http://www.humanrights.asia/news/ahrc-news/AHRC-STM-190-2011-ID
INDONESIA: Hak Asasi Manusia tahun 2011 - Lunturnya Pancasila dan Perlindungan 
Konstitusional 
December 8, 2011 
Share | 
English

UNTUK PUBLIKASI SEGERA
AHRC-STM-190-2011-ID
8 Desember, 2011

Sebuah pernyataan dari Asian Human Rights Commission dalam rangka hari Hak 
Asasi Manusia Internasional, 10 Desember 2011


INDONESIA: Hak Asasi Manusia tahun 2011 - Lunturnya Pancasila dan Perlindungan 
Konstitusional 

Dalam rangka hari Hak Asasi Manusia Internasional, 10 Desember 2011, AHRC 
menerbitkan laporan tahunan mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia tahun 2011.

Laporan lengkap akan tersedia untuk diunduh pada 
http://www.humanrights.asia/resources/hrreport/2011/AHRC-SPR-006-2011/view. 

Pada tahun 2011, Asian Human Rights Commission (AHRC) telah menyaksikan 
merosotnya situasi hak asasi manusia di Indonesia khususnya dalam segi 
kebebasan beragama serta peran dan akuntabilitas lembaga peradilan terhadap 
kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Laporan ini, yang didasarkan 
pada kerja dokumentasi dan monitoring AHRC, menunjukkan bahwa Indonesia masih 
mengalami pelanggaran hak asasi manusia berat dan kurangnya rule of law. 
Minimnya pencegahan yang efektif dan langkah hukum yang ditempuh oleh aparat 
penegak hukum terhadap kelompok fundamentalis menunjukkan ketidakmampuan Negara 
untuk menjamin hak asasi manusia yang paling mendasar seperti hak untuk hidup 
dan hak untuk kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.

Dasar negara, seperti Pancasila yang merupakan wujud satu dalam keberagaman dan 
hak asasi manusia yang paling mendasar menjadi luntur, seperti terlihat dari 
minimnya tanggapan Negara terhadap lunturnya keberagaman dan kemajemukan agama. 
Hak-hak dasar konstitusional tidak lagi ditegakkan bagi masyarakat Aceh yang 
hidup dibawah diskriminasi atas Hukum Syariah, begitupun terhadap agama-agama 
minoritas di Jawa maupun di wilayah Indonesia lainnya, yang mengalami 
persekusi, atau terhadap penduduk asli Papua yang kekurangan akses terhadap 
keadilan, perlindungan dan kesejahteraan sosial sehingga menyebabkan 
meningkatnya penolakan sebagai warga Negara Indonesia. Pengakuan Internasional 
terhadap Indonesia sebagai panutan Negara yang demokrasi sekuler sekaligus 
sebagai Negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, kehilangan 
kredibilitasnya.

Sejumlah kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama dilaporkan pada tahun 
2011. Situasi ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah di Indonesia. Hubungan 
antara Negara dan agama di Indonesia berubah secara ekstrem. Di bawah otoritas 
rejim Soeharto yang berkuasa hingga tahun 1998, gerakan keagamaan diberangus 
seperti kasus insiden Tanjung Priok (1984) dan Talangsari (1989), dimana pada 
saat itu ratusan umat Muslim dibunuh. Para tersangka yang diduga terlibat dalam 
kasus tersebut masih tidak dihukum. Pada saat itu penggunaan kekerasan terhadap 
kelompok keagamaan digunakan sebagai strategi untuk mencegah Islam mendapat 
kekuatan politik. Sebaliknya, kecenderungan yang berkembang pada beberapa tahun 
terakhir menunjukkan bahwa organisasi keagamaan melemahkan institusi- institusi 
negara dan proses peradilan.

Meningkatnya kasus kekerasan berbasis agama dapat dicontoh dari kasus 
pembunuhan tiga jemaah Ahmadiyah pada bulan Februari 2011. Para pelaku dalam 
kasus ini tidak menerima hukuman atau hanya menerima hukuman ringan sementara 
para korban dari kelompok agama minoritas mengalami persekusi.

Kekerasan oleh aparat keamanan, termasuk polisi dan militer tetap menjadi 
perhatian utama lainnya di Indonesia pada tahun 2011. AHRC terus menerima 
sejumlah kasus penyiksaan oleh kepolisian, dan dari daerah krisis dibawah 
pengawasan militer seperti Papua, (1) banyak menerima kasus-kasus penyiksaan 
oleh militer. AHRC sangat prihatin dengan pembubaran paksa dan pembunuhan yang 
terjadi pada Kongres Papua III pada bulan Oktober 2011.

Iklim pemberlakuan impunitas seolah memungkinkan kekerasan berlalu tanpa adanya 
proses pemeriksaan. Hal ini disebabkan minimnya reformasi yang efektif untuk 
menyediakan mekanisme akuntabilitas yang professional dan tidak memihak, 
termasuk untuk pelanggaran hak asasi manusia. Upaya untuk mengembangkan dan 
mereformasi lembaga pengawas kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, seperti 
penambahan mandat Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS) dan Komisi Kejaksaan 
merupakan langkah penting yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia. Namun 
dalam praktiknya, aparat kepolisian tidak dapat dituntut secara pidana atas 
meluasnya penggunaan penyiksaan untuk mendapatkan informasi atau menghukum para 
tahanan, begitu juga dengan anggota militer yang tidak dapat 
dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya dalam proses penyelidikan yang 
independen maupun di pengadilan umum. Mereka terus mendapat perlakuan istimewa 
dari sistem hukum TNI yang sebenarnya memiliki kelemahan serius dan biasanya 
melanggengkan impunitas. Meski Indonesia telah mengumumkan telah memasukan 
kejahatan penyiksaan dalam naskah RUU KUHP yang baru namun pengesahan naskah 
ini terus tertunda selama bertahun-tahun. Sementara Hukum Syariah di Aceh 
melegalisasi hukuman cambuk dan perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan 
martabat serta melanggar hak atas pengadilan yang adil.

Kebebasan berekspresi bagi para aktivis di Papua sering dilanggar, dengan cara 
penangkapan dan penahanan untuk suatu ekspresi damai mengenai pendapat politik. 
Lebih dari 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2011 dan beberapa 
gugatan tuduhan pencemaran nama baik dilaporkan. UU Intelijen Negara yang baru 
disahkan Dewan Pertimbangan Rakyat (DPR) pada tahun 2011 memungkinkan 
terjadinya tindakan sewenang-wenang yang melanggar hak asasi manusia dan 
digunakan untuk membungkam para aktivis. Masyarakat sipil mengahadapi banyak 
tantangan serius dalam melakukan kerja-kerja hak manusia dan reformasi. 

Sebuah survey yang dilakukan surat kabar Kompas di 12 kota besar di Indonesia 
pada bulan Oktober menyatakan, sebanyak 83% responden tidak puas dengan cara 
kerja polisi, kejaksaan dan pengadilan dalam menegakan hukum. Hampir 100% dari 
responden merasa konflik politik di dalam kepolisian dan korupsi di dalam 
institusi Negara, secara umum berada di kondisi yang serius. (2)

Politisasi di lembaga peradilan pidana seperti Kejaksaan Agung, korupsi dalam 
sistem peradilan dan impunitas bagi Komandan-komandan militer merupakan masalah 
yang sedang berlangsung saat ini. Minimnya akuntabilitas terhadap kasus 
pelanggaran HAM dan berlanjutnya impunitas terhadap penyelidikan kasus 
pembunuhan atas pembela HAM, Munir Said Thalib pada tahun 2004 akibat penolakan 
Jaksa Agung untuk melakukan penyelidikan baru menjadi indikator kunci 
ketidakmampuan institusi Negara untuk menangani kasus pelanggaran HAM secara 
efektif, dan kemudian untuk pemenuhan mandat mereka untuk memberikan jaminan 
keadilan bagi masyarakat. Dan pada akhirnya, ekstrimisme agama tumbuh dan 
kekerasan oleh aparat keamanan terus berlanjut.

Laporan lengkap akan tersedia untuk diunduh pada 
http://www.humanrights.asia/resources/hrreport/2011/AHRC-SPR-006-2011/view. 

----------

Catatan kaki:

1. Penggunaan kata Papua dalam laporan ini mengacu pada sebagian besar wilayah 
Indonesia Timur, terdiri dari Provinsi Papua dan Papua Barat.
2. Jajak Pendapat Kompas: Tersandera Sikap Politikus-Birokrat - Kompas. Senin, 
10 Oktober 2011 
http://cetak.kompas.com/read/2011/10/10/0203284/tersandera.sikap.politikus-birokrat


# # #

Tentang AHRC: Asian Human Rights Commission adalah sebuah organisasi non 
pemerintah yang melakukan pemantauan dan lobi-lobi terhadap isu-isu HAM di 
Asia. Organisasi yang bermarkas di Hong Kong ini didirikan pada tahun 1984. 

Document Type :StatementDocument ID :AHRC-STM-190-2011-IDCountries :Indonesia 
Issues :Administration of justice, Arbitrary arrest and detention, Caste-based 
discrimination, Child rights, Corruption, Death in custody, Death penalty, 
Democracy, Enforced disappearances and abductions, Environmental protection, 
Extrajudicial killings, Fabrication of charges, Freedom of assembly, Freedom of 
association, Freedom of expression, Freedom of religion, Human rights 
defenders, Human trafficking, Impunity, Independence of judges and lawyers, 
Indigenous people, Inhuman and degrading treatment, Institutional reform, 
International human rights mechanisms, Judicial system, Labour rights, Land 
rights, Legislation, Migrant workers, Military, Minorities, Non-state actors, 
Police negligence, Police violence, Poverty & adequate standard of living, 
Prison conditions, Prosecution system, Refugees, IDPs and Asylum seekers, Right 
to education, Right to fair trial, Right to food, Right to health, Right to 
life, Right to redress, Right to remedy, Rule of law, Sexual violence, State of 
emergency and martial law, Terrorism and human rights, Threats and 
intimidation, Torture, Transitional Justice, Victims assistance & protection, 
Violence against women, Women's rights Document Actions
  a.. Send this 
  b.. Print this 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Reply via email to