Proyek Kompatiologi di Instansi Pendidikan Tinggi
-ditulis oleh: Vincent Liong / Liong Vincent
Christian-


Tulisan ini dibuat sebagai perkenalan dari pihak
kompatiologi terhadap instansi-instansi pendidikan
tinggi yang berminat menggunakan kompatiologi untuk
tujuan dari koridor polapikir yang formal / normatif
ke polapikir yang lebih adaptif, sehingga diharapkan
dapat  mengembangkan daya pikir, kreatifitas dan
inovasi institusi anda. Ide untuk membuat tulisan ini
muncul berawal dari beberapa email yang berisi
undangan bagi kompatiologi untuk diterapkan di
Institut Tekhnologi Bandung. 

Ada beberapa hal yang dirasa penting untuk dibahas
berkaitan dengan penerapan kompatiologi di lingkungan
kampus agar tidak terjadi kesalahpahaman…
I. Paradigma Kompatiologi dan Paradigma
Ilmupengetahuan Sosial yang ada saat ini.
II. Paradigma Kompatiologi berbeda dengan tren
“perubahan” yang mulai dikenal di masyarakat
akhir-akhir ini.
III. Kompatiologi sebagai ilmu yang berusaha
mempertahankan local wisdom yang ada tanpa usaha untuk
mengkontaminasi atau mengadakan perubahan pada lokal
wisdom tsb.
IV. Sekilas gambaran penerapan Project Kompatiologi di
Institusi Anda.





I. Paradigma Kompatiologi dan Paradigma
Ilmupengetahuan Sosial yang ada saat ini.

Bilamana kita berbicara tentang paradigma
ilmupengetahuan sosial resmi yang ada saat ini, yang
menggunakan metode ceramah, dengan adanya buku
pelajaran, maka kita bisa mengambil contoh dari
beberapa sudutpandang jurusan ilmupengetahuan sosial,
yang beberapa diantaranya: Komunikasi, Antropologi,
Sosiologi, Psikologi, Ekonomi, Management, dlsb.

Di fakultas Komunikasi, mahasiswa belajar bagaimana
metode-metode (norma-norma) komunikasi yang dianggap
paling efisien dalam komunikasi antara manusia satu
dengan yang lain. Pencarian kebenaran berfokus pada
cara komunikasi semacam apa yang dianggap paling
ideal.

Di fakultas Antropologi, mahasiswa belajar tentang
komunitas (kumpulan manusia) yang cenderung homogen
(memiliki persamaan-persamaan kelompok), maka dari itu
antropologi banyak meneliti tentang suku-suku yang
sifatnya kelompok tertutup. Pencarian kebenarannya
adalah usaha untuk mengerti aturan main yang berlaku
di tiap kelompok lokal tsb.

Di fakultas Sosiologi, mahasiswa belajar tentang
komunitas (kumpulan manusia) yang bersifat heterogen
(antar individu anggota kelompok berbeda satu sama
lain), maka dari itu sosiologi banyak meneliti
lingkungan perkotaan yang dimana banyak masyarakat
dari berbagai daerah dengan budaya berbeda datang dan
menetap di sana. Pencarian kebenarannya berfokus pada
hubungan ‘konflik’ antara individu satu dengan yang
lain yang individual.

Di fakultas Psikologi, mahasiswa belajar tentang
prilaku manusia sebagai individu yang berhubungan
dengan segala hal di luar dirinya baik itu manusia
lain, juga alam sekitar. Pencaharian kebenarannya
berfokus pada prilaku manusia yang normal (sesuai
norma tentang kenormalan) sehingga dianggap sehat
mentalnya. 

Baik Komunikasi, Antropologi, Sosiologi, Psikologi,
Ekonomi, Management, dlsb memiliki sifat khas yang
hampir sama yaitu: adanya pelabelan, adanya
pengkonsepan masalah, ada judgement, ada tujuan untuk
menjadi benar. Hal ini berbeda sekali dengan
kompatiologi. 

Kompatiologi tidak membagi-bagi kegiatan menjadi
bersifat lokal dan sempit sehingga banyak ‘buku resep
masakan’ (resep Komunikasi, Antropologi, Sosiologi,
Psikologi, Ekonomi, Management, dlsb) yang berdiri
sendiri-sendiri. Masalahnya manusia itu tidak hanya
memiliki kebutuhan akan penguasaan komunikasi saja,
antropologi saja, sosiologi saja atau psikologi saja.
Bagi kompatiologi segala norma yang dipelajari entah
itu di Komunikasi, Antropologi, Sosiologi, Psikologi,
dlsb hanyalah variasi bahasa seperti kita belajar
bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Cina, bahasa
Jepang, bahasa Belanda, dlsb. Meski seseorang belajar
sekian banyak bahasa, yang menjadi masalah adalah;
orang tsb harus menjadikan bahasa sekedar tools bukan
keyakinan yang dilekati untuk menggunakan bahasa bukan
mencintai bahasa.

Bilamana kita sebagai manusia di analogikan sebagai
sebuah negara seperti Republik Rakyat Tionghoa yang
memiliki banyak penduduk lalu berencana memajukan
negaranya. Maka pertama-tama adalah dengan kebijakan
ekonomi untuk mendukung usaha kecil dan besar agar
mencapai tingkat efisiensi biaya produksi yang
maksimal sehingga dapat memproduksi barang-barang yang
dijual dengan harga amat sangat murah. Setelah
memiliki modal berupa kemampuan produksi dengan biaya
yang efisien baru saatnya memperhatikan sektor
politik, yaitu mengubah politik yang tertutup menjadi
politik tangan terbuka agar barang bisa dijual dan
investor asing bisa datang membeli. Setelah politik
tangan terbuka, berikutnya adalah menjaga agar jangan
sampai tanah-tanah di wilayah negara diambil alih oleh
investor yang berniat membeli lahan secara
membabibuta, untuk dijadikan pabrik dengan biaya
tenagakerja murah. Maka politik pajak yang tinggi
untuk tanah yang dibeli oleh investor asing dan
larangan pembelian tanah, hanya boleh menyewa tanah
saja sudah saatnya diberlakukan. Pengambilan keputusan
yang cepat dan lues ini harus terus diberlakukan untuk
menjaga kontinuitas kemajuan negara. 

Bilamana kita andaikan keputusan demi keputusan yang
kita ambil sepanjang hidup kita seperti analogi
keputusan-keputusan cepat (tanpa perencanaan
janganpanjang yang baku) yang harus diputuskan dengan
tepat at the present time, maka kita tidak bisa bisa
bergantung pada “buku resep masakan” (Komunikasi,
Antropologi, Sosiologi, Psikologi, Ekonomi,
Management, dlsb) yang bersifat lokal dan berdiri
sendiri-sendiri. Andaikata kita mempelajari sejarah
misalnya analogi sejarah sebuah Republik Rakyat
Tionghoa, itu tidak akan membantu karena kita lupa
bahwa tidak ada satupun individu yang memiliki kondisi
yang sama. Bagaimana kalau kita dianalogikan sebagai
Singapura di jaman pemerintahan Rafles. Apakah kita
memutuskan bahwa dibangun pabrik dengan biaya produksi
rendah ketika at the present time kita hanyalah sebuah
hutan belantara yang ber-rawa-rawa. Saat itu Rafles
pertama-tama menetapkan policy free trade area karena
berdasarkan analisanya; kelebihan dari pulau Singapura
adalah letaknya yang strategis bagi perdagangan. Hanya
atas kontribusi para pendatang, baru Singapura bisa
tumbuh menjadi negara pulau yang maju di kancah
perdagangan dunia bukan atas ambisi Rafles untuk
membangun kota itu sendiri atas kemampuan sendiri. 

Dalam hubungan kompatiologi dengan cerita di atas,
kemampuan menganalisa menjadi sangat penting. Kita
perlu belajar untuk tahu variasi bahasanya, tetapi
tidak bisa bergantung para berbagai “buku resep
masakan” (Komunikasi, Antropologi, Sosiologi,
Psikologi, Ekonomi, Management, dlsb) yang sifatnya
terlalu lokal dan normatif. Kemampuan analisa baru
bisa ada dengan syarat menganggap segala resep masakan
hanya sebagai ‘tools’ (pilihan/variasi alat) bukan
sebagai kebenaran yang perlu diyakini dan dilekati.

Kalau bicara tentang kemampuan menganalisa untuk
digunakan sebagai pertimbangan menentukan strategi,
maka kita harus berbicara dalam taraf ‘operating
sistem’ (sistem yang mengatur lalulintas informasi)
bukan normatif. Dalam taraf operating sistem artinya
peran pendidik kompatiologi hanyalah sebagai
programmer independent yang disewa oleh sebuah
perusahaan untuk menginstalasi komputer dengan
‘operating sistem’ (misalnya Dos, Windows, Linux).
Sebagai seorang programmer maka tidak boleh membuka
atau mempengaruhi file-file yang menjadi urusan /
rahasia / local wisdom perusahaan. Maka dari itu dalam
Kompatiologi ada aturan tertulis bahwa dilarang keras
seorang kompatiolog (tukang dekon) memberikan nasehat
(pengajaran moral & norma), konseling dan segala hal
yang sifatnya mempengaruhi pengambilan keputusan
pengguna kompatiologi, baik yang efeknya bersifat baik
atau buruk menurut norma yang berlaku di masyarakat,
kecuali saat tsb dia memposisikan diri bukan sebagai
kompatiolog (tukang dekon), melainkan dirinya sendiri,
kalau demikian maka bukanlah tanggungjawab atau atas
nama ilmupengetahuan kompatiologi.

Sebenarnya dalam budaya Indonesia sudah ada semboyan
Ki Hajar Dewantara yang berbunyi; “ing ngarso sun
tulodho, ing madya mbangun karso, tut wuri handayani”.
Yang artinya; di depan memberikan teladan, di tengah
mengobarkan semangat, dan di belakang memberikan
dukungan. Dalam konteks ini pemposisian diri guru dan
murid harus tetap terpisah. Tetapi pengajaran yang
sifatnya untuk meyakini suatu norma tertentu, dengan
metode ceramah & menghafalkan atau istilah saya ilmu
itu seperti ‘buku resep masakan’ terlalu mendominasi
sehingga murid tidak memiliki ruang lagi untuk
merasakan proses pendidikan yang mandiri /
independent. Maka dari itu kompatiologi dengan agak
berlebihan perlu memberlakukan aturan bahwa dilarang
keras seorang kompatiolog (tukang dekon) memberikan
nasehat (pengajaran moral & norma), konseling dan
segala hal yang sifatnya mempengaruhi pengambilan
keputusan pengguna kompatiologi, baik yang efeknya
bersifat baik atau buruk menurut norma yang berlaku di
masyarakat.




II. Paradigma Kompatiologi berbeda dengan tren
“perubahan” yang mulai dikenal di masyarakat
akhir-akhir ini. 

Untuk melayani demand masyarakat akan kefrustrasian
terhadap pendidikan yang normatif, akhir-akhir ini
banyak bermunculan trainning-trainning yang memiliki
tema utama “perubahan”. Trainning-trainning tsb
menekankan pada kekuatan atau kemampuan untuk berubah
sebagai point utama. Baik sekedar untuk berubah atau
untuk mengisi kekurangan seperti misalnya; Trainning
motivasi untuk yang kurang termotifasi. Trainning
komunikasi yang kurang bisa bergaul, Trainning cara
bertingkahlaku yang baik, bagi yang merasa dirinya
kurang sempura bertingkahlaku, dlsb. 

Kefrustrasian membuat orang bersemangat untuk
meninggalkan norma yang sudah lama dipakainya. Yang
menjadi masalah adalah: perubahan di sini sifatnya
dari satu norma yang dilabelkan sebagai norma yang
kuno digantikan oleh norma yang dilabelkan sebagai
yang lebih baru sebagai konsep yang belum teruji di
dunia kongkrit.

Dalam ruang komunitas, norma adalah Local Wisdom yang
sudah ada di masyarakat yang terbentuk dari sejarah
dan pengalaman kelompok masyarakat tsb sepanjang
pertumbuhan norma / budaya itu sendiri. Kalau kita
begitu saja melepaskan norma, dan mengganti dengan
norma yang baru, sama saja dengan merubuhkan gedung
pencakar langit dan membangunnya mulai dari nol.
Tentulah ini cara yang bodoh untuk membangun rumah,
masalahnya apa kita punya waktu dan tenaga untuk
membangun norma dengan trial and error hingga menjadi
gedung pencakar langit seperti norma yang kita anggap
kuno tsb, sedangkan hidup tetap berjalan dan kita
harus mampu memposisikan diri dengan tepat di keadaan
saat ini. 

Norma yang lama memang belum tentu membuat kita puas,
tetapi norma yang lama masih jauh lebih adaptif dengan
keadaan, karena secara natural dalam waktu yang
panjang dibentuk oleh pengalamannya sendiri, berbeda
dengan norma baru yang asal-asalan kita adopsi karena
sebal pada norma yang lama. Semua norma punya
reasoningnya sendiri-sendiri bukan terjadi begitu
saja.

Kompatiologi sebagai ilmupengetahuan selalu menjaga
jarak untuk tidak ikut campur pada norma yang telah
menjadi local wisdom di masyarakat. Peran pendidik
kompatiologi hanyalah sebagai programmer independent
yang disewa oleh sebuah perusahaan untuk menginstalasi
komputer dengan ‘operating sistem’ (misalnya Dos,
Windows, Linux). Sebagai seorang programmer maka tidak
boleh membuka atau mempengaruhi file-file yang menjadi
urusan / rahasia / local wisdom perusahaan. Kalau
moral individu dan norma yang berlaku di masyarakat
tsb mengalami perubahan, itu karena pilihan bebas dari
pelakunya sendiri bukan campur tangan dari
kompatiologi, begitu juga soal berguna atau tidak,
efektif atau tidak kompatiologi juga 100% adalah
kebebasan berpendapat dari pengguna bukan judgement
dari praktisi kompatiologi. 




III. Kompatiologi sebagai ilmu yang berusaha
mempertahankan local wisdom yang ada tanpa usaha untuk
mengkontaminasi atau mengadakan perubahan pada lokal
wisdom tsb.

Dalam penerapan kompatiologi di satu kumpulan /
komunitas yang tertutup, biasanya pihak kompatiologi
dihubungi oleh seorang local representative dari
kelompok tsb. Penghubung inilah yang mengalami
interaksi langsung yang intim dengan praktisi
kompatiologi terutama dengan saya. Dia harus
benar-benar memahami budaya, sifat, norma,
karakteristik, pemposisian diri orang-orang di dalam
komunitas tertutupnya dan dia juga harus benar-benar
bisa menjadi sahabat buat saya (praktisi
Kompatiologi).

Dalam kasus Proyek Percontohan Kompatiologi di
Komunitas Pengusaha di Bandung misalnya; Sejak
Desember awal tahun 2006 local representative mereka
yaitu yang berinisial “IB” menghubungi saya via
telephone dan rutin berbicara dengan saya kira-kira
2-3 jam hampir setiap hari untuk berbicara secara
bebas, tidak fokus ke kompatiologi. Sekitar
pertengahan bulan Desember 2006 beliau mengatakan
niatnya untuk menghadirkan saya ke komunitasnya di
Bandung.  Oleh karena itu saya sampai memiliki CDMA
Esia, Fren dan Flexi sekaligus untuk mempermurah biaya
interlokal.

Pada awal bulan Januari 2007 saya berangkat ke Bandung
untuk misi pengenalan kompatiologi, ditemani oleh dua
orang pengguna sekaligus praktisi Kompatiologi yang
menjadi local representative kompatiologi cabang
Jakarta, yaitu Adhi Purwono (agen asuransi Prudential)
dan Ondo Untung (reporter majalah Marketing). Tujuan
saya ditemani oleh dua orang representative ini agar
saya punya waktu untuk memposisikan diri agar tidak
masuk dan mempengaruhi & terpengaruhi local wisdom
komunitas di Bandung tsb, sehingga mampu menjalankan
tugas saya sebagai programmer untuk menginstall
kompatiologi. 

Saya tetap orang kompatiologi cabang Jakarta dan
anggota kompatiologi cabang Bandung tetaplah
kompatiologi cabang Bandung. Setelah menginap dua
malam Ondo Untung pulang lebih dulu ke Jakarta, dan
Adhi Purwono menyusul di hari ke lima. Saya sendiri
tetap di bandung hingga sepuluh hari. Lalu di hari
terakhir Cornelia Istiani datang dari Jakarta untuk
me-review secara independent perkembangan instalasi
kompatiologi di cabang Bandung, dan pulang bersama
dengan saya.

Pada bulan Februari 2007 saya pergi untuk menggarap
Proyek Percontohan Kompatiologi di Komunitas Pengusaha
di Bandung untuk kedua kalinya dengan misi untuk
memantabkan kompatiologi cabang Bandung agar mampu
berdiri sendiri sehingga tidak tergantung lagi dari
kompatiologi cabang Jakarta. Karena hanya bertugas
mengawasi saja maka kali ini saya pergi sendirian. 




IV. Sekilas gambaran penerapan Project Kompatiologi di
Institusi Anda.

Untuk menanggapi undangan dari Institute Tekhnologi
Bandung dan untuk sekedar gambaran bagi instansi lain
yang tertarik, saya akan memberikan sedikit gambaran
tentang personil-personil yang saya butuhkan peran
sertanya dalam mengsukseskan Project kompatiologi di
Institusi Pendidikan di tahap pengenalan ini.

Pertama-tama saya membutuhkan beberapa local
representative untuk bersahabat dengan kami, yang
memahami benar tentang ‘kondisi lapangan’ (kebiasaan,
budaya, sifat, norma, karakteristik, pemposisian diri
orang-orang di dalam komunitas lokal) dan memiliki
kekuasaan & keleluasaan untuk melakukan hal-hal yang
mungkin akan diperlukan secara flexibel.

Dari local representative kompatiologi cabang Jakarta
kami membutuhkan empat orang yang tentunya harus
disiapkan biaya transport, akomodasi, uang saku, dlsb,
yang dengan konfigurasi peran sbb:

* Vincent Liong (saya sendiri)
Peran saya adalah sebagai ahli tekhnis di lapangan
yang memahami secara mendalam mekanisme kerja
operating sistem kompatiologi di dunia praktikal.

* Cornelia Istiani
Sebagai ahli penyampaian kompatiologi agar bisa
dimengerti oleh orang ber-background pendidikan
tinggi. Pendidikan S1 Istiani adalah matematika dan S2
Psikometri (pengukuran sosial). Istiani juga berperan
sebagai pembuat alat ukur bilamana dibutuhkan untuk
mengukur feed back dari para pengguna / user
kompatiologi.

* Juswan Setyawan  
Sebagai ahli yang akan menerangkan dalam hubungan
dengan bidang kedokteran, neurologi, filsafat dan
teologi. 

* Adhi Purwono
Sebagai ahli dekonstruksi terutama dalam hubungan tema
yang agak humanis yaitu peningkatan kwalitas hidup.

Juga diperlukan bantuan local representative dari
Proyek Percontohan Kompatiologi di Komunitas Pengusaha
di Bandung yang tentunya tidak memerlukan biaya
transport, akomodasi, dlsb karena mereka juga
sama-sama menetap di Bandung. Mereka akan membantu
mempersiapkan bilamana diperlukan ahli eksperimen dan
‘kelinci percobaan’ untuk project kompatiologi di ITB,
dan untuk menjaga berjalannya operating sistem dengan
aman setelah local representative kompatiologi cabang
Jakarta pulang ke Jakarta. Untuk berkenalan dengan
local representative dari Proyek Percontohan
Kompatiologi di Komunitas Pengusaha di Bandung,
hubungi penghubung kami: Omen 022-70108828,
08157179292.


Ttd,
Vincent Liong
Jakarta, Rabu, 7 Maret 2007




Contact Person Kompatiologi
cabang JAKARTA: Adhi Purwono 021-68812660, Ondo Untung
08128599710, Cornelia Istiani 081585228174 &
021-68358037, Juswan Setyawan 08159162193, Vincent
Liong 021-70006775, 021-98806892, 08881333410,
021-5482193, 021-5348567, cabang BANDUNG: Omen
022-70108828 & 08157179292, cabang PURWOKERTO: Bimo
Wikantiyoso 0816746770 & 08888405843.


=================================
Link maillist-maillist tempat diskusi Kompatiologi
=================================
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/
http://groups.yahoo.com/group/komunikasi_empati
http://groups.google.com/group/komunikasi_empati/about
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/
http://groups.yahoo.com/group/r-mania



Send instant messages to your online friends http://au.messenger.yahoo.com 

Reply via email to