Refleksi : Di pemerintahan SBY selain Syarif Sjamsoeddin ada juga Sudi Silalahi. Sebagai komandan Devisi Brawijaya, buaknnya mencegah pengiriman Laskar Jihad dari Surabaya, tetapi mengfasilitasi pengiriman Laskar Jihad ke Maluku dan Sulawesi Tengah. Tentang SBY tentu saja salah satu sponsor utama pengiriman tsb. Dengan begituboleh dibilang bahwa para anggota rezim sekarang mempunyai tangan bernoda darah korban rakyat Malkuku begitu pun Sulawesi Tengah. Kita lihat juga apa yang dilakukan oleh anak buah mereka di Papua. Contoh lain ialah kasus penyerangan terhadap kaum Ahmadiyah mau pun penyerangan dan perusakan rumah-rumah ibadah Kristini, mereka berlagak pilon seolah-olah itu hal biasa.
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/03/12/209550/70/13/The-Age-dan-Pendekar-Mabuk The Age dan Pendekar Mabuk Sabtu, 12 Maret 2011 00:00 WIB PEMERINTAH dan para pendekar lingkaran dalam istana kemarin kalang kabut. Pemicunya adalah berita yang dimuat dua media Australia, yaitu the Age dan the Sydney Morning Herald. Dua media itu menulis berita utama soal dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Berita yang dimuat itu berdasarkan kawat-kawat diplomatik rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang bocor ke situs WikiLeaks. Kawat-kawat diplomatik yang dibocorkan WikiLeaks menyebutkan bahwa SBY secara pribadi telah campur tangan untuk memengaruhi jaksa dan hakim demi melindungi tokoh-tokoh politik korup dan menekan musuh-musuhnya serta menggunakan badan intelijen negara demi memata-matai saingan politik dan, setidaknya, seorang menteri senior dalam pemerintahannya sendiri. Itulah perkara yang membuat merah kuping pemerintah dan lingkaran dalam istana kalang kabut. Mereka justru tergopoh-gopoh membantah berita yang mereka sebut sebagai sampah. Tidak hanya itu. Mereka pun berlomba-lomba tampil di muka publik untuk membela SBY. Mulai dari Staf Khusus Presiden Bidang Politik Daniel Sparringa, Staf Khusus Presiden Deny Indrayana, Menkominfo Tifatul Sembiring, Menlu Marty Natalegawa, Mensesneg Sudi Silalahi, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, Menko Polkam Djoko Suyanto, bahkan hingga Wapres Boediono. Mengapa elite pemerintah dan kalangan istana begitu reaktif menanggapi pemberitaan itu? Di sisi lain, secara substansial seluruh statement yang dikemukakan mereka seragam, yakni sebatas membantah dan menyatakan bahwa itu hanyalah berita sampah. Bila semua itu tidak benar, mengapa petinggi kabinet dan istana harus kelabakan menanggapi berita tersebut? Semestinya pemerintah tidak perlu terlalu reaktif. Apalagi sampai memanggil Duta Besar Amerika Serikat Scott Marciel dan memintanya bicara dengan nada menyalahkan ketidakcermatan Kedubes AS dalam menyimpan data. Respons istana dalam menanggapi berita the Age dan the Sydney Morning Herald mencerminkan ketidakmatangan seisi istana dalam menghadapi kebebasan pers. Lagi pula opini publik yang kuat hanya dapat dibentuk berbasiskan fakta, bukan fiksi. Respons istana yang seperti 'pendekar mabuk' itu justru membuat publik terdorong untuk berkesimpulan, jangan-jangan, pemberitaan itu mengandung kebenaran. Barangkali, inilah saatnya bagi publik di Australia dan juga Indonesia untuk menunggu pernyataan Sekretaris Kabinet Dipo Alam bahwa kedua koran Australia itu selalu menjelek-jelekkan pemerintah dan segera melarang seluruh staf khusus Presiden untuk memberikan klarifikasi dalam siaran prime time. Kepada tokoh lintas agama yang menilai pemerintah melakukan kebohongan, Sekretaris Kabinet itu menyebut mereka sebagai burung gagak hitam pemakan bangkai yang tampak seperti merpati berbulu putih. Apakah yang akan dikatakannya kepada dua koran Australia dan Kedutaan AS? Jawabnya, pepatah lama musang berbulu ayam akan muncul kembali. ++++ http://www.mediaindonesia.com/read/2011/03/12/209618/270/115/Sjafrie-Sjamsoeddin-Terlibat-Kejahatan-Perang-di-Timor-Leste The Age dan Sydney Morning Herald Sjafrie Sjamsoeddin Terlibat Kejahatan Perang di Timor Leste Sabtu, 12 Maret 2011 10:06 WIB Penulis : Meilani dari Albury, New South Wales, Australia. Jumat (11/3), harian The Age dan Sydney Morning Herald melaporkan mengenai penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Presiden SBY berdasarkan bocoran dari Wikileaks. Hari ini, kedua surat kabar Australia melansir berita mengenai keterlibatan Wakil Menteri Pertahanan Indonesia Sjafrie Sjamsoeddin dalam kejahatan perang di Timor Leste. Berikut adalah terjemahan asli berita dari koran tersebut seperti dilaporkan Meilani, kontributor Media Indonesia di Albury, New South Wales, Australia. Sjafrie Sjamsoeddin Terlibat Kejahatan Perang di Timor Leste oleh Philip Dorling The Age and Sydney Morning Herald (12/3) Amerika Serikat (AS) menuding salah seorang penasehat terdekat Presiden SBY terlibat dalam kejahatan perang di Timor Timur yang kini bernama Timor Leste. Hal ini terungkap dalam kawat diplomatik AS yang dibocorkan Wikileaks. Namun, Washington tetap merahasiakan alasan penolakan pemberian visa pada mantan Jenderal Angkatan Darat Indonesia Sjafrie Sjamsoeddin, dimana SBY akhirnya menunjuk salah satu kawan dekatnya yang menjabat sebagai Deputi Menteri Pertahanan. Pada September 2009, AS menahan penerbitan visa yang mengizinkan Sjamsoedin, mantan jenderal AD yang kemudian menjabat penasehat senior presiden, untuk menemani SBY menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi para pemimpin negara G20 di Pittsburgh, Pennsylvania. Sjamsoeddin ditolak Departemen Pertahanan AS (US Department of Homeland Security) karena adanya kecurigaan keterlibatannya dalam 'kegiatan teror' dan 'pembunuhan tanpa peradilan'. Kawat Kedubes AS yang dibocorkan Wikileaks dan diberikan khusus pada The Saturday Age, menyebutkan bahwa Kedubes AS di Jakarta meminta dengan sangat agar Sjamsoeddin diijinkan masuk AS, karena dikhawatirkan penolakan tersebut akan mengganggu hubungan Jakarta-Washington. "Kami melihat bahwa sebagai penasehat utama Presiden RI dan kemungkinan menjadi anggota kabinet, perjalanan Sjamsoeddin ke AS akan memfasilitasi dan mempererat hubungan AS-Indonesia," demikian alasan Kedubes AS di Jakarta. "Sjamsoeddin memberikan panduan dan konsultasi pada Presiden SBY tentang sejumlah isu penting bagi AS, seperti hubungan militer yang menjadi isu penting untuk menjamin stabilitas regional." Tuduhan terhadap Sjamsoeddin berkaitan dengan jabatannya sebagai komandan pasukan khusus Indonesia di Timor Timur. Dia dianggap bertanggung jawab atas pembunuhan massal di Santa Cruz yang merenggut nyawa lebih dari 250 demonstran pro-kemerdekaan pada 12 November 1991. Sjamsoeddin juga harus bertanggung jawab atas merebaknya kekerasan oleh tentara Indonesia di Dili setelah referendum kemerdekaan pada 30 Agustus 1999. Sjamsoeddin telah mengeluarkan pernyataan pada Kedubes AS untuk membantah tuduhan tersebut. Dalam pernyataannya, Sjamsoeddin menyatakan bahwa dia memang berada di Santa Cruz saat terjadi pembunuhan massal, saat itu dia justru tengah membantu "sejumlah wartawan dari kemarahan pejabat Timor Timur (TNI) akibat pemberitaan yang menuduh keterlibatan mereka dalam gerakan bawah tanah". Sjamsoeddin juga mengklaim bahwa dirinya sudah dinyatakan bersih oleh Komnas HAM Indonesia atas tuduhan keterlibatannya dalam tindak kekerasan yang terjadi di Dilli pada September 1999. Bantahan Sjamsoeddin tersebut diterima Kedubes AS di Jakarta dengan alasan 'fakta lapangan' yang mengaitkan Sjamsoeddin dengan pelanggaran HAM tidak cukup untuk menolak penerbitan visa baginya. Akan tetapi, hal ini menimbulkan kritik tajam dari Kedubes AS di Dili karena dalam laporan hasil investigasi HAM PBB dan Timor Timur disebutkan bahwa Sjamsoeddin berulang kali memberikan perintah kepada tentara Indonesia untuk melakukan pembantaian. "Sebagai Komandan Gugus Tugas Intelijen Kopassus, pada 1991, dia berada di lokasi pembunuhan massal Santa Cruz pada 12 November.... Klaim bahwa dia sedang menyelamatkan wartawan asing selama pembantaian tidak bisa dikonfirmasi," demikian laporan Kedubes AS di Dilli pada Washington. "Sjamsoeddin kembali bertugas di Timor Leste pada 1999 pada saat dilakukan referendum kemerdekaan 30 Agustus. Berbagai investigasi terpisah menyatakan bahwa dia bertanggung jawab atas kejahatan pembantaian yang terjadi saat itu, dan menempatkannya sebagai pihak paling bertanggung jawab." Terhadap pernyataan Sjamsoeddin tentang upayanya menyelamatkan wartawan asing, Kedubes merespon bahwa "Sejumlah wartawan asing yang ada di Dilli pada 12 November (1991) .... Seluruhnya berbicara secara terbuka atau melalui tulisan tentang pengalamannya. Tidak ada satupun wartawan yang mengatakan pernah diselamatkan seperti skenario yang diungkapkan Sjamsoeddin". Kedubes AS di Dili menyimpulkan bahwa 'Sjafrie Sjamsoeddin sebagai pemegang komando tertinggi bertanggung jawab atas pembantaian yang terjadi pada 1991 dan 1999. Pembantaian tersebut tidak bisa disangkal lagi dan mengindikasikan tanggung jawab pribadi Sjamsoeddin". (OL-13) [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------------------ Post message: prole...@egroups.com Subscribe : proletar-subscr...@egroups.com Unsubscribe : proletar-unsubscr...@egroups.com List owner : proletar-ow...@egroups.com Homepage : http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: proletar-dig...@yahoogroups.com proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com <*> To unsubscribe from this group, send an email to: proletar-unsubscr...@yahoogroups.com <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/