saya ambil dari FB
btw di FB, perkembangan atheist sangat pesat :-)

--------


Blind Fallacy
E-mail dari seorang sahabat:   Manusia punya sifat moral inheren untuk selalu 
berterima kasih pada mereka yg memberi. Kita berterima kasih pada orang tua 
kita, guru, kerabat, teman dll atas apa yg telah mereka lakukan untuk kita. 
Kecenderungan kita  berte...rima kasih dan membalas pertolongan ini secara 
universal begitu kuat hingga kalau ada orang yg berkelakuan sebaliknya, maka ia 
akan dicap orang yang tak tahu diri, tidak bermoral. Oleh karena itu bisa 
disimpulkan bahwa siapapun yang memberi kita berkah harus menjadi fokus rasa 
terima kasih kita yg terbaik.   Saya mengakui bahwa ada orang yg bertanya 
kenapa kita harus berterima kasih padaNya jika ada alasan kuat untuk percaya 
bahwa Dia itu tidak ada. Pemikiran intelektual tentu saja akan menantang gerak 
hati moral dalam diri manusia, tapi secara moral kita akan lebih tergerak untuk 
mencari jawaban yg benar dibandingkan secara intelektual. Kesungguhan dalam 
pencarian Tuhan setidaknya harus sama besarnya dengan kesungguhan seorang anak 
mencari orang tuanya walau dia tidak yakin kedua orang tuanya itu masih hidup 
atau tidak.   Faktor rasa takut cuma bisa menjadi titik awal untuk percaya pada 
Tuhan. Ini cuma alasan yg dangkal untuk percaya padaNya dlm jangka panjang. 
Malah, ini tidak bisa dijadikan alasan yg baik untuk percaya padaNya. Saya 
sarankan lebih baik tidak percaya Tuhan daripada percaya padaNya karena takut. 
Saya tidak percaya bahwa Tuhan harus ditakuti seperti kita takut pada monster 
maut. Saya percaya pada Tuhan yg penuh cinta dan kasih sayang, yang lebih 
penting lagi, Tuhan yang menjawab doa-doa saya. Dan saya sangat yakin bahwa Dia 
memang menjawabnya. Tapi saya tidak menuduh orang lain kurang berusaha atau 
tidak berdoa dengan tulus. Itu sebabnya kenapa saya bilang saya heran. Apa sih 
ruginya mereka yg tidak menemukan Tuhan dan tetap berdoa padaNya dengan penuh 
ketulusan?   Tapi, agar doa bisa membuat suatu hubungan dengan Tuhan, harus ada 
satu syaratnya: Harus menundukkan diri dengan rendah dihadapanNya. Anda boleh 
bilang ini sebuah usulan yg lucu bagi seseorang yang bahkan tidak percaya pada 
tuhan tapi harus merendah dihadapanNya. Saya jawab bahwa ketika kita merasa 
secara moral wajib berterima kasih pada sebuah sumber yang mengatur semua hal 
bagi kehidupan kita, ketika kita temukan alas an percaya bahwa Dia itu Ada 
(bahkan jika ada alasan lain yg berlawanan sekalipun), dan ketika kelemahan 
kita menyebabkan kita merasa takut akan keberadaan kita, adakah respon yg lebih 
baik dari diri kita selain dengan merendahkan diri kita dihadapanNya (atau 
kemungkinan keberadaanNya) dan lalu kita lihat apa yg akan terjadi?   Saya 
merasa bahwa semua argumen intelek dari para agnostik dan ateis mencerabut 
mereka dari segala hal penting akan perasaan merendah yang mengilhami seseorang 
untuk mencari dg tulus keberadaan Tuhan. Tapi saya bisa saja salah.Sering, saya 
perhatikan orang-orang yg mengklaim tidak percaya Tuhan mencemooh agama, orang 
religius dan konsep mereka tentang Tuhan. Sering muncul penolakan sebuah konsep 
agama dengan cemoohan yg penuh hina. Ada semacam rasa lebih hebat 
(superioritas) secara intelektual yg jelas dari penjelasan akan penolakan 
tersebut. Richard Dawkins misalnya membuat klaim yg keras dalam bukunya 
berdasarkan studi sains yg menunjukkan bahwa semakin pintar seseorang, semakin 
mungkin orang itu menjadi ateis. Maksud saya adalah bahwa apa yang mereka 
anggap sebagai kekuatan (intelektual) mereka, mungkin sebenarnya menjadi 
penyebab kegagalan mereka dg membuat mereka merasa hebat, superior dan dengan 
demikian membuat mereka sombong hingga tidak mampu untuk merendahkan diri.   
Rasa berterima kasih dan rasa merendah diri keduanya adalah kebaikan yg 
diinginkan orang. Rasa tidak berterima kasih dan keangkuhan adalah 
kecenderungan tidak bermoral. Pasangan rasa yg pertama adalah rasa yang membawa 
kita pada Tuhan. Pasangan rasa yg lain menjauhkan kita dari Tuhan. Itu sebabnya 
saya berpendapat bahwa percaya pada Tuhan utamanya berada pada domain 
moralitas; aspek intelektual dari itu kuranglah penting dibanding yg sering 
kita sadari.   Saya tidak bilang bahwa orang-orang religius tidak bisa sombong 
atau angkuh. Banyak yg sangat angkuh. Tidak juga saya mengklaim bahwa semua 
ateis itu sombong. Banyak yang sangat merendah diri. Tapi kesombongan religius 
tidak punya tempat dalam pengampunan Tuhan, kerendahan diri ateistis akan, saya 
harap, memberi jalan pada kepercayaan akan Dia.   Pertanyaan saya adalah: 
Apakah orang-orang Agnostik dan Ateis telah cukup yakin bahwa sang pemberi 
berkah yang mereka nikmati setiap hari memang tidak eksis ? Apakah mereka telah 
sungguh-sungguh berdoa padaNya, bahkan tanpa secara formal percaya padaNya, 
seperti yg saya lakukan ? Jika mereka bilang mereka telah berdoa tapi tidak 
mendapat jawaban, saya sungguh bingung karena pengalaman yg saya dapatkan 
sangatlah berbeda. Ketika saya berdoa padaNya, bahkan ketika saya berpikiran 
bahwa saya tidak secara formal percaya padaNya, jawaban Dia sangat meluap-luap. 
Lalu kenapa mereka tidak mendapatkan pengalaman yg sama dengan saya ? Saya 
sungguh heran!   Berikut tanggapan dari saya :   Argumen anda masuk akal, 
sampai orang mendapatkan bahwa argumen anda itu didasarkan pada serangkaian 
fallacy (buah pikiran yg keliru) logika. Dengan kata lain, anda mendirikan 
bangunan yg cantik, tapi tanpa fondasi. Sekarang perhatikan, saya akan 
meniupnya hingga rubuh.   Pertama, anda membandingkan Tuhan dengan ortu kita 
dan bilang bahwa sebagai anak yg baik kita harus mencari ortu kita, meski jika 
kita tidak tahu apa mereka itu hidup atau mati, untuk menunjukkan rasa terima 
kasih kita. Ini perbandingan yang salah. Ortu kita nyata sementara Tuhan tidak 
dan berdasarkan iman belaka. Apakah ada bukti bahwa kita punya Pencipta yg 
berintelejensia selain dari hokum-hukum alam? Selama anda tidak/belum 
membuktikan itu, anda hanya melakukan argumen2 berfallacy "Begging the 
Question".   "Begging the Question" adalah jenis fallacy dimana dasar 
pikirannya termasuk pernyataan bahwa kesimpulannya adalah benar atau (langsung 
maupun tidak langsung) mengasumsikan bahwa kesimpulannya itu benar. Jenis 
`akal-akalan' seperti ini punya bentuk sbb: 1. Dasar pikiran yg mana 
`kebenaran' dari kesimpulan diklaim atau kebenaran dari kesimpulannya hanya 
diasumsikan (baik langsung maupun tidak). 2. Klaim K (Kesimpulan) adalah benar. 
Jenis `akal-akalan' ini adalah fallacy karena mengasumsikan bahwa kesimpulannya 
benar (langsung atau tidak) padahal dalam dasar pikirannya tidak berisi bukti 
untuk kesimpulan tsb. Jelasnya, hanya mengasumsikan sebuah klaim itu benar 
tidaklah berlaku sebagai bukti untuk klaim itu sendiri. Ini khususnya jelas 
terlihat dalam kasus: "X itu benar. Bukti dari pernyataan ini adalah bahwa X 
itu benar."   Beberapa kasus `Begging the Question" ada yg sangat2 jelas, 
sementar beberapa kasus lain sangat tersamarkan fallacynya,ini salah satu 
contoh fallacy Begging the Question: Amir: "Tuhan mestilah ada." Udin: 
"Darimana kau tahu?" Amir: "Karena Kitab Suci bilang begitu." Udin: "Kenapa aku 
harus percaya Kitab itu?" Amir: "Karena Kitabku ini ditulis oleh Tuhan." 
KemudianÂ…   Pewawancara: "Resume anda terlihat menakjubkan tapi saya perlu 
referensi dari orang lain." Udin: "Amir bisa memberiku referensi yg bagus." 
Pewawancara: "Bagus. Tapi darimana saya tahu bahwa Amir itu bisa dipercaya?" 
Udin: "Tentu saja. Saya bisa menjamin dia"   Anda perhatikan, dasar pemikiran 
anda itu salah. Dengan demikian, kesimpulan anda juga salah. Anda enak saja 
bilang bahwa Tuhan itu sang Pencipta dan Penyedia segalanya, dan dgn demikian 
anda menyimpulkan bahwa kita harus berterima kasih padaNya. Tapi, anda gagal 
memberi bukti yg mendukung dasar pikiran anda. Kesalahan lain dari perbandingan 
ini adalah bahwa ortu kita itu manusia. Mereka berkorban dan memberi segalanya 
sementara mereka mendapatkan yg diberikan pada kita itu tidaklah dengan mudah. 
Sampai kita tumbuh besar dan kuat. Dan ketika itu mereka sudah berusia tua dan 
lemah. Jadi secara moral kita diharuskan membalas jasa mereka dengan mengurus 
mereka selama mereka hidup.   Misal ada Tuhan yg menciptakan kita, dia katanya 
Maha Kuasa. Kenapa dia perlu pertolongan kita atau bahkan rasa terimakasih 
kita? Jika dia Tuhan, tidak ada pengaruhnya bagi dia kita menyembah dia atau 
tidak. Jadi kenapa dia menghukum mereka yg tidak berterimakasih padaNya? 
Misalkan lagi, ada orang yg sangat kaya yg berniat untuk dermawan. Dia kejalan 
dan membagikan uang pada setiap orang yg dia temui. Orang-orang ambil uang itu 
dan berterimakasih padanya, tapi ada juga orang yg tidak berterimakasih padanya 
meski mengambil uangnya. Apa yg akan anda pikirkan atau katakan pada sang 
dermawan ini jika dia mengejar orang yg tidak berterimakasih itu, memukuli 
mereka dan menyiksa mereka? Pantaskah orang demikian dipuja-puji?   Kita 
manusia diajarkan bahwa kedermawanan yg paling baik dilakukan tanpa diketahui 
orang lain, tanpa mengharapkan balas jasa dan jadi terkenal. Apa anda mau 
bilang Tuhan anda ini bahkan menurut standar manusia sekalipun tidak bisa 
lulus? Bahwa begitu ngototnya dia ingin diberi rasa terima kasih hingga dia mau 
menyiksa orang dg cara mengerikan (selama-lamanya) jika mereka tidak berterima 
kasih? Jika kepingin pahala, kedermawanan anda percuma saja Kenyataannya 
adalah, tidak ada rejeki jatuh dari langit. Kita harus bekerja keras untuk 
mencari nafkah. Jika tidak, Tuhan tidak akan memberikannya bagi kita. Banyak 
orang yg sungguh-sungguh mati kelaparan dan tidak ada tuh Tuhan datang menolong 
mereka. Kita manusia menjaga binatang peliharaan kita jauh lebih baik daripada 
Tuhan menjaga kita dan malahan kita tidak minta peliharaan kita itu agar 
berterima kasih pd kita tidak juga kita menyiksa mereka jika mereka tidak 
menggoyang2kan ekornya setelah diberi makan.   Fallacy lain dalam argumen anda 
adalah ketika anda mengungkapkan kekaguman anda mengenai kenapa Tuhan menjawab 
doa anda secara meluap-luap, sementara orang-orang lain (kami) mengklaim tidak 
mendengar jawaban apapun dalam doa2 kami. Ini `subjective reasoning'. Misal 
anda menyaksikan sebuah mukjijat, kenapa kami musti percaya? Kenapa kami harus 
percaya anda? Mungkin saja anda berhalusinasi? Kenapa tuhan tidak menunjukkan 
mukjijatnya pada saya? Haruskan saya bersandar pada intelejensia saya sendiri 
atau bersandar pada pengakuan si anu, si anu dan si anu? Dan kenapa Tuhan 
menghukum saya karena tidak percaya akan mukjijat yg tidak pernah saya 
alami/saksikan? Misal anda sangat butuh uang dan anda beli lotere, berdoa pada 
Tuhan, lalu menang. Anda lalu menyimpulkan Tuhan telah menjawab doa anda. 
Apakah ini kesimpulan yg logis? Yg anda lupakan adalah bahwa jutaan orang lain 
juga membeli lotere yg sama, kebanyakan dari mereka juga sangat butuh uang dan 
berdoa agar menang, tapi mereka kalah. Malah beberapa tahun lalu di Kanada, 
sepasang pengedar narkoba yg pernah melakukan banyak sekali kejahatan 
memenangkan hadiah lotere yg besar sekali. Apa Tuhan ikut campur dalam 
pemenangan itu? Sementara jutaan anak-anak tidak mendapat makanan.   Berapa 
sering kita dengar orang selamat dari bencana, dimana ribuan orang lainnya mati 
dalam bencana yg sama, berkata, "Ini mukjijat dari Tuhan karena saya selamat." 
Kenapa tuhan tidak melakukan mukjijat pada ribuan orang lainnya yg mati juga? 
Anda bilang anda tidak percaya pada Tuhan yg ditakuti, tapi pada Tuhan yg 
menjawab doa anda. Tidak ada bukti bahwa Tuhan menjawab anda. Orang religius 
bilang Tuhan hanya menjawab doa yang ingin Dia jawab. Kalu gitu untuk apa 
capek-capek berdoa? Tuhan akan melakukan apa yg dia pikir benar, apapun yg kita 
lakukan. Kenapa meminta Tuhan sesuatu hal yang mungkin tidak baik bagi kita? 
Dan kenapa meminta hal-hal yg pada akhirnya akan diberikan pada kita pula?   
Orang religius bilang kadang jawaban Tuhan untuk doa kita adalah `ya', tapi 
kadang juga `tidak', dan kadang `tunggu!'. Tapi jika anda berdoa pada kursi, 
hasilnya juga tidak akan jauh berbeda. Doa2 anda kemungkinan dijawab, tidak 
dijawab atau mungkin nanti dijawab. Argumen bahwa Tuhan menjawab doa bukan lain 
hanyalah sebuah fallacy. Kursi juga bisa berfungsi demikian. Terlebih lagi, 
jika anda tidak percaya pada Tuhan yg didasarkan pada rasa takut, maka anda 
harus pindah agama. Bagaimana anda bisa menggambarkan pandangan idealistik anda 
tentang Allah dengan Tuhan yang maha kejam dan sadis?   Fallacy lain dalam 
argumen anda. Anda bilang bahwa untuk percaya pada Tuhan, satu syarat harus 
dipenuhi, yaitu, "Harus tunduk merendah dihadapanNya." Ini trik psikologis yang 
dimainkan para agamawan. Ini fallacy yg sama, yaitu `Begging the Question'. 
Anda meminta kita untuk percaya sebelum bukti itu disodorkan. Tapi setelah 
sekali saja kita percaya, bukti itu akan banyak melimpah. Jadi anda bisa rapuh 
untuk percaya pada kebohongan apapun. Ada banyak agama palsu dan para pengikut 
agama tsb memakai metodologi yg sama ketika mereka jadi percaya. Mereka 
melakukan `loncatan kepercayaan' dan berhenti bertanya-tanya. Dan yakinlah, 
agama tsb kebanyakan bukanlah agama yg baik. Beberapa diantaranya malah 
berbahaya dan jahat. Jadi sangatlah tidak bijaksana untuk percaya sampai semua 
bukti diberikan terlebih dahulu. Pada satu titik mereka berhenti bertanya dan 
memutuskan untuk melakukan `loncatan kepercayaan'. Hasilnya adalah bencana. 
Saran saya adalah agama apapun yang meminta anda untuk percaya sebelum memberi 
bukti haruslah dihindari. Jika sebuah kepercayaan tidak memberi cukup bukti, 
maka kepercayaan itu palsu.   Kepercayaan mereka tidak akan berpengaruh banyak 
jika mereka tidak mengganggu kita. Mereka boleh menyembah batu bata selama batu 
bata itu tidak dilemparkan pada kita. Hampir semua pengikut agama tidak bisa 
memberi bukti objektif yg mendukung kepercayaan mereka. Saya tidak punya 
masalah akan kepercayaan orang pada Tuhan. Saya juga tidak percaya bahwa 
ateisme lebih baik daripada teisme. Malah orang percaya terbukti hidup lebih 
lama dan lebih bahagia. Juga ateis bisa menjadi fanatik dan tertutup 
pemikirannya sama seperti orang fanatik agama. Fanatisme adalah sikap. Anda 
bisa saja jadi ateis sekaligus fanatik. Kebanyakan kejahatan yg terjadi diabad 
terakhir justru dilakukan oleh ateis. Jadi ateisme tidak membuat anda jadi 
orang yg lebih baik.   Lalu anda menuduh agnostik dan ateis itu sombong dan 
kurang merendah. Ini ad hominem. Saya percaya kebalikannya. Kita diberi otak 
untuk dipakai. Kerendahan diri adalah bisa menerima fakta. Kesombongan diri 
adalah menyangkal fakta. Orang religiuslah yang menolak fakta dan percaya tanpa 
bukti. 2+2 = 4. Ini adalah fakta matematik. Jika anda menerima hasil lain 
selain fakta itu, anda bersandar pada iman kosong, andalah yg sombong. Saya 
ingin para pembaca memperhatikan bagaimana orang percaya memelintir segalanya 
dan bersandar pada segala macam fallacy logika demi membela kepercayaan palsu 
mereka. Tidaklah sombong jika kita meminta bukti. Sombong itu jika percaya 
kemustahilan tanpa meminta buktinya.   Sekarang siapa yang lebih sombong? 
Teroris Taliban dan Al Qaeda yg tanpa kritik menerima omong kosong karena 
katanya ada dalam Kitab Suci yg mereka percaya tanpa bukti, atau Richard 
Dawkins, Stephen Hawking dan Carl Sagan yang menolak percaya omong kosong tanpa 
bukti? Yang mana, Para teroris yg secara merendah menerima kebohongan atau para 
ilmuwan yg secara merendah menerima fakta? Mana yg lebih etis dan bermoral? 
Percaya pada sesuatu yg palsu bukanlah isu moral. Itu bodoh dan bodoh bukanlah 
isu moral. Tapi oke-oke saja untuk percaya pada Tuhan. Oke juga untuk percaya 
pada apapun yg anda mau. Tapi, jangan pernah mencoba memaksakan kepercayaan 
anda pada saya.  Terimakasih.     
By: Rafael Djumantara



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Reply via email to