http://majalah.tempointeraktif.com:80/id/arsip/2009/01/05/WAW/mbm.20090105.WAW129145.id.html

46/XXXVII 05 Januari 2009

Wawancara 

Siti Musdah Mulia:
Tidak Ada Contoh Negara Islam Ideal

BANYAK orang menyebutnya muslimah yang "mau dan berani bersuara" untuk 
mewujudkan Islam sebagai ajaran yang teduh, dialogis, dan inklusif. Sebutan itu 
terdengar lagi ketika Yayasan Pusat Hak Asasi Manusia menganugerahinya 
Penghargaan Yap Thiam Hien, pertengahan Desember lalu. 

Penghargaan itu bukan yang pertama bagi Siti Musdah Mulia. Pada Hari Perempuan 
Dunia, 8 Maret 2007, ia juga menerima anugerah Women of Courage dari Menteri 
Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice, di Washington, DC. Gagasan dan 
aktivitasnya membuat dia dianggap wanita Asia pemberani. 

Memang, pemikiran dan sepak terjang perempuan asal Sulawesi Selatan ini 
akhirnya kerap bertabrakan dengan pandangan ulama pada umumnya. Semasa bertugas 
di Departemen Agama, ia menyusun Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang 
tegas menyatakan kesetaraan pria dan wanita. Dia juga melakukan pembelaan 
terhadap kaum minoritas, seperti Ahmadiyah dan kelompok gay. 

"Saya sering menerima teror lewat telepon dan pesan pendek setelah berbicara di 
radio atau televisi," katanya ketika menerima Nugroho Dewanto, Arif A. 
Kuswardono, dan Gabriel Wahyu Titiyoga dari majalah Tempo, pertengahan Desember 
lalu. Ia juga dicopot dari posisi staf ahli Menteri Agama. Akademisi yang 
mengaku terpengaruh Harun Nasution, Mohammad Arkoun, dan Haikal itu menjelaskan 
pemikirannya yang kadang disalahpahami. Perbincangan berlangsung hangat di 
kantornya, Indonesian Conference on Religion and Peace, di kawasan Cempaka 
Putih, Jakarta Pusat. 

Kenapa belakangan ini umat Islam di Indonesia menjadi lebih radikal dibanding 
masa sebelumnya? 


  Saya melihat fenomena ini sebagai pengaruh kebijakan Amerika terhadap 
negara-negara Islam, yang menimbulkan kebencian umat Islam Indonesia. Ketika 
saya menerima penghargaan pada 2007 itu, Condoleezza Rice bertanya, "Apa yang 
bisa saya bantu untuk Indonesia?" Jawab saya, "Stop violence sebagai solusi di 
negara-negara Islam. Sebab, kebijakan kalian itu kontraproduktif dengan usaha 
membangun demokrasi di Indonesia."
Anda kecewa terhadap George Bush yang "mendakwahkan" demokrasi dengan cara 
kekerasan? 


  Orang memandang demokrasi itu identik dengan Amerika, dengan cara-cara George 
Bush yang penuh kekerasan itu. Padahal, itu cuma cara Bush, dan bukan hakikat 
demokrasi. Demokrasi juga tidak identik dengan kebijakan Amerika.
Apakah ada faktor dalam negeri yang juga berpengaruh? 


  Sampai sekarang pemerintah kita selalu dianggap sekuler. Pemerintah ini gagal 
menyejahterakan masyarakat. Itu membuat masyarakat kita tidak percaya terhadap 
nilai-nilai demokrasi. Dalam sebuah diskusi, Abubakar Ba'asyir mengatakan 
kepada saya, "Musdah, satu-satunya cara membangun Indonesia adalah meninggalkan 
sekularisme, melepaskan diri dari Pancasila, dan kembali ke dasar Islam." Lalu 
saya tanya, "Islam yang seperti apa?" Saya beri contoh Saudi: apa yang bisa 
kita ambil dari Saudi? Juga Pakistan, negara yang tercabik-cabik oleh perang 
saudara? Dia jawab, "Kita masih pikirkan, tapi bukan itu." Kok, masih mikir? 
Lebih baik yang sudah ada saja kita perbaiki.
Adakah contoh negara Islam yang cukup ideal dalam relasi agama, negara, dan 
pembangunan untuk dijadikan model bagi Indonesia? 


  Kita mau cari ke mana? Sudah lama saya meneliti, bahkan disertasi saya 
tentang negara Islam. Tidak ada contohnya.
Bagaimana dengan contoh di periode awal sejarah Islam? 


  Mungkin prinsip-prinsip demokrasi yang hakiki ada pada Khulafah Rasyidin, 
ketika penghargaan terhadap manusia ditegakkan, prinsip persamaan dibangun. 
Tapi masa itu kan tidak lama, hanya 30 tahun. Dari pengalaman kita, misalnya, 
pada masa Wali Songo, mereka mampu mempribumikan Islam, berdakwah dengan 
pendekatan sosiologi. Mungkin itu point yang bisa diambil.
Jadi, kita harus membentuk masa depan Islam Indonesia sendiri? 


  Ya. Tapi, ada unsur-unsur yang bisa diambil, misalnya toleransi, kebinekaan, 
dan semacamnya.
Benarkah kelompok-kelompok radikal Islam juga memanfaatkan demokrasi untuk 
mengekspresikan diri? 


  Sejak keran reformasi dibuka, dari masa Gus Dus hingga Yudhoyono, kesempatan 
ini digunakan oleh kelompok Islam yang pada masa Soeharto tidak punya 
kesempatan mengekspresikan opini dan ideologi mereka. Mereka pikir, sekarang 
ini era demokrasi, jadi berhak, dong. Kelompok seperti Majelis Mujahiddin dan 
Hizbut Tahrir bahkan hidup di Indonesia. Padahal kelompok seperti itu tidak ada 
di negara-negara Islam. 
Apakah di sana mereka dilarang? 


  Kelompok seperti Hizbut Tahrir selalu merongrong ideologi sebuah negara. Mana 
ada kepala negara yang suka? Di Mesir, organisasi ini dikejar-kejar seperti 
tikus. Tapi, di Indonesia, kok bisa organisasi seperti ini hidup atas nama 
demokrasi? Bahkan Partai Keadilan Sejahtera, menurut saya, bertentangan dengan 
demokrasi. PKS mengakui demokrasi hanya secara prosedural, tidak substansial. 
Itu ada dalam visi dan misi partai mereka. Padahal, dalam Undang-Undang Pemilu 
dan Undang-Undang Partai Politik jelas ditegaskan bahwa demokrasi itu dalam 
arti substansial, bukan sekadar prosedural. Sebuah partai yang tidak menyetujui 
demokrasi yang substansial di Indonesia seharusnya tidak boleh berdiri.
Kalau mereka menang, demokrasi akan dihapus? 


  Tujuan mereka kan teokrasi? Jadi, kalau bentuknya negara Islam, pilihannya 
hanya dua: teokrasi atau demokrasi dengan tangan besi.
Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri 
Syarif Hidayatullah menunjukkan pluralisme tidak berkembang di level 
masyarakat. Apa sesungguhnya yang terjadi? 


  Masyarakat kita sebenarnya dari dulu tidak rukun. Di daerah-daerah, perekatan 
antara orang-orang yang berbeda agama tidak kuat. Pendidikan agama kita justru 
sejak kecil mengajarkan bahwa kita berbeda. Kepada kita diajarkan lebih banyak 
masalah ritual, lalu "kamu Islam, kamu Kristen". Mana pernah diajarkan, jika 
melihat gereja, sinagog, kita harus menghormati karena itu rumah ibadah. Kalau 
mau jujur, semua yang terbangun dalam pikiran umat Islam ketika melihat gereja 
adalah pandangan yang menakutkan. Bahwa gereja itu isinya orang kafir. Begitu 
juga orang Kristen ketika melihat masjid.
Agama seolah menjadi sumber konflik? 


  Agama itu punya dua fungsi: sumber konflik dan integrasi. Tapi yang lebih 
banyak dipakai masyarakat adalah sumber konflik, karena paling mudah dan andal. 
Kasus Poso, misalnya. Masalahnya adalah soal ekonomi, pertikaian lahan, dan 
sumber alam. Agama dijadikan alat pemicunya.
Sejarah Indonesia terbiasa dengan pemimpin perempuan, baik Islam maupun 
Kristen. Mengapa kini pemimpin perempuan dipermasalahkan? 


  Pemimpin perempuan itu sudah ada sejak zaman Majapahit. Bahkan sudah muncul 
di kerajaan-kerajaan kecil sebelumnya. Tapi pemahaman keagamaan kita itu tetap 
saja tradisional. 
Bagaimana perkembangan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang pernah 
Anda susun? 


  Karena Pengadilan Agama dialihkan ke Mahkamah Agung sejak 2004, urusan 
undang-undang perkawinan bukan lagi wewenang Departemen Agama. Selama dua tahun 
ini ada draf Undang-Undang Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Enam 
puluh persen isinya diambil dari Kompilasi Hukum Islam. Misalnya, perubahan 
umur cakap, dari 16 ke 19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Poligami yang 
melanggar aturan akan dikenai sanksi. Buat saya itu sebuah progress, ketimbang 
undang-undang yang sekarang.
Apa kelemahan undang-undang perkawinan yang berlaku sekarang? 


  Di Indonesia ada dua undang-undang tentang perkawinan, yakni Undang-Undang 
Nomor 1 tahun 1974 dan Undang-Undang Perkawinan Kompilasi Hukum Islam. Isi 
keduanya tidak jauh berbeda. Hanya dalam Kompilasi lebih njelimet, karena 
menyangkut fikih. Misalnya, soal wanita yang bercerai sebelum duhul (hubungan 
seksual), maskawinnya dikembalikan setengah. Menurut saya, ini undang-undang 
yang sangat primitif. Perkawinan itu bukan hanya urusan seks. Ada tidak di 
masyarakat orang yang hendak bercerai ditanya: "Kamu sudah duhul belum?" 
(Musdah tertawa). Hal penting lain, dalam kedua undang-undang ini tidak ada 
sanksi untuk memberikan perlindungan kepada perempuan. Misalnya, jika terjadi 
perkawinan dini seperti dilakukan Syekh Puji itu, enggak ada sanksinya, kan?
Bagaimana contoh di negara Islam lain? 


  Di Mesir, boleh poligami, tapi dengan izin istri. Izinnya harus lisan dan 
tertulis oleh si istri, di depan pengadilan. Pengadilan akan melihat struk 
gaji, cukup atau tidak untuk menafkahi istri lebih dari satu. Kalau melanggar, 
akan dipidanakan. Begitu juga kalau perkawinan tidak dilakukan penghulu yang 
berwenang, maka yang kawin, yang dikawinkan, para saksi, dan wali bisa 
dipidanakan. Di Indonesia, orang kawin di mana-mana enggak ada yang ngurusin. 
Negara kita seperti tidak ada hukum sama sekali.



Prof Dr Siti Musdah Mulia MA 

a.. Tempat dan tanggal Lahir: Bone, Sulawesi Selatan, 3 Maret 1958 | 
Pendidikan: - Sarjana bahasa dan sastra Arab, Institut Agama Islam Negeri 
Alaudin, Makassar, 1982 - Magister bidang sejarah pemikiran Islam, Institut 
Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1992 - Doktor bidang 
pemikiran politik Islam, IAIN Syarif Hidayatullah, 1997 | Karier: - Dosen 
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 1997-sekarang - Visiting 
professor di EHESS Paris, 2006 - Tim ahli Menteri Tenaga Kerja, 2000-2001 - 
Staf ahli Menteri Agama Bidang Pembinaan Hubungan Organisasi Keagamaan 
Internasional, 2001-2007 - Sekretaris Jenderal Indonesian Conference on 
Religion and Peace, 2001-sekarang - Wakil Sekjen Pengurus Pusat Muslimat 
Nahdlatul Ulama, 2000-2005 - Ketua Panah Gender Perkumpulan Keluarga Berencana 
Indonesia, 2002-2005


[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:proletar-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke