10 NOVEMBER 1945. Mengapa Inggris Membom Surabaya?
Bagian ketiga.
 
 
Kesimpulan
Secara moral, tanggungjawab atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Surabaya 
pada bulan November 1945, terletak pada Inggris, karena seluruh garis komando, 
dari mulai Panglima Tertinggi Tentara Sekutu, Admiral Lord Louis Mountbatten, 
Panglima Tertinggi Tentara Sekutu di Indonesia (AFNEI), Letnan Jenderal Sir 
Philip Chritison, Panglima Divisi 5, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, 
Panglima Divisi 5, Mayor Jenderal D.C. Hawthorn, bahkan sampai ke 
komandan-komandan brigade, seluruhnya adalah bangsa Inggris. Kesalahan serta 
tanggungjawab Inggris dapat dibuktikan, apabila pendekatan permasalahan 
dilakukan dengan suatu pendekatan logis (logical approach), yaitu dengan 
menggunakan kaidah kausalitas (Kausalitätsgesetz: kaidah sebab-akibat) yang 
taat azas. Dari kronologi kejadian, dapat ditelusuri penyebab atau akar 
permasalahan dari sesuatu peristiwa/kejadian. Apabila ditelusuri dan diteliti 
satu persatu, maka rangkaian kejadian adalah sebagai berikut:
 
·         Mallaby tewas karena tembak-menembak di Gedung Internatio pecah lagi. 
Mengenai apakah dia tewas karena tembakan pistol orang Indonesia, atau karena 
ledakan granat dari Captain R.C. Smith, susah dibuktikan.
·         Tembak-menembak dimulai oleh Inggris atas perintah Mayor Gopal, 
Komandan Kompi “D”, Brigade ke 49, Divisi ke 23 “The Fighting Cock” Inggris, 
seperti ditulisnya tanggal 24 Agustus 1974. Menurut Tom Driberg, anggota 
Parlemen Inggris, perintah menembak diberikan oleh Mallaby sendiri. Perintah 
menembak ini, apapun alasannya jelas telah melanggar perjanjian Sukarno-Mallaby 
tanggal 29 Oktober dan Kesepakatan Sukarno-Hawthorn tanggal 30 Oktober 1945.
·         Insiden tembak-menembak di Gedung Internatio pada tanggal 30 Oktober 
adalah bagian dari Pertempuran 28/29 Oktober ‘45.
·         Pertempuran pecah tanggal 28 Oktober karena adanya pamflet tanggal 27 
Oktober, yang isinya melanggar kesepakatan yang ditandatangani antara Inggris 
dan Indonesia tanggal 26 Oktober. Isi Pamflet mengenai butir ini ternyata 
diakui sebagai kesalahan, dan dianulir dalam kesepakatan Sukarno-Hawthorn 
tanggal 30 Oktober.
 
Bila dinilai tingkat kesalahan, maka akan terlihat:
·         Mengenai tewasnya Mallaby, kemungkinan kesalahan ada pada kedua belah 
pihak, walaupun kemungkinannya lebih besar, bahwa Mallaby tewas akibat granat 
yang dilempar oleh Captain Smith. Di sini dapat dikemukakan pendapat J.G.A. 
Parrot, sebagai konklusi atas analisisnya, yaitu pertanyaan ke 3, mengenai 
siapa yang bersalah atas tewasnya Brigadier Mallaby:
” Who, if anyone to blame for Brigadier Mallaby’s death?” ,
maka Parrot menulis, bahwa tewasnya Mallaby adalah karena kesalahannya sendiri: 
” ….In the circumstances the only answer can be given to Question 3 is that 
Brigadier Mallaby was himself responsible for the situation that resulted in 
his death.” 
Kesimpulan inilah yang sangat penting!
·         Berdasarkan kesaksian Kapten Smith, Mayor Gopal dan keterangan Tom 
Driberg -yang memperoleh informasi dari Kapten Shaw, ajudan Mallaby- telah 
diakui oleh pihak Inggris, bahwa yang memulai menembak adalah tentara Inggris 
yang berada di Gedung Internatio, atas perintah Mayor Gopal. Dengan demikian, 
terjadinya tembak-menembak yang mengakibatkan tewasnya Mallaby adalah kesalahan 
Inggris. 
·         Pecahnya pertempuran 28 Oktober adalah kesalahan Inggris, yaitu 
provokasi pamflet dari Jakarta tertanggal 27 Oktober, karena dengan demikian 
Inggris jelas telah melanggar kesepakatan tanggal 26 Oktober 1945 antara 
pimpinan militer Inggris (Mallaby) dan pimpinan Republik Indonesia di Surabaya.
 
Jadi berdasarkan analisis yang taat asas, dengan menggunakan kaidah kausalitas, 
dari rangkaian kejadian tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa pemicu segala 
malapetaka dan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Surabaya pada bulan November 
1945, adalah pamflet Inggris tertanggal 27 Oktober 1945 dan oleh karena itu:
Segala sesuatu yang terjadi sejak 27 Oktober 1945 adalah mutlak kesalahan 
Inggris.
 
 
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Tentara Inggris
Dengan agresi militer yang dilancarkan mulai tanggal 10 November 1945, tentara 
Inggris telah melakukan sejumlah pelanggaran besar. Dari hasil analisis, 
pelanggaran yang telah dilakukan oleh tentara Inggris adalah sebagai berikut:
 
·         Pelanggaran Kedaulatan Republik Indonesia
Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, 
sedangkan agresi militer yang dilancarkan tentara Inggris atas suatu wilayah 
Republik Indonesia, dilakukan mulai tanggal 10 November 1945. 
 
·         Pelanggaran Atlantic Charter dan Charter for Peace
Walaupun pada saat itu Republik Indonesia belum diakui oleh Perserikatan Bangsa 
Bangsa (PBB), situasi dunia waktu itu sudah hangat dengan pernyataan 
kemerdekaan dari berbagai negara bekas jajahan. Pengakuan resmi hanya masalah 
waktu saja. Atlantic Charter mengenai “Rights for Selfdetermination" (hak untuk 
menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa) dan kerjasama antar bangsa dalam 
menyelesaikan pertikaian internasional. Pada tanggal 14 Agustus 1941, Presiden 
Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Sir Winston 
Churchill menandatangani Atlantic Charter yang isinya a.l.: 
“…Kami menjunjung tinggi hak-hak segala bangsa untuk memilih pembangunan 
pemerintahan yang akan melindungi kehidupannya dan kami menghendaki supaya 
hak-hak kedaulatan dan pemerintahan sendiri (self determination) dikembalikan 
kepada mereka yang telah dirampas dengan kekerasan ...”
 
Atlantic Charter ini menjadi juga landasan dalam pertemuan beberapa negara di 
San Francisco, yang menghasilkan Charter for Peace, 26 Juni 1945. Kesepakatan 
beberapa negara di San Francisco tersebut menjadi dasar pembentukan PBB, yang 
diresmikan tanggal 24 Oktober 1945. Selain tidak konsisten dengan Atlantic 
Charter yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Inggris, Inggris sebagai salah 
satu negara pendiri PBB melanggar beberapa prinsip yang telah mereka tentukan 
sendiri. Ini dapat dilihat dari Preambel serta beberapa pasal Anggaran Dasar 
PBB. Dalam informasi yang dikeluarkan oleh PBB tertera: 
 
“The United Nations was established on 24th October 1945 by 51 countries 
committed to preserving peace through international cooperation and collective 
security. When States become Members of the United Nations, they agree to 
accept the obligations of the UN Charter, an international treaty which sets 
out basic principles of international relations. According to the Charter, the 
UN has four purposes: to maintain international peace and security, to develop 
friendly relations among nations, to cooperate in solving international 
problems and in promoting respect for human rights, and to be a centre for 
harmonizing the actions of nations. UN Members are sovereign countries. At the 
UN, all the Member States - large and small, rich and poor, with differing 
political views and social systems - have a voice and vote in this process.”
 
Penyerangan Inggris atas Surabaya dilakukan mulai tanggal 10 November 1945, 
setelah berdirinya PBB tanggal 24 Oktober 1945. Sebagai pendiri dan anggota 
PBB, Inggris telah menandatangani persyaratan untuk mematuhi Charter for Peace, 
Preambel dan Anggaran Dasar  PBB. Kelihatannya memang benar, bahwa Inggris 
terbiasa mengabaikan kesepakatan ataupun perjanjian yang telah mereka setujui 
dan tandatangani. 
 
 
·         Pelanggaran Preambel PBB. 
Dalam Preambel PBB tertulis a.l (lihat Web site: www.UN.org)
.
-          to save succeeding generations from the scourge of war, which twice 
in our lifetime has brought untold sorrow to mankind, and 
-          to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and 
worth of the human person, in the equal rights of men and women and of nations 
large and small, and 
-          to establish conditions under which justice and respect for the 
obligations arising from treaties and other sources of international law can be 
maintained, and 
-          to promote social progress and better standards of life in larger 
freedom, 
AND FOR THESE ENDS
-          to practice tolerance and live together in peace with one another as 
good neighbours, and 
-          to unite our strength to maintain international peace and security, 
and 
-          to ensure, by the acceptance of principles and the institution of 
methods, that armed force shall not be used, save in the common interest, and 
-          to employ international machinery for the promotion of the economic 
and social advancement of all peoples, 
HAVE RESOLVED TO COMBINE OUR EFFORTS TO ACCOMPLISH THESE AIMS
Accordingly, our respective Governments, through representatives assembled in 
the city of San Francisco, who have exhibited their full powers found to be in 
good and due form, have agreed to the present Charter of the United Nations and 
do hereby establish an international organization to be known as the United 
Nations. 
 
·         Pelanggaran Bab 1 (Pasal 1 dan 2), Anggaran Dasar PBB.
Bab 1, Pasal 1: 
The Purposes of the United Nations are:
1.       To maintain international peace and security, and to that end: to take 
effective collective measures for the prevention and removal of threats to the 
peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the 
peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the 
principles of justice and international law, adjustment or settlement of 
international disputes or situations which might lead to a breach of the peace; 
2.       To develop friendly relations among nations based on respect for the 
principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other 
appropriate measures to strengthen universal peace; 
3.       To achieve international co-operation in solving international 
problems of an economic, social, cultural, or humanitarian character, and in 
promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms 
for all without distinction as to race, sex, language, or religion; and 
4.       To be a centre for harmonizing the actions of nations in the 
attainment of these common ends. 
Bab 1, Pasal 2:
 
The Organization and its Members, in pursuit of the Purposes stated in Article 
1, shall act in accordance with the following Principles. 
1.       All Members shall settle their international disputes by peaceful 
means in such a manner that international peace and security, and justice, are 
not endangered. All Members shall refrain in their international relations from 
the threat or use of force against the territorial integrity or political 
independence of any state, or in any other manner inconsistent with the 
Purposes of the United Nations. 
2.       All Members shall give the United Nations every assistance in any 
action it takes in accordance with the present Charter, and shall refrain from 
giving assistance to any state against which the United Nations is taking 
preventive or enforcement action. 
3.       The Organization shall ensure that states which are not Members of the 
United Nations act in accordance with these Principles so far as may be 
necessary for the maintenance of international peace and security. 
4.       Nothing contained in the present Charter shall authorize the United 
Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic 
jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters 
to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice 
the application of enforcement measures under Chapter Vll. 
 
 
·         Pelanggaran HAM
-          Kejahatan Atas Kemanusiaan (Crime against humanity)
Di dalam situasi perang manapun, ada perlindungan bagi penduduk sipil. Tindakan 
tentara Inggris untuk membalas dendam dendam atas tewasnya seorang perwira 
tinggi, telah mengakibatkan tewasnya belasan ribu, bahkan mungkin lebih dari 
20.000 jiwa penduduk sipil, serta hancurnya banyak sarana/prasarana nonmiliter, 
karena waktu itu sasaran militer sendiri tidak banyak di dalam kota Surabaya.
 
-          Mengakibatkan Pengungsian (enforced displacement)
Diperkirakan lebih dari 100.000 penduduk terpaksa mengungsi (displaced persons) 
ke luar kota Surabaya; kebanyakan hanya dengan pakaian yang melekat di tubuh, 
karena dalam situasi kepanikan, tidak sempat memikirkan untuk membawa benda 
berharga. Kesengsaraan yang diderita oleh pengungsi tersebut berlanjut selama 
berbulan-bulan, sebelum mereka berani kembali ke kota yang telah hancur.
 
v      Penyimpangan Tugas Allied Forces
Tugas yang diberikan oleh Allied Forces (Tentara Sekutu/Serikat) hanyalah tiga 
butir, yaitu:
1.       Melucuti persenjataan tentara Jepang serta memulangkan kembali ke 
negaranya.
2.       Rehabilitasi tawanan tentara Sekutu dan interniran (Rehabilitation of 
Allied Prisoners of War and Internees –RAPWI).
3.       Memulihkan keamanan dan ketertiban (To maintain Law and Order).
 
Tidak ada satu patah kata pun yang menyebutkan tugas untuk membantu Belanda 
kembali berkuasa di bekas jajahannya. Ini hanya ada merupakan perjanjian 
rahasia antara Churchill dan Roosevelt di sela-sela konferensi Yalta dan 
perjanjian bilateral antara Inggris dan Belanda (lihat dokumen Lord 
Mountbatten). Berarti ini adalah penyimpangan atau penunggangan tugas Allied 
Forces serta penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang diberikan oleh Allied 
Forces kepada tentara Inggris dan Australia. Dengan demikian, jelas bahwa baik 
hidden agenda di konferensi Yalta yang diperkuat dengan deklarasi Potsdam, 
serta perjanjian bilateral Inggris-Belanda, Civil Affairs Agreement, tidak 
sejalan dengan tugas dari Allied Forces, yang harus dilaksanakan oleh Komando 
Tentara Sekutu Asia Tenggara.
 
v      Kejahatan Perang (War Crime)
Bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dan 
sudah mendapat pengakuan dari beberapa negara. Kini Republik Indonesia juga  
tercatat sebagai anggota PBB dengan hari kemerdekaan adalah 17.8.1945. Tidak 
ada pernyataan perang dari pihak mana pun, baik dari pihak Inggris maupun dari 
pihak Indonesia. Bahkan pihak Indonesia telah berusaha semaksimal mungkin untuk 
mencegah terjadinya pertempuran. Alasan Inggris waktu itu adalah menumpas 
ekstremis, dengan mengabaikan bahwa “ekstremis” tersebut ada di dalam wilayah 
kedaulatan Republik Indonesia. Agresi militer yang dilakukan oleh tentara 
Inggris –terbesar setelah berakhirnya Perang Dunia II- tidak dalam konteks 
perang dan tanpa pernyataan perang. Pemboman terhadap obyek-obyek non-militer 
dan pembunuhan terhadap non-combatant dalam agresi militer dapat dikategorikan 
sebagai kejahatan perang (war crimes).
 
------------------------------------------------------------------------------------
Cuplikan dari buku Batara R. Hutagalung “10 November ’45. Mengapa Inggris 
Membom Surabaya? Millenium Publisher, Jakarta Oktober 2001, xvi + 472 halaman.
 
*****
 
 
 
Epilog
 
Pada 9 November 1999, di Jakarta didirikan Komite Pembela Hak Asasi Rakyat 
Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS). Pada 10 November 1999 KPHARS 
melakukan demonstrasi ke Kedutaan Besar Inggris di Jakarta dan menuntut 
Pemerintah Inggris meminta maaf kepada rakyat Surabaya khususnya dan bangsa 
Indonesia umumnya atas pemboman tersebut dan bertanggungjawab atas tewasnya  
sekitar 20.000 penduduk Surabaya dan kehancuran kota, terutama Surabaya bagian 
selatan. Delegasi KPHARS diterima oleh Simon Tongue, First Secretary Politics,  
British Embassy, dan meneruskan tuntutan kepada Duta Besar Inggris, Sir Robin 
Christopher, yang kemudian diteruskan kepada Perdana Menteri Inggris Tony Blair.
 
Pada 1 April 2000, Pemerintah Inggris mengirim Nigel Pooley, Head of 
Indonesia-S.E.Asian Department- Foreign and Commonwealth Office London, 
Departemen Luar Negeri Inggris, dan bertemu dengan Batara Hutagalung, Ketua 
KPHARS, di Hotel Majapahit di Surabaya. Nigel Pooley menyampaikan, bahwa 
Pemerintah Inggris telah menerima tuntutan KPHARS yang disampaikan melalui 
Kedutaan besar Inggris di Jakarta, dan sedang menindaklanjutinya.
Pada 31 Agustus 2000, Richard Gozney menggantikan Sir Robin Christopher sebagai 
Duta Besar Kerajaan Inggris untuk Indonesia. Di akhir tahun 70-an, Richard 
Gozney pernah bertugas di Kedutaan Inggris di Jakarta sebagai First Secretary
Pada 17 Oktober 2000, Batara Hutagalung, Ketua KPHARS diundang oleh Richard 
Gozeney dan bertemu di kantornya di Jl. Thamrin, Jakarta. Ketua KPHARS 
menyampaikan dokumen-dokumen yang membuktikan adanya konspirasi Belanda dan 
Inggris tahun 1945 dan juga pelanggaran HAM berat dan bahkan kejahatan perang 
yang telah dilakukan oleh tentara Inggris di Surabaya bulan November 1945. 
Dalam kesempatan tersebut, Batara Hutagalung mengundang Richard Gozney untuk 
hadir sebagai pembicara dalam seminar yang akan diselenggarakan bersama 
LEMHANNAS RI.
 
Pada 27 Oktober 2000, bekerjasama dengan Lembaga Ketahanan Nasional RI 
(LEMHANNAS RI), KPHARS menyelenggarakan seminar internasional di Gedung 
Lemhannas RI dengan judul “The Battle of Surabaya November 1945. Back Ground 
and Consequences.” Keynote speaker: Menteri Pertahanan RI Prof. Dr. Mahfud MD, 
Pembicara: Richard Gozney, Dr. Ruslan Abdulgani, Dra. Suwarni Salyo, Mayjen TNI 
(Purn.) Soebiantoro. Moderator: Dra. Irna HN Hadi Soewito dan Batara R 
Hutagalung.
Selain Atase Pertahanan Inggris, juga hadir Atase pertahanan dari Jerman, 
Australia, India dan Pakistan serta beberapa peserta asing lainnya.
 
Pada seminar tersebut, Duta Besar Kerajaan Inggris, Richard Gozney, sebagai 
pembicara kedua setelah Dr. Ruslan Abdulgani, menyampaikan pernyataan sebagai 
berikut (Disampaikan dalam bahasa Indonesia, tanpa teks):
 
Bapak Ketua, Bapak Gubernur Lemhannas dan Bapak Ruslan Abdulgani, banyak terima 
kasih. 
Kesulitan saya jelas, bagaimana bisa ikuti seorang tokoh seperti yang barusan, 
terutama seorang tokoh yang mempunyai ingatan, mempunyai memory seperti seekor 
gajah. Saya baru 2 bulan kembali ke Indonesia; saya merasa seperti punya 
ingatan atau memory seperti seekor tikus kecil, dibandingkan dengan Bapak 
Ruslan. Apalagi saya tidak punya di sini beberapa lelucon seperti Bapak Ruslan. 
Yang belum sempat mengantuk atau istirahat, boleh sekarang. 
Pertama-tama saya mau berterima kasih banyak kepada Pak Batara Hutagalung untuk 
undangan ini, dan untuk kesempatan ikut serta dalam seminar ini. Pada waktu 
saya terima undangan, saya ragu-ragu, dengan pertanyaan untuk saya sendiri. 
Saya tanya: “Apakah ini sudah waktunya, sudah matang untuk bisa ikut serta 
dalam seminar tentang peristiwa yang begitu peka untuk Indonesia, untuk sejarah 
Indonesia?” Tetapi saya dianjurkan oleh Pak Batara dan yang lain-lain dan juga 
oleh beberapa tokoh di Surabaya, di mana saya bicarakan tentang hal ini. Mereka 
mengatakan, sekarang sudah waktunya, dan ini dalam suasana rekonsiliasi yang 
ada di sini. Sudah waktunya untuk menyampaikan sambutan dari perwakilan Inggris 
di sini. Kemudian saya tidak ragu-ragu lagi. Saya menerima undangan itu, 
tetapi, seperti Pak Batara bilang tadi, saya bukan ahli sejarah, apalagi ahli 
sejarah peristiwa bulan Oktober dan November 1945 di Surabaya, dan malahan 
belum sempat mempelajari secara
 mendalam dokumen-dokumen seperti yang punya Pak Roeslan Abdulgani  atau yang 
dipelajari Pak Roeslan di Archive di London. Saya tidak akan bicara lama di 
sini, singkat saja. 
Secara sangat serius, pertama-tama saya mau katakan, yaitu bahwa kami di 
Inggris sangat menyesal atas tewasnya ribuan orang di Surabaya. Kami hormati 
orang Indonesia yang menjadi korban dan memperingati kehidupan mereka. Kami 
juga menghormati tentu saja prajurit-prajurit Inggris yang meninggal, 500 orang 
yang disebut tadi oleh Pak Roeslan. Kami juga menghormati ribuan orang Belanda 
dan orang Indo Belanda yang dibunuh sebagai akibat penyerbuan Indonesia oleh 
Jepang pada tahun empatpuluhan itu. Oleh karena itu, kita semua hormati juga 
usaha-usaha Lemhannas bersama dengan Pak Batara dan Panitia ini, untuk 
menjelaskan secara rinci sejarah pada waktu tahun 1945 itu. 
Seperti yang saya katakan, bukan peranan saya hari ini, karena fakta-fakta, 
kenyataan itu secara rinci harus di lakukan para ahli dari 
universitas-universitas; dan ada juga di Inggris. Saya kenal 3 atau 4 orang  di 
sana. Satu di Universitas London, satu di Oxford dan satu lagi di Inggris 
Utara. Saya pikir, mereka bisa ditarik ke sini, kalau kita usahakan 
bersama-sama dengan Panitia ini, bersama dengan Lemhannas dan bersama saya. 
Yang saya mau singgung sekarang, hanya sebagian latar belakangnya secara umum 
dan secara politik, kalau diperkenankan. Sekarang, 55 tahun kemudian, mudah 
sekali kalau kita menilai aksi pada waktu itu, kegiatan pada waktu itu, 
keputusan pada waktu itu, atas dasar standar hari ini. Kalau dipertimbangkan 
atas dasar standar yang sekarang tapi kejadian 55 tahun yang lalu, susah sekali 
menganggap bahwa aksi 55 tahun yang lalu; ada yang pantas, ada yang acceptable, 
bisa diterima hari ini. 
Sebagaimana yang terjadi di Surabaya, seperti ada banyak peristiwa-peristiwa 
selama perang dunia kedua, baik di Asia maupun di Eropa. Selama itu, beberapa 
bulan sesudah selesai perang dunia II, kalau dinilai hari ini, atas dasar atau 
standar hari ini, akan dianggap kurang acceptable, tidak acceptable. Tetapi, 
membuat evaluasi atas standar atau penilaian hari ini, atas aksi-aksi 55 tahun 
yang lalu, saya pikir sebenarnya itu salah;  itu suatu –kalau boleh dikatakan- 
godaan yang harus dihindari, karena standar-standar pada zaman itu lain. Dan 
kalau di sini secara langsung yang terjadi di Surabaya, motivasinya Brigadir 
Mallaby dan Jenderal yang ikut 10 hari kemudian setelah kematian Brigadir 
Mallaby, mereka pada umumnya, pokoknya motivasinya jelas, dan saya pikir cukup 
murni juga.  
Ada kekosongan pada waktu itu, seperti Pak Ruslan tadi ceritakan, tidak ada 
penyerahan Jepang yang jelas, bahkan sebaliknya. Itu disinggung dalam buku yang 
ditulis oleh ayahnya Pak Batara Hutagalung. Disinggung secara sangat jelas, ada 
kekosongan kekuasaan setelah penyerahan resmi oleh Jepang, tapi kenyataannya di 
sini, di Jawa itu lain. Jepang tidak menyerahkan secara terperinci. Tadi Pak 
Roeslan ceritakan tentang pendaratan dan sebagainya. 
Nah, sebagai akibat adanya kekosongan itu, tentara kami, tentara Inggris datang 
dengan 3 tujuan:
-          Yang pertama, untuk menyelamatkan wanita dan anak dan orang-orang 
sipil yang sudah lama ditahan selama zaman Jepang dan ada kekhawatiran yang 
riil, yang sebenarnya, atas nasibnya orang-orang sipil, banyak wanita, banyak 
anak-anak juga pada waktu itu. 
-          Tujuan yang kedua, untuk mengatur penarikan Jepang dan juga seperti 
Bapak Abdulgani baru menjelaskan, itu belum dilaksanakan, belum dilakukan 
secara jelas, itu tujuan yang kedua. 
-          Dan yang ketiga, ini sesuatu yang kami mengakui terus terang, tanpa 
persoalan, yakni yang dimaksud dalam surat yang penting dari Panglima Asia, 
Mountbatten -Mountbatten tidak ada di sini, tetapi dia adalah Panglima seluruh 
tentara Inggris untuk wilayah Asia- adalah untuk membantu Belanda, mengambil 
kembali Indonesia sebagai jajahan. 
Nah itulah aksi motivasi tujuan kami, yang tentu saja atas dasar standar yang 
hari ini, tidak bisa diterima dengan baik. Tapi saya pikir, sebaiknya kita 
semua pikir atas standar atau sejarah pada zaman itu. Dan pada zaman itu, tidak 
ada satu negara jajahan Inggris pun yang sudah diberi kemerdekaan; India pun 
masih ada di bawah jajahan Inggris sampai tahun 1947. Wah, saya salah ya, maaf, 
ini ada satu jajahan Inggris yang sudah merdeka yaitu yang disebut Amerika 
Serikat, tapi hanya itu. Selanjutnya, pada waktu itu, saya katakan sebagai 
orang Eropa, bahwa keadaan negara jajahan dari negara-negara Eropa seperti 
Prancis, seperti Belanda, seperti Inggris,  pada saat itu masih sesuatu yang 
rupanya wajar, dan sekarang sudah aneh; tapi itu 55 tahun kemudian ‘kan? 
Kembali ke pikiran saya yang pokok untuk kita -yang saya anjurkan- kita coba 
menghindarkan yang saya sebut godaan untuk membuat evaluasi tentang kejadian 
pada waktu itu atas dasar standar penilaian hari ini. Jadi pada waktu itu 
standar kepentingan Inggris, latar belakangnya, semuanya lain. Nah hanya itu 
yang mau saya katakan di sini. Tentu saja saya sangat gembira, bahwa Inggris, 
pemerintah Inggris, perwakilan Inggris diundang untuk ikut serta di sini. Saya 
menerima undangan kemarin dengan kerendahan hati, benar. Oleh karena ini 
masalah sejarah Indonesia dan peranan Inggris pada waktu itu, selalu akan 
merupakan suatu aspek yang kontroversial, dan untuk itu saya mau berterima 
kasih telah diterima hari ini. 
Saya akan membuat laporan untuk teman saya, yang anaknya Brigadier Mallaby, 
sekarang sudah pensiun. Dia mantan Duta Besar Inggris di Jerman dan di Prancis; 
dia salah satu diplomat Inggris yang paling senior, yang paling penting. 
Sekarang sebagai direktur di satu bank di London. Soalnya saya tidak tahu, tadi 
Pak Batara umumkan rencana kami atau kita untuk mengundang Mallaby ke sini. 
Tentu dia belum dengar, karena saya belum memberi tahu dia, harus tunggu dulu 
untuk melihat kalau bisa menariknya ke sini. Beliau belum pernah mengunjungi 
makam ayahnya yang ada di sini, di Jakarta (Menteng Pulo-red). Barangkali tahun 
depan atau dua tahun lagi kita bisa mengundang -yang seperti Pak Hutagalung 
katakan tadi- untuk memberikan suatu kuliah atau  semacam itu di suatu 
universitas. Dia tidak punya pengalaman di Asia, tetapi dia tahu menahu tentang 
masalah-masalah hubungan luar negeri di Eropa, dan bisa bicara tentang hal itu, 
barangkali; tetapi nanti saya hubungi
 dia. 
Sekali lagi, secara sangat serius, yang penting adalah bahwa sebagai wakil 
Pemerintah Inggris, saya katakan bahwa kami  orang Inggris sangat menyesal atas 
tewasnya sebegitu banyak orang Surabaya pada waktu itu. Terima kasih.
 
 
Penutup
 
Pada 10 Nobember 2000, di acara Peringatan Hari Pahlawan di Surabaya, terjadi 
satu peristiwa bersejarah. Untuk pertamakalinya seorang Duta Besar Kerajaan 
Inggris, Richard Gozney, didampingi oleh Richard Philips, Direktur British 
Council dan Konsul Inggris di Surabaya, menghadiri.acara Peringatan Hari 
Pahlawan.
Bertindak sebagai Inspektur Upacara Presiden Republik Indonesia, Abdurahman 
Wahid.
Hadir juga Atase Pertahanan Pakistan.
 
Pada hari itu juga, 10 November 2000 di Surabaya, Komite Pembela Hak Asasi 
Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS) dibubarkan, dan 
didirikan Yayasan Persahabatan 10 November ’45.
Batara R Hutagalung diangkat sebagai Ketua, dan Wakil Ketua adalah Bambang 
Sulistomo, Putra Bung Tomo.
 
 
Selesai
 
 
Bagi yang berminat terhadap peristiwa sejarah, silakan kunjungi weblogs
http://batarahutagalung.blogspot.com,
http://10november1945.blogspot.com,
http://indonesiadutch.blogspot.com
=================================
The Jakarta Post
Sunday, December 30, 2001
Book Review

"10 November '45, Mengapa Inggris Membom Surabaya?" ("10 November '45, Why Did  
Britain Bomb Surabaya?"); By Batara R. Hutagalung; Millenium Publisher, 
Jakarta; 
(Oct. 2001), first edition, xiv + 472 pp; Rp 59,900,
This book analyzes the simultaneous sea, land and air campaign by British 
forces against the defenders of the East Java capital of Surabaya in November 
1945.
To this day, it remains a bitter memory for older Indonesians.
In the author's opinion, there are two main reasons why Britain, which did not 
hold colonial authority over Indonesia, launched the invasion.
First, there were psychological and emotional reasons at play, since Britain 
was victorious in World War II. Second, the British were bound by a treaty with 
the Dutch stemming from the conference at Yalta on Feb. 11, 1945, and the 
Postdam Declaration, which took place on July 26, 1945.
The objectives of the treaty were "to reestablish civilian rule, and return the 
colony to Dutch administration," as well as "to maintain the status quo which 
existed before the Japanese invasion".
They can be found in a letter dated Sept. 2, 1945 by the Allied Forces' Supreme 
Commander South East Asia Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. British 
assistance was also in line with the Civil Affairs Agreement between the Dutch 
and Britain in Chequers, Britain, on Aug. 24, 1945.
The author also outlines the violations committed by British troops. They 
include infringements upon the sovereignty of the fledgling nation of 
Indonesia, human rights abuses -- including crimes against humanity and forced 
displacement -- and war crimes.
Apart from its thorough dissection of this bloody chapter of Indonesian 
history, this book carries something else of equally important historical 
significance: an official apology from the British government. It was expressed 
by British Ambassador to Indonesia Richard Gozney in the  name of the British 
government during a seminar on the Battle of Surabaya in Jakarta in October 
2000.
It was a sympathetic act -- one which has yet to be offered by the Dutch who, 
as a colonial power, ruled Indonesia for centuries.
-- Darul Aqsha
 
 


      

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke