http://us.detiknews.com/read/2010/11/01/141108/1481542/159/thamrin-amal-tamagola-jakarta-tidak-butuh-ahli?nd991107159


Senin, 01/11/2010 14:11 WIB

Foke Gak Ade Majunye (6)

Thamrin Amal Tamagola: Jakarta Tidak Butuh Ahli  
M. Rizal - detikNews







Jakarta - Banjir, kemacetan dan kepadatan penduduk di DKI Jakarta, menjadi 
masalah yang tidak pernah terselesaikan. Hampir setiap hari kemacetan selalu 
melanda ibukota. Dan bila hujan tiba, kondisinya semakin parah saja. hampir 
seluruh ruas jalan tergenang air akibatnya kemacetan semakin menjadi.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo alias Foke mau tidak mau menjadi sasaran 
kekesalan warga Jakarta. Maklum saat berkampanye Pilkada pada 2007 lalu, dengan 
percaya diri Foke memilih jargon "Serahkan Kepada Ahlinya". Nah, ketika masalah 
macet dan banjir semakin parah saat dia memimpin, giliran warga menagih janji 
kampanye tersebut.

Tapi Foke selalu punya cara untuk membela diri. Cuaca yang ekstrem, serta 
peningkatan jumlah kendaraan sealu menjadi jawaban Foke saat dimintai 
tanggapannya. Sementara sistem kerja yang telah dikerjakan selama menjabat 
tidak pernah mencuat ke publik.

Bagaimana pandangan sosiolog Thamrin Amal Tamagola tentang kinerja Foke selama 
tiga tahun menjabat gubernur? Berikut petikan wawancara detikcom dengan 
akademisi asal FISIP Universitas Indonesia ini:

Apa faktor penyebab penanganan banjir di Jakarta tak kunjung selesai dan
terkesan rumit itu?

Ada beberap faktor yang sudah lama sekali terjadi. Ada faktor jangka panjang 
yang terjadi artinya sudah ada puluhan tahun, faktor menengah dan jangka 
pendek. Faktor pertama yang jangka panjang, banjir di Jakarta ini terjadi sudah 
lama sekali. 

Ini ada tiga hal, pertama, sejak era Orde Baru di mana banyak penebangan pohon 
hutan lindung di kawasan Jawa Barat, seperti Bogor. Berubah jadi kawasan 
perumahan dan istirahat.

Kedua, juga saluran lama yang dibangun di bawah Jakarta sejak zaman Belanda 
yang rusak dan tak terawat. Ini butuh pembenahan lagi dan tak tersabung dengan 
pembangunan di sejumlah daerah lainnya, seperti tak terintegrasi dengan 
pembangunan Bodetabek.

Ketiga, munculnya global warming yang sebabkan perubahan iklim drastis di 
seluruh dunia. Kalau ini tak diselesaikan secara mendasar, ini dari waktu ke 
waktu akan terjadi lagi.

Jadi tiga persoalan ini harus diselesaikan, khusus global warming kerja sama 
dengan negara lainnya di dunia. Pembabatan hutan di Bogor baru bisa dihentikan. 
Ini tak bisa hanya dilakukan daerah, tapi harus diambil pemerintah pusat untuk 
hentikan itu. Tak bisa harapkan Bogor, mereka tak punya dana besar, tenaga ahli 
dan peralatan, harus pusat.

Saluran air yang dibangun Belanda itu, sejak DKI Jakarta dipimpin Gubernur Ali 
Sadikin sempat akan membenahi dengan meminta bantuan pemerintah Belanda, karena 
Belanda sangat dikenal dunia mampu membuat saluran bawah tanah ini. Ali Sadikin 
pernah minta pemerintah Belanda untuk mencarikan konsultan untuk mengestimasi 
pembenahan saluran bawah tanah dan sungai itu, termasuk dengan adanya 
pembangunan saluran baru. Ali Sadikin saat tahu estimasi itu, menyerah karena 
kurang dana dan sebagainya. Minta bantuan pemerintah pusat tak berikan dana.

Sekarang beda, pemerintah DKI Jakarta ada duitnya. Untuk menggusur-gusur orang 
saja, Pemprov DKI Jakarta ada dana Rp 300 miliar sampai Rp 400 miliar setahun. 
Memang untuk membenahi saluran ini jauh lebih besar, dengan perkembangan 
ekonomi dan pajak, saya kira Pemprov DKI Jakarta mampu meminta bantuan Belanda.

Kemudian faktor jangka menengah, berkaitan dengan kemampuan finansial Pemprov 
DKI Jakarta dan kebebasan gubernur melakukan sesuatu. Faktor kedua ini terkait 
dengan pengaruh demokratisasi.

Beda dengan dulu. Kalau dulu, gubernur bisa bertindak duluan, lalu minta 
pengesahan dari DPRD. Sekarang kan beda, hampir semua gubernur termasuk Fauzi 
Bowo diikat kaki dan tangannya oleh DPRD yang menguasai anggaran dan program. 
Jadi kalau mau buat sesuatu harus izin dulu, padahal masalah yang berkembang di 
lapangan bergerak sangat cepat sekali.

Faktor lainnya, Fauzi Bowo itu dilahirkan di era Orde Baru, dibesarkan di 
lingkungan Orde Baru. Dalam atmosfir Orde Baru, kemampuan seorang pemimpin cuma 
dua, mampu memutar pemerintahan secara birokasi dan menguasai masalahnya. Jadi 
birokrat yang teknokrat, atau sebaliknya.

Jadi secara keahlian perkotaan, Fauzi Bowo pernah program S2 lingkungan hidup 
di UI. Nah, secara teknokratis, Fauzi Bowo memang ahli. Tapi secara birokrat 
kemampuannya kurang.

Jadi dia klaim serahkan keahlinya memang betul. Tetapi untuk menjadi gubernur 
tak cukup sekadar ahli, tapi juga birokrat yang handal yang mampu gerakan 
pemerintahan. Baik itu manusianya, modalnya (anggaran) dan material. Nah, Foke 
kayaknya ngga bisa menggerakan itu.

Jadi bisa diartikan Fauzi Bowo gagal memerintah DKI Jakarta?

Memang dengan keadaan yang sebegini. Di Indonesia itu, tidak sampai lima 
gubernur dan wagub yang memiliki kemampuan birokrat dan teknokrat. Sebenarnya 
ahli tak terlalu dibutuhkan, karena ahli itu jadi pemimpin bisa ambil tenaga 
ahli juga. Seorang gubernur itu dituntut kehandalan birokrasi dan kehandalan 
manuver politik.

Di era sekarang ini, kalau dia tak bisa membangun aliansi dengan berbagai macam 
pihak itu agak sukar. Sejak awal gubernur dan bupati jangan terlalu andalkan 
dana, tapi bagaimana mampu merangkul semua pihak, jadi harus kuat sebagai 
politisi dan birokrat, tak perlu teknokrat.

Saat ini sulit untuk menemukan figur pemimpin yang kuat seperti itu? Apalagi 
sistem pilkada yang dinilai lemah memunculkan figur yang kuat, integritas dan 
berkualitas?

Iya memang. Akhirnya kita punya stok politisi lama, yang notabene hampir 
seluruhnya, baik yang di Partai Demokrat, PDIP, Partai Golkar, yaitu aslinya 
berada di partai pohon beringin itu. Dulunya mereka politisi handal, tapi tak 
bisa apa-apa karena berhadapan dengan politisi-politisi baru yang gila-gilaan 
manuver politiknya.

Kondisi masyarakat sendiri bagaimana menghadapi kondisi lingkungan di Jakarta 
seperti ini yang tak kunjung tertangani dengan baik?

Kita bisa mengatakan bahwa sebenarnya hampir semua ujung tombak pemerintahan 
DKI Jakarta itu lumpuh, tidak mampu. Contoh sederhana saja, Pemprov DKI Jakarta 
kesulitan mencari tempat pembuangan sampah saja sulit.

Selain itu, ditambah soal tradisi masyarakat yang dari dulu sebenarnya 
merupakan para pendatang. Mereka yang dahulunya tinggal di desa kemudian jadi 
urbanisasi ke kota. Di desa, mereka buang apa saja, bisa jadi tanaman. Memang 
lagu Koes Plus itu memang betul, negeri ini buang tongkat saja jadi tanaman. 
Nah, begitu pindah ke kota mereka membuang sembarang di jalan atau tempat 
lainnya.

Waktu banjir dan macet parah kemarin saja masih ada saja orang berkendaraan 
mewah buang sampah sembarangan. Itu saya lihat sendiri, bagaimana sih orang 
Jakarta?

Jadi sebenarnya, masyarakat di Jakarta disebut Urban Villager, yaitu orang desa 
yang tinggal di kota. Jakarta ini dari segi sosial dan tingkah laku 
masyarakatnya ini sebenarnya disebut kampung besar, bukan metropolitan, jadi 
makin parah dalam keadaan seperti ini. Keadaan itu bisa ditangani berpulang 
kepada birokrasi Pemprov DKI Jakarta, artinya mesin birokrasinya harus jalan 
maksimal.

Fauzi Bowo menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta tinggal dua tahun lagi, apa 
yang harus dilakukan untuk menangani berbagai persoalan yang ruwet ini?

Saya kira, dia tidak bisa melakukan suatu perbaikan yang positif, sampai dalam 
arti menghentikan banjir, tidak bisa. Yang bisa dia lakukan dua tahun ke depan 
adalah berusaha menguranginya.

Paling tidak misalnya, dari 100 persen menjadi 80 persen, 70 persen. Tapi 
mendekati 60 persen sampai 50 persen tidak akan bisa. Dan, memang tak mungkin 
bila faktor-faktor yang telah terjadi puluhan tahun tak segera diperbaiki atau 
ditangani.

Ini sama dengan ibarat, orang yang sedang sakit parah di dalam tubuh. Tapi dia 
keluar dalam bentuk panas yang tinggi, lalu minum obat analgesic, hanya untuk 
menurunkan panas tubuhnya. Panasnya hilang, tapi penyakitnya tetap ada. Jadi 
seperti Fauzi Bowo yang kerjanya tinggal dua tahun lagi, hanya bisa mengurangi 
sedikit. Plus jangan membuat komentar-komentar yang membuat masyarakat marah.

Misalnya dia bilang soal genangan-genangan, itu tidak membantu dan membohongi 
publik. Semua orang tahu, itu banjir kok dibilang genangan. Itu menyakiti 
rakyat.

Saya kira, nanti ke depan untuk menjabat Gubernur DKI Jakarta, jangan orang 
tipe teknokrat, ahli, seperti Fauzi Bowo. Harus dipilih seorang birokrat yang 
mampu menggerakan semua orang.

Jadi jangan sebagai birokrat wacana, intruksi, bikin surat keputusan, tapi tak 
mampu mobilisasi dan operasional di bawah. Kita butuh seorang Gubernur DKI 
Jakarta seperti figur almarhum Ali Sadikin. Tipe orang yang tegas seperti ini 
sangat dibutuhkan dan cocok tangani Jakarta.

Bung Karno dulu angkat dia dengan alasan itu, Ali Sadikin itu 'kepala batu'. 
Orang Jakarta itu harus dipimpin orang yang berkarakter kepala batu, jangan 
teknokrat. Teknokrat itu staf ahli saja, jangan ambil keputusan.

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke