Dari Suara Muhammadiyah, sabagai bahan renungan
http://www.suaramuhammadiyah.or.id/documents/kolom.htm
 
Salam
Is, 34
www.cimbuak.com
#Kampuang Nan Jauah Dimato Dakek Di Jari#
 

Negeri 1001 Maling

Harwanto Dahlan

Semboyan “tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina” tampaknya telah mendapat saingan. Khusus untuk ilmu mencuri, mungkin Indonesia kini sudah selangkah di depan negara-negara lain dan siap menjadi daerah tujuan belajar. Bahkan kalau Irak disebut sebagai Negeri 1001 Malam, maka Indonesia bisa dijuluki Negeri 1001 Maling. Berbagai teknik mencuri telah diterapkan dengan sukses oleh orang-orang Indonesia. Contoh-contoh pencurian bisa diperoleh dari para eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Karena dihuni banyak pencuri, maka lembaga-lembaga tersebut bisa menjadi executhieves, legislathieves, dan judicathieves. Kisah-kisah 1001 Maling pun juga sangat menarik. Konon, kisah pencurian dimulai dari mencuri kekuasaan. Supersemar menjadi kisah ‘pencurian kekuasaan’ sangat elok yang sampai sekarang tetap belum terbongkar. Versi resmi menyatakan bahwa yang terjadi adalah peralihan kekuasaan secara sukarela, tidak seperti sebuah versi lain yang menyatakan di bawah todongan pistol. Tetapi bukti sukarela, khususnya secarik kertas yang banyak orang ingin melihatnya, raib tak diketahui di mana keberadaannya. Bahkan lembaga Arsip Nasional pun tidak menyimpannya. Di negara lain, sebuah dokumen yang tergolong sangat rahasia dijaga oleh pemerintah dengan sungguh-sungguh. Namun tetap ada batasan, misalnya setelah 25 tahun rakyat berhak mengetahuinya. Di negeri ini dokumen yang teramat sangat penting seperti Supersemar pun bisa raib!

Selanjutnya kisah pencurian harta. Adalah eksekutif yang juga memulai kisah-kisah fantastis pencurian harta. Menggunakan pola Ken Arok dan Keboijo—sebuah ungkapan untuk menggambarkan orang bodoh dan tidak berpengalaman—eksekutif memulai kisah spektakuler pertama dengan menjadikan Budiadji sebagai “keboijo” kasus korupsi 6 milyar rupiah di Dolog. Mungkin merasa tidak enak memakan bangsa sendiri, maka mereka kemudian meminjam tangan Edy Tansil yang sukses mengeruk Rp. 1,3 trilyun. Kisah ini juga menuai banyak pujian karena kemampuan eksekutif menghilangkan Edy Tansil. Mungkin kalau di-rating, kasus Tansil mendapat bintang empat. Dilibatkannya etnis Tionghoa dalam kasus-kasus pencurian kemudian semakin meningkat dengan kemudahan mendirikan bank, tidak dihukumnya mereka yang menggelapkan uang nasabah, sampai kemudian ditutup dengan kisah yang peringkatnya bintang lima yaitu BLBI.

“Kalau jaman Orde Baru yang pesta eksekutif, sekarang gantian dong,” adalah ungkapan yang mungkin pernah anda dengar ketika orang mulai mempertanyakan betapa legislatif juga sudah mulai cenderung menyimpang. Dan sinyalemen masyarakat tidak keliru ketika mereka menyaksikan lembaga perwakilan mereka bergeser menjadi legislathieves. Untuk menjadi “anggota dewan yang mulia” orang harus berbuat all out dan at all cost, alias dengan segala cara dan tak peduli berapa banyak biaya yang mesti dikeluarkan. Menggunakan ijazah palsu, melegalisasi ijazah di kelurahan, menyumbang partai dengan jumlah uang yang besar agar memperoleh “nomor peci”, adalah beberapa teknik pencurian yang tidak pernah berubah dalam perpolitikan di Indonesia. ltu saja baru proses menjadi caleg. Bagaimana kalau mereka nanti sudah menjadi anggota legislatif?

Sudah bukan rahasia lagi kalau para anggota dewan, baik di pusat maupun di daerah, adalah orang-orang yang sedang dimanjakan oleh keadaan. Bagaimana tidak? Mereka menentukan sendiri berapa besar anggaran mereka, termasuk di dalamnya tunjangan hadir sidang, fasilitas pribadi mulai dari mobil dinas sampai asuransi, kunjungan kerja dan studi banding—kalau perlu ke luar negeri, serta pesangon yang di Jogja mencapai sekitar seratus juta rupiah. Hebatnya, prestasi DPR/D sepertinya tidak berkorelasi positif dengan kontraprestasinya. Sebuah media nasional memuat daftar nama anggota DPR yang sering mangkir rapat. Juga sudah menjadi tontotan publik melalui televisi ketika para anggota dewan mengikuti sidang paripurna, banyak diantara mereka yang hanya diam, ngantuk, baca koran, terima atau kirim SMS, atau memang lebih suka membiarkan kursinya kosong. Luar biasa! Ini teknik pencurian yang sangat halus.

Masih banyak kisah lain yang tidak kalah spektakuler. Lihat saja dunia peradilan. Mulai dari kasus-kasus kecil suap-menyuap hakim sampai sekarang kasus pembebasan mereka-mereka yang terlibat dalam skandal perbankan. Dengan berbagai alasan, kita melihat mengapa si A dihukum sedang si B tidak. Mengapa kasus X didahulukan, kasus Y entah kapan dibicarakan. Bahkan kontradiksi itu juga menyangkut putusan. Di tingkat PN dihukum penjara, di PT justru dibebaskan karena bukan tindak pidana. Dan masih sederet kasus lain.

Masyarakat awam pun kemudian ikut-ikutan mencuri. Menempati tanah yang bukan haknya. PKL (Pedagang Kaki Lima) membangun kios di-atas tanah yang terlarang, dan mencuri hak pejalan kaki atau pengguna fasilitas umum lainnya. Para pedagang kecil juga melakukan berbagai hal yang tidak benar dengan banyak membubuhkan vetsin dalam makanan yang mereka jual, atau menggunakan bahan berbahaya seperti pewarna tekstil untuk mewarnai makanan, memakai zat pengawet mayat, dan duuhhh.... panjang daftar yang mengerikan lainnya.

Otonomi daerah juga memberi kesempatan yang lebih luas kepada siapapun untuk mencuri. Atas nama kerjasama dengan investor, kekayaan alam suatu daerah dijual—sesungguhnya dijarah—dengan harga yang sangat murah dan tidak jelas untuk siapa hasil penjualan itu. Penebangan liar, penambangan tanpa ijin, pencurian ikan di laut dengan menggunakan bendera Indonesia tetapi dilakukan oleh kapal dan nelayan asing, menambah lagi daftar kisah 1001 maling.

Kalau ditulis dengan kisah-kisah baru yang terjadi berupa pembobolan BNI yang bisa mencapai Rp. 1,7 trilyun, bank-bank lain yang ratusan milyar. Lengkaplah sudah negeri 1001 maling ini menghiasi buku dongeng yang akan menyaingi “kancil nyolong timun” (kancil mencuri ketimun).

____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke