Sumber: 
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2011/03/13/Tamu/krn.20110313.229598.id.html

ABDUL BASIT, AMIR NASIONAL JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA:
KAMI TIDAK PERNAH DIAJAK DIALOG

Kekerasan atas nama agama yang menimpa warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) 
di Cikeusik, Banten, 6 Februari lalu, berbuntut lahirnya peraturan daerah yang 
diskriminatif. Peraturan itu muncul dari Jawa Timur dan Jawa Barat. Kedua 
gubernur itu sama-sama menerbitkan peraturan yang melarang aktivitas Ahmadiyah.

Ketua Umum Pengurus Besar, atau kerap disebut Amir Nasional JAI, Abdul Basit, 
heran dengan munculnya peraturan daerah yang dinilai tidak jelas itu. "Apa yang 
dimaksud aktivitas?" katanya saat ditemui di Kantor Pusat JAI di Kompleks 
Kampus Mubarok di Kemang, Parung, Bogor, Jawa Barat, Rabu lalu. Dia menampik 
penilaian bahwa aktivitas Ahmadiyah telah mengganggu ketertiban. "Aktivitas 
kami, ya, hanya salat di masjid," ujarnya.

Basit, yang sejak lahir menganut paham Ahmadiyah, telah empat periode memimpin 
organisasi keagamaan yang berpusat di London, Inggris, ini. Basit menjadi Amir 
Nasional sejak 2002. Warga Bandung, Jawa Barat, ini menempa ilmu agama sejak 
kuliah di Rabwah, Pakistan. Basit meneruskan peran ayahnya, yang juga mubalig 
di Ahmadiyah. Namun karier Basit lebih moncer ketimbang sang ayah. Bapak lima 
anak ini pernah mengemban tugas dakwah di Thailand, Malaysia, Singapura, dan 
Inggris.

Kini Basit dan keluarganya tinggal di Kantor Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia 
di kompleks seluas 3,5 hektare itu. "Sebagian besar pengurus besar tinggal di 
kompleks ini," katanya. Dari kawasan yang sepi, indah, dan asri ini Basit 
memimpin jemaahnya. Salah satunya, menyelesaikan persoalan yang membelit jemaah 
belakangan ini.

Di ruang guest house, Basit ditemani mubalig lokal Rakeeman R.A.M. Jumaan, 
mubalig lokal Naib atau Wakil Amir Mirajudin Sahid, serta anggota staf redaksi 
buletin Darsus, Sukma Fadhal Ahmad, menuturkan perasaan dan sikap Jemaat kepada 
Akbar Tri Kurniawan dan fotografer Yosep Arkian dari Tempo. Suguhan yang 
menghangatkan pagi itu berupa teh tarik ala Pakistan dan beberapa kudapan. 
Obrolan berakhir di meja makan untuk santap siang dengan menu kare India, 
irisan buncis dan wortel, serta sambal.

Belakangan ini beberapa pemerintah daerah menerbitkan peraturan daerah melarang 
aktivitas Ahmadiyah. Bagaimana tanggapan Jemaat Ahmadiyah Indonesia?

Kami mendapat penjelasan dari kantornya Bang Buyung (pengacara senior Adnan 
Buyung Nasution, yang mengonsep Surat Keputusan Bersama 3 Menteri tentang 
Ahmadiyah) bahwa tidak ada pembekuan. Okelah itu ranah hukum. Ketika (SKB) ini 
diambil sebagai bahan rujukan untuk melarang Ahmadiyah, sudah jauh menyimpang. 
Seperti (peraturan daerah) yang di Jawa Timur dan lainnya, kurang-lebih sama 
isinya: "Dilarang beraktivitas". Itu pun tidak jelas aktivitas itu. Seingat 
kami, warga kami ini, di masjid, ya, ibadah. Salat lima waktu. Pas Jumat, ya, 
jumatan, tadarus kalau ada. Apa yang mesti dilarang? Saya heran. Padahal jelas 
perintahnya "Hai manusia, beribadahlah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan 
kamu." Disuruh beribadah. Kenapa melarang itu, apa yang tidak boleh?
Ada tanggapan lain?

Kami ini masih berbadan hukum. Sudah lama (ada). Tidak ada pembubaran dan 
pelarangan. Lalu, atas dasar apa kami dilarang? Makanya belum jelas, banyak 
pernyataan dari Menteri Dalam Negeri memicu protes. Bukan dari kita, tapi pakar 
hukum. Yang tidak boleh itu apa? Kalau tidak salah, Mendagri bilang ibadah 
tidak dilarang. Tapi di berbagai tempat, di daerah kecil tidak boleh. Jadi, 
yang begini-begini efeknya, susahnya nanti sesuka-sukanya. Ada aparat desa, 
aparat kecamatan melarang semua. Rujukannya ke situ, karena di situ dituliskan 
segala aktivitas. Aktivitas apa yang tidak boleh?

Makanya kita harus merujuk SKB yang dibuat bareng. Kita lihat di lapangan ini 
banyak orang tidak tahu SKB. Pemerintah tidak paham, jadi begitulah. Kita 
selalu sosialisasikan bahwa itu (SKB) harus cermat dibaca. Sehingga bisa 
menarik kesimpulan mana yang boleh dan tidak boleh. Kalau hanya aktivitas saja, 
kan bisa disalahartikan. Yang namanya ibadah kan bukan aktivitas. Organisasi 
harus bersosial, tapi kami tidak boleh beraktivitas. Ini rancu. Ada satu 
larangan dalam surat di Jawa Barat, kami tidak boleh memakai atribut JAI. Di 
Jawa Timur juga begitu. Tapi kami ini ikut peraturan berorganisasi oleh negara 
bahwa organisasi yang berbadan hukum harus memasang papan nama organisasi 
massa. Bahkan kalau kantor pusat ukurannya berapa, kalau di cabang berapa, 
disebutkan, begitu aturannya. Ketika ada larangan itu, mereka sendiri yang mau 
menurunkan, silakan saja!
Waktu di DPR, Anda dan anggota Dewan bersepakat lebih banyak menggelar dialog 
di pusat dan daerah. Apakah dialog juga dilakukan di tingkat bawah?

Selama ini kita hampir tidak pernah diajak (dialog), di mana-mana. Jadi 
seolah-olah pemutusan sepihak. Jadi begini, ini kan ada dua. Satu ranah hukum 
dan ranah teori. Di daerah-daerah, kami hampir tidak pernah diajak dialog. 
Tampaknya mereka ini di sana-sini memutuskan begitu. Ya, kita mau apa dengan 
yang begini. Kemarin dengar pendapat (dengan DPR) kami tidak bisa menjelaskan 
keseluruhan. Makanya, salah satu opsi yang kita ajukan, ajaklah kami berdialog. 
Karena, ketika kita mempunyai tindakan yang sama, hukum yang sama, Al-Quran dan 
Sunnah, kalau ada perbedaan lebih senang kita berdialog. Nanti akan ketemu 
titik temunya di mana, akan lebih mengerucut dan lebih jelas. Tapi kalau sudah 
diketok, tidak usah (dialog), susah juga kita. Kalau begitu, bangsa ini akan 
menjadi bangsa yang jumud.

Bagaimana Ahmadiyah di negara tetangga?

Kalau di Malaysia, kami tidak dianggap orang Islam. Tapi di sana hukum berjalan 
tegas. Ya, sudahlah. Kami tidak pernah dilarang, apalagi untuk beribadah, 
mengadakan pertemuan tahunan. Tidak pernah seperti itu. Selama kita 
beraktivitas di tempat sendiri, kadang kita sewa untuk berkumpul. Di sana 
polisi tegas. Jadi, kalau ada apa-apa, misalnya ada yang mau protes merusuhi, 
polisi langsung bertindak. Saya lama di sana. Kalau kami mengadakan acara 
begini-begini, oke. Lapor biasa saja, acaranya apa, oke, jalan. Tidak ada yang 
mau mengusik kita, merusak. Mereka mengatakan tegas, "Polisi itu urusannya 
keamanan. Urusan keyakinan bukan urusan kami (polisi)." Ini kan masalah 
keyakinan, tidak bisa digunakan hukum positif. Dipaksakan tidak bisa. Urusan 
negara adalah urusan ketertiban. Urusan keimanan, nanti hisabnya dengan Allah 
SWT.

Kami ini tersebar di 180 negara, di Eropa, Afrika. Kami tidak akan bertentangan 
di Barat dan di mana-mana. Selama mereka warga negara dari satu negara, kami 
wajib taat pada hukum negara.
Bagaimana JAI memproses badan hukum?

Lancar saja. Tidak ada apa-apa, akhir-akhir ini saja setelah reformasi. Kami 
memproses badan hukum tahun 1953. Ada dokumennya.
Daerah mana yang luwes menerima keberadaan Ahmadiyah?

Yogyakarta, Jawa Tengah, itu sangat terbuka, sudah puluhan tahun bergaul dengan 
masyarakat. Di daerah-daerah seperti Papua, Sulawesi Utara, daerah-daerah yang 
masyarakatnya majemuk. Rata-rata yang keras itu di daerah Jawa Barat.

Bagaimana hubungan Jemaat dengan warga sekitar?

Biasa saja. Seperti di Manis Lor (Kuningan), lurahnya saja dari kita. Di 
perbatasan Garut dan Sukabumi juga banyak warga Ahmadiyah. Mereka menyatu ikut 
membangun desa. Ada yang jadi guru di berbagi bidang, macam-macam. Di Wonosobo 
biasa-biasa saja. Yang merusuhi tanah-tanah kita, ya, orang-orang dari luar 
daerah itu. Kita kalau membangun apa-apa, ya, mendahulukan orang di sekitar 
untuk bekerja.
[Naib Amir Mirajudin Sahid menambahkan: Di Banjarnegara, lurah dari Ahmadiyah 
diangkat sampai empat kali. Awalnya memang dihujat karena Ahmadiyah.]

Bagaimana menyikapi peraturan daerah itu?

Saya hormati itu semua. Saya selalu menganjurkan kepada warga Ahmadiyah, coba 
pelajari dulu itu (peraturan daerah), terus dari situ teruskan seperti ibadah. 
Sikapi dengan bijaksana dan teruskan aktivitas seperti biasa, karena kami 
selama ini tidak pernah melanggar undang-undang. Aktivitas kami baik secara 
institusi sekalipun, dari dulu. Dan Anda bisa lihat track record kami di 
berbagai negara. Kami tidak pernah ada sesuatu yang melanggar hukum. Makanya, 
di awal saya mengatakan: coba saja aktivitas kami ini apa selain tarbiyah 
(belajar) itu saja. Karena itu, apa pun larangannya, kita terus jalan saja. 
Masak, ketika di jalan kami tidak boleh ibadah.

Apa yang dikhawatirkan dari peraturan daerah itu?

Aturan ini sering disalahgunakan. Makanya diprotes oleh pakar hukum. Dengan 
begini, akan seenaknya main hakim sendiri, ini sekte atau apa. Ada kejadian di 
beberapa tempat. Ada satu tempat di Palu, di sana ada beberapa keluarga 
Ahmadiyah, mendirikan musala, ukurannya kecil. Tiap hari ya biasa salat lima 
waktu, belajar mengaji, anak-anak. Lalu datang aparat dari desa, melarang kami 
memakai musala, ibadah (diminta) di rumah saja. Kayak model-model seperti itu. 
Yang kami tangkap, seluruh aktivitas tidak boleh.

Apakah akan menguji secara hukum perda itu ke Mahkamah Konstitusi?

Kalau memungkinkan, kenapa tidak? Kan peraturan itu berkategori (hierarki), 
jadi bisa di-judicial review di Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Yang 
begini-begini kami usahakan. Dan ini kami limpahkan ke kuasa hukum, ada Lembaga 
Bantuan Hukum. Kami juga berkonsultasi dengan Adnan Buyung Nasution. Yang kami 
tuntut mungkin satu saja. Advokasi kami terus jalan. Jadi, tidak akan semua 
perda kami ajukan. Cukup satu saja, bisa Jawa Timur dan Jawa Barat, ini masih 
proses.

Tindak kekerasan sudah sering, bagaimana Anda menyiapkan mental keluarga?

Ya, saya yakin hukum masih ditegakkan. Soal keamanan dan ketertiban segera 
dikoordinasikan dengan aparat. Itu saja. Kan masih ada Allah SWT. Secara 
pribadi, kami tidak melanggar apa-apa. Jadi, apa yang harus kami takutkan?

Ada instruksi khusus kepada jemaah menghadapi situasi yang berkembang seperti 
ini?

Kami anjurkan untuk banyak berdoa, percaya kepada Allah, ancaman ini serahkan 
kepada aparat polisi atau tentara. Kalau kita tidak melapor, kita juga salah. 
Jangan mengambil hukum di tangan sendiri. Jadi, kalau dibilang bentrok, tidak 
ada bentrok. Kita yang diserang. Ini kan disorot dunia internasional.

Anda berusaha meraih simpati masyarakat internasional?

Tidak usah kami sebarkan, berita ini sudah menyebar. Kami tak perlu ngomong, 
orang lain tahu. Kan banyak yang protes ke kedutaan. Selain itu, ada juga 
lembaga Amnesty International. Kemudian banyak lagi non-governmental 
organization yang sangat concern terhadap hal-hal seperti ini. Jadi, kami tidak 
minta, mereka mencari sendiri.

Misi apa yang menjadi fokus dari Ahmadiyah pusat?

Kalau di sini, kami banyak resistensi. Untuk izin rumah sakit kesehatan, 
susahnya setengah mati. Kalau di negara Afrika, malah pemerintah yang 
menyediakan tanahnya. Rumah sakit dan sekolah kami banyak di Afrika. Di sana 
kami masuk pada 1930-an. Waktu itu Afrika sangat terbelakang. Karena hasilnya 
bagus, resistensi kepada kita kurang. Di sana kami juga menyediakan air minum, 
solar cell, itu kita buat. Tapi tidak cari untung. Di negara berkembang juga 
banyak permasalahan kesehatan mata, kami datangkan pakar-pakarnya.

Di Indonesia?

Kami belum sampai situ, karena masih (ada) resistensi. Paling cuma sekolah, itu 
pun beberapa diganggu. Kalau membuka, pasti bisa. Bukan untuk bangga, tapi kami 
ingin bisa berbuat sesuatu untuk bangsa ini. Kita mau mendirikan klinik di 
depan kompleks ini saja susahnya setengah mati.

Ketika mengadakan kegiatan sosial, JAI tidak menyebutkan nama?

Lihat kondisinya. Ada yang bergabung dengan Fatayat NU. Contohnya, ketika ada 
(kegiatan) Go Green, kami siapkan 125 ribu bibit di berbagai tempat, wakil 
pemerintah juga datang. Kami juga meminta setiap orang Ahmadiyah menanam itu.

Tidak usah jauh-jauh, kami itu organisasi terbesar yang melakukan donor mata di 
Indonesia. Sehingga Ketua Bank Mata Jakarta mengatakan, kalau tidak ada 
Ahmadiyah, ini sudah bangkrut. Donor darah juga termasuk nomor dua organisasi 
yang menyumbangkan. Tanya saja ke Palang Merah Indonesia Manis Lor, Kuningan. 
Berapa banyak yang rutin donor darah. Sampai-sampai, kalau orang kekurangan 
darah, datang ke Manis Lor, tidak usah bayar, kami siap. Rutin kami adakan 
donor darah dan mata.

Berapa yang sudah mendonorkan mata?

Kami targetkan 10 ribu donor, sekarang sekitar 6.000. Kapan pun kalau meninggal 
dan mendonorkan mata, silakan saja diambil. Ini anjuran, amal jariyah.

Bagaimana perjalanan Ahmadiyah selama ini?

Semua ada plus-minusnya. Tapi warga Ahmadiyah menilai zaman Sukarno oke. 
Keadaan masyarakatnya lebih santun. Saya sudah 60 tahun hidup di sini. Sejak 
kecil saya hidup di Garut. Teman akrab saya itu dari NU, Muhammadiyah, dan 
Persis. Tetapi tidak ada itu mencerca. Hampir semua datang ke rumah berdialog. 
Orang NU yang mendirikan IAIN Sunan Gunung Jati itu akrab dengan ayah saya. 
Jadi, hampir tidak ada mencerca. Mereka santun. Bisa berbeda tetapi tetap 
bermasyarakat. Kalau zaman Soeharto, tahu sendiri penegakan hukumnya, tidak 
usah cerita lagi, semua tahu (tertawa). Sekarang ini, ya, begini.

Cerita miris seperti apa lagi yang dialami Ahmadiyah sekarang?

Ada satu kejadian di Manis Lor, warga Ahmadiyah yang mau menikah ditolak oleh 
Kantor Urusan Agama. Di Lombok, ketika warga Ahmadiyah mengungsi, tidak diberi 
kartu tanda penduduk. Sampai anak-anaknya mau bersekolah, susah; mau ke 
puskesmas, susah. Jadi, alasannya macam-macam. Kualitas aparat di daerah ini 
tidak bisa membedakan dirinya sebagai aparat yang digaji dengan duit pajak. 
Warga Ahmadiyah juga bayar pajak. Jadi, bias pribadinya ikut, bukan sebagai 
pelayan. Itu kan hak sipil, warga Ahmadiyah adalah warga Republik Indonesia.

Yang dilarang menikah jadinya tetap menikah tanpa hukum negara?

Tidak. Kami cari KUA yang mau. Pergi ke kecamatan tetangga, minta nikah.

Kalau yang tidak diberi KTP?

Ya, bingung. Kalau kita mau diusir, ya, pasti pemerintah bakal repot dan ribut 
sendiri.

Apa kegiatan Anda?

Kalau pagi-pagi, ya, saya cek surat, e-mail, lalu membalasnya. Kalau keluar, 
ya, paling kunjungan ke daerah. Saya sudah sebulan lebih tidak keluar karena 
situasi seperti ini. Sekali kunjungan bisa seminggu. Banyak daerah yang perlu 
dikunjungi. Kami selalu berhubungan dengan Khalifah di London. Kalau tidak 
pagi, ya, sore. Kantor pusatnya itu mengikuti Khalifah. Di mana Khalifah 
berada, di situlah kantor pusatnya. Kebetulan sekarang ada di London.

Apa perintah Khalifah atas kejadian di Cikeusik?

Banyak berdoa, tingkatkan ibadah, hubungan umat harus ditingkatkan. Jalin 
hubungan dengan masyarakat, termasuk pemerintah. Kan banyak informasi yang 
salah dan harus dibenarkan. Selalu bersikap santun.

Apa hikmah dari peristiwa Cikeusik?

Kami bisa lebih dewasa. Anggota kami juga lebih khusyuk ibadahnya, lebih banyak 
berdoa. Tarbiyah itu ada yang singkat dan lambat. Dengan kejadian ini, 
orang-orang kami makin kuat, lebih solid persaudaraannya. Di Afrika Barat, kami 
mempunyai Rumah Misi. Ini sebutan kami, yang isinya ada masjid, kompleks 
perumahan, sekolah, perpustakaan. Ada kiai yang datang ke rumah mubalig kami. 
Video Cikeusik itu diputar, entah mereka dapatkan dari mana, kan itu sudah 
tersebar di YouTube. Tidak sampai satu menit, kiai itu mengatakan "stop-stop". 
Inilah Ahmadiyah yang sedang dibunuh. Lalu kiai mengatakan, "Apakah ini orang 
Islam, dan mereka melakukan pembunuhan ini atas nama Islam dan Rasulullah dan 
Allah SWT?"

Anda menonton video Cikeusik?

Saya tidak berani. Sangat sadis sekali. Apa Islam seperti ini? Tapi (tahu) dari 
berita dan cerita, dan saya berjumpa dengan yang jadi korban dan saksi. Apa 
yang Anda lakukan saat peristiwa itu terjadi?

Pada saat kejadian itu, saya tidak tidur tiga hari. Mencari tempat untuk 
mengungsikan (jemaah). Kita meminta tolong ke LBH, menolong dan mengeluarkan 
yang terkurung. Bagaimana memberi konseling untuk anak-anak yang melihat. Ini 
sangat traumatik. Kami pindahkan terutama ibu dan anak-anak. Sekarang kami 
kosongkan.

Anda menjadi amir sudah berapa periode?

Empat kali saya terpilih sejak 2001. Satu periode tiga tahun. Kita ini ada 
majelis syura tingkat nasional. Musyawarah nasionalnya setiap tahun, tapi untuk 
pemilihan ketuanya tiga tahun sekali. Setelah dipilih, dikirim ke pusat 
disetujui atau tidak.

--------------------------------------------------------------------------------

BIODATA

NAMA: Abdul Basit

KELAHIRAN: Bandung, 16 April 1951

ISTRI: Musliwati (punya lima anak)

PEKERJAAN: 

Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia
PENDIDIKAN: 

Jamia Ahmadiyya Rabwah Pakistan
PENGALAMAN: 

Mubalig Ahmadiyah di Sumatera Utara dan Aceh (1981-1985) 
Mubalig Ahmadiyah di Bangkok, Thailand (1985-1987) 
Mubalig Ahmadiyah di Kuala Lumpur, Malaysia (1988-1997) 
Mubalig Ahmadiyah di Yogyakarta dan Jawa Tengah (1987) 
Mubalig Ahmadiyah di London (1996) 
Mubalig Ahmadiyah di Johar, Singapura (1997-2001) 
Mubalig Ahmadiyah di Kemang, Bogor (2001-sekarang)
--------------------------------------------------------------------------------

Tak Surut oleh Ancaman

Kantor Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tepat berada di depan Pos Polisi 
Lalu Lintas Pondok Udik, Kemang, Bogor, Jawa Barat, di Jalan Raya Parung 
Kilometer 27. Kantor ini dari luar terlihat sepi, dengan pohon-pohon rindang. 
Terdapat jalan aspal yang lebarnya hanya cukup satu mobil. Ujung jalan itu 
adalah gerbang hijau tinggi menyambung dengan pagar yang menjalar panjang 
menutupi kompleks.

Kompleks ini terkesan tertutup. Tak ada satu papan nama pun yang menunjukkan 
bahwa kompleks tersebut merupakan pusat kegiatan JAI, yang kini ruang geraknya 
terus dipersempit oleh masyarakat dan beberapa pemerintah daerah.

Masuk ke kompleks, suasana sepi meruap. Lahan seluas 3,5 hektare ini masih 
banyak yang kosong. Hanya ada tiga gedung dan beberapa puluh rumah. Tapi 
penataan bangunan rapi dan asri. Aktivitas warga Ahmadiyah di dalam gedung pun 
cukup riuh. "Berjalan seperti biasa," ujar Amir Nasional JAI, Abdul Basit. 
Warga Ahmadiyah tetap menjalankan aktivitas dan bebas keluar rumah. "Saya masih 
tinggal di luar kompleks," kata Rakeeman R.A.M. Jumaan, mubalig lokal.

Beberapa siswa Jamiah Ahmadiyah berjalan santai di antara halaman. Pegawai di 
gedung sekretariat lebih sibuk lagi. Menurut Basit, mereka mengerjakan 
penulisan buletin, siaran, dan dokumentasi tentang ajaran Ahmadiyah. Salah satu 
yang sedang dikerjakan adalah menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. 
"Ahmadiyah menargetkan terjemahan 100 bahasa," katanya. Yang sudah dikerjakan 
baru 80 bahasa, di antaranya Sunda, Cina, Rusia, Jerman, dan Belanda.

Rakeeman mengatakan, di kompleks ini terdapat 200 orang. Saat azan zuhur, 
sebagian besar berbondong-bondong ke masjid untuk salat berjemaah. Tua, dewasa, 
remaja, hingga anak-anak salat bersama hingga tiga saf. Mereka tak 
memperlihatkan wajah ketakutan kendati hidupnya terus terancam. "Anak-anak 
tetap sekolah," kata Basit. AKBAR TRI KURNIAWAN




------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke