http://muslimharustahu.wordpress.com/

Nonton Bareng Film Hanung TANDA TANYA dan Bahas Resensinya

Nonton Dahulu Filmnya di SINI
Film Indonesia – Sebagaimana media massa lainnya, film juga punya kemampuan 
untuk   
mengungkap, mengomentari dan menghadapi permasalahan sosial aktual   
secara langsung. Tidak lewat perumpamaan, tidak lewat dongeng atau   
perantara lain. Peran yang sangat jarang dilakukan dalam perfilman   
Indonesia ini yang dilakukan oleh sutradara Hanung Bramantyo dan penulis 
skenario Titien Wattimena dalam film terbaru mereka berjudul “?” (“Tanda 
Tanya”).

Mereka  ‘memungut’ peristiwa-peristiwa 
aktual dalam lima sampai  sepuluh tahun  terakhir (pemboman gereja, 
penghakiman/perusakan milik  orang lain yang  dianggap melanggar kaidah, 
keresahan/kerusuhan  antaretnis dll) dan  mencampurkannya dengan 
‘fiksi’ permasalahan pribadi  tokoh-tokohnya.  Kata ‘fiksi’ mungkin 
tidak terlalu tepat, karena yang  disuguhkan  sebetulnya permasalahan 
umum yang dialami masyarakat.  Permasalahan ini  ‘diangkat’ menjadi 
lebih ‘umum’, hingga terasa sebagai  fiksi.  Pendeknya: beda fiksi dan 
fakta dalam film ini berhasil dibuat  menjadi  tipis.
Tan Kat Sun (Henky Solaiman), pemeluk Konghucu dan pemilik restoran masakan 
Cina yang sudah tua dan sakit-sakitan sangat sadar lingkungan. Cara masak dan 
peralatan masak dipisah secara tajam antara yang halal dan haram. Ia bermasalah 
dengan   anaknya, Ping Hen alias Hendra (Rio Dewanto), yang memiliki visi 
tersendiri dalam bisnis.
Soleh (Reza Rahadian), Islam dan pengangguran yang rajin beribadah, selalu 
gundah akan keadaan dirinya, sementara istrinya, Menuk (Revalina S Temat) yang 
berjilbab bekerja di restoran Tan Kat Sun. Menuk yang praktis menjadi tiang 
keluarga, tampil sebagai istri teladan.
Rika (Endhita), janda berputra tunggal, meneruskan usaha keluarga: toko buku. 
Atas   
pilihannya sendiri, ia belajar agama Katolik dan ingin dibaptis,   
sementara putra tunggalnya tetap didorong memperdalam agama Islam di   
mesjid setempat. Ia juga bersahabat dengan Surya (Agus Kuncoro), yang 
bercita-cita menjadi aktor hebat tapi bernasib masih mendapat   
kesempatan peran-peran kecil. Saking tidak punya uang, ia menginap di   
mesjid.

Latar
Tokoh-tokoh ini tinggal di sebuah wilayah  tua sebuah kota di Jawa  
Tengah (Semarang?) yang lanskapnya mengesankan  sebuah wilayah pecinan, 
 meski di sana ada juga mesjid dan tidak terlalu  jauh dari situ (dalam 
 film kurang digambarkan secara jelas letak  geografisnya) berdiri 
gereja  Katolik yang cukup megah. Bahasa yang  digunakan bahasa 
Indonesia logat  Jawa dan bahasa Jawa. Pemilihan latar  ini merupakan 
pilihan yang tepat  untuk mendramatisasi friksi. Pemilihan  ini juga 
sekaligus menunjukkan  betapa dalam kehidupan sehari-hari kita  ‘harus’ 
berhadapan dengan etnis  atau pemeluk agama lain. Bahkan  
keluarga-keluarga besar, di Jawa  khususnya, selalu memiliki anggota  
keluarga yang beretnis dan/atau  memeluk agama lain.
Hal ini sudah  berjalan biasa dan tidak 
bermasalah sejak lama sekali,  meski khusus  dengan etnis Cina selalu 
ada yang terpendam di bawah sadar  tanpa muncul  di alam sadar secara 
fisik pada kelompok ‘asli’. Dia  menjadi  bermasalah sejak 
reformasi/kerusuhan 1998 karena tidak adanya   penanganan yang jelas dan tegas 
atas masalah itu sesudahnya, sementara   dibiarkan tumbuh 
radikalisme/fundamentalisme etnis/agama, dan juga   selalu muncul 
kelompok yang memanfaatkan kekeruhan itu.
Terhadap  masalah ini Hanung bersikap. 
Dia menunjukkan perbedaan etnis  dan agama  adalah kenyataan Indonesia 
kita yang sebaiknya disyukuri. Dia  bahkan  menunjukkan dalam banyak 
adegan betapa ‘bodohnya’ tindakan yang   didasarkan hanya pada prasangka 
etnis/agama apalagi kalau hal itu   dibumbui lagi oleh prasangka yang 
berangkat dari masalah personal   seperti yang dilakukan Soleh. Selalu 
bertengkar dengan Hendra bila   berpapasan dan saling mengejek, Soleh 
yang dibakar cemburu mengerahkan   teman-temannya untuk merusak restoran Hendra 
yang buka pada hari kedua   Lebaran. Hendra mengabaikan 
kebijakan ayahnya yang selalu memberi libur   lima hari pada karyawannya saat 
Lebaran dengan alasan ‘bisnis’: pada   hari Lebaran orang makan di luar dan 
pembantu pulang mudik.

Perbedaan Semu
Hanung juga menunjukkan  perbedaan-perbedaan yang ada sebenarnya semu.  
Khotbah/petuah ustad  maupun pastor pada intinya sama. Ketika Surya  
bertanya apakah dirinya  boleh memerankan Yesus dalam drama Paskah di  
gereja, Ustad menjawab  bahwa yang penting adalah yang ada dalam  
dirinya. Meski kita juga tahu,  bahwa salah satu alasan Surya menerima  
peran itu adalah honorarium.  Bahkan Rika yang secara sadar mengambil  
jalan yang tidak dilalui  keluarga dan masyarakat mayoritas, berucap  
bahwa pada akhirnya jalan  agama adalah jalan pribadi. Suatu pemikiran  
yang sebetulnya biasa saja,  tapi kelihatan progresif dalam konteks film
  itu, dan juga mungkin dalam  konteks masyarakat sekarang yang penuh  
prasangka.
Sikap ’progresif’ ini  pula yang mewarnai seluruh film kecuali pada  bagian 
akhir. Sutradara  dan penulis 
skenarionya agaknya berpendirian  bahwa setiap masalah dalam  film harus ada 
solusinya. Padahal tidak ada  keharusan itu, karena  begitu banyak 
film memberikan akhiran terbuka.  Khusus untuk film ini,  solusi di 
akhir film justru memperlemah dua sisi  sekaligus: pikiran  progresif 
yang diakhiri dengan kebijakan konvensional  cenderung  konservatif, dan 
struktur dramatik yang sudah dibinanya sejak  awal  menjadi tak terasa 
lagi. Soleh merusak restoran tempat kerja  istrinya,  Rika lebih memilih Surya 
yang Islam daripada Doni (Glenn Fredly) yang seiman, hancurnya restoran membuat 
Hendra sadar akan kebijakan   ayahnya. Inilah puncak-puncak dramatik itu. 
Sesudahnya, adalah   
penjelasan-penjelasan yang rasanya berlebih dan mengurangi nilai   
dramatik itu tadi.

Ada kemungkinan  pembuat film takut 
disalahfahami. Ketakutan yang  sebetulnya tidak perlu  ada, karena 
akhiran terbuka berarti mengajak  penonton aktif memberi  tafsir sendiri yang 
belum tentu sama dengan  pencipta. Sebuah film,  seperti juga 
kesenian umumnya, menjadi indah  karena memberi ruang itu  dan sang 
pencipta harus tahu diri di mana dia  harus berhenti untuk  menjelaskan 
dirinya. Dengan kata lain sebuah  kesenian sebaiknya indah  dalam isi 
dan dalam cara.
Pada  Hanung, asyiknya, kita tidak perlu 
lagi bicara soal cara atau  hal-hal  yang teknis. Dia sudah sangat fasih 
terhadap medianya. Yang  diperlukan  adalah pergulatan lebih lanjut dan lebih 
dalam terhadap  masalah yang  ingin diungkapkan dan cara 
ungkapnya. Bagaimanapun  keindahan ungkapan  sama pentingnya dengan apa 
yang hendak diungkapkan.

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke