304063 Mohammad the Pedofile (4) BATAS MINIMAL USIA NIKAH
http://www.keluargasakinahku.com/2011/01/batas-minimal-usia-nikah-berdas\
arkan.html

Kamis, 13 Januari 2011



BATAS MINIMAL USIA NIKAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974



Islam tidak menetapkan usia nikah. Tapi, kemudian kalangan ulama
menganggap perlu menetapkannya untuk menjaga nilai perkawinan itu
sendiri.

Sayyidah Aisyah RA Ummul Mukminin pernah bercerita tentang
perkawinannya. "Aku dinikahkan dengan Rasulullah saat usiaku enam
tahun. Dan aku memasuki gerbang rumah tangga pada usia Sembilan
tahun". Dalam hadis lain disebutkan, dinikahkan pada usia tujuh
tahun. Pengakuan Sayyidah Aisyah ini serta tradisi perkawinan di
kalangan muslim awal menyatakan bahwa perkawinan di masa itu banyak
terjadi saat si wanita masih bocah.

Dalam sejarah disebutkan bahwa Rasulullah pernah menikahkan anak Hamzah
(pamannya) dengan anak Ummu Salimah yang keduanya masih ingusan. Pernah
juga seorang memberikan anak puterinya yang masih kanak-kanak untuk
dinikahi Abdullah bin AL-Hasan bin Ali yang masih cucu Rasulullah SAW.
Sayyidina Ali kala itu mengizinkannya. Salah seorang istri Ibnu
Mas'ud yang memiliki anak wanita yang masih kecil juga dinikahkan
dengan Ibnul Musayyab bin Nukhbah dan Abdullah bin Mas'ud
mengizinkannya.

Manfaat perkawinan dalam usia kecil antara lain orang tua bisa
menentukan pasangan yang sesuai dan ideal (kufu). Kekurangannya wanita
tak memiliki hak pilih. Ketika tiba masa akil balignya, ia harus
menerima kenyataan pasangan yang telah dijodohkan.

Kalangan ahli fikih selanjutnya juga tak mempermasalahkan perkawinan
anak-anak itu. Walaupun pada intinya pelaksanaan berumah tangga akan
dimulai setelah keduanya telah akil balig. Dalam pengakuan Sayyidah
Aisyah menyiratkan hal demikian. Ia dinikahkan pada saat usia enam tahun
yang belum akil balig dan kemudian memadu rumahtangga setelah akil balig
pada usia Sembilan tahun.

Kalangan Mazhab Maliki dan Hanbali menyatakan hak ayah untuk menikahkan
anaknya meskipun masih dalam usia anak-anak. Jika tak ada ayah, boleh
juga dilakukan oleh orang yang menerima wasiat dari ayah, atau hakim
yang menikahkan Mazhab Hanafi memperbolehkan ayah dan kakek dari ayah
serta wali-wali lainnya menikahkan. Karena menurut pandangan Mazhab
Hanafi tak ada perbedaan persyaratan dalam menikahkan anak. Sementara
Imam Syafi'i hanya memperbolehkan menikahkan anak kecil terbatas
kepada ayah dan kakeknya saja. Pembatasan perwalia ini agar tidak
terjadi kesema-menaan terhadap wanita yang tak berdaya oleh wali-wali
lainnya. Sementara ayah pada intinya tidak akan menjerumuskan anak
kandungnya. Imam Ibnu Hazm (Mazhab Dzahiri) membolehkan wanita kecil
dinikahkan, ia melarang menikahkan laki-laki yang masih kecil.

Namun, bagaimanapun kalangan ahli fikih sepakat bahwa perkawinan
anak-anak harus didasarkann pada kufu (seimbang dan ideal) dan mahar
mitsil (maskawin standar). Hal ini mengacu pada pendapat Imam Abu Yusuf
Muhammad. Smentara Imam Syafi'I menetapka syarat yang lebih luas
lagi.

Pertama, antara pengantin laki-laki dan wanita tak memiliki hubungan
permusuhan (`adawah zahirah). Kedua, perjodohan tersebut kufu.
Ketiga, maskawin standar. Keempat, maskawin diberikan dengan mata uang
negeri (naqdul balad) yang berlaku. Kelima, pengantin laki-laki memiliki
kemampuan membayar maskawin. Keenam, pengantin laki-laki tidak cacat
tetap yang merugikan pihak wanita, seperti kondisi buta, atau laki-laki
tua renta. Ketujuh, pengantin pria tidak dalam kondisi wajib haji namun
tertunda.

Yang dikecualikan dalam kasus ini adalah anak kecil yang berstatus
yatim. Wanita yatim harus seizin dirinya. Dalam hadis riwayat Imam
Akhmad dijelaskan bahwa suatu hari Ibnu Umar melapor kepada Rasulullah
SAW bahwa bahwa Qudamah bin Madh'un menikahkan anak Usman yang
berstatus yatim dengan dirinya. Rasulullah lantas menjawab: "Dia
seorang yatim dan tidak bisa dinikahi tanpa izin dan
persetujuannya". Dalam hadis Abu Daud dan Nasai disebutkan bahwa
Rasullah bersabda : "Anak yatim itu menguasai dirinyaa. Jika dia
diam maka itu adalah izinnya. Jika ia menolak maka tidak boleh
memaksanya". Dan pengertian yatim dijelaskan oleh Rasulullah dalam
hadis Abu Daud dengan sabdanya: "Tidak ada lagi status yatim setelah
akil balig". Hadis ini dinilai hasan oleh Imam Nawawi.

Namun, perkembangan kemudian membuat kalangan ulama pada fase berikutnya
mulai menerapkan pandangan lain. Menurut Syaikh Dr. Wahbab Azzuhaily
dalam Alfiqhul Islami wa Adillatuhu, Imam Ibnu Syubrumah, Abu Bakar
Al-Asham, dan Usman Al-Batti melarang perkawinan anak-anak kecuali
hingga pada usia akil balig. Dasar hukumnya adalah firman Allah dalam
surah Annisa ayat 5 "Dan ujilah anak yatim itu hingga mereka cukup
umur untuk menikah".

Sebab, menurut tiga ulama besar fikih ini, jika saja diperbolehkan
perkawinan anak kecil toh juga tak ada gunanya. Sebab, anak-anak yang
belum usia balig belum membutuhkan perkawinan.

Beberapa Negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, seperti
Indonesia, Mesir dan Syuriah telah menetapkan batas usia perkawinan
dengan tujuan maslahah dan kepentingan umum.

Undang-undang perkawinan syuriah misalnya menetapkan dalam Madah (pasal)
15 bahwa perkawinan baru sah jika dilakukan oleh pasangan yang sudah
akil balig dan berakal (tidak gila). Kalangan ahli fikih modern dengan
mengacu berbagai hal, memandang perlu membatasi usia perkawinan tidak
hanya pada usia balig (sinnur bulugh) tapi, usia kelayakan (sinnur
rusyd). Pada pasal 16 UU Syuriah tersebut dijelaskan bahwa usia
kelayakan itu adalah 18 tahun bagi laki-laki engan kalender masehi dan
usia kelayakan wanita yaitu 17 tahun.

Tapi, UU itu bukan harga mati. Dalam oasal 18 dijelaskan bahwa jika
laki-laki sudah akil balig pada usia 15 tahun dan wanita pada usia 13
tahun kemudian merancang perkawinan, maka perkawinan bisa dilaksanakan
jika pengadilan mengizinkannya.

Di Indonesia juga dilakukan pengaturan melalui UU perkawinan nomor 1
tahun 1974 yang menetapkan usia perkawinan laki-laki adalah 19 tahun dan
wanita 16 tahun yang mengacu pada pasal 7. Dalam Kompilasi Hukum Islam
pasal 15 ayat 1 dinyatakan : " Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah
tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah
mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 UU nomor 1 tahun 1974
yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 16 tahun".

UU itu juga tak menutup kesempatan usia dibawah itu, namun harus dengan
izin pengadilan, seperti termaktub dalam pasal 6 UU tersebut.



[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke