Tulisan gaek kito, Rosihan Anwar di Sinar Harapan, 8 Maret 2004
kapatang.....

Pulang Kampung, Sumbar Pudar
Oleh Rosihan Anwar

Cerita ini tidak terikat kepada waktu, bisa Anda baca kapan saja, di mana
saja, senantiasa hijau segar, evergreen. Akhir tahun 2003 saya dan istri
pulang kampung. Bersama Soedarpo Sastrosatomo dan istrinya Minarsih
Wiranatakoesoema, kami menghadiri Alek Batagak Panghulu Datuk Toemanggoeng
di Kota Gadang, 2 Desember, diselenggarakan oleh keluarga besar kaum
almarhumah Tuo Djahi.
Selama 90 tahun Panghulu di Rumah Agus Salim balipek, dalam keadaan vakum.
Haji Agus Salim (The Grand Old Man) sedianya hendak diangkat sebagai
Panghulu, tapi beliau meninggal dunia 4 November 1954.
Kini yang diangkat Rama Windu MBA (51), bekerja pada Bank Indonesia, dengan
gelar Datuk Toemanggoeng, sedangkan sebagai tungkek atau deputi ialah Ranto
Sahadiri (50) bekerja pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan, putra
Mayor Inf. (Purn) Alwin Nurdin, (dulu komandan batalyon Siliwangi dan dosen
Seskoad Bandung). Penghulu mengemban tugas menegakkan adat dan jadi mediator
bila ada perselisihan dalam keluarga besar.
Kami sempat menyaksikan pergantian tahun di Bukittinggi. Banyak orang dari
Sumatera Barat (Sumbar) seperti dari Medan, Pekanbaru dan lainl-lain. Hotel
terisi penuh. Banyak ABG (Anak Baru Gede) memadati lapangan Jam Gadang
melihat pesta kembang api.
Biasa olahraga jalan kaki sehabis subuh, pagi gelap tanggal 1 Januari saya
lihat di Jam Gadang masih banyak duduk berkelompok pemuda pemudi, dengan api
unggun kertas atau cahaya lilin menerangi sekitar mereka. Semalam-malaman
mereka tak tidur. Namun masih ada cowok gesit yang bergerak dari kerumunan
satu ke yang lain, mencari kenalan baru. Ia terhenti di depan cewek-cewek
yang duduk di tanah. Seorang gadis bertanya "Halo sia awak?". Bahasa gaul
Minang. Si
cowok menggumam jawabannya sehingga tak terdengar namanya.
Saya sapa seorang pemuda asal Palupuh, 20 Km dari Bukittinggi. 70 Tahun yang
silam bila berlibur ke Pasaman Talu di mana ayah saya jadi Demang, saya
berhenti sebentar di Palupuh melihat ikan-ikan keramat. Menurut pemuda itu,
kini ikan keramat tidak ada lagi. Dia datang ke Jam Gadang dengan bus
seorang diri. "Apakah mudah berkenalan dengan cewek-cewek
sini?" tanya saya. "Ada yang mudah didekati, ada yang tak mau" jawabnya.
"Kamu sudah bekerja?" Dijawabnya pasrah, "Menganggur, Pak".
Gadis remaja yang berduyun datang ke Jam Gadang, ada yang pakai celana
jeans, blus kaos ketat, berambut panjang tergerai. Ada yang menggengam HP
untuk berkirim SMS. Penampilan mereka trendy.
Tapi Ketua Bundo Kandung Sumbar Ny. Nur Anias Abizar mengatakan kepada
harian Singgalang, "Sebagian remaja Putri Minang kehilangan identitas. Tidak
jarang mereka sengaja mempertontonkan lekuk-lekak tubuh, malah bagian yang
terlarang seperti pusar dan lain sebagainya".
Saya coba mengamati apakah di antara remaja di Jam Gadang itu ada yang "fly"
alias teler akibat pengaruh narkoba. Karena remang-remang gelap tidak
kelihatan apa-apa. Tapi si Lindung supir kami bercerita tingkat pemakaian
narkoba di kalangan remaja Sumbar sudah masuk tingkat atas. Di samping itu,
tambah si Lindung, Sumbar yang dulu dibanggakan sebagai provinsi yang
peringkatnya tinggi dalam hal kemajuan pendidikan melalui huruf kini telah
merosot posisinya. Dalam ujian penghabisan siswa SMA tahun lalu banyak
pemuda Sumbar yang gagal. Ini bukan berita bagus bagi orang yang pulang
kampung.
Di Ngarai saya bercakap-cakap dengan beberapa pemuda yang sedang berdiri
dengan kios-kios barang untuk kaum turis. Seorang pemuda mengaku tamatan
Sekolah Teknik Menengah. Dia dari jurusan kayu, sudah bisa membikin perabot
rumah dan alat kelengkapan kantor. Dia telah berusaha melamar cari
pekerjaan. Sia-sia belaka.
"Kenapa tidak bikin perusahaan sendiri? Jadi swasta?" tanya saya. "Tidak ada
modal, Pak".
Di Pasar Atas seorang pedagang baju sulaman dan barang tekstil
memberitahukan "Kini susah manggalah". Itu artinya berdagang mandek.
Sebabnya daya beli tidak kuat. Lain halnya di Jakarta di mana kaum kelas
menengah ke atas mampu beli barang di toko swalayan, di mal, menciptakan
ekonomi yang digerakkan dan didorong oleh ekonomi.
Jusman SH bercerita di kampung-kampung kini banyak orang yang menganggur.
Harga hasil pertanian merosot.
Tapi orang masih bisa makan tiga kali sehari.
Sebabnya, karena orang merantau mengirim uang ke nagari-nagarinya untuk
membantu kehidupan keluarganya.
Tiap bulan Minang-kiau (Overseas Menangkabau) lewat wesel pos mengirim
bermiliar-miliar rupiah ke kampung
halamannya. Sumbar hidup dari "eknomi wesel pos".
Kendati hal yang saya dengar dan lihat kurang menggembirakan, namun Gubernur
Sumbar H. Zainal Bakar, SH dalam wawancara akhir tahun dengan koran Padang
Ekspres berkata, "Sumbar optimis hadapi tahun 2004.
PDRB kita baik, 4 persen. Ini data dari Badan Pusat Statistik. Tahun depan
memiliki prediksi ke arah 5 persen. Ini realistis. Angka kemiskinan dapat
ditekan dari 1,3 juta menjadi 400 ribu."
Toh keadaan Sumbar memprihatinkan. Tak usah jauh-jauh pakai riset
investigatif segala. Simak saja judul berita dalam pers Sumbar. Berikut
sekedar sample: 151 Kasus gizi buruk di Padang; Kasus buta huruf di Padang
cukup tinggi; 205.000 Hektar lahan rusak, petani Sumbar terancam miskin;
Pedagang kakilima di Pasar Inpres, dulu lai, kini pokok nan dimakannyo;
Kunjungan wisata turun drastis.
Belum disebut korupsi merebak ke mana-mana, meluas di kalangan angggota DPRD
I dan II yang mengkorupsi APBD.
Penjarahan uang negara dilakukan oleh sementara pejabat. Dulu saya
membanggakan Ranah Minang yang masyarakatnya bersifat egaliter, sama rasa
sama rata, demokratis. Kini saya malu mengungkapkan substansinya secara
detail.
Adakah prospek akan terwujudnya perbaikan ekonomi rakyat, akan terjadinya
perubahan sehingga etika dan moralitas, rule-of-law dapat ditegakkan setelah
Pemilu 2004? Sumbar tidak sunyi dari suasana pra-kampanye.
Pers lokal memberitakan: Tidak cukup Pemilu badunsanak, harus beradat dan
beretika - Caleg perempuan membentur tembok - Ancaman Golput - Jangan pilih
politikus haram.
Gejala Jakarta main polling-polling mengenai partai pilihan Anda juga sudah
sampai di Sumbar. Sebuah koran memuat hasil polls berdasarkan SMS yang
masuk, enam parpol banyak dukungan di Sumbar yakni: PK Sejahtera, PAN,
Golkar, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, PPP, Partai Perhimpunan
Indonesia Baru (PIB).
Seorang pemuda drop-out universitas, kini berusaha swasta, tanpa ditanya
memberitahukan kepada saya ketika ketemu dia di Jam Gadang "Saya akan pilih
PAN, Pak". Indra kepala cabang perusahaan besar di Padang menerangkan PK
Sejahtera tampaknya sedang populer.
Seorang pemuda ingin perbaikan ekonomi dan karena itu memilih partai yang
dipimpin oleh ekonom Dr. Sjahrir.
Kita lihat sajalah nanti apa jadinya. Yang jelas Sumbar pudar. Dan pulang
kampung aku pun sedih.

Penulis adalah wartawan senior


____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke