Kompatiologi adalah Ibu Ditulis oleh: "toxichie_54121" <[EMAIL PROTECTED]> Hari & Tanggal: Jumat, 11 Januari 2008
Saya mulai memahami Kompatiologi...sedikit. Entah itu dari lisan dengan share teman-teman pendekons yang saya kenal...maupun dari tulisan teman-teman pendekons lainnya... Maka dari itu, saya akan mencoba memaparkannya ke dalam gaya bahasa saya sendiri. Hmmm..bagaimana ya untuk menggambarkan Kompatiologi? Saya rasa, Kompatiologi bukanlah suatu teori. Mengapa? Karena Kompatiologi itu ada di dalam diri manusia sendiri. Tidak ada kata "benar" kata "salah", tidak ada kata "ya" kata "tidak", tidak ada kata "begini" kata "begitu". Tidak ada kepastian. Karena Kompatiologi bukanlah suatu Ilmu Pasti. Tidak dapat diukur jawabannya oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri. Dirinya sendirilah yang memberikan jawaban itu, bukan orang lain. Kalau Psikologi bersifat obyektif, Kompatiologi bersifat subyektif. Itu berarti, Ilmu Psikologi sebagai penjabar teori Ilmu Kompatiologi. Apa yang asal muasalnya ditangkap oleh kelima indera manusia [yang merupakan alat bantu Kompatiologi] akhirnya berusaha dijabarkan secara teori [oleh Ilmu Psikologi]. Keduanya saling berkesinambungan erat. Bukannya menganaktirikan - tanpa adanya Ilmu Psikologi sekalipun, manusia tetap bisa mendeskripsikan rasa. Tapi [memang] cara manusia mendeskripsikan rasa itu berbeda-beda kapasitasnya. Suatu kepekaan terhadap rasa bisa dipertajam dengan memekakannya. Bagaimana caranya? Ya dengan melatih fungsi kelima indera yang sudah diberikan olehNya. Nah, inilah peran Ilmu Kompatiologi sebenarnya untuk memekakan fungsi kelima indera tersebut; peng-lihat, pen-dengar, pen-cium, pe-ngecap, dan pe-raba. Mengapa saya tidak menyebutkan kelima indera itu dengan sebutan mata, hidung, telinga, hidung, mulut dan kulit? Karena kata-kata itu mengandung nama dan teori-teori. Ketika manusia berbicara mata, manusia akan menjabarkan mata itu melalui proses biologis [dari cahaya ditangkap oleh retina dan bla bla bla] sehingga manusia dapat mengatakan kalau ia melihat. Imbuhan "pe" di sini sebagai kata bantu yang menunjukkan suatu alat. Jadi, itulah indera peng-lihat manusia. Manusia mengalami peng-lihat-an [imbuhan awal "pe" dan imbuhan akhir "an" di sini sebagai kata bantu yang menunjukkan suatu proses]...dan merasakannya. Sama dengan keempat indera lainnya. Bagaimana kalau belum peka juga? Di situlah peran Psikologi untuk menjabarkannya secara teori seperti yang telah saya katakan sebelumnya. Mungkin, cara menjabarkannya itu membutuhkan prosesteoritis yang "menyakitkan", sehingga dirasa terlalu rumit, berbelit-belit dan kadang kala menjadi Ilmu Hafalan yang membosankan dan sulit dipahami. Tapi sebenarnya sederhana. Buktinya, [seperti yang saya ketahui] keluarga besar Kompatiologi dapat mendeskripsikan rasa secara gamblang tanpa harus mengalami proses teoritis itu. Apakah benar begitu? =) Seperti kata Makaribi : "Pendekatan Kompatiologi adalah Subjektivitas, sementara Phsikologi adalah objektivitas, maka Komunikasi Empati tak dapat digolongkan kedalam ilmu pengetahuan namun kok lebih dekat ke seni ya" Bagaimana manusia mendeskripsikan musik classic, musik pop, musik jazz, musik pop jazz, musik jazz swing, musik jazz bossa, musik blues, musik reggae, musik hip hop, musik R 'n B, musik rock, musik alternatif pop, musik alternatif rock, dan lain sebagainya? Bagaimana manusia mendeskripsikan lebih spesifik lagi suatu musik pop ke dalam jenis musik amerika, musik british, musik melayu, dan lain sebagainya? Apa yang dapat manusia rasakan ketika ia mendengarkan sebuah nada dan irama dari suatu instrumental musik tanpa ada penyampaian berupa liriknya? Itu musik. Lalu, bagaimana manusia menggambarkan rasa amarah, senang, sedih, takut, bimbang, kecewa, bosan, baik, buruk, cerdas, cerdik, licik, malas, rajin, semangat, cantik, tampan, manis, lucu, kuat, gemuk, kurus, pendek, atau tinggi dalam hal warna, bentuk (ilustrasi), atau berupa pemilihan jenis huruf (tipografi) sehingga terciptanya sebuah karya seni...? Bagaimana seorang kartunis atau pun komikus menggambarkan tokoh-tokoh dalam komiknya berbeda-beda? Mengapa penggambaran wajah tokoh si A harus berdahi sempit, beralis naik, bermata sempit, berhidung mancung ke bawah sampai kedua lubang hidungnya hampir tidak terlihat, berkuping sempit dan hampir dekat dengan kepala, berbibir tipis dan pada bibir bagian ujung atasnya sedikit lancip, dan berdagu lancip? Mengapa pula penggambaran tubuh tokoh si B harus tinggi, besar, kekar, berpundak lebar, berdada lapang, berjari lebar dan keras, berkuku panjang dan melengkung? Sebenarnya, beberapa cabang aliran Seni pun mempunyai teorinya masing-masing. Namun, sebelum teori itu lahir, manusia me-rasa-kan dahulu di dalam dirinya, baru kemudian dijadikan suatu teori yang dibuku-bukukan. Jadi, rasa [Kompatiologi] adalah Ibu dari segenap ilmu yang pernah dibukukan. Dan ilmu-ilmu yang pernah dibukukan itu merupakan penjabaran secara teoritis dari Kompatiologi sesungguhnya. Tidak ada yang sempurna di mata setiap manusia. Manusia selalu menginginkan perubahan dan meraih yang terbaik. Manusiawi. Itu semua tergantung dari bagaimana manusia memandang dan menyikapinya. Akan lebih baik bila semuanya itu menduduki singgasananya masing-masing dan bisa saling mengisi ruang untuk melengkapi data diri masing-masing. Sungguhkah harmonis bumi ini...? Jumat, 11 Januari 2008 Salam, toxic Tentang Kompatiologi Bicara tentang ilmu apapun maka selalu ada dua point yang perlu disimak; Keyakinan (believe sistem) dan Pengukuran (subjective maupun objective). Keyakinan seperti materi teori yang selalu melampirkan kesimpulan akhir entah itu di ilmupengetahuan ilmiah, metafisika, agama dan spiritual. Pengukuran seperti; * Pengukuran objective yang menghasilkan kesimpulan akhir seperti yang kita pelajari di pelajaran matematika yang lalu diterapkan di berbagai ilmu ilmiah. Proses pencarian kebenarannya (berfilsafatnya) menggunakan kegiatan Tanya-jawab. * Pengukuran subjective yang menghasilkan data saat ini (yang terus berubah seiring berjalannya waktu) seperti alat ukur mekanis yang memiliki; sampler (alat pengambilan sample data) berupa gradasi, kadar (0 100%) yang memiliki range dari minimum, berbagai skala, sampai maksimum. Dengan konteks (translater) yaitu nama masing-masing kegiatan pengukuran seperti misalnya di mobil ada; speedometer, pengukur putaran mesin, pengukur panas mesin, pengukur tekanan oli mesin, pengukur isi tangki bahan bakar, dlsb yang semuanya sama-sama meteran dari minimum, berbagai skala, sampai maksimum. Proses pencarian kebenarannya (berfilsafatnya) dengan cara mempetakan posisi titik koordinat dalam hubungan antara satu hal dengan yang lain. Kompatiologi melalui ritual dekon-kompatiologi adalah kegiatan menginstalasi mekanisme pengukuran subjective pada manusia, sehingga manusia tsb mampu memiliki kemampuan pengukuran subjective ;seperti berbagai alat ukur mekanis yang memiliki sampler berupa alat ukur biologis (minimum, skala-skala, maksimum) dengan nama masing-masing kegiatan pengukuran yang bersifat asosiatif sehingga ada hubungan dua arah antara pemerosesan informasi instingtif (pengukuran indrawi) dan intuitif (perjalanan mengejar kebenaran yang dianut). Pada manusia yang menggunakan kompatiologi hubungan dua arah antara proses instingtif dan intuitif menyebabkan timbulnya adaptasi antara kedua fungsi ini sehingga bisa saling menyesuaikan satu sama lain seiring perjalanan waktu dengan keadaan yang terus berubah-ubah; Seperti ketika mengendarai mobil, antara informasi yang diterima melalui alat ukur mekanis dan pilihan bebas manusianya untuk bertindak saling mempengaruhi. Setiap hewan (termasuk manusia) memiliki mekanisme pengukuran materi-materi di sekitar tempat hidupnya yang mempengaruhi kehidupannya. Informasi itu dipetakan polanya sehingga menghasilkan suatu konsep pencapaian tujuan / kebenaran yang dianut si hewan itu sendiri. Kemudian hewan itu mengejar kebenaran sesuai konsep yang ia petakan sendiri. Latarbelakang Vincent Liong membuat Kompatiologi Vincent Liong (VL) adalah penggagas dari metode dekon-kompatiologi. Penelitian kompatiologi dimulai sejak VL mendapat julukan anak Indigo setelah dipublikasikan di media massa sejak Juli 2004. Julukan anak Indigo menghasilkan pelabelan masyarakat umum yang samasekali berbeda dengan pribadi VL yang sebelumnya sebagai penulis otobiografi tanpa hal-hal berbau metafisika. Awalnya VL tidak menyadari beban pelabelan tsb yang merengut kebebasan VL, mulai awal tahun 2005 Vincent Liong mulai menjaga jarak dari hal berbau metafisika. Perjuangan melawan pelabelan untuk mendapatkan kembali kebebasan VL sebagai manusia biasa bukan orang di bawah label, menuntut pembuktian bahwa Indigo bukanlah sesuatu yang spesial, berbakat, extraordinary, dlsb. Untuk lepas dari jeratan label Indigo, VL dituntut untuk membuktikan dengan metodologi yang standart dan bisa dilakukan oleh orang lain tanpa perlu berbakat, ahli, dlsb kemampuan yang dimiliki anak Indigo dapat diduplikasi secara massal dalam berbagai bidang. Bukan anak indigo harapan masa depan tetapi bapak & ibu Indigo yang bisa teruji langsung di masyarakat. Saat semua bisa memiliki kemampuan setara dengan si Indigo maka label itu akan mati. Sumber tulisan: * E-book Catatan Harian Seorang Pendekon (pengajar) Kompatiologi [EMAIL PROTECTED] karya Andy Ferdiansyah halaman 5-6. * http://kompatiologi-vincentliong.blogspot.com bagian profil Vincent Liong & Kompatiologi. Send instant messages to your online friends http://au.messenger.yahoo.com