Boi Gumarang Sakti MANTAN BIANG KEROK YANG MENJELMA JADI "KUDA SAKTI"
Selama bertahun-tahun pria bernama asli Yandi Yasin ini berkubang dalam kehidupan jalanan. Di kota asalnya Batu Sangkar, sejak remaja ia menyandang predikat biang kerok alias trouble maker. Lalu pada suatu titik, ia sadar dan memutuskan mengikuti jejak sang ibunda, Gusmiati Suid, untuk menggeluti seni tari. Ternyata di dunia ini ia sempat dianaktirikan karena karyanya dianggap kelewat liar. Sejak kecil sudah tertarik pada dunia tari? Sebetulnya saya tidak pernah tertarik terjun ke dunia tari hingga usia saya 18 tahun. Walau almarhumah Ibu (Gusmiati Suid) seorang koreografer dan selalu ingin merekrut saya jadi seorang penari, tapi saya tidak mau. Kenapa? Kehidupan saya dari kecil sampai usia 18 tahun, sangat bertolak belakang dengan dunia seni. Saya hidup di jalanan dan dicap sebagai trouble maker di kota saya, Batu Sangkar. Saya sering keluar-masuk penjara karena masalah narkoba dan berkelahi. Selama bertahun-tahun saya menjalani sisi gelap saya. Kok, akhirnya bisa tertarik ke dunia tari? Ya, bukan unsur kesengajaan. Lebih tepatnya karena mendiang Ibu yang menyusun strateginya. Juga orang-orang Sanggar Tari Gumarang Sakti yang didirikan Ibu tahun 1982. Ceritanya, setamat SMA, saya sama sekali tak punya kans meneruskan sekolah karena boleh dibilang, sampai SMA hidup saya lebih banyak dihabiskan di jalanan, mabuk-mabukan, dan penjara daripada di bangku sekolahan. Sebenarnya saya tak lulus tetapi karena sekolah saya tidak mau lagi memiliki siswa yang bernama Yandi Yasin (nama asli Boi, Red.), terpaksa saya diluluskan. Waktu itu Ibu jadi dosen tamu di IKJ. Beliau tahu, masuk ke IKJ saat itu tidak begitu dibutuhkan syarat-syarat kelulusan formal. Nah, berangkatlah saya ke Jakarta, masuk IKJ, ambil seni tari. Waktu itu saya berpikir, walau sangat nakal, saya tak mau jadi anak yang terbuang atau sia-sia. Apa yang kemudian terjadi? Selama enam bulan saya malas-malasan. Saya tidak tahu sama sekali tentang dunia tari, tari tradisi, dan sebagainya. Modal pengetahuan saya tentang tari hanya satu. Yaitu ketika saya baru saja dikeluarkan dari penjara tahun 1986, Ibu menghukum saya dengan mengikutsertakan saya dalam pertunjukan tarinya, Tari Rantak di acara pembukaan MTQ di Batu Sangkar. Ada 600 anak bermasalah yang diikutsertakan dalam acara tersebut. Termasuk saya. Saya menari bersama di lapangan selama sekitar lima menit. Lalu? Semuanya berubah ketika tahun 1987 saya mengikuti lomba koreografi se-Indonesia yang diadakan DKJ. Saya dapat juara harapan II dengan karya Pitaruah (Titipan). Itu membuat saya sadar bahwa saya bisa dan mungkin saya memang digariskan menggeluti dunia koreografi tari. Sejak itu, saya terpacu mengejar ketertinggalan tentang tari tradisi, nilai-nilai yang ada dalam adat setiap daerah, terutama Minangkabau. Hasilnya, tahun 1989 saya jadi juara pertama lomba koreografi yang diadakan Ikatan Pelatih Balet Se-Indonesia. Waktu itu, saya mencoba menggabungkan antara tari tradisi dengan tari kontemporer dalam karya Batagak yang masih menceritakan tradisi Minangkabau. Dalam proses menciptakan suatu karya, Anda banyak mengeksplorasi budaya Minang? Saya selalu berusaha memadukan tradisi yang ada di Indonesia dengan seni kontemporer. Walau banyak mengambil tradisi Minang, saya tetap mengeksplorasi tradisi Jawa, Irian, Betawi, Melayu, dan lainnya. Untuk gerakan-gerakan tari, saya banyak menggunakan dan terinspirasi oleh gerakan pencak silat dari berbagai daerah. Tapi selain itu saya juga banyak terinspirasi dari hasil mengamati lingkungan sekitar, pengalaman, memori masa lalu saya, hal-hal yang bersifat prediktif ataupun fiktif, dan juga acara-acara televisi. Kemampuan mengamati itu sangat dibutuhkan seorang koreografer. Kalau masalah gaya, karya Anda berkiblat kemana? Bebas saja. Saya amati, dunia tari dunia terbagi empat. Dunia tari Amerika mengarah pada pendekatan fisik, Asia fokus pada kekuatan roh atau spirit, kekuatan Eropa terletak pada komunikasi interaktif dengan penonton, dan Afrika cenderung pada penguasaan teknik gerakan yang hebat. Saya tidak mau berkiblat pada hanya satu gaya. Jadi, saya menggabungkan semuanya dan menciptakan sesuatu yang berbeda. Kabarnya, menciptakan sesuatu yang berbeda pernah membuat Anda dikucilkan? Benar. Awalnya, di tahun 90-an, saya ingin membuat yang luar biasa. Karya buatan senior-senior yang penuh kemapanan sering saya pertanyakan lagi. Saat itu mereka menyebut saya sebagai seniman tari pemberontak di Indonesia. Saya mencoba menghadirkan idiom-idiom yang tidak familiar pada dunia koreografi. Akhirnya, saya sempat dikucilkan, tidak diterima, dilecehkan, dan dianggap badung. Tapi orang yang menolak sebuah kebiasaan biasanya memang disisihkan dalam komunitas. Seperti apa, sih, yang disebut bentuk tak familiar? Misalnya dalam karya Ibu Kundang. Ceritanya kebalikan dari dongeng Malin Kundang. Saat itu saya melihat kondisi sosial di mana banyak ibu-ibu yang menelantarkan anaknya. Kemudian tahun 1993, saat pementasan Abad Azab Nan Sakit, saya melempar telur-telur. Menurut saya, telur adalah suatu sumber kehidupan dan pada saat itu banyak terjadi pelecehan nilai-nilai kehidupan. Ada juga beberapa idiom menyentil dalam Dongeng yang Berlari melalui gerakan laki-laki yang saling berciuman, idiom berguling, merangkak, dan lain-lain yang belum pernah dilihat sebelumnya. Tapi Anda tetap bersikukuh? Ya, saya tetap memperjuangkan agar karya-karya saya agar dapat diterima selama sekitar 15 tahun. Sampai akhirnya sekarang gaya-gaya seperti itu sudah bisa diterima dan banyak diadopsi oleh koreografer muda. Sebelum jadi koreografer penuh, sempat terjun langsung sebagai penari? Ya. Saya sempat tampil sebagai penari tahun 1986 sampai 1992. Terakhir naik pentas sebagai penari plus koreo-grafer dalam Festival Performing Art di Hongkong tahun 1992. Ketika itu saya diminta membawakan empat karya saya, yaitu Pitaruah, Batagak, Amai-amai, dan Dongeng yang Berlari. Kenapa memutuskan berhenti menari? Soalnya, ketika di pentas, saya tak bisa konsentrasi penuh pada karya saya. Banyak hal-hal kecil yang luput dari perhatian saya seperti misalnya artistik. Sejak itulah saya memutuskan fokus sebagai koreografer saja. Lalu untuk lebih mengembangkan keahlian saya, mulai tahun 1994 saya belajar desain tata lampu dan skenografi (tata ruang). Tetapi kalau urusan penata musik, saya bekerja sama dengan beberapa orang yang selalu berganti-ganti karena saya tidak mau karya saya memiliki nuansa yang sama. Ngomong-ngomong, karya Anda banyak dibawakan orang lain? Ya, tetapi kebanyakan merasa kesulitan dengan karya saya karena pada dasarnya bukan karya lepas. Karya saya berdurasi sekitar 15-30 menit. Jadi, jika ada yang ingin menggunakan karya saya, mereka biasanya mengundang saya untuk datang mengajar. Misalnya, The Lost Piece yang sudah empat tahun ini menjadi repertoar di Singapore Dance Theatre. Atau Before Coming of The Dark yang juga menjadi repertoar di Ballet Filipina. Mereka mengundang saya untuk melatih selama dua-tiga bulan. Sampai sekarang sudah pentas ke mana saja dan mana yang paling berkesan ? Bersama sanggar, saya sudah mementaskan karya saya di lebih dari 50 kota termasuk di Benua Asia, Amerika, Australia, dan Eropa. Cuma Afrika yang belum terjamah, tetapi ingin juga. Biasanya kami menggelar pementasan karena dapat undangan langsung. Yang paling berkesan, salah satunya ketika tampil di acara pembukaan World Denzin di Copenhagen. Kami menampilkan karya On the Old Road dan mendapat standing aplause selama 10 menit. Apa sih, rahasianya sehingga Anda begitu dinamis dalam berkarya? Saya berupaya menjadi orang yang tidak cepat puas. Kadang usai pentas, saya merasa senang, tetapi lima menit kemudian saya mengkritik karya saya sendiri. Saya bahkan tidak pernah memuji penari saya sendiri walau orang luar bilang bagus. Karena saya percaya, sebagus apa pun sebuah karya, pasti masih ada kelemahannya. Bukannya saya terlalu perfeksionis tetapi saya masih mau terus maju dan berkembang. Dalam dunia penciptaan kreativitas, tak ada yang hebat. Di sini bukan kecerdasan intelektual yang bermain, tapi lebih pada bagaimana seorang seniman membuat dan mempersiapkan karyanya. Tentunya semua prestasi ini diraih berkat dukungan keluarga juga, ya? Pasti. Mereka banyak memberi saya dukungan. Terutama almarhumah Ibu dan istri saya, Hartati, yang juga kuliah di IKJ. Ia seorang penari yang hebat dan sampai tahun 1996 bergabung di Gumarang Sakti. Kami menikah tahun 1995 dan hingga kini telah dikaruniai dua orang anak. Putri pertama kami, Mentari Asia, berusia 4,5 tahun dan yang kedua Mika Ilham Muhammad berusia hampir satu bulan. Ingin anak-anak nantinya mene-kuni dunia tari juga? Kalau boleh saya berharap, saya ingin anak-anak saya tidak mengikuti jejak saya. Cukuplah nenek, ibu, bapak, dan tantenya saja yang berkecimpung di dunia tari. Saya, sih, hanya berharap demikian, tetapi keputusan ada di tangan mereka. Kelihatannya sosok Ibu sangat menginspirasi Anda? Memang betul. Ibu yang menginspirasi saya untuk terjun ke dunia tari. Walau tak pernah belajar secara langsung dari beliau, saya banyak menggali ilmu, berdiskusi, dan bertanya. Terus terang, kalau berlatih tari, saya lebih banyak dengan asisten Ibu di Gumarang Sakti karena Ibu sangat sibuk. Salah satunya, saya berlatih dengan Yudi Febrianto, sekarang anggota DKJ Padang. Bisa ceritakan tentang terbentuknya Gumarang Sakti? Studio ini didirikan almarhumah Ibu di kediaman kami, Batu Sangkar, tahun 1982. Murid-muridnya datang dari berbagai SMP dan SMA di BatuSangkar, juga ASTI (sekarang STSI) di Padang Panjang, tempat Ibu mengajar. Nama Gumarang Sakti sendiri diberikan oleh Gubernur Sumatera Barat waktu itu, Azwar Annas. Nama Gumarang diambil dari legenda Minangkabau tentang seekor kuda sakti yang jika berlari kakinya tidak menyentuh tanah. Kemudian sanggar tersebut dipindahkan ke Depok tahun 1989 hingga sekarang. Kegiatannya pentas di dalam dan luar negeri. Tapi sanggar tidak memiliki jadwal tetap. Kalau ada pementasan, baru diadakan latihan. Apa harapan Anda untuk sanggar Gumarang Sakti? Memang saya punya keinginan menjadikan Gumarang Sakti lebih profesional dan jadi wadah dengan manajemen yang konsisten. Saya ingin anggota sanggar mulai dari tukang jaga, penari, hingga pemusik, menerima gaji bulanan seperti pegawai. Tetapi kami tak dapat menutupi bahwa semuanya butuh dana besar. Jadi, sekarang anggota sanggar statusnya seperti freelance walau banyak juga anggota sanggar yang loyal. Tapi pada dasarnya kami membebaskan para anggota jika mereka mau jalan sendiri atau berkolaborasi dengan grup lain. Karena kami juga sadar, mereka butuh pekerjaan, sementara kami belum punya manajemen yang jelas. Menurut Anda, bagaimana perkembangan dunia tari di Indonesia sekarang? Mengenai perkembangan kreativitas sangat positif. Untuk urusan potensi, para seniman tari Indonesia bisa diharapkan banyak untuk ke depannya. Karena sebenarnya potensi mereka sangat besar asal mereka harus pintar-pintar menempatkan diri. Cuma untuk masalah fasilitas dan perhatian, komunitas tari kita perlu ditolong. Diharapkan uluran tangan bukan hanya datang dari sesama komunitas tari tetapi juga dari pemerintah dan pihak lain. Potensi yang sedemikian bagusnya kalau tidak difasilitasi dengan dana dan perhatian, ya, tidak seimbang. Jadi, kita harus membiarkan para seniman tari maju di negeri sendiri. Menurut pengalaman saya, kalau bisa dibilang, kadang-kadang saya merasa malahan orang di luar yang lebih menghargai penampilan karya-karya kita. Terakhir, apa rencana tahun ini? Ada beberapa. Salah satunya, Agustus 2004 saya akan menggelar pentas di TIM, memperingati 1.000 hari almarhumah Ibu. Saya merancang sebuah karya, Terkenang Ibu, yang akan dikolaborasikan dengan karya almarhumah, Seruan dan Kabar Burung. < Dokumen Nova > FOTO-FOTO: Daniel Supriyono http://www.tabloidnova.com/articles.asp?id=3614 ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________