Refl: Bagi yang mau lihat Papua Gunjacang-Ganjing , dikusi di TV ONE, ada 
beberapa bagian ini yang pertama , click : 
http://www.youtube.com/watch?NR=1&feature=endscreen&v=cyLe9t_H8Dk


http://www.sinarharapan.co.id/content/read/menakar-peluang-papua-pisah-dari-ri/
09.12.2011 13:52

Menakar Peluang Papua Pisah dari RI
Penulis : Kristanto Hartadi* 

 PENGERUK PIPA FREEPORT - Sejumlah warga diamankan Kepolisian Mimika di Polsek 
Mimika Baru, Timika, Papua, Kamis (8/12). Sebanyak 26 orang diamankan karena 
diduga terlibat pencurian pipa konsentrat milik PT Freeport 
Indonesia.(foto:dok/antaranews.com)
Judul di atas sekadar hendak mengingatkan pada Jakarta agar tak gegabah 
bertindak di bumi Papua. Ini karrna rentetan peristiwa demi peristiwa politik 
yang terjadi sejak pelaksanaan UU No 21/2001 mengenai Otonomi Khusus (Otsus) 
Papua sampai insiden Kongres Rakyat Papua III di Abepura 19 Oktober lalu 
memperlihatkan pelaksanaan kebijakan yang keliru.

Dalam catatan saya, bukan hanya sekali masyarakat di Papua meminta agar Otsus 
Papua dikembalikan. Misalnya, ribuan rakyat pada 12 Agustus 2005 menggelar aksi 
menuntut dikembalikannya Otsus Papua.

Ini dilakukan karena Jakarta dianggap mengingkari UU No 21/2001 dengan 
menerbitkan Inpres No 1/2003 mengenai Percepatan Pelaksanaan UU No 45/1999 
mengenai Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, 
Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya, dan Kota Sorong. 

Dalam UU Otsus Papua, status otonomi khusus di Provinsi Papua adalah satu 
kesatuan wilayah yang tidak terpecah-pecah. 

Kalaupun akan ada pemekaran, itu haruslah melalui mekanisme Majelis Rakyat 
Papua (sesuai PP No 54/2005), yang waktu itu belum terbentuk. Tentunya langkah 
pemekaran itu dilakukan dalam rangka memecah gerakan ingin merdeka, selain 
wilayah Papua yang memang terlalu luas.

Selain itu, sekian tahun pelaksanaan Otsus juga tidak memperbaiki situasi. 
Penduduk aslinya rata-rata tetap miskin dan terbelakang. Penikmat dana Otsus 
adalah para birokrat, para elite, atau yang terkait, dan para pendatang di 
perkotaan. 

Disinyalir sekitar 60 persen dana Otsus kembali ke bank-bank besar di Jakarta, 
atau menjadi properti antara lain di Jakarta, Manado, Sydney, dan Melbourne.

Ketika itu pemerintah (Departemen Dalam Negeri) menjanjikan "penyempurnaan" 
pelaksanaan Otsus Papua, termasuk akan ada audit dan berbagai langkah lain. 

Tuntut Referendum

Pada Juni 2010, atau lima tahun kemudian, juga berulang aksi politik mendesak 
pengembalian Otsus Papua. Kali ini melibatkan Majelis Rakyat Papua dan peserta 
Musyawarah Masyarakat Asli Papua.

Tuntutannya: gelar referendum yang melibatkan masyarakat internasional, keluar 
dari RI, hentikan proses pilkada di seluruh Papua, hentikan program transmigasi 
ke Papua, bebaskan para tahanan politik Papua, dan demiliterisasi di Papua.

Penyebab kemarahan antara lain selama pelaksanaan Otsus telah terjadi 
ketimpangan pertumbuhan penduduk antara orang asli dan masyarakat pendatang. 
Komposisinya adalah penduduk asli 30 persen, pendatang 70 persen. Dengan 
begitu, logikanya dana Otsus lebih banyak dinikmati pendatang. 

Pemekaran juga dituding sebagai instrumen untuk memecah entitas Papua, 
sementara bagi uat elite lokal pemekaran berarti posisi, kekuasaan, dan 
anggaran. Kini, banyak pejabat daerah di Papua ikut menghiasi daftar koruptor 
yang divonis pidana oleh Pengadilan Tipikor. 

Kajian Drooglever

Sebagai exercise apakah Papua bisa merdeka, sejarawan Belanda Profesor 
Drooglever dari Universitas Leiden (2004) membuat kajian ilmiah yang hasilnya 
menyatakan, proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 tidak sah. Reaksi 
Jakarta adalah: integrasi Irian Barat ke Republik Indonesia sudah final dan 
disahkan masyarakat internasional. 

Terkait reaksi itu, seorang diplomat senior, yang pernah aktif di badan HAM 
PBB, mengingatkan gerakan pemisahan diri Papua sangat kuat di ranah 
internasional dan mereka memanfaatkan semua lini dan kesempatan. Setiap 
pelanggaran HAM apa pun di Papua tercatat di Komisi HAM PBB. 

Saya pun sependapat bahwa hasil Pepera sudah final. Meski parameter yang 
dipakai 40 tahun lalu itu tak sesuai dengan ukuran hari ini. Namun hukum 
internasional juga tidak menyebutkan formula one man one vote untuk proses 
penentuan nasib sendiri. Apalagi ketika itu Indonesia dan Belanda bersepakat 
Pepera dilaksanakan melalui musyawarah perwakilan, 1 : 750.

Namun saya ragu, apakah pengakuan dunia itu suatu harga mati?

Dalam sejumlah kasus, wilayah-wilayah yang memisahkan diri dari induknya 
(seksesi) atau merdeka pasca-Perang Dingin memenuhi sejumlah aspek: (1) 
pelanggaran HAM berat, khususnya terhadap kaum minoritas/penduduk asli, (2) 
sejarah integrasi yang tidak mantap atau dipaksakan, (3) pengakuan 
internasional terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri, dan (4) ada 
kepentingan negara-negara besar.

“Remedial Seccession”

Seorang diplomat senior lainnya mengingatkan terbukanya peluang seksesi di 
Papua karena di sana terjadi pelanggaran HAM berat, "pemusnahan" penduduk 
secara sistematis, dan diskriminasi.

Menurutnya, dunia mengenal konsep remedial seccession, yakni pemisahan diri 
demi mengakhiri diskriminasi dan pelanggaran HAM. Pola itu berlaku pada kasus 
Bangladesh (pisah dari Pakistan), Kosovo (pisah dari Serbia), dan Timor Timur. 

Kita mengalami, dunia memihak rakyat Timor Timur untuk pisah dari Indonesia. 
Dewan Keamanan melalui Resolusi 1264 tanggal 15 September 1999 memandatkan 
penggelaran pasukan multinasional. Segera Australia memimpin pasukan 
multinasional masuk Timtim pada 19 September 1999, untuk meredam kekacauan 
selepas jajak pendapat yang dimenangi kubu pro kemerdekaan. 

Negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, mendukung kelahiran negara Timor 
Leste, karena proses integrasinya belum tuntas diakui dunia, terjadi 
pelanggaran HAM berat di sana, dan pemerintah pusat di Jakarta tak berdaya. 
Kita beruntung tidak masuk ke pengadilan HAM internasional karena masalah Timor 
Timur.

Di Kosovo, situasinya mirip dengan Timor Timur, dan Serbia ditekan secara 
militer dan politik oleh NATO. Sementara itu, di Chechnya (Rusia), meski di 
sana juga terjadi pelanggaran berat HAM, Barat enggan ikut campur. Ini karena 
Moskwa punya hak veto di Dewan Keamanan, juga karena mereka enggan berperang 
dengan Rusia. 

Akhiri Pelanggaran HAM

Sulit menyangkal pelanggaran HAM tak terjadi di Papua. Meski begitu, 
negara-negara besar belum langsung intervensi. Mudah mendeteksi indikasi 
keterlibatan mereka, yakni bila berbagai media dan LSM internasional mulai 
aktif mencoba mengubah opini dunia. Kemudian, dukungan militer dan logistik 
secara konsisten dialirkan untuk kubu yang menuntut pemisahan diri. 

Sejauh ini, Amerika Serikat baru menempatkan 2.500 prajurit di Darwin, 
Australia (hanya satu jam terbang ke Papua). Pasukan sebesar satu batalion tim 
pendarat tentulah tak cukup kalau harus berperang di Laut China Selatan, tetapi 
lebih cocok untuk mengamankan Timika. 

Kembali ke judul tulisan ini, saran saya adalah: segera akhiri pelanggaran HAM 
di Papua oleh TNI/Polri, jangan ulang kesalahan di Timor Timur. Segera wujudkan 
kesejahteraan di Papua lewat pembangunan pendidikan, kesehatan, maupun 
infrastruktur. 

Dampingi pelaksanaan Otsus Papua, jangan biarkan mereka berjalan sendiri. 
Akhiri juga perampasan hak-hak ulayat rakyat hanya demi kepentingan bisnis 
besar. Sangat mendesak untuk digelarnya investigasi berbagai kasus pelanggaran 
HAM sampai tuntas. Segera wujudkan pula janji dialog Jakarta-Papua itu.

*Penulis adalah Redaktur Senior Sinar Harapan


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Reply via email to