assalamualaikaum,
untuk yg merasa imannya paling tebal, islamnya paling benar, aqidahnya paling kencang, nih ada yg menarik dari fokalunand. selamat merenung.... wassalam, --Gm ps. beberapa hari yg lalu saya nonton kehidupan komunitas monyet dari discovery channel. ternyata monyet termasuk makhluk yg sulit belajar, jadi enggak aneh jika menemukan kaca, mereka akan mabuk melihat bayangan sendiri. ----- Original Message ----- From: "nirijna" <[EMAIL PROTECTED]> To: <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Tuesday, April 06, 2004 10:57 AM Subject: [fokalunand] Fwd: ~JIL~ Re: Khotbah Jumat itu wajib? monkey --- In [EMAIL PROTECTED], "nirijna" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Salam buat MS Ochie. Trims atas tanggapan anda. Saya kira tak ada lompatan apapun di sini. Soal keimanan, hanya Allah yang punya kewenangan menilai. Kita hanya berlomba-lomba untuk mendapatkan penilaian terbaik dari-Nya. Bagi saya, siapa saja yang mengkaji Islam, menunjukkan proses ke arah keimanan. Monyet sekalipun, kalau dia menuju proses itu, pastilah dia monyet beriman. Apakah imannya tipis atau tebal, itu prerogatif Allah memutuskan. Soal banyaknya pemahaman dalam agama, saya kira sah-sah saja. Islam juga mengakui perbedaan pemahaman tersebut. Yg jadi masalah ketika seseorang 'memaksakan' apa yg dia pahami kepada orang lain. Apalagi dengan bahasa yg provokatif dan tak jarang memancing kebencian dan permusuhan. Orang yg benar2 beriman, menurut saya menjauhi hal-hal yang menjurus pada pertikaian, perdebatan omong kosong, kebencian dan permusuhan. Jadi sah-sah saja ada kasta2 pemahaman dalam agama karena prerogratif tertinggi tentang pemahaman itu ada pada Allah. Hanya Dia yang berhak memberikan hidayah kepada siapa saja yg Dia kehendaki, tentunya kepada orang2 yg Dia cintai, dan tentu pula setelah orang2 itu lebih dulu mencintai Dia. Logikanya begitu, menurut saya. Yg harus dijaga, jangan sampai perbedaan itu menjurus pada pertikaian, permusuhan dan kebencian. Kenapa saya menggunakan kata 'monyet' sebagai amsal? Itupun tak luput dari referensi Kitab Suci yang menceritakan tentang sekelompok kaum Yahudi yang meninggalkan shalat berjemaah karena nafkah --menggeser hari Jumat ke hari Sabbath (Sabtu). Akhirnya dikutuk menjadi monyet (orang bodoh). Saya berdoa semoga tidak ada anggota milis Islib ini yang dikutuk jadi monyet karena meninggalkan shalat jumat --hanya karena sang khatib tipe yg agak tulalit. Love Nirijna --- In [EMAIL PROTECTED], "ocHie" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Membaca posting Bung Nirijna ini kita akan menyadari di tataran mana kita > berkutat. > > Bung Nirijna telah melompati langkah keimanannya Bung Luthfi. Yang berarti, > dua langkah lebih jauh dari kutatan kewajiban shalat Jumat dan khotbahnya > yang kita obrolkan. > > Membicarakan kewajiban dan larangan, lingkupnya masih dalam tataran pertama. > Tataran pertama itu bagi saya adalah kulit luar, mulut atau otak. Bahasa > lain tataran ini adalah agama. Agama sarat dengan aturan dan batasan, pun > sarat dengan permasalahan. > > Tataran kedua, menurut saya, adalah hati yang berisikan keimanan dan > kemantapan. Keimanan dan kemantapan hanya bisa terwujud melalui dasar-dasar > aturan yang benar. Jika aturan-aturan dasarnya sudah tidak benar, maka yang > akan masuk ke hati adalah kebimbangan dan keraguan, selanjutnya, kenekatan > dan kengawuran. > > Tataran ketiga, menurut saya (meskipun urutan ini jelas bukan berangkat dari > kekosongan, saya hanya mengolah dengan resep sendiri), adalah pengamalan > atau praktek perbuatan. Bisa saja orang berbuat tanpa melalui tataran > pertama, alias tanpa aturan. Perbuatan yang semacam ini tentu saja kurang > relevan kalau dinilai benar-salahnya menurut aturan, tapi tindakan yang > semacam ini gampang dikalahkan dan tak jarang menimbulkan kekacauan. Bisa > saja orang berbuat ketika masih dalam tataran pertama. Akibatnya bisa > bermacam-macam. Ada yang kaku mengikuti aturan, ada yang bingung karena > banyaknya aturan yang, tak jarang, secara lahiriah tampak kontradiktif. > Kekacauan juga sulit dihindarkan dari praktek semacam ini. > > Kita sering mendengar kata "mengikuti nafsu" diucapkan. Begitu pula tak > jarang kita mendengar kata "mengikuti kata hati". Kedua perbuatan yang > diwakili oleh ungkapan-ungkapan tersebut masuk dalam kategori perbuatan > pertama yang saya sebutkan. Kita tidak bisa menerima orang yang berbuat > seenaknya terhadap diri kita karena mengikuti nafsunya. Kita tentu akan > membalas. Begitu pula, sebagaimana orang a`rabnya Bung Luthfi, seseorang tak > bisa dengan seenaknya mengatakan "saya beriman" sebelum mengetahui apa itu > keimanan, dan prasyarat apa yang diperlukan untuk membentuknya. Keimanan > hanya pantas diberikan untuk kebenaran. Dan tak mudah membedakan kebenaran > dengan kebatilan. Hanya orang yang mengetahui sesuatu dengan argumen yang > meyakinkan dan diterima oleh akalnya sajalah yang bisa mencapai keimanan. > > Perbuatan yang termasuk dalam tataran ketiga adalah perbuatan yang > sebelumnya didahului oleh rangkaian tataran di bawahnya. > > Dari sini saya menjadi bingung. Haruskah kita membuat fase-fase semacam itu > untuk diberikan ke khalayak, atau kita sampaikan semua dalam waktu serentak > dan untuk konsumsi semua lapisan?! Teori-teori ilmu balaghah telah > menjelaskannya. Cuma, bagaimana kita memilihnya? Kita memiliki kasta-kasta > pemahaman dan tingkat pengetahuan yang berbeda di lautan khalayak, di semua > tataran tingkatan. Dari semua kasta itu tumpah ruah menjadi satu ketika > misalnya pada hari Jumat. Padahal, siapa pun yang berdiri di mimbar Jumat > itu, ia akan menyampaikan ajaran menurut pilihan subyektifitasnya dan tentu > saja sesuai kedalaman atau kedangkalan ilmu yang ada padanya. > > > Salam, > > Shocheh Ha. > > > From: "nirijna" <[EMAIL PROTECTED]> > To: <[EMAIL PROTECTED]> > Sent: Monday, March 29, 2004 11:01 AM > Subject: ~JIL~ Re: Khotbah Jumat itu wajib? Alamak !!! > > > > Maaf..nimbrung > > > > Bagi Muslim awam, tahajud adalah shalat sunat. Tapi bagi yang > > memahami lebih mendalam, shalat tahajud nilainya justru lebih "wajib" > > dibanding shalat lima waktu. Setidaknya, itulah yang saya pahami > > sampai saat ini. > > > > Menurut saya, tidak satupun ibadah kepada YME itu yg wajib. Yang > > mewajibkan kita melakukannya adalah "tingkat kecintaan" kita kepada > > Dia. Semakin kita mencintai-Nya, semakin kita mewajibkan diri untuk > > melakukan ibadah yg kadangkala bagi orang lain hanyalah sunat dan > > makruh. > > > > Bila dalam 12 bulan seorang Muslim berkutat dengan kesenangan > > duniawi, apalah artinya meluangkan 1 (satu) bulan untuk menahan > > segala kesenangan itu. > > > > Begitu juga, bila selama 6 (enam) hari kita dibebaskan untuk memburu > > nafkah, apalah artinya meluangkan 1 (satu) hari untuk Zikrullah Yaum > > El Jumuah. > > > > Wajib atau tidak terpulang ke diri masing2. > > > > Love > > Nirijna --- End forwarded message --- / ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________