Jawaban Vincent Liong untuk email Ario Makaribi. Subject: Dualisme (sebuah refleksi), -Dunia adalah bagaimana cara kita memandangnya- From: "Ario Makaribi" <[EMAIL PROTECTED]> To: "Vincent Liong" <[EMAIL PROTECTED]> Date: Sun, 4 Nov 2007 07:29:57 -0800 (PST) e-link: http://groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/2855 http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/23040 http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/34024
note: email asli dari Ario Makaribi terLampir. <I = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = I> "Ario Makaribi" <[EMAIL PROTECTED]> wrote 1). Saya sudah membaca tulisan pengalaman orang yang terdekon yang kamu kirimkan kepada saya, dulu sekali ketika pertama kali saya memasuki millismu. Saya kira kamu akan mengirimkan tulisan dari sudut pandangmu tentang proses dekon-kompatiologi. Vincent Liong answer: Masalahnya adalah independensi. Ketika penelitian awal kompatiologi hingga akhirnya ditemukannya metodologi tekhnikal dekon-kompatiologi, masalah selanjutnya adalah; Bagaimana menghadapi budaya berpikir keyakinan adanya perbedaan kasta keberbakatan? Seperti misalnya guru-murid, bakat-tidak bakat, sakti-tidak sakti, sensitive-tidak sensitive, jenius-ideot/bodoh, dlsb menimbulkan masalah yaitu; seseorang menjadi menganggap pengalaman orang lain yang dianggap lebih tinggi kasta keberbakatannya dianggap lebih benar, sehingga dengan mudah diadopsi sebagai pengalaman diri sendiri. Akibatnya pengalaman yang sifatnya sugesti diri (menghipnotis diri sendiri) berdasarkan pola dari orang lain yang dianggap lebih tinggi keberbakatannya, membunuh/ menghapus pengalaman apa-adanya (sebagaimana adanya) dari orang tsb. Kebiasaan ini membuat begitu sulitnya menanamkan pemahaman bahwa segala hal bisa diperlakukan secara tekhnikal yang artinya dengan tidak ada kasta-kasta keberbakatan. Cara satu-satunya adalah dengan sikap pengajar / orang yang dianggap lebih tinggi keberbakatannya, untuk hanya membahas hal yang tekhnis saja dan samasekali tidak membahas pengalaman dan sudutpandang pribadi berkaitan dengan ilmunya. Kecuali si pengajar telah yakin bahwa si murid didiknya telah mampu melewati barrier (garis batas) kasta keberbakatan guru-murid dan kemudian menganggap si pengajar sekedar sesama pengguna, yang memiliki kemungkinan keberbakatan yang sama tingkatannya. Karena pada hal tekhnikal asalkan hardware dan software sama maka sudah sepatutnya tingkat kwalitas kemampuan juga akan sama. Dalam suatu eksperimen di ranah ilmupengetahuan sosial kemampuan manusia untuk berpikir dan berlogika tidak seperti mesin yang benda mati atau binatang yang tidak bersekolah membuat asumsi dapat dengan mudah berefolusi menjadi kesimpulan melalui kegiatan berpikir dan berlogika saja tanpa perlu adanya hubungan dengan realita dunia nyata di luar alam pikiran. Asumsi boleh saja ada tetapi jangan sampai itu menjadi satu-satunya (bias ada banyak macam asumsi) sehingga tidak mematikan pengalaman apa-adanya (sebagaimana adanya). "Ario Makaribi" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 2). Tulisanmu : -Keterpecahan Mental Akibat Benturan Paradigma, -Dualisme, Politik Adu Domba & Tawuran, yang kamu kirimkan kepada saya, memang itulah realita yang saya/ kita rasakan. Tentu saja masih banyak lagi. Sekolah dan sistem pembelajaran yang dialami sejak dari kecil adalah membentuk idealisme, membentuk prinsip-prinsip (yang bagi sebagian orang) sangat kuat yang tertanam dalam setiap pribadi (-dalam bahasamu :menanamkan dogma-dogma-). Dan ketika keluar dari lingkungan akademis tentu saja akan mengalami gesekan (bahkan mungkin benturan) dengan realita. ini menimbulkan ketidakharmonisan kehidupan/ dalam bahasamu -keterpecahan mental-. Vincent Liong answer: Kompatiologi memang dibuat untuk mengatasi permasalahan itu. Permasalahannya adalah pada paradigma ilmu pengukuran yang digunakan. Ada dua macam paradigma pengukuran dan konsekwensinya pada proses pemikiran: * Paradigma Pengukuran Objective (Monotheisme / Intuitif) Pengukuran Objective mengajak orang untuk melihat sesuatu di luar dirinya sedangkan diri sendiri dianggap tidak ada. Pendidikan resmi saat ini sangat terikat dengan pengukuran objective oleh karena itu pendidikan dilakukan di ruangan no-noice / kelas yang tidak berisik, perlu ada jarak antara diri sendiri sebagai pengamat dengan realita, semua orang sekolah untuk jadi penilai bukan pelaku, maka dari itu tujuan akhirnya adalah kesimpulan yang ilmiah bukan pemahaman tentang tekhnis di realita yang ada pola empirisnya. Matematika yang dipelajari di sekolah juga sangat objective misalnya: 1 + 1 = 2 ; 2 x 2 = 4 ; 2 : 2 = 1 ; 100% + 100% = 200% ; 2 x 100% = 200% ; 100% : 2 = 50%, dlsb. Posisi diri si manusia sebagai pelaku kegiatan pengukuran dianggap tidak ada. * Paradigma Pengukuran Subjective (Animisme / Instingtif) Pengukuran Subjective mengajak orang untuk melihat sesuatu sebagai dirinya sendiri yang tunggal. Dalam proses pengukuran subjective si individu pelaku pengukuran itu sendirilah yang mengisi peran sebagai pengukur, sekaligus alat ukurnya sendiri, sehingga kesimpulan / hasil pengukuran muncul di dalam diri sendiri, tidak ada object di luar diri si pengukur yang dijadikan tontonan untuk diamati. Secara matematisnya misalkan sbb: setengah gelas teh manis (100%) dicampur dengan setengah gelas cocacola (100%) maka hasilnya adalah segelas campuran dua macam minuman tsb yang volumenya satu gelas (100%). Bila segelas campuran tsb (100%) dibagi dua sama rata maka hasilnya adalah masing-masing tetap 100% karena persentase kandungan teh manis dan cocacola di tiap bagian yang masing-masing bervolume setengah gelas (bila diasumsikan campuran tsb diaduk hingga benar-benar merata) adalah sama. Bila volume masing-masing bahan campuran dikalikan dua maka persentase kandungan teh manis dan cocacola di campuran yang dihasilkan tetap sama, begitu pula bila kemudian dibagi menjadi dua, tiga, dlsb sama banyaknya atau tidak, maka persentase kandungan teh manis dan cocacola di tiap bagian tetap sama. Hal ini tidak bisa diajarkan dengan mudah di ruang kelas pendidikan resmi, karena hal ini tidak bisa diajarkan melalui metode ceramah, dimana ada transfer pemahaman dari pengajar ke murid. Karena dalam pengukuran subjective yang ada hanya satu individu pelaku pengukuran itu sendirilah yang mengisi peran sebagai pengukur sekaligus alat ukurnya sendiri, sehingga kesimpulan / hasil pengukuran muncul di dalam diri sendiri. Baik pengukuran subjective maupun pengukuran objective pada tempatnya masing-masing adalah berguna bagi manusia, tidak ada yang benar atau salah. Misalnya bila kita membahas tentang kegiatan pengelihatan yang dilakukan mata, maka pengukuran objective akan bercerita tentang asumsi manusia pengamat dalam memperkirakan bagaimana proses masuknya cahaya hingga akhirnya data tsb diterima di otak dan menghasilkan kegiatan pengelihatan; di sisi lain pengukuran subjective akan bercerita tentang bagaimana mengalami melihat, tentunya mengalami melihat warna tertentu tidak bisa diilmiahkan dengan logika, kecuali yang dibahas adalah asumsi pengamat tentang bagaimana kira-kira kegiatan melihat tsb terjadi. "Ario Makaribi" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 3). kompatiologi (hanya) menjembatani antara instingtif (pengalaman inderawi-realitas-) dengan intuitif (idealisme, believe sistem dst), menempatkan sesuatu sebagaimana adanya bukan sebagaimana seharusnya. -secara idealis (mungkin) sangat ingin sekali kamu menyebarkan kompatiologi ini, secara realitas kamu juga membutuhkan uang. -dan ini adalah jawaban yang jujur- Vincent Liong answer: Peran ini saya harus jalankan sebagai tokoh pendiri kompatiologi agar ditiru pula oleh para pengguna kompatiologi, bahwa dalam menjalani hidup kita tidak bisa melekatkan diri pada salahsatu diantara instingtif dan intuitif. Bila itu dilakukan maka yang terjadi hanyalah pelarian dari realita yang komplit (instingtif dan intuitif). Maka dari itu pengajar kompatiologi selalu saya ajarkan untuk menentukan harga dekon-kompatiologi versi masing-masing karena tanpa harga dalam realita instingtif, maka pernghargaan dan usaha untuk mempertahankan kwalitas profesionalitas kerja dalam realita intuitif akan kurang termotivasi. Jadi dalam praktiknya tidak bisa membahas dua hal ini menjadi hal yang berdiri sendiri-sendiri. "Ario Makaribi" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 4). apa yang saya rasakan, apa yang saya alami menurut sudut pandang saya, yang banyak sekali saya tulis baik lewat cerpen, puisi dan sebagainya, adalah sebuah refleksi antara apa yang ada dalam diri saya dengan apa yang ada didunia nyata, maka saya menyebutnya "Dua sisi dunia", dalam bahasa lagunya "Dunia ini panggung sandiwara", saya hanya berharap saya bisa terus menulis dan menulis, terus memperbaiki kualitas tulisan saya, dan semoga dapat memberikan inspirasi bagi orang yang membacanya kelak. Vincent Liong answer: Dulu ada masanya saya juga menjalankan cara yang sama seperti yang anda pilih, buat diri anda subjective dan buat oranglain adalah pengamatan objective. Ada saatnya saya merasa itu tidak membantu orang lain, hanya menghibur saja karena orang tsb akan tetap membutuhkan tulisan dan tokoh saya yang tidak memiliki hubungan yang relevan untuk realita kecil (individual) orang itu sendiri. Pada akhirnya saya memilih untuk bekerja mempersiapkan ilmu yang bisa membuat orang berdiam di tempatnya masing-masing. Kebetulan di jaman ini ilmu objective sudah banyak, dunia sangat kekurangan ilmu subjective. Jadi kita sebagai seniman yang berniat membantu sesama akhirnya juga harus berpikir tentang apa yang kira-kira dibutuhkan. "Ario Makaribi" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 5). dalam diri setiap orang pasti mempunyai satu "believe" yang dia pegang selama hidupnya yang ia jadikan pedoman dalam berjalan, tanpa itu saya kira bisa jadi akan gelap jalan itu baginya. Vincent Liong answer: Believe (intuitif) tetap perlu, tetapi perlu juga mengalami (instingtif) sehingga antara dua bagian ini ada hubungan saling mengkoreksi, memperbaiki dan menyempurnakan. Tanpa sparing partner kita hanya akan jalan di tempat. "Ario Makaribi" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 6). Ketika Newton menemukan fisika-nya pikiran orang terbuka dan menyadari ternyata alam semesta mirip seperti apa yang dideskripsikan Newton dan selama ini pemahaman mengenai itu sama sekali gelap. Kemudian datang Einstein yang menemukan kelemahan-kelemahan teori Newton, dan selanjutnya orang-orang menyadari bahwa alam semesta mirip sekali dengan apa yang dideskripsikan Einstein, Waktu adalah relatif bukan mutlak seperti apa yang dikatakan Newton. alam semesta yang semula tak terjamah dalam suatu batas tertentu menjadi terang benderang dalam segi-segi tertentu, yang dulunya gelap. Nanti (mungkin) akan datang orang lagi yang membaharui fisika itu yang (mungkin) bisa menerangi segi-segi yang lain yang sekarang masih gelap. Vincent Liong answer: Seperti saya jawab di No.4 setiap kondisi jaman ada demand-nya masing-masing. "Ario Makaribi" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 7). saya tak akan membahas hal tersebut dari sisi agama ataupun apa yang saya temukan dari kitab suci yang pernah saya pelajari, karena hal itu mungkin hanya akan dianggap sebagai dogma, atau menimbulkan sentimen agama. 8). saya (dulu) selalu tertarik dengan fisika (terutama relatifitas) karena ini sangat terkait dengan pengalaman inderawi, realitas yang kita rasakan sehari-hari dalam lingkungan kita ataupun (lebih luas) alam semesta ini. Namun semakin saya mendalami dan mempelajari, pada suatu titik saya berhenti, karena saya pun menyadari bahwa FISIKA pun pada hakikatnya masih merupakan "pencarian". Berbeda dengan kamu yang mengamati gejala kejiwaan orang-orang disekitarmu, mungkin minatmu masih dalam konteks PSIKOLOGI, namun pada akhirnya kamu berhenti mendalami dan mempelajari Psikologi itu karena kamu sadar bahwa psikologi-pun (mungkin) masih merupakan "pencarian". Lalu kamu meramu KOMPATIOLOGI. Tapi aku memilih untuk menuliskan pemikiran-pemikiranku saja. Vincent Liong answer: Benar sekali apa yang anda katakan, saya sangat sependapat. Pendidikan / Jurusan keilmuan resmi saat ini sangat terikat dengan pengukuran objective oleh karena itu pendidikan dilakukan di ruangan no-noice / kelas yang tidak berisik, perlu ada jarak antara diri sendiri sebagai pengamat dengan realita, semua orang sekolah untuk jadi penilai bukan pelaku, maka dari itu tujuan akhirnya adalah kesimpulan yang ilmiah bukan pemahaman tentang tekhnis di realita yang ada pola empirisnya. Pengamatan tidak akan pernah ada habisnya karena apapun bisa diamati oleh kita yang sebagai pengamat, masalahnya terus mencari bukan berarti membantu memahami hal yang subjective yaitu diri kita sendiri. Bagaimanapun seseorang mencari akhirnya dia akan bertemu dengan jawaban terakhir yaitu dirinya sendiri sebagai pihak yang mengalami. "Ario Makaribi" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 9). Dalam cerita pengalaman orang yang terdekon, jelas sekali setelah terdekon ia pun menyadari instingtif yang selama ini tak ia sadari keberadaannya. inipun menimbulkan sudut pandangnya dalam memandang kehidupan yang lain dari sebelumnya. Ia pun lebih cepat dalam mengukur/ menganalisis suatu data/ input kemudian menjadikannya output sesuai instingtif dirinya. 10). Orang pun berusaha mencapai agar pemikiran-pemikirannya bisa terus "hidup" tanpa ia mengabaikan realitas "hidup" nya sendiri. Vincent Liong answer: Antara dua bagian ada hubungan saling mengkoreksi, memperbaiki dan menyempurnakan. Tanpa sparing partner (pemikiran / mengamati dan realita / mengalami) kita hanya akan jalan di tempat. Dengan adanya sparing partner maka proses kontemplasi dan pembelajaran terjadi secara berkelanjutan. Buku pertama saya Berlindung di Bawah Payung Grasindo:2001 berisi kontemplasi saya di kelas/tahap proses saya di tahun-tahun tsb. Seiring dengan perjalanan waktu, kontemplasi dan pembelajaran tsb semakin berkembang hingga tahap yang sekarang dan yang akan datang. Ttd, Vincent Liong Jakarta, Senin, 5 November 2007 Email sebelumnya Subject: Dualisme (sebuah refleksi), -Dunia adalah bagaimana cara kita memandangnya- From: "Ario Makaribi" <[EMAIL PROTECTED]> To: "Vincent Liong" <[EMAIL PROTECTED]> Date: Sun, 4 Nov 2007 07:29:57 -0800 (PST) e-link: http://groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/2855 http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/23040 http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/34024 <I = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = I> "Ario Makaribi" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 1). Saya sudah membaca tulisan pengalaman orang yang terdekon yang kamu kirimkan kepada saya, dulu sekali ketika pertama kali saya memasuki millismu. Saya kira kamu akan mengirimkan tulisan dari sudut pandangmu tentang proses dekon-kompatiologi. 2). Tulisanmu : -Keterpecahan Mental Akibat Benturan Paradigma, -Dualisme, Politik Adu Domba & Tawuran, yang kamu kirimkan kepada saya, memang itulah realita yang saya/ kita rasakan. Tentu saja masih banyak lagi. Sekolah dan sistem pembelajaran yang dialami sejak dari kecil adalah membentuk idealisme, membentuk prinsip-prinsip (yang bagi sebagian orang) sangat kuat yang tertanam dalam setiap pribadi (-dalam bahasamu :menanamkan dogma-dogma-). Dan ketika keluar dari lingkungan akademis tentu saja akan mengalami gesekan (bahkan mungkin benturan) dengan realita. ini menimbulkan ketidakharmonisan kehidupan/ dalam bahasamu -keterpecahan mental-. 3). kompatiologi (hanya) menjembatani antara instingtif (pengalaman inderawi-realitas-) dengan intuitif (idealisme, believe sistem dst), menempatkan sesuatu sebagaimana adanya bukan sebagaimana seharusnya. -secara idealis (mungkin) sangat ingin sekali kamu menyebarkan kompatiologi ini, secara realitas kamu juga membutuhkan uang. -dan ini adalah jawaban yang jujur- 4). apa yang saya rasakan, apa yang saya alami menurut sudut pandang saya, yang banyak sekali saya tulis baik lewat cerpen, puisi dan sebagainya, adalah sebuah refleksi antara apa yang ada dalam diri saya dengan apa yang ada didunia nyata, maka saya menyebutnya "Dua sisi dunia", dalam bahasa lagunya "Dunia ini panggung sandiwara", saya hanya berharap saya bisa terus menulis dan menulis, terus memperbaiki kualitas tulisan saya, dan semoga dapat memberikan inspirasi bagi orang yang membacanya kelak. 5). dalam diri setiap orang pasti mempunyai satu "believe" yang dia pegang selama hidupnya yang ia jadikan pedoman dalam berjalan, tanpa itu saya kira bisa jadi akan gelap jalan itu baginya. 6). Ketika Newton menemukan fisika-nya pikiran orang terbuka dan menyadari ternyata alam semesta mirip seperti apa yang dideskripsikan Newton dan selama ini pemahaman mengenai itu sama sekali gelap. Kemudian datang Einstein yang menemukan kelemahan-kelemahan teori Newton, dan selanjutnya orang-orang menyadari bahwa alam semesta mirip sekali dengan apa yang dideskripsikan Einstein, Waktu adalah relatif bukan mutlak seperti apa yang dikatakan Newton. alam semesta yang semula tak terjamah dalam suatu batas tertentu menjadi terang benderang dalam segi-segi tertentu, yang dulunya gelap. Nanti (mungkin) akan datang orang lagi yang membaharui fisika itu yang (mungkin) bisa menerangi segi-segi yang lain yang sekarang masih gelap. 7). saya tak akan membahas hal tersebut dari sisi agama ataupun apa yang saya temukan dari kitab suci yang pernah saya pelajari, karena hal itu mungkin hanya akan dianggap sebagai dogma, atau menimbulkan sentimen agama. 8). saya (dulu) selalu tertarik dengan fisika (terutama relatifitas) karena ini sangat terkait dengan pengalaman inderawi, realitas yang kita rasakan sehari-hari dalam lingkungan kita ataupun (lebih luas) alam semesta ini. Namun semakin saya mendalami dan mempelajari, pada suatu titik saya berhenti, karena saya pun menyadari bahwa FISIKA pun pada hakikatnya masih merupakan "pencarian". Berbeda dengan kamu yang mengamati gejala kejiwaan orang-orang disekitarmu, mungkin minatmu masih dalam konteks PSIKOLOGI, namun pada akhirnya kamu berhenti mendalami dan mempelajari Psikologi itu karena kamu sadar bahwa psikologi-pun (mungkin) masih merupakan "pencarian". Lalu kamu meramu KOMPATIOLOGI. Tapi aku memilih untuk menuliskan pemikiran-pemikiranku saja. 9). Dalam cerita pengalaman orang yang terdekon, jelas sekali setelah terdekon ia pun menyadari instingtif yang selama ini tak ia sadari keberadaannya. inipun menimbulkan sudut pandangnya dalam memandang kehidupan yang lain dari sebelumnya. Ia pun lebih cepat dalam mengukur/ menganalisis suatu data/ input kemudian menjadikannya output sesuai instingtif dirinya. 10). Orang pun berusaha mencapai agar pemikiran-pemikirannya bisa terus "hidup" tanpa ia mengabaikan realitas "hidup" nya sendiri. tanks. Send instant messages to your online friends http://au.messenger.yahoo.com