Kepada Yth: Pendukung & Pembenci Kompatiologi

Hal: Perintah dari Pimpinan Tertinggi Diktator
Kompatiologi
1. Kepada Active Participant ring 01 untuk menikmati
masa libur sampai pemberitahuan selanjutnya. Kepada
Active Participant ring 02 & Silent Participant ring
03 untuk mempersiapkan diri dengan deadline 2 minggu
ke depan terhitung mulai dari hari ini.
2. Ramalan pertempuran tahap 02.
3. Perintah kepada Yth: Juswan penanggungjawab aliran
Angin untuk menjadi Psidoscientist saja setidaknya
selama 2 minggu atau menunggu perintah selanjutnya.
4. Pertanyaan kepada oknum-oknum Psikologi UI yang
terlibat pertempuran tahap 01 dengan Kompatiologi soal
nilai-nilai yang baik.
5. Recruiting rahib Kompatiologi.
6.  L A M P I R A N



1. Kepada Active Participant ring 01 untuk menikmati
masa libur sampai pemberitahuan selanjutnya.

Bersama dengan diterbitkannya surat ini, saya Vincent
Liong selaku Pimpinan Tertinggi Diktator Kompatiologi
memerintahkan kepada segenap anggota ring 1
Kompatiologi (Juswan Setyawan, Cornelia Istiani,
Leonardo Rimba, Bimo Wikantiyoso) untuk menikmati
hadiah dari pimpinan tertinggi our fatherly leather
Vincent Liong alias Kim Il Sen untuk istirahat
sejenak, mengurus hal-hal lain yang lebih santai,
melepas lelah dari pertempuran antara Kompatiologi
dengan oknum-oknum fakultas Psikologi Universitas
Indonesia. Jadi hingga waktu yang belum ditentukan
kita melakukan gencatan senjata sementara dengan
oknum-oknum fakultas Psikologi Universitas Indonesia.


2. Ramalan pertempuran tahap 02.
Dari rapat rahasia yang diadakan oleh anggota badan
intelegent “silent participant”kompatiologi ring 01,
dengan menggunakan keterampilan membaca dan
menganalisa karakteristik memori (past, present &
future memori) dari oknum-oknum fakultas psikologi
universitas Indonesia kami memperkirakan bahwa: 

Saat ini setelah mengalami kekalahan di pertempuran
tahap 01, oknum-oknum fakultas Psikologi Universitas
Indonesia ring 01 (barisan pertama) yang gagal
membasmi Kompatiologi beserta kroni-kroninya telah
mulai melakukan recruiting secara sistem cell
(recruiting secara rahasia) untuk mempersiapkan para
ahli bergelar mereka baik yang S2, S3, Profesor atau
Guru Besar yang dianggap sakti dalam hal teori untuk
meneliti Kompatiologi dan mempersiapkan teori yang
diharapkan dapat menunbangkan keberadaan ilmu
Kompatiologi. 

Tampaknya recruiting ini dilakukan secara pilih-pilih
sehingga oknum-oknum seperti Sarlito yang di cap
simpati pada Vincent Liong, dosen atau syaff yang
dianggap plin-plan atau outgroup dan dosen yang pernah
mengajar dan siapapun yang pernah berbicara /
bertatapmuka dengan Vincent Liong tidak akan
diberitahu atau diikutkan. Pertempuran kali ini akan
seru karena akan menggunakan segala kemampuan dalam
berteori secara maksimal para ahli-ahli tsb. Saya
merasakan hari ke hari mereka makin siap.

Menurut kami anggota badan intelegent “silent
participant”kompatiologi ring 01, pertempuran akan
dimulai paling cepat 2 minggu dari sekarang dan paling
lambat 1 bulan dari sekarang. Pertempuran akan memakan
waktu setidaknya 1 bulan. Para ahli ini kebayakan akan
menggunakan ID palsu, hanya sedikit yang menggunakan
ID asli untuk menghindari resiko malu atau resiko
kedudukan.


3. Perintah kepada Yth: Juswan penanggungjawab aliran
Angin untuk menjadi Psidoscientist saja setidaknya
selama 2 minggu atau menunggu perintah selanjutnya.

Khusus kepada divisi pengembangan Kitab Angin ring 01
Juswan Setyawan saya selaku Pimpinan Tertinggi
Diktator Kompatiologi memerintahkan untuk mengganti
atribut dan gaya menulis menjadi seorang
Psidoscientist saja hingga perintah selanjutnya. Hal
ini dilakukan dengan menulis tulisan-tulisan seperti
misalnya “Komunikasi Empati dengan Yesus, Komunikasi
empati dengan Budha, Komunikasi empati dengan St.
Petrus, dlsb.

Hal ini dilakukan untuk memudahkan pasukan ring 02
dari oknum-oknum fakultas psikologi Universitas
Indonesia dalam mencari cara menghancurkan
Kompatiologi dan kroni-kroninya. Sebagai seorang
prajurit yang baik kita harus bertarung secara adil,
jkadi kalau di pertempuran tahap 01 yang lalu tanpa
bersusah payak kita mengalami kemenangan maka di
pertempuran tahap kedua kita perlu memberikan
kesempatan agar kesempatan lawan kita untuk menang
menjadi 50:50. Perintah menjadi Psidoscientist ini
wajib ditaati hingga batas waktu yang belum
ditentukan, menunggu pengukuman selanjutnya.


4. Pertanyaan kepada oknum-oknum Psikologi UI yang
terlibat pertempuran tahap 01 dengan Kompatiologi soal
nilai-nilai yang baik.

Hari ini Juswan Setyawan telah menulis kesimpulan
versi nya atas kpertempuran tahap 01 dengan
oknum-oknum fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Judul tulisan adalah:

Subject: Penyimpangan Perilaku Versus Perubahan Nilai
(NOTE: Tulisan terlampir)

Kami menunggu jawaban tertulis kepada para anggota dan
oknum-oknum Psikologi UI yang terlibat pertempuran
tahap 01 dengan Kompatiologi untuk tulisan
ini.Bilamana tidak ada jawaban tertulis dalam 3x 24
jam maka kami anggap hal yang tersebut dalam tulisan
itu memang diakui ada adanya, benar terjadi oleh
oknum-oknum Psikologi UI yang terlibat pertempuran
tahap 01 dengan Kompatiologi. 


5. Recruiting Rahib Kompatiologi.

Masih berkaitan dengan nilai-nilai tsb. Beberapa hari
yang lalu saya selaku Pimpinan Tertinggi Diktator
Kompatiologi telah mentahbiskan Bimo Wikantiyoso,
S.Psi. seorang lulusan fakultas Psikologi untuk
menjadi rahib pertama Kompatiologi. 

Ada pertanyaan: Mengapa Bimo memilih untuk menjadi
rahib Kompatiologi dengan kepala dibotakin, dan
melakukan laku makan makanan sisa untuk belajar
tentang nilai-nilai dasar kehidupan ;padahal sudah
susah-susah sekolah Psikologi. Mungkin hal ini
disebabkan oleh meski Bimo sekolah selama 4 tahun
jurusan Psikologi, tidak ada nilai-nilai mendasar yang
manuiasiawi yang dapat dipelajarinya seperti ketika
belajar Kompatiologi, seperti yang sudah ditulis
Juswan dalam tulisan; Penyimpangan Perilaku Versus
Perubahan Nilai. 

Oleh karena itu bilamana ada anggota fakultas
Psikologi yang juga bernasib sama (merasa tidak
mendapatkan apa-apa belajar Psikologi), maka bisa
mendaftar untuk berguru pada Bimo Wikantiyoso, untuk
menjadi ditahbiskan oleh Bimo rahib Kompatiologi. Bagi
para rahib Kompatiologi yang ditahbiskan bisa memilih
apakah mau tibotakin atau tidak; bilamana anda orang
yang sederhana hidupnya mungkin tidak masalah bila
dibotakin, tetapi bagi yang masih senang mejeng dan
pacaran maka saran saya tidak usah dibotakin cukup
belajar, menjalankan dan hidup normal saja.


ttd,
Vincent Liong
(Pimpinan Tertinggi Diktator Kompatiologi)



L A M P I R A N


Penyimpangan Perilaku Versus Perubahan Nilai:
Oleh: Drs. Juswan Setyawan

Pembahasan soal "local based psychology" (psikologi
khas Asia untuk Asia)
pada APsyA di Bali yang lalu adalah cerminan perbedaan
pendapat yang
mendasar tentang substansi tri-matra manusia dan
larenanya tentang akar
masalah serta tata cara penganggulangannya.

Umpamanya saja sebagai contoh, akan mampukah para
psikolog mengubah the so
called "penyimpangan perilaku" Imam Samudra atau
Amrozi, walaupun mereka
katanya telah mampu mengidentifikasi "skema kognitif"
dari para teroris.
Saya rasa masih jauh panggang dari api apalagi untuk
memberantas calon
teroris di Indonesia.

Cara termudah bagi psikolog untuk mengelak tugas itu
ialah dengan memakai
dalih bahwa pekerjaan mengubah perilaku seseorang yang
memiliki
"penyimpangan perilaku" ialah tugas para psikiater.
Para psikiater pada
gilirannya dapat pula berdalih, pasien psikiatris akan
mampu berubah kalau
mereka sendiri mau berubah.

Nah, di sinilah diketemukan "causa prima' sekaligus
"causa curationis" yaitu
"kemauan untuk berubah" (volition to change) yang
termasuk wilayah rohani
manusia dan bukan lagi wilayah matra kejiwaan manusia.
Mengapa hal ini
menjadi masalah yang pelik? Jawabannya ialah karena
orang hampir selalu
sukar untuk membedakan antara matra kejiwaan (psyche)
manusia dengan matra
ruh (spirit) manusia. Dan kecenderungannya ialah bahwa
dunia psikologi tidak
(dapat) mengambil garis pemisah yang tegas antara
keduanya bahkan cenderung
untuk menganggapnya keduanya sebagai sama saja.
Keduanya memang "tidak dapat
dipisahkan" (unseparable) namun bukanlah berarti
"tidak dapat dibedakan"
(undifferentiable) karena perbedaannya sungguh-sungguh
dapat diamati
(observable).

Penyimpangan perilaku (behavior deviation) tidaklah
sama, bahkan secara
esensial berbeda dengan "perubahan nilai" (value
changes) atau "kekosongan
nilai" (value absence). Pada saat psikolog tidak mampu
membedakan kedua
realitas yang berbeda tersebut maka psikolog - lewat
konsultasi
psikologisnya - tidak pernah akan mampu mengoreksi
"penyimpangan perilaku"
tersebut.

Kembali ke tema psikologi khas Asia untuk Asia maka
pikiran dasar (thinking
base) para psikolog itu masih tetap sama. Seorang
menjadi teroris bukan
karena terjadi suatu "penyimpangan perilaku" (behavior
aberration) pada
dirinya (itu hanyalah akibat) melainkan karena telah
terjadi "perubahan
nilai" yang diadopsi atau yang dilepaskannya secara
sukarela. Inilah dictum
atau credo daripada "value based" thinking yang bukan
sekedar "stimulus
based" thinking yang dianut oleh para psikolog.

Kalau penyimpangan terjadi akibat respons terhadap
suatu stimulus tertentu
maka penyimpangan itu seharusnya bersifat temporer.
Kalau penyimpangan itu
bersifat permanen maka penyebabnya haruslah akibat
perubahan nilai.  Maka
dari itu bisa dimengerti mengapa Amrozi dapat terus
tersenyum sumringah
walaupun terancam hukuman mati dan keluarganya tidak
mau mengajukan
permintaan amnesti kepada Presiden.

Adapun penyebab penyimpangan perilaku maupun perubahan
nilai dapat sama-sama
terjadi akibat dari suatu "proses pencucian otak" yang
terus menerus.
Pertama-tama memang baru terjadi "perubahan tingkah"
laku tetapi bila
dilakukan terus menerus dalam jangka panjang maka
akhirnya terjadi
"perubahan nilai" seseorang yang lazimnya secara awam
disebut "perubahan
keyakinan" seseorang. Dan "perubahan keyakinan" selalu
menyangkut kemauan
bebas manusia yang azasi karena orang mengubah
keyakinan lewat kemauan
bebasnya "lewat persuasi" (evolusioner ataupun radikal
lewat dressur proses
cuci otak) dan bukan "lewat paksaan" atau "lewat
siksaan".  Maka lembaga
penjara umumnya tidak mampu mengubah "pilihan nilai"
seorang narapidana,
akibatnya ia cenderung menjadi recidivist setelah ia
bebas dan keluar dari
penjara sekalipun.

Keberatan lain tentang "localised psychology" ialah
bahwa manusia itu di
mana pun ia berada memiliki kebebasan memilih nilai
yang sama, inheren dan
permanen.

Contohnya: Pada pengungsi gempa di Bantul telah
menampakkan pola reaksi
perilaku yang berbeda dengan para pengungsi tsunami di
Aceh walaupun kedua
kelompok masyarakat itu sama-sama memandang gempa
sebagai sunatullah.
Apakah komunitas manusia Aceh berbeda sebagai manusia
dengan komunitas
manusia Bantul?
Maka di sini berlaku pula credo "value based thinking"
bahwa tidak ada yang
dinamakan stereotype perilaku massa (dan penyimpangan
perilaku) yang
bersifat homogen. Tidak ada yang namanya "collective
value" yang homogen.
Yang ada ialah kecenderungan suatu masyarakat tertentu
(collective cult )
untuk mengadopsi nilai-nilai tertentu yang kebetulan
sama secara tidak
langsung dan secara pribadi tetapi ke arah sasaran
nilai yang sama.

Pasrah dan sumeleh itu konsep yang sama sekali berbeda
walaupun qua value
keduanya kebetulan homonim dalam bahasa Indonesia.
Pasrah dapat saja
bersifat indifferent tetapi sumeleh bersifat positif.
Maka dengan nilai
sumeleh alih-alih berwajah muram durja (secara
psikologis dapat dimaklumi)
orang Bantul dapat tetap saja menampakkan wajah yang
sumringah walaupun
kondisinya sungguh-sungguh amat memprihatinkan. Mereka
masih dapat
"menertawakan kemalangan" mereka dan tetap dapat
guyonan dan gojekan antara
sesama mereka . Bahkan masih mampu memakai momentum
itu untuk mengritik para
elit penguasa yang suka mengumbar janji tanpa
realisasi nyata dengan
memperingatkan mereka supaya mengendalikan "cangkem
mbacot" mereka sesuai
falsafah "sabdha panditha ratu" yang mereka anut.
Seorang mantan kepala
perawat - sahabat saya menceritakan bagaimana ia ikut
terjun merawat para
korban gempa itu di kampungnya. Ia menyapa dan
merangkul mereka, memberikan
mereka obat-obatan secara gratis dan menjejalkan satu
dua lembar ribuan
rupiah kumal ke jarik nenek-nenek yang benar-benar tak
punya apa-apa dan
siapa-siapa lagi itu. Ternyata reaksi mereka terhadap
perlakuan dengan
komunikasi empati tersebut telah membuat mereka
demikian tersentuh dan
terharu sehingga mereka mungkin memandang dia
(kebetulan beretnik Cina)
sebagai penjelmaan dari Dewi Kwan Im sendiri  atau hal
hal semacam itu. Pada
saat pengungsi Aceh diperlakukan secara sama maka
reaksinya juga akan sama
sehingga tidak perlu adanya psikologi lokal kecuali
mungkin psikologi yang
lebih empatik.

Manusia secara esensial adalah manusia seutuhnya di
mana pun ia berada entah
ia bermukim di Asia atau Amerika. Pengaruh lingkungan
terhadap perilaku
memang tidak dapat disangkal. Namun, pada tingkat
adopsi nilai yang kemudian
dibungkus ke dalam prinsip hidup jangka panjang maka
manusia tetap memilih
dengan kemauan bebasnya.

Atas dasar pemikiran itu maka rencana perumusan
psikologi khas Asia untuk
Asia itu boleh-boleh saja namun tidak akan banyak
mengubah keadaan bila
masih belum mampu membedakan masalah "penyimpangan
perilaku" di satu pihak
dengan "kekosongan nilai" pada pihak lainnya.
Bagaimanapun juga bukankah
masalah nilai adalah masalah spiritual yang di luar
kawasan dan jangkauan
dunia psikologi, kecuali termasuk kancah "psikologi
moral" barangkali?
Bagaimana kalau alih-alih malah diusulkan pembentukan
Fakultas Psikologi
Nilai misalnya?

Jakarta, 23 Agustus 2006.
Mang Iyus
(Pengamat Value System dan Kompatiologi)






Selamat Datang Suhu Sufi Baru Bimo
e-link:
<http://groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/287>

        Ditulis oleh: Drs. Juswan Setyawan      
 

        Bimo Wikantiyoso, S. Psi – penulis Kitab Air -
adalah trainer Kompatiologi-praxis generasi pertama
yang dihasilkan oleh Vincent Liong dalam program
“Training for The Trainers.” Seorang ‘certified
trainer’ seperti Bimo bukan hanya mampu meng-operate
“receptive thinking” pada dirinya sendiri tetapi telah
mampu untuk men-dekonstruksi memori orang lain
sehingga selanjutnya juga akan mampu berpikir dengan
kedua belahan otaknya sekaligus. Kini Bimo "diberi
hak" menyandang gelar strata dua ilmu kompatiologi
menjadi Bimo Wikantiyoso, S.Psi., M.Kmpt. dari
Universitas Kehidupan.
 

        Namun, kemampuan “receptive thinking” juga
membawa ‘efek samping’ yang dapat mengganggu
kenyamanan hidup (comfort zone) seseorang. Dengan
kemampuan baru ini – terutama bila belum terkendali
dengan baik – orang dapat mengalami semacam
“information flood” dari sembarang narasumber termasuk
dalam bentuk “collective past memories” dari leluhur
dan sebagainya. (Sebenarnya untuk mencegah
“information flood” ini cukup sederhana lewat ‘command
com.’ khusus kepada RAS dan PCS  – topik lain kali).
 

        Dalam kasus Bimo ternyata ia mendapat
“information flood” yang mirip-mirip dengan kebanjiran
nilai Buddhis dari zaman dahulu kala yang saat
sekarang pun hampir tidak pernah dipraktekkan lagi.
Nilai-nilai zaman dahulu sebenarnya harus diberikan
makna semiotik menurut situasi dan kondisi sekarang
dengan latar belakang pendidikan, wawasan serta sistem
nilai masa sekarang pula yang telah diadopsi oleh
Bimo.
 

        Informasi yang diterima ialah supaya Bimo
menjalankan program “penghentian kebiasaan
menyia-nyiakan makanan” (stop food disposal) yang
disantap seseorang karena persediaan bahan makanan
dunia sekarang ini semakin langka dan banyak orang
mati atau menderita kelaparan di mana-mana. Banyak
sekali manusia zaman sekarang yang tidak menghabiskan
makanan yang diambilnya sendiri atau yang dipesannya
dan meninggalkannya begitu saja tersisa di piringnya.
Memang benar sisa makanan tersebut akan dikumpulkan
oleh peternakan-peternakan untuk konsumsi ternak
peliharaan.  Namun “the crucial point” bukan di sana.
Makanan yang layak untuk dikonsumsi manusia dibuang
begitu saja “sebagai sampah” untuk jadi makanan hewan
sementara banyak manusia yang tidak mampu mengkonsumsi
makanan yang layak bagi manusia itu sendiri.
 

        Pesan kedua ialah untuk appresiasi nilai soal
“makan/pantang daging” mahluk bernyawa. Hendaknya
manusia sedapat mungkin semakin mengurangi konsumsi
daging ternak bila mungkin. Protein dan lemak hewani
dapat diganti dengan protein dan lemak nabati yang
umumnya lebih sehat dan dengan efek samping yang lebih
sedikit. Jadi praksis ini akan menuntun ke arah cara
hidup yang semakin vegetarian. Karena empatinya yang
semakin intens maka Bimo dapat “merasa kasihan” kepada
bebek-bebek yang tergantung pada lemari pajang suatu
restoran yang menjual menu daging bebek. Ini berlaku
juga untuk hewan lain seperti ayam, kambing dsb.
“Bagaimana rasanya sekiranya anda yang menjadi
bebek-bebek yang tergantung itu?” kilah Bimo saat
menatap rekan-rekannya sedang asyik menikmati steak. 
“Bagaimana rasa keterputusasaan mereka?” Maka,
konklusi Bimo sebaiknya hewan-hewan itu segera
“dibebaskan” dengan cara disantap sesuai tujuan semula
pemotongannya. Sedapat mungkin mencegah agar jangan
sampai membunuh hewan untuk menyantapnya. Namun
apabila sudah terlanjur dibunuh maka seyogyanya orang
segera “mengakhiri” penderitaannya.  Suatu tafsiran
hermeunetik yang baru atas nilai-nilai yang lama? 
Entahlah !
 

        Informasi yang diterima tersebut diterjemahkan
oleh otak kiri Bimo dalam makna hermeneutika yang
paling keras, entah karena ignoransia, entah karena
dijadikan semacam “niat ingsun” atau “laku tapa brata”
karena bagaimanapun Bimo memiliki residu “cult base”
kejawen yang kental juga, terutama dari sisi warisan
ayahnya. Bimo tidak akan makan kecuali “memakan sisa
makanan” yang tidak dihabiskan oleh orang lain yang
mengajaknya makan bersama. Itulah "the new way of
life" dari Bimo, entah itu akan bersifat permanen atau
hanya temporary atau transitional.


Kalau kita melihat tayangan film tentang para biksu di
Thailand yang membawa mangkuk kuningan ke rumah-rumah
para penganut awamnya, maka mereka itu selalu
memberikan makanan baru “fresh from the oven” dan yang
terbaik kepada para biksu itu. Tidak pernah terjadi
bahwa para biksu itu diberikan makanan berupa sisa
makanan dari keluarga yang bersangkutan. Tidak akan
pernah pula karena dalam hal ini terdapat unsur respek
yang tinggi kepada pemuka agama mereka.
 

        Anehnya, setelah ditinggalkan meninggal oleh
ayahnya, maka Bimo mencukur gundul kepalanya sehingga
memang mirip seorang biksu beneran. Dan entah akibat
sinkronitas maka Bimo tak lama kemudian juga
ditinggalkan oleh pacarnya (yang bermukim di kota
lain) yang bahkan belum mengetahui penampilannya yang
baru yang mirip Mr. Kojak itu. Apakah para leluhur
telah menuntunnya ke jalan kehidupan wadat dan miskin
menurut jalan asketisme mistikus masa lampau? Karena
Bimo sendiri adalah seorang muslim maka lebih masuk
akal bahwa mereka telah mengarahkannya kepada cara
kehidupan para sufi; dalam hal ini seorang sufi modern
yang memahami psikologi dan kompatiologi.
 

        Maka dari sekarang Bimo harus memulai tugas
barunya untuk menjadi suhu resmi termasuk dosen
daripada kompatiologi. Semakin lama ia menunda tugas
ini maka apa yang ada padanya akan semakin dilepaskan
- rontok satu per satu sampai kapok - dalam suatu
proses “detachment” secara alamiah. Mula-mula ayahnya,
kemudian pacarnya, berikutnya mungkin karirnya sampai
ia “fully dedicated” untuk menjalankan “mission of
life” nya sebagai guru pencerahan budi.
 

        Dengan demikian mulai sekarang terbukalah
kesempatan bagi siapa saja untuk mendaftarkan diri
untuk mempelajari kompatiologi praxis kepada Bimo,
yang secara akademis memang sudah layak menjadi dosen.
Mau privat less juga boleh terutama bagi mereka yang
tebal rasa sungkan dan malu-malunya: psikolog kok
belajar kompatiologi-praxis. Sebenarnya, "nothing to
lose" juga bukan?! Mendingan dapat memakai dua cara
untuk berpikir alih-alih cuma terbiasa memakai satu
cara sehingga ada bonus 100 persen dan bahkan lebih.
Orang dapat memperoleh skill baru berupa "instaneous
receptive thinking" yang kualitasnya jauh melampaui
"dialectical thinking" biasa. Alih-alih orang
mati-matian berusaha memikirkan suatu solusi atas
dasar past data, maka kini luberan solusi akan datang
sendiri saat kita telah mampu mengaktivasi ketrampilan
dasarnya yaitu "receptive way of thinking".
 

        Namun demikian para calon murid Bimo hendaklah
tahu diri. Karena hidup Bimo sudah mulai model biksu
atau sufi maka kelangsungan hidupnya juga sebagian
akan tergantung kepada kebaikan hati para calon
muridnya. Ia tidak mempunyai pekerjaan tetap kecuali
job-job tertentu yang diberikan oleh psikolog yang
sudah berlisensi untuk berpraktek. Inilah ironisnya
dunia psikologi walaupun seseorang menggondol gelar
sarjana psikologi tetapi ia tidak bisa mencari makan
lewat bidang studinya sendiri karena yang boleh
praktek sebagai psikolog hanyalah mereka dari strata
dua. Dari mana biaya Bimo untuk studi strata dua saat
ayahnya sudah meninggal dan ia sendiri tidak mempunyai
pekerjaan tetap? Dunia akademisnya mana mau tahu
karena itu risiko pilihannya sendiri dan tarsaksi jual
beli ilmu sudah terjadi; gelar sudah didapat soal
karir memang tidak pernah dijamin ada.  Tetapi penulis
Kitab Air ini memang memiliki ciri tipologi manusia
air yang tetap akan tenang, diam, menunggu bahkan
sampai menguap kering kerontang oleh terik matahari,
beku oleh hawa dingin atau membusuk di kubangan yang
airnya tidak mengalir.

 
        Calon murid Bimo bila memberinya imbalan uang
maka tetap saja ia tidak akan memakai uang itu untuk
membeli makanan karena ia harus makan dari piring
orang lain yang masih bersisa.  Apakah para calon
muridnya tega memberikan kepadanya sisa-sisa makanan
dari  piring mereka? Harus ! sebab kalau tidak, maka
Bimo akan puasa sampai ada yang memberikan kepadanya
sisa makanannya. Ini sebenarnya susah susah gampang.
Pesan saja makanan yang agak banyak sehingga “tidak
mungkin” dihabiskan sendiri, maka Bimo “terpaksa”
menghabiskan semuanya itu. Inipun sebenarnya kasihan
juga; bagaimana kalau sisa itu demikian banyak
sehingga dapat membuatnya sesak nafas karena
kekenyangan? Celakanya, Bimo akan makan semua sisa
saus dan kuah yang orang tinggalkan. Ia juga akan
memakai piring dan sendok bekas orang yang
menggunakannya semula.

Kasihan benar bila Bimo mendapat murid yang
penyakitan, sakit paru-paru, halitosis dsb. Oleh
karena itu calon murid yang berpenyakitan harus
berterus terang kepadanya sebelumnya untuk mencegah
terjadinya efek samping yang kurang menyehatkan
dirinya.

Di samping memberinya “makanan sisa” diharapkan juga
para (calon) muridnya memberinya uang transport pp.
dan juga angpao, karena ia toh harus hidup bukan?
 

       Inilah kisah “aneh tapi nyata” pada milenia
ketiga dunia yang semakin tua ini. Mohon maaf seribu
maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan pada hati
Bimo, karena saya juga mendapat amanat untuk menulis
artikel ini. Walaupun kini hati Bimo sudah seluas
samudra yang mampu menampung segala jenis hinaan dan
hal-hal yang meruntuhkan gengsi dan ego manusia biasa
kita semua tetap prihatin terhadap “laku hidup” yang
kini dipilihnya. Que sera sera Bimo; what will be will
be. At the end – anyway - everything will be all
good...  eventually.
 

Jakarta, 19 Agustus 2006.
Mang Iyus
 
Wejangan Perdana Reshi Kompatisme Shri Bimo
e-link:
<http://groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/291>

Ditulis oleh: Drs. Juswan Setyawan


        Selesai pelantikan apapun di negeri ini dan di
mana saja selalu tokoh yang baru dilantik menyampaikan
pidato pelantikannya (oratio credentialis). Tak
terkecuali dengan pentahbisan Reshi Shri Bimo dengan
alias “Pendeta Botak”, suatu gelar kehormatan yang
diberikan sendiri oleh Master Kim Il Sen, “biang
kerok” kompatiologi yang sekaligus sangat dibenci dan
dicintai oleh banyak orang. Ia datang “membawa pedang”
sehingga dunia menjadi semakin chaos untuk sementara
untuk kemudian menjadi semakin sadar akan pentingnya
komunikasi empati antara manusia dengan manusia,
manusia dengan hewan, manusia dengan alam sekitar
(Mother Gaia) dan manusia dengan Sang Pencipta
(hablummin n’Allah wal hablummin an'nas – sorry kalau
salah ejaan/taqlid, yang penting valuenya benar).
 

        Kalau hidup hanya untuk mencari makan maka
hidup manusia tidak lebih dari tingkat hidup seekor
hyena yang tidak mengandalkan akalnya untuk mencari
makan tetapi cukup dengan cakar dan moncongnya. Ini
inti pertama wejangan Reshi Shri Bimo yang sejajar
dengan pendapat Dr. Laura Schlesinger dalam bukunya
“How Could You Do That” (HarperCollins Publishers,
1996).

“You know the final excuse that really gets my hackles
to full quivering attention? It’s when callers protest
that they are “only human”. ONLY human? As if one’s
humanness were a blueprint for instinctive, reflexive
reactions to situations, like the rest of the animal
kingdom. I see being “human” as the unique opportunity
to use our mind and will to act in ways that elevates
us above the animal kingdom.”
 

        Selanjutnya Laura mengatakan;
And it is largely with the 3 C’s that we accomplish
that (i.e. “We were put on the earth to rise above
nature.”) The 3 C’s are Character, Courage, and
Conscience, without which we are merely gigantic ants
instinctively filling out our biologically determined
destiny.” (Schlesinger, p. 9)
 

        Menjadi mirip seperti hyena masih mendingan;
bahkan lebih hina lagi kalau hanya seperti "semut
raksasa". Badannya saja yang gede, otak dan hatinya
tidak ada! Hewan hanya makan saat lapar saja untuk
survive sekaligus demi keseimbangan ekologi tetapi
hewan tidak menumpuk aset. Semut pun menumpuk makanan
untuk masa paceklik dan untuk persediaan bagi
anak-anak semut yang tidak berdaya. (Kalau anak sapi
namanya gudel, anak semut apa ya namanya Bimo?)
 

        Lihatlah bagaimana indahnya manuver Bimo
dengan “Ilmu Air”-nya menangkis dan menanggapi
serangan “Angin Beracun” yang saya kirim kemarin. Ia
menanggapinya dengan sersan “serius tapi santai”.
Tidak melawan. Bila anda melempar batu atau tokay ke
dalam air, maka air tidak pernah akan menolak tetapi
menerimanya saja.  Bila anda menepuk air, maka muka
anda sendiri yang kecipratan dan tangan anda sendiri
yang akan terasa pedih akhirnya. Namun air setelah
tergoncang sejenak akan tenang kembali.  Bimo menelan
saja “penghinaan” dengan menganggapnya sebagai lelucon
yang membangkitkan semangat. Bravo, Reshi Bimo, “Anda
memang pantas mendapat bintang!” Betapa banyaknya
insan di negara ini yang langsung angkat kelewang
apabila merasa terhina barang sedikit bahkan saat baru
pada taraf “merasa resah”. Namun, itu adalah ciri khas
reaksi elemen Api dan bukan elemen Air. Maka agamapun
memiliki dua ciri elemen yaitu elemen Api dan elemen
Air, yang masing-masing atau membuat suasana menjadi
panas seperti api neraka atau menjadi sejuk seperti
angin firdaus.
 

        Pesan kedua dari wejangan Shri Bimo sarat
dengan nilai apresiasi ekologi. Manusia dalam mengejar
kebutuhannya telah bersikap sangat tidak empati kepada
alam. Sekalipun tujuannya mungkin saja “tidak keliru”.
Misalnya, berapa banyak pohon-pohon tropis ditebang
untuk dijadikan bahan kertas yang selanjutnya akan
dipakai untuk dicetak menjadi buku, majalah atau
koran. “Mencerdaskan manusia” tetapi sekaligus dengan
cara “menghancurkan alam” secara sangat “tidak cerdas”
dan khianat di mana reboisasi dilalaikan, dana
reboisasi dikorupsi, dan hutan dihancurkan tanpa
tebang-pilih sehingga mengakibatkan banjir serta
kekeringan di seluruh negeri. Manusia yang tidak mampu
berkomunikasi empati dengan alam tidak hanya
menghancurkan alam tetapi sekaligus menghancurkan
dirinya sendiri. Segelintir manusia mengantongi devisa
jutaan dollar untuk dirinya sendiri dan pada saat
bersamaan membawa malapetaka bagi banyak rakyat kecil
yang kehilangan segala-galanya. Lumpur panas Sidoarjo
juga begitu intinya. Petani kehilangan sumber
rezekinya karena sawahnya kebanjiran - atau kekeringan
- dan para peladang mengalami kehilangan hal (humus)
yang sama.  
 

        Ketiga, Reshi Shri Bimo mengemukan tema
“penghematan makanan”. Dan ini bukan hanya dalam
bentuk wacana yang indah-indah namun kosong melainkan
justru dengan tindakan konkrit yaitu “hanya memakan
sisa makanan yang tidak dihabiskan manusia lain”.
Tindakan ini memang ekstrim dan radha masokhis di mata
orang awam. Namun, bagi seorang Reshi hal itu adalah
“suatu laku” yang biasa-biasa saja. Semoga ini dapat
menjadi momentum bagi gerakan baru yaitu Gerakan
Penghematan Pangan Nasional.
 

        Mungkin hal ini kelihatannya sebagai suatu res
novum atau “barang baru” untuk kita - lewat kaca mata
di negeri kita. Tetapi gerakan seperti ini telah lama
terjadi secara alamiah, naluriah, dan merata di
seluruh negeri Jepang misalnya. Duapuluhan tahun yang
lalu saya diundang makan di sebuah restoran Jepang di
Tokyo. Meja penuh dengan hidangan yang disaji dalam
piring-piring mini seukuran piring untuk Tari Piring
orang Padang. Di satu piring ada masakan berupa terong
ukuran kecil dan hanya separuh pula. Pada pinggan yang
lain ada dua tusuk sate. Ya ampun! Bagaimana pula cara
makannya? Saya tidak berani mulai walaupun sebagai
tamu dipersilakan terus. Lalu saya berbisik kepada
rekan saya: “Bagaimana cara makannya?” Saya pikir
terong itu sekali telan saja habis dan sate itu
biasanya saya ambil 5 tusuk sekaligus. Dan kali ini
hanya ada dua tusuk sate untuk enam orang. Rekan saya
yang sudah paham akan dilema ini segera memberi
contoh. Terongnya cuma dipotong dengan ujung sendok
dan diambil secuil saja. Mungkin tidak cukup untuk
mulut bayi pun!  Dan satenya cuma diambil dagingnya
dua potong, potongan lainnya disisakan!  Masya’allah
ribet banget deh!
 

        Sepulangnya dari perjamuan, eh rekan saya
malah memuji penghematan model Jepang ini. Katanya,
Jepang itu negara kaya tetapi sumber alamnya sangat
terbatas, maka penduduknya secara alamiah dipaksa
untuk hidup hemat. Kita bisa makan seberapa banyak
kita mau. Kalau sate habis boleh pesan lagi, bahkan
pesan seberapa kali pun. Namun semua pesanan itu akan
habis dimakan dan terjamin tidak ada yang akan tersisa
atau dibuang (seperti di hampir semua restoran kita). 

Moral dari tatacara makan seperti itu juga ialah untuk
menanamkan “sikap tahu diri” (self restraint) dan
sikap untuk ‘memikirkan kepentingan orang lain” juga
(altruisme - empatisme).  
 

        Dan kini Reshi Shri Bimo ingin kita semua
mengadopsi dan memberi apresiasi terhadap perilaku
konsumsi yang telah menjadi kebiasaan baik di seluruh
rumah tangga dan restoran di negeri Sakura tadi. 
Mungkin juga kebiasaan seperti itu sudah mendarah
daging sejak zaman Ainu atau zaman Bushido di negara
tersebut.  Saya pernah mendengar bahwa dalam
kebudayaan Jawa juga terdapat adat semacam itu.
Dikatakan bahwa “Dewi Sri akan menangis bila anak-anak
tidak menghabiskan nasi di piringnya.” Jadi, Reshi
Shri Bimo berkat infusi “memory floods” dari nenek
moyangnya ingin mengangkat kembali nilai luhur lokal
tersebut secara lebih kontemporer dengan tema modern
tentang “Gaia Movement”. Eh, Bimo, emangnya elo mau
segera mendaftar jadi anggota Green Peace?!
 

        Memang untuk semuanya itu perlu dan harus
terjadi suatu “Paradigm Shift” dan diharapkan Reshi
Shri Bimo akan memulai hal tersebut bukan dengan
kata-kata tetapi dengan teladan nyata. Bukan dengan
wejangan-wejangan basi tetapi lewat ilmu baru
komunikasi empati.

Selamat berjuang kawan !  Para psikolog sejawat anda
satu Alma Mater telah mulai antri untuk belajar "ilmu
dekonstruksi memori" langsung dari anda. Dan mereka
pasti tidak akan memboroskan makanan karena pasti akan
menyisakannya untuk anda habiskan!  Benar-benar suatu
"shock therapy" yang luar biasa. Bahkan lebih dashsyat
dari kejutan "kursi listrik" psikiater kuno.  Ha ha
ha...
 

Namaste,
 
Minggu, 20 Agustus 2006.
Mang Iyus





From: bimo
To: [EMAIL PROTECTED]
Sent: Sunday, August 20, 2006 12:38 PM
Subject: [psikologi_transformatif] wah-wah kayaknya
kok berlebihan...

begini yah saudara-saudara sebangsa dan setanah air
yang saling tergabung dalam ranah bawah sadar
manusia... MERDEKA!!!  saya tidak pernah merasa bahwa
saya melakukan segala sesuatu yang begitu
menghebohkan, yang saya tahu adalah sya hanya membantu
orang memahami apa makna kehidupan dengan
memperkenalkan suatu persepsi baru dalam keseharian.
bang juswan terima kasih atas pernyataanya yang sangat
memberi semangat hihihihihi lucu juga anda menganggap
saya seperti itu... tapi terimakasih. Semogal
terhitung mulai dari hari ini saya mencoba setidaknya
satu hari memuat satu tulisan. Bang juswan dan
rekan-rekan sekalian, apa yang saya kerjakan hanya
mencoba mencari makna dalam kehidupan ini. hidup itu
bukan sekedar bertahan hidup, tapi memaknai hidup. hal
ini dikarenakan dari sekian juta spesies yang ada di
planet ini, hanya manusia yang mampu memaknai dan
mengabstraksi segala tindak-tanduknya. apakah
kemampuan ini hanya digunakan sebagai tools untuk
mencari makan? kalo memang begitu "you all are so
LAME" karena dengan ini berarti anda tidak lebih dari
seekor hyena yang
menggunakan moncong dan cakarnya untuk berburu. hal
ini dikarenakan bahwa akal budi hanya seperti cakar
dan moncong yakni alat untuk mencari makan. Anda tahu
betapa kesadaran manusia ini dibayar oleh alam dengan
harga mahal? berapa banyak pohon, hewan harus mati
agar manusia dan kesadaranya tetap hidup? Jutaaan....
apa balas budi kita pada alam? kita hanya sibuk untuk
bertahan hidup tanpa pernah berpikir untuk apa hidup
ini, padahal cost kehidupan kita paling mahal
dibandingkan spesies lain. dengan keadaan ini, manusia
tetap saja tidak sadar.. memakan makanan yang tersisa
adalah cara saya untuk menghargai kontribusi alam
dalam mesupport kesadaran saya. Saya mencoba dari hal
yang kecil dulu, belum bisa jadi petapa yang cukup
makan embun dan semedi setiap saat, saya masih cinta
seks dan alkohol dan maryuana... THEY RULES!!! tapi
mohon rekan2 merenungkan betapa untuk menjaga
kesadaran dalam sebuah spesies, mother nature
memberikan yang terbaik pada anak2nya kenapa anak2nya
hanya bermain untuk kesenangan sendiri tanpa
memikirkan orang tua dan saudara2nya (dalam hal ini
antar sesama manusia). betapa manusia masih egois
seperti kanak2.. oleh karena itu mari belajar menjadi
lebih dewasa. Cobalah bertanggung jawab dengan
kesadaran kita... memang bikin hidup yang kusut ini
jadi tambah ribet... tapi mana ada sih kedewasaan yang
lebih mudah dari kanak2? 

mencoba menyadari bahwa pikiran bukan hanya tools
untuk mencari makan adalah perubahan paradigma yang
paling mendasar. dan itu yang paling sulit.. namun
caranya cukup sederhana yakni berkomunikasi antara
kesadaran dengan alam dan berempati antara kesadaran
dengan alam dengan paradigma yang baru yakni dengan
jujur, atau boleh dikatakan vincent dkk
kompatiology!!! So COOL!!!


From: bimo
To: [EMAIL PROTECTED]
Sent: Mon Aug 21, 2006 8:53 pm
Subject: i'm not Reshi..

om yuswan- ckckckck terimakasih untuk masukannya boleh
lah... All Right... hari ini saya ingin bicara tentang
tahap selanjutnya dari topik bahasan kemarin. Kunci
pertama dari kesadaran adalah menyadari bahwa anda
sadar. Sadar betapa alam telah mengerahkan segala
potensinya untuk memelihara kesadaran anda.. oleh
karena itu hidup anda sangat amat berarti. Menyadari
bahwa hidup adalah sebuah berkah bukan musibah
membuat anda mensyukuri hal itu. tapi omong2 bersyukur
tentah berkah kehidupan mensyukuri sebuah rezeki bisa
makan saja orang tidak semua orang menghargai kok.
semuanya "take fo granted" memang seharusnya begitu..
rekan2 yang baik, kenapa saya mulai dari makanan,
karena makanan adalah kebutuhan manusia paling dasar.
berapa banyak dari rekan2 yang mengucapkan syukur hari
ini bisa makan? tentu saja dihayati yah bukan ritual.
kalo sudah habit mah susah atuh.. sebaiknya sih
penghayatan. menghayati makanan. Rekan2 dengan
menghayati pemenuhan kebutuhan mendasar anda maka anda
bisa menghayati kebutuhan2 yang lebih tinggi. Dengan
meminjam hirarki kebutuhan maslow maka kebutuhan
mendasar yang makan dilakukan dengan penghayatan maka
tidak salah juga untuk menghayati rasa syukur bahwa
anda masih hidup sampai saat ini dengan betapa aman
dan damainya anda saat ini. ah nggak banyak
kriminalitas kok di jakarta. memang tapi betapa
damainya anda dibandingkan orang2 lebanon dan irak
syukurilah itu... cinta, penghargaan diri dan
aktualisasi diri adalah kebutuhan tingkat tinggi
dimana hanya segelintir orang mencapainya. hal ini
saya kemukakan karena betapa jarang orang yang
menghayati perasaan bahwa kedua kebutuhan tadi
terpenuhi. apa bedanya cinta dan sex? apa bedanya
penghargaan diri dengan arogansi? apa bedanya
aktualisasi diri dengan anti sosial (menurut maslow
orang yang mengaktualisasikan diri sering menghadapi
friksi dengan sosial). rekan2 tercinta mari kita
menghayati hal yang paling mendasar dalam hidup ini
bahwa kita bisa makan. Baru kita memahami apa itu
kebutuhan yang lainnya.. ok lah hari ini cukup dulu
warnetnya nanti mahal bokek bo (maaf yah)... SALAM
SEJAHTERA bagi anda semua


Send instant messages to your online friends http://au.messenger.yahoo.com 


posting : psikologi_net@yahoogroups.com
berhenti menerima email : [EMAIL PROTECTED]
ingin menerima email kembali : [EMAIL PROTECTED]
keluar dari milis : [EMAIL PROTECTED]
----------------------------------------
sharing artikel - kamus - web links-downloads, silakan bergabung di 
http://psikologi.net
---------------------------------------- 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/psikologi_net/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke