http://www.tempo.co/hg/hukum/2011/09/15/brk,20110915-356419,id.html

'Kasus Rawagede, Periode Kolonial Belum Kami Tutup dengan Baik' 
Kamis, 15 September 2011 | 13:48 WIB
Besar Kecil Normal 
 
Liesbeth Zegveld, pengacara korban Rawagede, Karawang, Jawa Barat. (ikonrtv.nl)


a.. 

TEMPO Interaktif, Den Haag - “Ah, sudahlah Liesbeth, ini soal tua, kamu tak 
akan menang,” demikian sebuah sumber anonim mengutip anjuran kalangan hukum di 
Belanda kepada Liesbeth Zegveld, pengacara para janda yang menggugat Kerajaan 
Belanda soal pembantaian massal di Desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat, akhir 
1947.



Pesimisme ini masuk akal. Sudah sejak 1969, kasus-kasus kejahatan perang 
tentara kolonial Belanda diangkat ke media menjadi perdebatan publik yang 
ramai, bahkan berkali-kali menjadi tekanan terhadap Pemerintah Belanda. 
Semuanya kandas, tak pernah masuk sidang meja hijau.



Tapi kali ini gol. Para janda itu memenangi gugatan terhadap Staat (Negara 
Kerajaan Belanda). Belanda wajib memberi ganti rugi yang diduga bakal rumit. 
Bagaimana mengukur kerugian materiil dan non-materiil akibat perang yang 
menghilangkan ayah atau suami dari tengah keluarga sejak enam dekade lalu?



“Saya ingin Belanda mengganti tiga ekor kambing ayah saya,” ujar Saih bin Sakam 
bersahaja seperti dikutip wartawan Radio Nederland Junito Drias tahun lalu. 
Tapi pengacara pasti bakal lebih repot ketimbang cuma mencari kambing pengganti.



Tujuh Desember 1947 sebuah satuan Belanda pimpinan Mayor Wijnen memasuki Desa 
Rawagede (kini Balongsari), dekat Kerawang, mencari “bandit-bandit republiken”. 
Ratusan pria, ada yang menyebut 431, ditembak mati. Sakam, saat itu berusia 
20-an, waspada. Melihat ayahnya tewas, dia buru buru berpura-pura mati. Seorang 
prajurit Belanda mendatanginya. Dia tertipu, tapi toh melepas tembakan ke 
kakinya, kemudian meninggalkannya.



Sakam kini telah tiada, tapi kesaksiannya berbuah nyata. Inilah apa yang 
disebut onrechtmatig handelen, suatu eksekusi tanpa proses hukum, sebagai 
kenyataan yang polos dan telanjang.



Stichting Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) mengangkat kasus 
Rawagede itu atas nama Sakam dan delapan janda dari para korban yang lain. 
Jeffrey Pondaag, pemuda asal Sulawesi yang memimpin Komite itu, menangis 
tersedu-sedu saat hakim membaca vonis.



Pemerintah Belanda semula menolak karena mengaggap kasusnya “telah 
kedaluwarsa”, jadi juga menolak pembayaran ganti rugi. Ini untuk pertama 
kalinya negara kalah. Pengacaranya tak banyak bicara, tapi tak menutup 
kemungkinan kasasi. Hakim memberi waktu tiga bulan kepada pemerintah untuk 
merespons. 



KUKB tak tanggung-tanggung memilih kantor advokat Bohler yang beken dan 
menggandeng Prof. Dr. Lisbeth Zegveld, pakar hukum berdisertasi cum-laude, yang 
spesialisasinya kasus korban perang dan pernah menangani kasus antara lain 
Srebrenica (1995), Kenya, dan Palestina.



Aboeprijadi Santoso menemui advokat perempuan 41 tahun ini usai sidang, Rabu, 
14 September 2011. Berikut petikan wawancaranya. 



Mengapa pengadilan ini akhirnya melihat hal-hal yang dahulu diabaikan atau 
tidak pernah dituntaskan oleh para politikus hingga tidak pernah masuk 
pengadilan?



“Begini. Pertama, Pengadilan melihat adanya eksekusi. Jadi ini suatu tindakan 
yang merampas hak hidup karena negara (Hindia-Belanda) menembak warganya 
sendiri. Itu yang terjadi di Indonesia. Kami anggap ini serius. Dulu kami 
anggap serius. Jadi ini suatu tindak penyelewengan (misdrijven). Kedua, di sini 
ada orang orang (maksudnya saksi-saksi) yang mengalaminya sendiri. Nah, kedua 
ihwal itu, eksekusi dan adanya saksi-saksi, merupakan hal penting, serius. Jadi 
negara tidak boleh mengatakan itu sudah verjaard (kedaluwarsa). Tapi ada 
anak-anaknya juga. Bagi pengadilan, hal ini tidak segawat yang dialami 
saksi-saksi. Sebab anak anak ini tidak mengalami(sikon eksekusi)-nya sendiri. 
Jadi kalau menyangkut anak-anak, pengadilan akan menerima alasan kedaluwarsa. 
Tapi ihwal eksekusi tanpa proses hukum bagi pengadilan sangatlah serius. 
Sebegitu serius sampai kami harus meminta (dan pengadilan menerimanya) bahwa 
permohonan negara agar kasus ini dianggap kedaluwarsa tidak usah dipenuhi. 



Jadi akan berimplikasi pula pada kasus kasus serupa lainnya?



(Antusias) Pertanyaan yang bagus! Ya! Ada implikasinya kalau memang ada 
kelompok-kelompok yang memiliki hak (untuk menggugat). Saya kira banyak yang 
memiliki hak seperti itu. Tapi tidak berarti bahwa anak-cucu mereka (para 
penggugat) terus-menerus akan memperoleh hak atas ganti rugi. Ini tidak bisa. 
Tapi saya setuju, pasti ada kasus-kasus dengan warga atau kelompok yang berhak 
menggugat (tentara dan Kerajaan Belanda). Mungkin saja kasus (Kapten Raymond) 
Westerling (Sulawesi Selatan 1949), juga kasus di desa-desa lain. Jadi 
orang-orang yang waktu itu berusia antara 10 hingga 25 tahun mungkin masih 
berhak (menggugat bila mengalaminya).



Lalu, menurut Anda, apa implikasi politiknya bagi Belanda?



“Lihatlah negara (Kerajaan Belanda) bersikap menolak gugatan kami. Sekarang 
dapat kita simpulkan bahwa kasus-kasus segawat itu (eksekusi tanpa proses 
hukum) tidak akan pernah tertutup atau kedaluwarsa. Periode kolonial ternyata 
belum kami tutup dengan baik. Kami, Negara Belanda, tetap bertanggung jawab 
atas apa yang kami lakukan di masa lalu. Kasus ini memperlihatkan Belanda belum 
terbebas dari trauma kolonial. Kalau memang sudah bebas, seharusnya negara 
sudah lama menyelesaikan kasus seperti ini. Dan harus menyanggupi tuntutan 
ganti rugi dengan memberi dana santunan. Seharusnya tidak perlu orang (korban) 
harus mengetuk pintu peradilan. Tapi itu tidak terjadi. Maka, iya, inilah 
pertama kali terjadi (gugatan hukum) pada negara (Belanda) atas kasus perang di 
Indonesia. 



Jadi, apa sebenarnya kekuatan argumen yang membuat kasus ini gol di tengah 
pesimisme banyak kalangan?



Kami katakan tidak jujur, tidak adil untuk mengimbau kedaluwarsa bagi kasus 
seperti ini. Negara bertanggung jawab penuh bahwa kasus ini sebegitu lama 
kandas di jalan. Negara mengatakan kalian (para penggugat) terlampau lama 
menunggu sejak peristiwa. Tapi kami katakan, Anda (negara) tidak bisa 
mengatakan begitu kalau kasusnya sedemikian serius, lalu Anda berputar-putar 
dengan berbagai alasan dan kebijakan. Di situ negara justru harus mengambil 
tanggung jawab. Argumen ini pun diterima oleh Dewan Hakim. Ini belum pernah 
terjadi sebelumnya.



ABOEPRIJADI SANTOSO (DEN HAAG)

Berita terkait
  a.. Pengadilan Belanda Menangkan Keluarga Korban Rawagede 
  b.. Duta Besar Habibie Minta Yudhoyono Berangkat ke Belanda 
  c.. Hubungan Dagang Indonesia-Belanda Tak Terpengaruh 
  d.. Seandainya Presiden, Sutiyoso Tetap ke Belanda 
  e.. Alasan Perlunya Pengakuan Tertulis Belanda 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke