Ada yg majenun di milis ini yakni jusfiq majenun

--- Pada Jum, 16/7/10, rezameutia <rezameu...@yahoo.com> menulis:

Dari: rezameutia <rezameu...@yahoo.com>
Judul: [proletar] met weekend...
Kepada: proletar@yahoogroups.com
Tanggal: Jumat, 16 Juli, 2010, 11:30 AM







 



  


    
      
      
      kisah cinta klasik laila majnun sudah terkenal, hanya mungkin banyak yang 
belum membaca bukunya.  ini ada ringkasan buku novel cinta klasik laila majnun 
dari tetangga sebelah.  selamat membaca... 



met weekend everybody...



==============



Laila Majnun



Alkisah, seorang kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiIiki segala macam 
yang diinginkan orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang anakpun.  
Tabib-tabib di desa itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi 
tidak berhasil. 



Ketika semua usaha tampak tak berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua 
bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt memberikan 
anugerah kepada mereka berdua.  "Mengapa tidak?", jawab sang kepala suku.  
"Kita telah mencoba berbagai macam cara.  Mari, kita coba sekali lagi, tak ada 
ruginya."



Mereka pun bersujud kepada Tuhan, sambil berurai air mata dari relung hati 
mereka yang terluka.  "Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak 
berbuah.  Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami.  
Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang 
baik.  Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami".



Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka 
seorang anak laki-laki yang diberi nama Qais.  Sang ayah sangat berbahagia, 
sebab Qais dicintai oleh semua orang.  Ia tampan, bermata besar, dan berambut 
hitam, yang menjadi pusat perhatian dan kekaguman. 



Sejak awal, Qais telah memperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa.  
Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, 
menggubah syair dan melukis.  



Ketika sudah cukup umur untuk masuk sekolah, ayahnya memutuskan membangun 
sebuah sekolah yang indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di 
sana , dan hanya beberapa anak saja yang belajar di situ.  Anak-anak lelaki dan 
perempuan dan keluarga terpandang di seluruh jazirah Arab belajar di sekolah 
baru ini.



Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga.  Seorang 
gadis bermata indah, yang memiliki kecantikan luar biasa.  Rambut dan matanya 
sehitam malam; karena alasan inilah mereka menyebutnya Laila - "Sang Malam".  



Meski ia baru berusia dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk 
dinikahi, sebab-sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering 
dilamar pada usia yang masih sangat muda, yakni sembilan tahun.



Laila dan Qais adalah teman sekelas.  Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka 
sudah saling tertarik satu sama lain.  Seiring dengan berlalunya waktu, 
percikan ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta yang membara.  



Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar.  Kini, sekolah menjadi 
tempat mereka saling bertemu.  Ketika guru sedang mengajar, mereka saling 
berpandangan.  



Ketika tiba waktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di 
atas kertas.  Bagi mereka berdua, tak ada teman atau kesenangan lainnya.  Dunia 
kini hanyalah milik Qais dan Laila.



Mereka buta dan tuli pada yang lainnya.  Sedikit demi sedikit, orang-orang 
mulai mengetahui cinta mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar.  Di 
zaman itu, tidaklah pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta 
seseorang dan sudah pasti mereka tidak akan menanggapinya.  



Ketika orang-tua Laila mendengar bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka 
pun melarangnya pergi ke sekolah.  Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu 
pada masyarakat sekitar.



Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia 
meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya 
dengan memanggil-manggil namanya.  



Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan.  Ia hanya 
berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali 
bila mereka bertanya tentang Laila.  Orang-orang pun tertawa dan berkata, 
"Lihatlah Qais , ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!".  Akhirnya, 
Qais dikenal dengan nama ini, yakni "Majnun". 



Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun tidak 
tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu 
bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana 
menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai 
Majnun. 



Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun 
sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila.  Sepanjang hari Majnun 
duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke 
bawah menuju desa itu.  



Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa 
yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila.  Ia 
menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta 
memberitahunya bahwa ia dekat.



Ia menghirup angin dari barat yang melewati desa Laila. Jika kebetulan ada 
seekor anjing tersesat yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan 
dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan 
menjaganya sampai tiba saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian.  
Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama 
seperti kekasihnya sendiri.



Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya 
kepada Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun 
tanpa melihatnya kembali.  



Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia 
berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat 
kehilangan dirinya.



Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian 
terharu oleh penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad 
membantunya untuk berjumpa kembali dengan Laila.  



Rencana mereka sangat cerdik.  Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila 
dengan menyamar sebagai wanita.  Dengan mudah mereka melewati wanita-wanita 
pembantu di rumah Laila dan berhasil masuk ke pintu kamarnya.



Majnun masuk ke kamar, sementara yang lain berada di luar berjaga-jaga.  Sejak 
ia berhenti masuk sekolah, Laila tidak melakukan apapun kecuali memikirkan 
Qais.  



Yang cukup mengherankan, setiap kali ia mendengar burung-burung berkicau dari 
jendela atau angin berhembus semilir, ia memejamkan matanya sembari 
membayangkan bahwa ia mendengar suara Qais didalamnya.  



Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau sungai dan 
tahu bahwa semuanya itu berasal dari Qais.  Hanya saja, ia tak pernah berbicara 
kepada siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat terbaiknya, tentang 
cintanya.



Pada hari ketika Majnun masuk ke kamar Laila, ia merasakan kehadiran dan 
kedatangannya.  Ia mengenakan pakaian sutra yang sangat bagus dan indah.  
Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar bahunya.  
Matanya diberi celak hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak 
hitam yang disebut surmeh.  Bibirnya diberi lipstick merah, dan pipinya yang 
kemerah-merahan tampak menyala serta menampakkan kegembiraannya.  



Ia duduk di depan pintu dan menunggu.



Ketika Majnun masuk, Laila tetap duduk.  Sekalipun sudah diberitahu bahwa 
Majnun akan datang, ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi.  



Majnun berdiri di pintu selama beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajah 
Laila.  Akhirnya, mereka bersama lagi!  Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali 
detak jantung kedua orang yang dimabuk cinta ini.  Mereka saling berpandangan 
dan lupa waktu.



Salah seorang wanita pembantu di rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun di 
luar kamar tuan putrinya.  Ia mulai curiga dan memberi isyarat kepada salah 
seorang pengawal.  



Namun, ketika ibu Laila datang menyelidiki, Majnun dan kawan-kawannya sudah 
jauh pergi.  Sesudah orang-tuanya bertanya kepada Laila, maka tidak sulit bagi 
mereka mengetahui apa yang telah terjadi.  Kebisuan dan kebahagiaan yang 
terpancar dimatanya menceritakan segala sesuatunya.



Sesudah terjadi peristiwa itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiap 
pintu di rumahnya.  Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah 
Laila, bahkan dari kejauhan sekalipun.  Akan tetapi jika ayahnya berpikiran 
bahwa, dengan bertindak hati-hati ini ia bisa mengubah perasaan Laila dan 
Majnun, satu sama lain, sungguh ia salah besar.



Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk 
mengakhiri drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya.  Ia menyiapkan sebuah 
kafilah penuh dengan hadiah dan mengirimkannya ke desa Laila.  Sang tamu pun 
disambut dengan sangat baik, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang 
tentang kebahagiaan anak-anak mereka.  



Ayah Majnun lebih dulu berkata, "Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal 
yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu "Cinta dan Kekayaan". Anak lelakiku 
mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku sanggup memberi 
mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan 
menyenangkan".  



Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, "Bukannya aku menolak Qais. Aku 
percaya kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan terhormat", jawab 
ayah Laila.  "Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku 
berhati-hati dengan anakmu.  Semua orang tahu perilaku abnormalnya.  Ia 
berpakaian seperti seorang pengemis.  Ia pasti sudah lama tidak mandi dan iapun 
hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak.  Tolong katakan kawan, 
jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku, akankah 
engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?"



Ayah Qais tak dapat membantah.  



Apa yang bisa dikatakannya?  



Padahal, dulu anaknya adalah teladan utama bagi awan-kawan sebayanya?  Dahulu 
Qais adalah anak yang paling cerdas dan berbakat di seantero Arab? Tentu saja, 
tidak ada yang dapat dikatakannya.  



Bahkan, sang ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya.  Sudah lama orang 
tidak mendengar ucapan bermakna dari Majnun.  "Aku tidak akan diam berpangku 
tangan dan melihat anakku menghancurkan dirinya sendiri", pikirnya. "Aku harus 
melakukan sesuatu."



Ketika ayah Majnun kembali pulang, ia menjemput anaknya.  Ia mengadakan pesta 
makan malam untuk menghormati anaknya.  Dalam jamuan pesta makan malam itu, 
gadis-gadis tercantik di seluruh negeri pun diundang. Mereka pasti bisa 
mengalihkan perhatian Majnun dari Laila, pikir ayahnya.  



Di pesta itu, Majnun diam dan tidak mempedulikan tamu-tamu lainnya.  Ia duduk 
di sebuah sudut ruangan sambil melihat gadis-gadis itu hanya untuk mencari pada 
diri mereka berbagai kesamaan dengan yang dimiliki Laila.



Seorang gadis mengenakan pakaian yang sama dengan milik Laila; yang lainnya 
punya rambut panjang seperti Laila, dan yang lainnya lagi punya senyum mirip 
Laila.  Namun, tak ada seorang gadis pun yang benar-benar mirip dengannya.  



Malahan, tak ada seorang pun yang memiliki separuh kecantikan Laila.  Pesta itu 
hanya menambah kepedihan perasaan Majnun saja kepada kekasihnya.  Ia pun berang 
dan marah serta menyalahkan setiap orang di pesta itu lantaran berusaha 
mengelabuinya.



Dengan berurai air mata, Majnun menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnya 
sebagai berlaku kasar dan kejam kepadanya.  Ia menangis sedemikian hebat hingga 
akhirnya jatuh ke lantai dalam keadaan pingsan.  



Sesudah terjadi petaka ini, ayahnya memutuskan agar Qais dikirim untuk 
menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan harapan bahwa Allah akan merahmatinya 
dan membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini.



Di Makkah, untuk menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud di depan altar Kabah, 
tetapi apa yang ia mohonkan?  "Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para 
Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal 
saja.  Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa, 
cintaku dan kekasihku tetap hidup."  Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi 
yang bisa ia lakukan untuk anaknya.



Usai menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang 
banyak di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada.  Ia 
tidak kembali ke gubuknya.  Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal di 
reruntuhan sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal 
didalamnya.  



Sesudah itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar tentang Majnun. 
Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan keluarganya untuk mencarinya. Namun, 
tak seorang pun berhasil menemukannya.  Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun 
dibunuh oleh binatang-binatang gurun sahara.  



Ia bagai hilang ditelan bumi.



Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan melihat ada 
sesosok aneh yang duduk di salah sebuah tembok yang hancur.  Seorang liar 
dengan rambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, 
bajunya compang-camping dan kumal.  



Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak beroleh jawaban, ia 
mendekatinya.  Ia melihat ada seekor serigala tidur di kakinya.  "Hus" katanya, 
"Jangan bangunkan sahabatku".  Kemudian, ia mengedarkan pandangan ke arah 
kejauhan.



Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang.  Ia menunggu dan ingin tahu apa 
yang akan terjadi.  Akhimya, orang liar itu berbicara.  Segera saja ia pun tahu 
bahwa ini adalah Majnun yang terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnya 
dibicarakan orang di seluruh jazirah Arab. 



Tampaknya, Majnun tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan 
binatang-binatang buas dan liar.  Dalam kenyataannya, ia sudah menyesuaikan 
diri dengan sangat baik sehingga lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai 
bagian dari kehidupan liar dan buas itu.



Berbagai macam binatang tertarik kepadanya, karena secara naluri mengetahui 
bahwa Majnun tidak akan mencelakakan mereka.  Bahkan, binatang-binatang buas 
seperti serigala sekalipun percaya pada kebaikan dan kasih sayang Majnun.  



Sang musafir itu mendengarkan Majnun melantunkan berbagai kidung pujiannya pada 
Laila.  Mereka berbagi sepotong roti yang diberikan olehnya.  Kemudian, sang 
musafir itu pergi dan melanjutkan perjalanannya.



Ketika tiba di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya pada orang-orang.  Akhimya, 
sang kepala suku, ayah Majnun, mendengar berita itu.  Ia mengundang sang 
musafir ke rumahnya dan meminta keteransran rinci darinya.  Merasa sangat 
gembira dan bahagia bahwa Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun sahara 
untuk menjemputnya.



Ketika melihat reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayah 
Majnun dicekam oleh emosi dan kesedihan yang luar biasa.  Betapa tidak!  
Anaknya terjerembab dalam keadaan mengenaskan seperti ini.  "Ya Tuhanku, aku 
mohon agar Engkau menyelamatkan anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami", 
jerit sang ayah menyayat hati. 



Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat persembunyiannya.  
Dengan bersimpuh dibawah kaki ayahnya, ia pun menangis, "Wahai ayah, ampunilah 
aku atas segala kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu.  Tolong lupakan bahwa 
engkau pernah mempunyai seorang anak, sebab ini akan meringankan beban 
kesedihan ayah.  Ini sudah nasibku mencinta, dan hidup hanya untuk mencinta".  
Ayah dan anak pun saling berpelukan dan menangis. 



Inilah pertemuan terakhir mereka.



Keluarga Laila menyalahkan ayah Laila lantaran salah dan gagal menangani 
situasi putrinya.  Mereka yakin bahwa peristiwa itu telah mempermalukan seluruh 
keluarga.  Karenanya, orangtua Laila memingitnya dalam kamamya.  Beberapa 
sahabat Laila diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani.  
Ia berpaling kedalam hatinya, memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya.



Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah 
syair kepada kekasihnya pada potongan-potongan kertas kecil.  Kemudian, ketika 
ia diperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan 
kertas kecil ini dalam hembusan angin.  Orang-orang yang menemukan syair-syair 
dalam potongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun.  Dengan cara 
demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.



Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang datang 
mengunjunginya.  Namun, mereka hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka 
tahu bahwa Majnun tidak kuat lama dikunjungi banyak orang.  Mereka 
mendengarkannya melantunkan syair-syair indah dan memainkan serulingnya dengan 
sangat memukau.  Sebagian orang merasa iba kepadanya; sebagian lagi hanya 
sekadar ingin tahu tentang kisahnya. 



Akan tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta dan kasih sayangnya 
kepada semua makhluk.  Salah seorang dari pengunjung itu adalah seorang ksatria 
gagah berani bernama `Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam perjalanannya 
menuju Mekah.  Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu 
di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.



Drama kisah tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga ia 
bersumpah dan bertekad melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua 
kekasih itu, meskipun ini berarti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya!

 Ketika Amr kembali ke kota kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya.  
Pasukan ini berangkat menuju desa Laila dan menggempur suku di sana tanpa 
ampun.  Banyak orang yang terbunuh atau terluka.



Ketika pasukan `Amr hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan 
pesan kepada `Amr, "Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan 
putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin 
membunuhnya, aku tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah 
bisa kuterima, jangan minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu". 



Majnun mendengar pertempuran itu hingga ia bergegas kesana.  Di medan 
pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit 
dan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila.  Ia merawat mereka 
dengan penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka.



Amr pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa 
ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, "Orang-orang ini berasal dari desa 
kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?".  



Karena sedemikian bersimpati kepada Majnun, `Amr sama sekali tidak bisa 
memahami hal ini.  Apa yang dikatakan ayah Laila tentang orang gila ini 
akhirnya membuatnya sadar.  Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur dan 
segera meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun.



Laila semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri.  Satu-satunya yang bisa ia 
nikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya.  Suatu hari, dalam 
perjalanannya menuju taman, Ibn Salam, seorang bangsawan kaya dan berkuasa, 
melihat Laila dan serta-merta jatuh cinta kepadanya.  Tanpa menunda-nunda lagi, 
ia segera mencari ayah Laila.  Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran 
yang baru saja menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun 
menyetujui perkawinan itu.  



Tentu saja, Laila menolak keras.  Ia mengatakan kepada ayahnya, "Aku lebih 
senang mati ketimbang kawin dengan orang itu".  Akan tetapi, tangisan dan 
permohonannya tidak digubris.  Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja 
keadaannya.  Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat.  Orangtua Laila 
merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.



Akan tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa 
mencintainya.  "Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri", katanya.  "Karena 
itu, jangan membuang-buang waktumu.  Carilah seorang istri yang lain.  Aku 
yakin, masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia".  



Sekalipun mendengar kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah 
hidup bersamanya beberapa waktu lamanya, pada akhirnya Laila pasti akan 
menerimanya.  Ia tidak mau memaksa Laila, melainkan menunggunya untuk datang 
kepadanya.



Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan 
meratap selama berhari-hari.  Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat 
hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut 
menangis.  Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang 
berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. 



Namun, kesedihannya ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan 
kedamaian dan ketenangan batin yang aneh.  Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia 
pun terus tinggal di reruntuhan itu.  Perasaannya kepada Laila tidak berubah 
dan malah menjadi semakin lebih dalam lagi.



Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas 
perkawinannya:  "Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini.  Aku 
hanya meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, 
sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu.  Janganlah 
pernah lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur 
berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Laila".



Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda 
pengabdian tradisional.  Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, "Dalam 
hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun.  Kupendam cintaku 
demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun.  Engkau memaklumkan 
cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau 
membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu.  Kini, aku harus menghabiskan 
hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang lain.  
Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta, engkau 
ataukah aku?".



Tahun demi tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia.  Ia tetap 
tinggal di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang 
sebelumnya.  Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat 
binatangnya.  Di malam hari, ia memainkan serulingnya dan melantunkan 
syair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang kini menjadi satu-satunya 
pendengarnya.  Ia menulis syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah.



Selang beberapa lama, karena terbiasa dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai 
kedamaian dan ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang 
sanggup mengusik dan mengganggunya.  Sebaliknya, Laila tetap setia pada 
cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil mendekatinya.  Kendatipun ia hidup 
bersama Laila, ia tetap jauh darinya.  



Berlian dan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila berbakti kepadanya. Ibn 
Salam sudah tidak sanggup lagi merebut kepercayaan dari istrinya.  Hidupnya 
serasa pahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan kedamaian di 
rumahnya.

 

Laila dan Ibn Salam adalah dua orang asing dan mereka tak pernah merasakan 
hubungan suami istri.  Malahan, ia tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luar 
dengan Laila.



Tak sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali bila ia 
ditanya.  Pertanyaan ini pun dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat 
singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebab 
hidupnya tidak menjanjikan harapan lagi.  Akibatnya, pada suatu pagi di musim 
panas, ia pun meninggal dunia. 



Kematian suaminya tampaknya makin mengaduk-ngaduk perasaan Laila. Orang-orang 
mengira bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam, padahal sesungguhnya ia 
menangisi kekasihnya, Majnun yang hilang dan sudah lama dirindukannya.  Selama 
bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya sekali 
saja ia menangis. 



Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya dengan kekasih 
satu-satunya.  Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya.  
Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana, yang 
jarang dijumpai pada diri wanita seusianya.  



Sementara api cintanya makin membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia 
tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri.  Ia tidak mau makan dan juga tidak 
tidur dengan baik selama bermalam-malam.



Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya 
hanyalah Majnun semata? 



Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama.  Akhirnya, 
penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan pun menggerogoti 
kesehatannya.  



Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan Majnun.  Ah, kalau 
saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya!  Ia hanya 
membuka matanya untuk memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang.  



Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil 
mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun.  Pada suatu malam di musim dingin, 
dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil 
bergumam, "Majnun…Majnun. .Majnun..."



Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama 
kemudian, berita kematian Lailapun terdengar oleh Majnun.  Mendengar kabar itu, 
ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri 
selama beberapa hari.  



Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Laila.  Nyaris 
tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Majnun 
bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luar kota .  Ia 
berkabung dikuburannya selama beberapa hari. 



Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya, 
per1ahan-lahan ia meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan 
meninggal dunia dengan tenang.  Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila 
selama setahun.  Belum sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap 
sahabat dan kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad 
terbujur di atas kuburan Laila.  



Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu adalah jasad 
Majnun yang masih segar seolah baru mati kemarin.  Ia pun dikubur di samping 
Laila.  Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini bersatu 
kembali.



Konon, tak lama sesudah itu, ada seorang Sufi bermimpi melihat Majnun hadir di 
hadapan Tuhan.  Allah swt membelai Majnun dengan penuh kasih sayang dan 
mendudukkannya disisi-Nya.  Lalu, Tuhan pun berkata kepada Majnun, "Tidakkah 
engkau malu memanggil-manggil-Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum 
anggur Cinta-Ku?"



Sang Sufi pun bangun dalam keadaan gelisah. 



Jika Majnun diperlakukan dengan sangat baik dan penuh kasih oleh Allah Subhana 
wa ta'alaa, ia pun bertanya-tanya, lantas apa yang terjadi pada Laila yang 
malang ?  



Begitu pikiran ini terlintas dalam benaknya, Allah swt pun mengilhamkan jawaban 
kepadanya,  "Kedudukan Laila jauh lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan segenap 
rahasia Cinta dalam dirinya sendiri".



ps.

Diambil dari Negeri Sufi ( Tales from The Land of Sufis )



Tentang Penulis Laila Majnun, Syaikh Sufi Mawlana Hakim Nizhami qs :

Syaikh Hakim Nizhami qs merupakan penulis sufi terkemuka diabad pertengahan 
karena dua roman cinta yang menyayat hati, yaitu Laila & Majnun serta Khusrau & 
Syirin. 



Kisah sedih Laila & Majnun , dimana Majnun yang berarti "Tergila-gila akan 
Cinta", karena cintanya yang tak sampai pada Laila, akhirnya membuatnya gila. 
Kisah cinta ini dibaca selama berabad-abad, ratusan tahun jauh sebelum Romeo & 
Juliet-nya Wiliam Shakespeare sehingga Kisah Laila & Majnun terkenal sebagai 
kisah cintanya Persia .



=============================





    
     

    
    


 



  







[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke