HARYADI BASKORO



Sejak video ”Polisi Gorontalo Menggila” muncul di Youtube, Briptu Norman
 Kamaru yang menyanyi dan bergoyang lagu India ”Chaiyya, Chaiyya” itu 
langsung ngetop.



Sebagian besar masyarakat senang dan mengapresiasi. Sang polisi mendadak
 menjadi pesohor kaliber nasional berkat eksploitasi media.



Jika Norman dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 4F tentang tindakan 
disiplin kepolisian, ia bisa tidak mendapat kesempatan tambahan 
pendidikan selama setahun, tertunda kenaikan pangkatnya, dimutasi, dan 
bahkan terancam disel khusus selama 21 hari. Akan tetapi, Norman 
akhirnya hanya mendapat teguran lisan dan malah dianggap berjasa karena 
mengharumkan citra polisi di masyarakat.



Memang serba dilematis. Kalau Norman dihukum, masyarakat akan berteriak 
mengolok. Kalangan seniman pun mungkin akan protes karena menganggap 
aspirasi seni tak dihargai.



Dengan cepat Wakil Ketua DPR Pramono Anung menyatakan bahwa 
berlebihanlah menghukum Norman. Menurut Pramono, presiden saja boleh dan
 sering menyanyi, mengapa Norman tidak boleh.



Maka, yang terjadi justru sebaliknya: Norman disanjung! Kepala Polri 
Jenderal (Pol) Timur Pradopo melihat Norman bertalenta dan memotivasinya
 agar mengembangkan potensi itu. Brimob Polda Gorontalo sendiri, tempat 
Norman bertugas, mengapresiasi kreativitas Norman.



Kultur pop



Dengan munculnya Norman, lengkap sudah mereka—dari pucuk pemimpin sampai
 jajaran bawah—yang senang menyanyi di negeri ini. Di satu sisi hal itu 
menunjukkan bagaimana manusia Indonesia memiliki jiwa seni. Namun, di 
sisi lain kenyataan ini benar-benar menunjukkan bagaimana kultur pop 
telah mencengkeram kita.



Secara antropologis ukuran kebudayaan itu relatif: soal baik atau buruk,
 luhur atau hina, tinggi atau rendah. Namun, jika ditakar dalam konteks 
filosofis-ideologis, kebudayaan populer yang tak mengusung nilai 
filosofis merupakan budaya ringan yang dikreasi sekadar untuk menghibur.
 Beraneka manifestasi dan produk kultur pop yang berkembang dahsyat 
karena didongkrak media demi pasar hanya menekankan kenikmatan sesaat 
dengan semboyan ”yang penting hepi ”.



Sebagian dari produk seni kita—lagu, musik, film, dan seterusnya—tidak 
mengusung nilai-nilai filosofis-ideologis yang mendalam. Jika itu 
digandrungi rakyat, sah-sah saja. Namun, jika pemimpin dan aparat negara
 ikut-ikutan selera pasar, sepertinya mereka merendahkan martabatnya 
sendiri.



Para pemimpin Indonesia pada masa silam adalah kreator budaya. Para raja
 di Jawa, misalnya, dijuluki sebagai narendro sudibyo , pencipta seni 
dan budaya luhur. Tentu saja budaya populer berselera rendahan juga ada 
sejak dulu, tetapi para pemimpin pada masa itu tidak ikut tercebur, 
apalagi menceburkan diri dan ikut arus. Para pemimpin adalah pencipta 
dan penjaga budaya bangsa yang luhur.



Pencitraan-pengalihan



Indonesia memang aneh, tetapi nyata. Menghadapi kekecewaan dan 
ketidakpercayaan masyarakat, pemerintah dan aparat negara bukannya 
meningkatkan profesionalitas, tetapi justru menyuguhkan ”atraksi 
hiburan”.



Pada saat masyarakat sungguh menuntut perbaikan, perubahan, pembaruan, 
perombakan, dan pertobatan, pemerintah dan aparatur negara malah 
menghadirkan lelucon. Lucunya, masyarakat senang-senang saja.



Sudah bisa ditebak, atraksi itu justru dijadikan bahan pencitraan. 
Norman dengan dukungan segenap korps bisa jadi ”dikemas” untuk membangun
 citra bahwa polisi Indonesia itu kreatif, ramah, menghibur, tidak 
keras, tidak kasar, gaul, mengikuti perkembangan zaman, dan menguasai 
iptek. Maka, modus pencitraan ini jelas merupakan metode pengalihan 
perhatian.



Bangsa ini sudah penat, letih, dan menderita karena menghadapi berbagai 
persoalan yang makin parah. Para pemimpin dan aparat yang tak sanggup 
memberikan solusi, bahkan terkadang mencari untung sendiri di tengah 
keruhnya masalah, mencoba meninabobokan masyarakat dengan hiburan 
ringan. Masyarakat terlena dan dosa-dosa para pemimpin pun dilupakan.



Menyedihkan karena bangsa ini digiring menjadi bangsa yang cepat 
melupakan masalah. Entah semua itu direkayasa atau tidak, kebetulan saja
 atau diskenariokan, faktanya terjadi banyak pengalihan perhatian yang 
begitu sistematis.



Saat rencana pembangunan gedung baru DPR masih diperdebatkan dan 
mengundang reaksi keras, tiba-tiba Briptu Norman naik panggung meredakan
 tensi penonton (baca: rakyat) di negeri ini. Kebetulankah?



Bangsa ini akan hancur manakala rakyatnya bermental penonton berselera 
rendahan. Mereka adalah sasaran empuk para pemain sandiwara yang kian 
hari kian lihai menyentuh dan memainkan emosi tak cerdas penonton.



HARYADI BASKORO Peneliti Kebudayaan, Tinggal di Yogyakarta





http://cetak.kompas.com/read/2011/04/16/04171051/dari.presiden.hingga.sang.briptu

Berbagi berita untuk semua
 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke