http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/12/03/index.shtml?ArtId=010_004&Search=Y

Nurani Rakyat Papua 
Benny Susetyo, PASTOR DAN PEMERHATI MASALAH SOSIAL 


Para tokoh lintas agama Papua dalam pertemuan dengan tokoh lintas agama di 
Maarif Institute Jakarta beberapa waktu lalu menyerukan dukacita terdalam. 
Perasaan terluka akibat kekerasan yang terjadi di bumi Papua belakangan ini 
menunjukkan tiadanya perubahan dalam cara memperlakukan rakyat negeri ini. Amat 
mengherankan karena kekerasan selalu menjadi pilihan utama (sejak Orde Baru 
hingga kini), khususnya untuk menghadapi saudara-saudara kita di Bumi 
Cenderawasih. 
Tragedi demi tragedi terjadi tanpa ada kesudahan dan penyelesaian yang jelas. 
Aksi kekerasan yang dilakukan aparat memperpanjang deretan luka yang dialami 
rakyat Papua.
Watak represi negara dipraktekkan dengan mengabaikan segala pelanggaran hak 
asasi manusia yang terjadi. Negara begitu semena-mena dan mengabaikan seluruh 
pendekatan, kecuali kekerasan. Bahkan nyaris tak terhitung berapa banyak 
pelanggaran HAM yang sudah terjadi di sana.

Dalam siaran pers yang dikeluarkan Komnas HAM, ada empat jenis pelanggaran HAM 
yang terjadi dalam peristiwa itu. Pertama, perampasan hak hidup (rights to 
life), karena ada tiga orang mengalami pembunuhan di luar putusan pengadilan 
(extra-judicial killing). Kedua, pelanggaran hak untuk tidak mendapat perlakuan 
yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Terdapat temuan yang 
menunjukkan adanya perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan 
martabat yang dilakukan aparat keamanan terhadap warga yang ditangkap. Keempat, 
pelanggaran hak atas rasa aman.
Jelas bahwa peristiwa ini menimbulkan rasa ketakutan dan kekhawatiran yang 
dialami oleh semua pihak, baik masyarakat di sekitar tempat kejadian maupun di 
wilayah Jayapura dan Papua umumnya. Kelima, pelanggaran hak milik. Akibat 
peristiwa tersebut, sejumlah harta benda hancur.


Akar masalah 

Peristiwa seperti demikian mengingatkan kita pada rentetan peristiwa kekerasan 
lain sebelumnya di tanah Papua. Semua terjadi di tengah deru eksploitasi 
besar-besaran sumber alam dari tanah tumpah darah mereka. Di tengah isu 
kemiskinan dan ketidakadilan, mereka tersandera oleh isu nasionalisme.

Bagaimana sesungguhnya konsep visi kebangsaan Indonesia? Max Lane dalam Bangsa 
yang Belum Selesai menyatakan perlunya menimba kembali kekuatan dan pertarungan 
ide serta pikiran dalam menyelesaikan pembangunan Indonesia sebagai sebuah 
bangsa. Kedaulatan politik memang sudah ada di tangan bangsa ini sejak merdeka 
lebih dari setengah abad lalu, tapi nation-building memerlukan dinamika baru 
secara dinamis. Mempertimbangkan segi dinamika politik, kerumitan, pluralitas 
sekaligus kekhususan Indonesia sebagai bangsa “yang belum selesai“justru lahir 
pertanyaan haruskah kita memang mengarah pada suatu garis akhir kebangsaan 
sekaligus mengabaikan diri atas semua gejolak yang timbul di dalamnya serta 
melihatnya sebagai semata-mata ancaman. Dinamika politik kebangsaan tak lepas 
dari berbagai gejolak, tapi bila gejolak itu dilihat semata-mata ancaman, bukan 
tak mungkin cara pandang kebangsaan ini tak ada bedanya dengan apa yang 
dilakukan Orde Baru.

Jauh lebih penting membicarakan Indonesia sebagai bangsa adalah bagaimana 
seharusnya cara pandang kita melihatnya. Kita berpengalaman, saat melihat 
Indonesia dengan mata buta nasionalisme, memperlakukan paham kebangsaan ini 
layaknya agama.Yang terjadi adalah kekerasan dan penistaan nilai-nilai 
kemanusiaan. Papua adalah wilayah yang teramat sering menjadi korban 
keberingasan tangan-tangan berdarah atas nama nasionalisme ini.

Nasionalisme yang dipahami sebagaimana agama hanya akan menghasilkan sikap 
kebangsaan yang picik, yang selalu melihat perbedaan sebagai musuh. Bila memang 
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah konsep utama kebangsaan ini, yang 
perlu diperhatikan bagaimana cara menegakkannya dengan landasan keadilan.

Nasionalisme yang telah mengubah dirinya menjadi “agama baru“akan melahirkan 
imajinasi kaum nasionalis hampir sama persis dengan bagaimana saat mereka 
membayangkan agama yang mereka peluk. Konsekuensinya, mereka harus menjaganya 
dari serangan musuh yang mencoba mengganggunya. Nasionalisme diperlakukan 
dengan segala macam cara, termasuk yang paling utama kekerasan,agar tak roboh.

Upaya nation-building selama ini justru menghadapi masalah pelik atas sikap 
elite yang sering tak menghargai jasa para pahlawan merebut Indonesia dari 
penjajah. Tidak jarang mereka membunuhi rakyatnya sendiri karena dianggap 
melawan dan bertentangan dengan pandangan elite

Berikan keadilan
Kita harus membaca persoalan Papua dengan searif-arifnya. Kiranya kita perlu 
becermin pada diri sendiri, mengapa warga Papua dari dulu hingga kini--yang 
tercipta dari waktu yang sama dan juga ikut berjuang menegakkan Bumi 
Pertiwi-belum sejahtera, padahal kekayaan alamnya sangat berlimpah.

Kita memang harus bertanya sejauh mana Indonesia memberikan kontribusi bagi 
Papua. Kekayaan alam yang begitu berlimpah justru tidak membuat rakyatnya 
mendapatkan kesejahteraan. Realitas seperti ini akan mengajak kita bersama 
berpikir ulang, di manakah tanggung jawab republik ini, agar kita bersama-sama 
merasakan penderitaan kemiskinan rakyat Papua. Harus diakui itu adalah bagian 
dari kesalahan kita sebagai bangsa yang selama ini tidak pernah memiliki 
perhatian serius terhadap mereka.

Kebijakan elite politik Jakarta yang hanya berorientasi sekadar menguras 
kekayaan mereka adalah kesalahan terbesar kita dalam mengelola suatu bangsa. 
Keadilan belum pernah menjadi pijakan dalam pengambilan kebijakan pemerintah. 
Karena itu, saat ini yang lebih urgen adalah bagaimana pemerintah lebih 
proaktif mendekati warga Papua dengan memberikan bukti yang nyata bahwa rakyat 
Papua adalah bagian terpenting Republik Indonesia. Rakyat Papua berhak 
memperoleh kesempatan yang sama dalam segala hal, terutama dalam mengelola 
sumber daya alamnya. Otonomi pengelolaan sumber daya alam ini akan bermanfaat 
besar bagi warga Papua, bila ada kemauan politik ke sana.

Pemerintah harus mengoreksi kebijakan yang tidak memberi kesempatan kepada 
rakyat Papua memperoleh akses dalam ikut serta mengelola sumber daya alam. 
Rakyat Papua bisa menjadi “Indonesia“hanya bila politik Jakarta berorientasi 
memanusiakan warga Papua. Pendekatan kekerasan jelas harus ditanggalkan dan 
dibuang jauh-jauh. Pendekatan kekerasan harus digantikan dengan budaya dialog 
lewat usaha mencerdaskan kehidupan masyarakat Papua

.Perubahan orientasi inilah yang sebenarnya diharapkan rakyat Papua agar 
Jakarta memahami bahwa selama ini mereka kurang dimanusiakan.Dibutuhkan sebuah 
tata ekonomi baru dengan sumber alam yang harus digunakan untuk kemakmuran bagi 
penduduk pemiliknya.


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke