg by 18.00 hours, 9th November. They will approach in single file 
carrying any arms they possess. These arms will be laid down at a point 100 
yards from the rendezvous, after which the Indonesians will approached with 
their hands above their heads and will taken into custody, and must be prepared 
to sign a document of unconditional surrender.)
 
Dalam butir dua ini sangat jelas tertera “ …menandatangani dokumen menyerah 
tanpa syarat.” Dengan formulasi yang sangat keras dan kasar ini, Mansergh pasti 
memperhitungkan, bahwa pimpinan sipil dan militer di Surabaya tidak akan 
menerima hal ini, sebab bila sebagai pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia 
menandatangani pernyataan MENYERAH TANPA SYARAT, berarti melepaskan kemerdekaan 
dan kedaulatan yang baru saja diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. 
Yang dimaksud dengan senjata adalah: senapan, bedil, pedang, pistol, tombak, 
pisau, pedang, keris, bambu runcing, tulup, panah berbisa atau alat tajam yang 
dapat dilemparkan.
Sejarah mencatat, bahwa pimpinan sipil dan militer di Surabaya memutuskan, 
untuk tidak menyerah kepada tentara Sekutu dan memilih untuk melawan.
Inggris menepati ultimatumnya dan memulai pemboman dan penembakan dari 
meriam-meriam kapal pukul 06.00. Serangan hari pertama berlangsung sampai malam 
hari. Meriam-meriam di kapal-kapal perang dan bom-bom dari udara mengenai 
tempat-tempat yang penting dalam kota, seperti daerah pelabuhan, kantor PTT, 
kantor pengadilan, gedung-gedung pemerintah dan juga pasar-pasar. Pemboman dari 
darat, laut dan udara ini diselingi dengan tembakan-tembakan senapan-mesin yang 
dilancarkan oleh pesawat pemburu, sehingga mengakibatkan korban beribu-ribu 
orang yang tidak menduga akan kekejaman perang modern. Residen dan Walikota 
segera memerintahkan pengungsian semua wanita dan anak-anak ke luar kota.
            Semua saksi mata, begitu juga berita-berita di media massa, baik 
Indonesia maupun internasional mengatakan, bahwa di mana-mana mayat manusia dan 
hewan bergelimpangan, bahkan ada yang bertumpukan. Bau busuk mayat berhari-hari 
memenuhi udara kota Surabaya karena mayat-mayat tersebut tidak dapat 
dikuburkan. Mereka yang bekerja di rumah-sakit menceriterakan, bahwa 
korban-korban tewas tidak sempat dikubur dan hanya ditumpuk saja di dalam 
beberapa ruangan.
Dalam bukunya, Birth of Indonesia, David Wehl menulis:
“Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan harus diduduki satu per 
satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda dan 
kucing-kucing serta anjing-anjing, bergelimpangan di selokan-selokan; 
gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telepon 
bergelantungan di jalan-jalan, dan suara pertempuran menggema di tengah-tengah 
gedung-gedung kantor yang kosong ... Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua 
tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya 
bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian 
dengan cara yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat 
buku-buku petunjuk militer Jepang.”
 
Kolonel dr. Wiliater Hutagalung menuliskan dua peristiwa yang tak dapat 
dilupakannya:
“… ketika seorang pemuda dibawa masuk ke ruang bedah dengan kedua kakinya 
hancur terlindas roda kereta api. Rupanya karena terlalu lelah sehabis 
pertempuran, tertidur di pinggir rel kereta api dengan kedua kakinya melintang 
di atas rel. Dia tidak terbangun ketika ada kereta api yang lewat, sehingga 
kedua kakinya putus dilindas kereta api. Dia masih sadar waktu dibaringkan ke 
tempat tidur, tetapi sebelum kita dapat menolongnya dia berseru: 
‘Merdeka! Hidup Indonesia!’,
lalu menghembuskan napas terakhirnya.
Peristiwa yang kedua adalah, ketika melihat kesedihan seorang ibu muda yang 
menatap wajah anak perempuannya yang kira-kira berumur dua tahun, yang tewas 
akibat lengannya putus terkena pecahan peluru mortir. Dia menggendong anak itu 
ke Pos Sepanjang tanpa mengetahui, bahwa anaknya telah tewas ketika sampai di 
Sepanjang. Kami menanyakan:
‘Di mana ayah anak ini?’
Ibu muda itu menjawab: ‘Tidak tahu, suami diambil tentara Jepang, dijadikan
romusha (pekerja paksa). Dia belum pernah melihat anaknya.’
 
Pihak Inggris menyebutkan, bahwa berdasarkan data yang mereka kumpulkan, 
tercatat “hanya” 6.000 korban tewas di pihak Indonesia. Dr. Ruslan Abdulgani 
dalam satu kunjungan ke Inggris, mendapat kesempatan untuk melihat arsip 
nasional, dan antara lain melihat catatan mengenai jumlah korban yang tewas. 
Abdulgani menulis :
Pihak Inggris menemukan di puing-puing kota Surabaya dan di jalan-jalan 1.618 
mayat rakyat Indonesia ditambah lagi 4.697 yang mati dan luka-luka. Menurut 
laporan dr. Moh. Suwandhi, kepala kesehatan Jawa Timur, dan yang aktif sekali 
menangani korban pihak kita, maka jumlah yang dimakamkan secara massal di Taman 
Bahagia di Ketabang, di makam Tembokgede, di makam kampung-kampung di Kawatan, 
Bubutan, Kranggan, Kaputran, Kembang Kuning, Wonorejo, Bungkul, Wonokromo, 
Ngagel dan di tempat-tempat lain adalah sekitar 10.000 orang. Dengan begitu 
dapat dipastikan bahwa sekitar 16.000 korban telah jatuh di medan laga bumi 
keramat kota Surabaya. 
 
Berdasarkan data yang dikumpulkan rekan-rekan dokter serta paramedis lain, 
Kolonel dr. Wiliater Hutagalung memperkirakan, korban tewas akibat agresi 
militer Inggris dapat melebihi angka 20.000, dan sebagian terbesar adalah 
penduduk sipil, yang sama sekali tidak menduga akan adanya serangan tentara 
Inggris. Di Pasar Turi dan sekitarnya saja diperkirakan ratusan orang yang 
sedang berbelanja tewas atau luka-luka, termasuk  orang tua, wanita dan 
anak-anak, bahkan pasien-pasien yang rumah sakitnya ikut terkena bom. Pelaku 
sejarah yang menjadi saksi mata menilai pemboman tersebut adalah suatu 
kebiadaban.
Menurut Woodburn Kirby, korban di pihak tentara Inggris dari tanggal 10 sampai 
22 November 1945 di Jawa tercatat 608 orang yang tewas, hilang atau luka-luka, 
dengan rincian sebagai berikut:
- tewas  : 11 perwira dan 87 prajurit.
- hilang  : 14 perwira dan 183 prajurit.
Hampir semua adalah korban pertempuran di Surabaya. Namun diduga, korban di 
pihak Inggris sebenarnya lebih tinggi, karena menurut Anthony James-Brett, 
korban di pihak Inggris dalam pertempuran tanggal 28 – 30 Oktober saja sudah 
mencapai 392 orang, yang tewas, luka-luka atau hilang (18 perwira dan 374 
prajurit). Diperkirakan korban di pihak Inggris dalam pertempuran dari tanggal 
28 Oktober – 28 November 1945 mencapai 1.500 orang yang tewas, luka-luka dan 
hilang.
Pihak Indonesia menyebut, bahwa sekitar 300 tentara Inggris asal India/Pakistan 
melakukan desersi dan bergabung dengan pihak Republik Indonesia.
Kolonel Laurens van der Post dalam laporannya menulis:
“…But the important lessons of Sourabaya were not these so much as the extent 
to which they proved that Indonesian nationalism was not a shallow, effeminate, 
intellectual cult but a people-wide, tough and urgent affair.” 
Willy Meelhuijsen dalam bukunya “Revolutie in Soerabaya, 17 agustus – 1 
december 1945” mengutip seorang pakar sejarah Australia, M.C. Ricklefs, yang 
menulis:
“ The Republicans lost much manpower and many weapons in the battle of 
Sourabaya, but their sacrificial resistance there created a symbol of rallying 
cry for the Revolution. It also convinced the British that wisdom lay on the 
side of neutrality in the Revolution. The battle of Sourabaya was a turning 
point for the Dutch as well, for it shocked many of them into facing reality. 
Many had quite genuinely believed that the Republic represented only a gang of 
collaborators without popular support. No longer could any serious observer 
defend such a view.”
Pertempuran heroik di Surabaya merupakan satu dari empat pertempuran dan 
perlawanan terhadap tentara Inggris –di samping Palagan Ambarawa, Pertempuran 
“Medan-Area” dan Bandung Lautan Api- yang membuat Inggris menyadari, bahwa 
masalah Indonesia tidak dapat diselesaikan melalui kekuatan militer, dan 
Inggris sebagai tulasng punggung Belanda waktu itu, kemudian memaksa Belanda ke 
meja perundingan, dan Inggris menjadi fasilitator pertama dalam perundingan 
Linggajati.
 
Alasan pemboman yang sebenarnya
Apabila dua butir alasan yang tertera dalam ultimatum 9 November 1945 tidak 
benar, apa alasan sebenarnya, yang membuat Inggris mengerahkan pasukannya yang 
terbesar dan termodern setelah Perang Dunia II usai?
 
I. Alasan psikologis-emosional.
·         Inggris datang sebagai salah satu pemenang Perang Dunia II. Brigade 
49 adalah bagian dari Divisi 23 yang menyandang julukan kebanggaan “The 
Fighting Cock”, mempunyai pengalaman tempur melawan Jepang di hutan-rimba 
Burma. Dalam pertempuran 28 dan 29 Oktober ’45, mereka “dipaksa” oleh rakyat 
Surabaya mengibarkan bendera putih dan mereka yang MEMINTA BERUNDING. Suatu hal 
yang tentu sangat memalukan dan menjatuhkan pamor Inggris. Mereka tidak menduga 
akan diserang, sehingga persiapan pertahanan hampir tidak ada, yang 
mengakibatkan banyak jatuh korban di pihak Inggris. 
·         Setelah Perang Dunia II usai, Inggris bertepuk dada bahwa selama 
lebih dari  lima tahun PD-II, mereka tidak kehilangan seorang Jenderal pun. 
Ternyata baru lima hari di Surabaya, mereka telah kehilangan seorang perwira 
tinggi, Brigadir Jenderal Mallaby. Kegeraman pihak Inggris memuncak pada 10 
November, karena pada saat pemboman atas kota Surabaya, dua pesawat terbang 
mereka berhasil ditembak jatuh oleh pejuang Indonesia. Selain pilot pesawat, 
Osborne, korban yang tewas sehari kemudian akibat luka-lukanya adalah Brigadir 
Jenderal  Robert Guy Loder-Symonds, Komandan Brigade Infanteri. Mallaby dan 
Loder-Symonds dimakamkan di Commonwealth War Cemetary, Menteng Pulo, Jakarta 
Selatan. 
 
Dapat dikatakan secara singkat di sini, alasan psikologis-emosional tersebut 
adalah:
-          sebagai “super power” pemenang Perang Dunia II, telah dipermalukan 
dengan terpaksa mengibarkan bendera putih, serta terancam akan hancur total;
-          sebagai tentara yang tangguh sangat dipermalukan, karena yang tewas 
adalah komandan brigade, seorang perwira tinggi;
-          solidaritas korps, membalas dendam.
 
II. Terikat Perjanjian Dengan Belanda dan Hasil Konferensi Yalta
Bahwa langkah Inggris di Indonesia, sebenarnya hanya untuk memuluskan jalan 
bagi Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia, sesuai dengan beberapa 
perjanjian, baik bilateral maupun internasional. Ketika berlangsung pertempuran 
melawan Inggris di Indonesia yang dimulai di Surabaya, perlahan-lahan Belanda 
mendatangkan pasukannya ke Indonesia, sehingga pada akhir tahun 1946, seluruh 
pasukan Inggris telah ditarik dan diganti oleh pasukan Belanda…dan sebagaimana 
kita ketahui, itulah awal dari penjajahan Belanda di Indonesia jilid dua. 
Penilaian mengenai tindakan Inggris ini diperoleh setelah mencermati dua hal:
 
·         Salah satu hasil keputusan Konferensi Yalta (4 – 11 Februari 1945), 
hasil pertemuan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, adalah mengembalikan 
situasi di Asia seperti sebelum invasi Jepang, dalam arti mengembalikan 
bekas-bekas jajahan kepada negara penjajah sebelumnya. Keputusan tersebut 
diperkuat dengan Deklarasi Potsdam, 26 Juli 1945. Hal ini terbukti dari surat 
Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia, kepada 
komandan-komandan divisi, yang isinya:
 
Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.
 
>From           : Supreme Commander S.E.Asia
To              : G.O.C.Imperial Forces.
 
Re. Directive ASD4743S.
 
You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East 
Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and 
to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish 
civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in 
a position to maintain services.
The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have 
shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.
Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a 
location which affords a deep anchorage and repair facilities.
As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we 
are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.
 
I wish you God speed and a successful campaign.
 
(signed)
Mountbatten
____________________
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.
 
Kalimat: 
“In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish 
civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in 
a position to maintain services.”  dan “……the local natives have declared a 
Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the 
Japanese Invasion.” 
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk 
“...mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda...” 
dan 
“…mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”
 
·         Melaksanakan Civil Affairs Agreement (CAA), perjanjian antara Inggris 
dan Belanda yang ditandatangani tanggal 24 Agustus 1945 di Chequers, Inggris, 
yang isinya kesediaan Inggris membantu Belanda dalam upaya untuk kembali 
berkuasa di Indonesia.  Kesepakatan 24 Agustus 1945 tersebut diperkokoh oleh 
Inggris dan Belanda, dalam pertemuan di Singapura tanggal 6 Desember 1945 yang 
dihadiri para petinggi kedua negara di Asia Tenggara. Radio San Francisco 
tanggal 10 Desember 1945 menyiarkan antara lain, bahwa dalam permusyawaratan di 
Singapura, Letnan Jenderal Christison telah mendapat kekuasaan seluas-luasnya 
untuk menjaga keamanan di Jawa… Christison akan menggunakan kekerasan untuk 
mengembalikan keamanan dan ketenteraman, supaya dapat memenuhi undang-undang 
dasar dan peraturan untuk Indonesia di bawah kerajaan Belanda. Di samping 
melampiaskan dendam mereka terhadap “para ekstremis Indonesia yang –katanya- 
dipersenjatai Jepang”
 kelihatannya Inggris memanfaatkan “insiden Surabaya” tersebut untuk memenuhi 
perjanjian bilateral mereka dengan Belanda, serta menjalankan hasil keputusan 
Konferensi Yalta, yaitu mengembalikan situasi kepada “Status Quo” seperti 
sebelum invasi Jepang.
 
------------------------------------------------------------------------------
Cuplikan dari buku Batara R. Hutagalung “10 November ’45. Mengapa Inggris 
Membom Surabaya? Millenium Publisher, Jakarta Oktober 2001, xvi + 472 halaman.
 
 
Bersambung
 
 


      

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke