Kawan-kawan,

Saya terdorong menulis artikel pendek di bawah setelah menerima SMS dari seorang kawan yang tampaknya kurang mampu menyeleksi informasi.

Contoh seperti di bawah ini membuat LSI berencana membuat workshop ttg survei/polling pada awal tahun depan masing-masing untuk politisi, wartawan dan aktivis LSM.

------------------

Awas, Polling Palsu!

 

Muhammad Qodari

Direktur Riset, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Jakarta

 

Hari itu saya menerima SMS (short message service) dari seorang kawan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Isinya sebagai berikut: "Polling SCTV meletakkan PKS sebagai partai terbesar (45,02%) jauh di atas partai lain. Responden sebanyak 318.292 pengirim SMS. Survey umumnya hanya  2000-4000 responden. Semoga mendekati kenyataan kata Roy Suryo (pakar komunikasi UGM)."

 

Saya sedih membaca SMS tersebut. Betapa tidak, ada paling tidak tiga salah kaprah dalam SMS tersebut. Pertama, survei atau polling yang lain, selama ini tidak pernah menghasilkan PKS sebagai partai dengan perolehan suara terbesar. Apalagi sampai 45%. Bahkan partai politik terbesar seperti Golkar dan PDIP sekalipun tidak pernah setinggi itu. Menurut survei LSI Agustus 2003, perolehan Golkar berkisar 31%, di atas PDIP yang 21% dan PKS yang hanya 3,3%.

 

Kedua, kawan itu beranggapan bahwa semakin banyak jumlah responden, semakin representatif pula suatu polling atau survei atau biasa disebut juga dengan jajak pendapat. Ini tidak benar. Yang mempengaruhi representatif atau tidaknya suatu polling bukanlah jumlah responden, melainkan teknik pengambilan sampel yang digunakan. Agar representatif, teknik yang digunakan haruslah "probability sampling". Teknik ini memungkinkan pengukuran pendapat hanya dengan sedikit orang. Buat apa responden 10 ribu, apalagi 300 ribu, kalau seribu atau 2 ribu responden sudah mewakili?

 

Ketiga, kawan itu mencoba melegitimasi hasil survei dengan mengutip ucapan Roy Suryo yang dia sebut sebagai pakar komunikasi Universitas Gajah Mada (UGM). Saya tidak pernah tahu kiprah Roy Suryo dalam jagat per-polling-an. Roy Suryo lebih tepat disebut sebagai pakar teknologi informasi dengan pengetahuaannya mengenai komputer, aplikasi multi-media, dan semacamnya. Karena itu saya ragu apakah Roy Suryo paham mengenai metodologi penelitian survei.

 

Survei adalah perangkat ilmu sosial, bukan teknologi informasi. Lebih spesifik lagi, ahli ilmu sosial, entah komunikasi atau politik, banyak yang kurang paham metodologi penelitian survei. Saya pernah bertemu seorang doktor ilmu politik lulusan Amerika Serikat yang tak paham prinsip metodologi survei padahal penelitian survei paling marak di negeri tempat ia belajar itu. Begitu juga politisi. Banyak yang komentarnya terhadap hasil polling kurang tepat sasaran yang disebabkan lemahnya pemahaman metodologi survei yang benar.

 

Perlu diluruskan di sini, bahwa polling SMS maupun telepon yang dilakukan SCTV dan sejumlah stasiun televisi lainnya bukanlah polling yang sebenarnya. Direktur National Opinion Research Centre di Universitas Chicago, Norman Bardburn, bahkan tandas menyebutnya sebagai "polling palsu". Dapat ditambahkan di sini variasi polling palsu lainnya seperti polling melalui internet yang kerap diselenggarakan sejumlah media dotcom. Lantas kok disebut polling palsu? Sebab polling jenis ini tidak menggunakan prinsip probabilitas sebagaimana disebut di atas. Polling palsu ini tidak mempunyai nilai apa-apa kecuali memenuhi rasa ingin tahu, kata Bradburn.

 

Berbeda dengan polling yang sebenarnya, polling palsu tidak bisa bisa digeneralisasi pada populasi. Dengan kata lain, hasilnya tidak akan mencerminkan pendapat publik.

Dan buktinya sudah terjadi dalam Pemilu1999. Dalam sebuah acara televisi tampil wakil dari tiga partai, di antaranya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan (PK, sekarang PKS). Selama acara dilangsungkan polling. Hasilnya diumumkan di akhir acara. Mengejutkan, PK unggul dengan perolehan 90 persen. Menyedihkan, sebab dalam pemilu sebenarnya perolehan suara PKB jauh lebih besar dari PK.

 

Mengambil kesimpulan dari penjelasan di atas dan mengambil hikmah dari Pemilu 1999, mempercayai hasil polling palsu bukan hanya menyesatkan bagi pembuatan kebijakan pemenangan partai, tetapi juga menghabiskan percuma entah berapa puluh atau ratus juta rupiah pulsa telepon yang dikeluarkan untk mengirimkan SMS atau menelpon stasiun televisi.//

____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke