Gelombang
krisis pangan pada 2008 menyadarkan banyak negara untuk mengurangi
ketergantungan pangan dari impor dan memperketat ekspor. Kalau
swasembada belum tercapai, sangat berisiko jika kita memaksakan diri
memasok pangan dunia."
Bustanul Arifin Guru Besar Universitas Lampung
SEMINAR
dan pameran bertajuk Feed the World yang diusung Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Indonesia pada awal tahun ini sempat dilihat secara
pesimistis oleh banyak pihak.
 Sebab, boro-boro memasok pangan dunia. Untuk memenuhi pangan
nasional saja, impor masih kentara dilakukan.

Bermimpikah kita?

Entah yang lain, tetapi Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Bayu
Krishnamurti justru tegas mengatakan, "Pasok pangan dunia? Kenapa
tidak? Faktor kita tak bisa memasok ke seluruh dunia karena larangan
ekspor yang digembar-gembor kan. Ekspor sedikit saja dipermasalahkan."
Kekhawatiran dan tarik-ulur di seputar ekspor dan impor bahan pangan
memang seakan tiada habisnya. Apalagi, pemenuhan kebutuhan pangan
domestik untuk lima tahun ke depan masih penuh tantangan dan
ketidakpastian di tengah anomali iklim seperti saat ini.
Statistik laju pertumbuhan penduduk menunjukkan tren lebih tinggi
ketimbang produksi padi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat
pertumbuhan jumlah penduduk In
donesia sebesar 1,3% dari total jumlah penduduk atau setara 3,5 juta
orang per tahun. 
Sementara
itu, kata Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul
Arifin, produktivitas padi di Indonesia selama 15 tahun terakhir hanya
tumbuh 0,58% per tahun, sedangkan produksi padi tumbuh 1,01%. “Ini bisa
jadi masalah serius ke depan,” kata Bustanul. 
Kekhawatiran
serupa juga membuat banyak negara mulai mencari wilayah-wilayah baru
untuk berinvestasi di pangan dan energi. Memang, gelombang krisis
pangan di 2008 memicu banyak negara mulai sadar mengurangi
ketergantungan pangan dari impor dan memperketat ekspor. 
Krisis
itu, kata Wamentan, ju ga sekaligus mendorong para pengambil keputusan
melirik Merauke, Papua, sebagai wilayah pengembangan pangan baru,
bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). 
Program,
yang bersambut de ngan niatan lama Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze
sejak tahun 2000 itu, tidak hanya diproyeksikan sebagai lumbung pangan
lokal, tetapi juga nasional dan bahkan ekspor. 
Dari segi
ketersediaan lahan, Merauke dinilai teramat potensial, baik untuk budi
daya tanaman pangan maupun bahan bakar hayati. Berdasarkan kajian Badan
Koordinasi Penataan 
Ruang Nasional (BKPRN), potensi lahan efektif di sana mencapai 1,283
juta hektare (ha).
Bagi Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air Hilman Manan, program ini
harus
dilaksanakan segera karena penting untuk jangka panjang. "Tidak hanya
untuk Indonesia, tapi juga dunia," ujar Hilman kepada Media Indonesia
di kantornya, dua pekan lalu.
 Menurut Hilman, saat ini 60% bahan
pangan secara nasional dihasilkan dari Pulau Jawa. Namun, pulau
terpadat di Indonesia itu sudah memiliki beban berat. Alih fungsi
lahannya paling besar. Program ini sedikitnya mencontoh keberhasilan
program transmigrasi di awal Orde Baru yang meratakan produksi pangan
ke luar Pulau Jawa. Hasilnya, kita berswasembada beras.

Investor
asing Saat ini, tingginya dinamika perdagangan pangan dunia membuat
Indonesia harus berswasembada mulai dari jagung, gula, kedelai, hingga
daging.
 Para investor pun diundang.

Pengembangan usaha
melibatkan swasta dan dikelola dengan model perkebunan. Basisnya
diutamakan pada komoditas strategis, yakni beras, jagung, kedelai,
tebu, dan sawit.
 Persis pepatah ada gula ada Berdasarkan catatan
Kementerian Pertanian, saat ini terdapat 36 investor lokal dan mu
ltinasional yang berencana melakukan investasi di Merauke, dengan total
lahan 2,051 juta ha. 
Dari
jumlah itu, terdapat di an taranya nama-nama beken, seperti Medco, PT
Bangun Cipta Sarana, dan PT Sumber Alam Sutera (SAS) yang merupa kan
kelompok usaha Artha Graha Network. 
Sebagai salah satu pelaku, ujar Direktur PT SAS Heka Widya Hertanto,
pihaknya 
mendukung penuh program itu sebagai terobosan menunjang ketersediaan
dan cadangan pangan Indonesia dalam kurun 2020-2025.
 "Kita enggak bicara hari ini.

Sekarang
pangan memang cukup, tapi bagaimana saat jumlah penduduk 300 juta di
tahun 2020? Belum lagi kebutuhan pakan ternak dan bioenergi," ujar
Heka, Senin (9/8).
 Sejak September 2008, SAS telah melakukan uji
coba penanaman tiga varietas padi hibrida Bernas mereka. Jatah
pencadangan lahan tahap awal yang mereka dapat seluas 2.500 ha di
Distrik Kurik, Kampung Obaka, Merauke.
 Dari segi prospek ekonomi
dan kondisi lahan, ujar Heka, program itu memang menjanjikan. Saat ini,
produktivitas ketiga varietas mereka di sana sudah mencapai 8-10 ton
per ha. Itu sama dengan pencapaian penangkaran benih yang mereka
lakukan di Pulau Jawa dan Sumatra.
 Dia tak memungkiri, sebagai
kawasan perawan, kebutuhan modal yang padat telah menjadi keniscayaan
bagi semua investor. Karena itulah, pemerintah perlu serius
memprioritaskan pembangunan sarana infrastruktur di sana.
 Kawasan harus terintegrasi untuk menjadikan usaha efisien, mencakup
pabrik pupuk, unit pengolahan, pergudangan, pelabuhan, pembangkit
listrik, hingga perumahan.
 "Ini sama dialami bagi semua investor. Berat kalau pembangunan
infrastruktur juga dibebankan kepada kami," kata Heka.
Seperti niatan awal pemerintah, tentunya sembari mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan rumah yang masih tersisa, Merauke memang ideal
menjadi titik tolak Indonesia untuk mulai memikirkan feeding the world.
 Namun, demikian, tutur Bustanul, upaya mengamankan cadangan pangan
domestik harus tetap menjadi prioritas pangan Indonesia.
Manajemen cadangan pangan harus tetap dikelola sejak di tingkat
lokal
melalui mekanisme pengadaan dan penyaluran yang disepakati.
 Sebab, bagaimanapun, Indonesia harus tetap memperhatikan urusan
pangan rakyatnya sebelum bermimpi menjadi lumbung pangan dunia.
 "Kalau swasembada belum tercapai, sangat berisiko jika kita
memaksakan diri memasok pangan dunia," ujar Bustanul.
Toh, Indonesia baru lepas dari ketergantungan impor beras. Jika
terulang, ini lampu kuning bagi kedaulatan negara di tengah kondisi
ketidakpastian iklim yang menjangkiti seluruh dunia. (*/E-1)  semut,
banyak investor asing lantas kepincut
melihat potensi pengembangannya yang tinggi, seperti Arab, Korea
Selatan, hingga Jepang. "Arab bahkan mau investasi satu juta ha. Kita
enggak mau karena melebihi aturan maksimal, 20 ribu ha, tetapi mereka
baru rencana," kata Hilman.



http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/08/16/ArticleHtmls/16_08_2010_018_021.shtml?Mode=0

Berbagi berita untuk semua
 


      

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke