Sabtu, 24 Januari 2004
Inyiak Upiak Palatiang
Mengkhawatirkan Silat Tradisi

Laporan : Khairul Jasmi

Kubu Gadang, Batipuah, sebuah desa kecil dekat Padangpanjang, Sumbar, terlihat lengang, 14 Januari lalu. Beberapa orang wanita, bergegas menyelamatkan jemurannya, sebab sebentar lagi hujan akan turun. Di sebuah rumah kecil di desa yang sama, seorang nenek bernama Inyiak Upiak Palatiang, berusia 105 tahun, sedang menangis.

Ia tak kuasa melihat anaknya yang nestapa karena sakit. Anak satu-satunya itu bernama Upiak Lamsinar (50 tahun). Upiak Lamsinar, yang terbaring di kasur tipis, seperti melupakan sakit yang menderanya: kanker payudaranya meradang. Sudah hampir dua bulan ia terbaring lemah. Penyakitnya kambuh lagi, sejak dioperasi tahun 1991 silam.

Lamsinar meneteskan air mata bukan karena penyakitnya, bukan pula karena hari hendak hujan, tapi karena meminta tukang saluang (musik tiup minang) naik ke rumahnya. Saluang pun ditiup dan Upiak Lamsinar -- masih terbaring-- mengalunkan suara rancaknya. Ia seperti lupa pada sakitnya. Rona mukanya memerah, berseri. Lagu saluang yang ia bawakan, meruntuhkan perasaan. Suaranya indah sekali. Ibunya, Inyak Upiak Palatiang, terlihat menunduk. Air matanya pun jatuh. "Alangkah indahnya suara anak saya," kata Palatiang parau.

Upiak Palatiang masih tangkas. Apa pekerjaannya sehari-hari? "Paling ia hanya lima menit di rumah, kemudian pergi lagi, kecuali malam, ia memang di rumah saja," kata menantunya. Palatiang seperti memiliki kaki beroda. Maunya berjalan terus, ke sawah, ladang, ke rumah saudaranya.

Ia punya tiga orang anak: dua lelaki dan satu wanita --yaitu Upiak Lamsinar tadi. Palatiang (mungkin) adalah warisan terakhir dari sosok komplet wanita Minang. Ia wanita yang berprofesi sebagai dukun beranak. Selain itu, ia adalah penutur yang baik cerita-cerita nabi, penutur sifat 20, hafal cerita-cerita surga dan neraka. Juga pandai mengaji. Palatiang juga pesilat ulung. Tubuh tua ringkihnya, seperti akan jatuh disapu angin. Ia bisa meliuk, kakinya bisa terbang, dan tangannya cekatan. Bahkan, ia bisa bersalto. Palatiang adalah nenek yang piawai berdendang. Syair-syair saluang yang ia ciptakan sudah ratusan banyaknya dan semua melankolis.

Tapi, yang ia sedihkan adalah silat tradisi. Karena, sudah jarang yang belajar dan jarang pula guru yang menguasai ilmu silat tradisi secara utuh, ia khawatir silat tradisi akan punah. Silat, tuturnya, adalah ilmu bela diri yang dimaksudkan bukan untuk mencari lawan, tapi mencari kawan. Dengan ilmu silat, seseorang bisa lebih dekat kepada Tuhan. Pesilat, kata Palatiang, bisa melambung bagai kapas dan hingga di tanah bagai kapas pula.

Kalau soal saluang ia tak risau benar, sebab saat ini industri rekaman saluang cukup menggembirakan, meski tidak banyak syair baru yang muncul. Di Minangkabau ada dua bentuk kesenian yang menonjol. Pertama randai dan kedua saluang. Yang pertama adalah perpaduan dari sastra, musik, seni suara, seni tari, teater, pencak silat komedi, dan seni dekorasi. Yang kedua adalah alat musik tiup yang dipakai untuk mengiringi syair-syair Minang klasik. Syair klasik ini dipetik dari gejala alam, dari pengalaman batin, dan peristiwa-peristiwa hebat. Semua disyairkan dalam bentuk petatah-petitih.

Palatiang adalah sosok yang riang. Bersamanya, kita tak henti-henti tertawa. Ia tidak seperti orang tua yang pikun, bongkok, atau sesak napas. Ibunya, Upiak Aji, adalah seorang pendendang ulung di kampungnya. Menurut salah seorang murid Palatiang, Musra Darizal Rajo Mangkuto (56 tahun), Palatiang telah menciptakan ratusan syair saluang. Syair-syairnya banyak diilhami oleh Gunung Singgalang dan Gunung Merapi, dua gunung yang ditakuti sekaligus dikagumi orang Minang.

Upiak Palatiang sangat jago membuat dan mendendangkan syair-syair saluang dengan pitunang. Jika, misalnya, Palatiang menyukai seorang lelaki, maka ia cukup berdendang saja, maka si lelaki akan tergila-gila padanya. Itulah pitunang, daya pikat magis yang memancar lewat suara. Tapi, Palatiang tak mau menggunakan ilmunya itu untuk hal-hal semacam itu. Tiga orang suaminya --semua sudah meninggal-- didapatnya bukan dengan cara yang demikian.

Menyayangi Inyiak Upiak Palatiang berarti menyayangi silat tradisi Minang. Palatiang sendiri tidak bisa dipisahkan dari silat. Ia berguru pada ayah dan pamannya. Pada suatu malam yang dingin di Istana Bung Hatta Bukittinggi, Ahad 14 Desember 2003 lalu, berlangsung pertemuan bersejarah, diprakarsai Perhimpunan Aliran Silat Tradisional (Pasti) Minangkabau. Untuk pertama kalinya 79 orang pandeka (guru besar) silek tuo (silat tua) dari berbagai aliran bersilaturahmi dan unjuk kebolehan. Mereka semua berusia 70 tahun ke atas. Salah satu sosok yang mengejutkan adalah seorang wanita tua. Itulah Upiak Palatiang.

Di hadapan para pejabat dan Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI), Inyiak menampilkan silat tua Gunuang. Ia lincah bergerak. Sorot matanya tajam. Ketika ia diserang, ratusan hadirin menahan napas. Ia menghalau serangan dengan elakan (gelek) dan tangkisan (tangkih) yang gesit. Lawan tak bergerak. Kalah! Inyiak memberi hormat. Tepuk tangan riuh, pertanda salut dan kagum.

____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke