Title: Message
PEMBUKAAN:
Diskusi dibuka pada pukul 09.30 WIB oleh pembawa acara (Lusila Anjela Bodroani, SH) dengan ucapan selamat datang, pembacaan susunan acara dan pengantar sbb:

Di sini kita akan membahas atau mengkritisi suatu topik yang bagi kami menarik, karena ini menyangkut hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum manakah yang dianggap adil di Indonesia. Menurut Nonet dan Selznick, hukum yang memiliki keadilan yang substantif itu berarti hukum yang responsive artinya, hukum yang menjangkau perkembangan masyarakat dalam tataran sosiologi, philosofi, sejarah, dll., dan yang hukum itu dapat hidup walaupun sudah berlaku secara dogma. Hukum Islam sebagai salah satu hukum yang hidup di Indonesia tentu tidak terlepas dari suatu konteks. Manusia hidup dalam suatu konteks, diharapkan dapat hidup demi perkembangan hidup, tetapi tiap manusia memiliki pengalaman hidup yang berbeda-beda sehingga memiliki penafsiran yang berbeda-beda pula yang dihubungkan dengan spiritualitas masing-masing. Persoalannya adalah sejauhmana kita bisa memberi dan menerima sesuatu itu menjadi sesuatu yang berguna dan membangun kemaslahatan bersama. Diskusi ini akan menyangkut nilai perbedaan yang ada dengan thema seperti yang terpampang di atas, yaitu LIBERALISME ISLAM VIS A VIS KONSERVATISME ISLAM. Tetapi kita tidak akan membenturkan ke dua perbedaan itu melainkan untuk melihat bahwa perbedaan itu ada, dan itulah realitas. Sebenarnya yang paling pokok adalah mau kita bawa ke mana perbedaan itu, dan kini sudah hadir di tengah-tengah kita beberapa narasumber yaitu Novriantoni dari Jaringan Islam liberal, memang rencana dari panitia sebenarnya yang akan hadir adalah Ulil, tetapi karena ada kendala teknis dan yuridis yaitu karena beliau tidak diijinkan ke luar kota kaitannya dengan tulisan-tulisan yang dia buat beberapa saat di mass media. Yang kedua adalah M. Jadul Maula, dari LkiS, yang ketiga Bp. KH Santosa ketiganya akan mengajak kita berdiskusi dalam tataran wacana ilmiah.

Adapun Susunan Acara diskusi ini adalah sebagai berikut:

1. Pembukaan (sudah saya sampaikan)

2. Sambutan dari panitia yang akan disampaikan Sdr. Adib KH Zaman

3. Diskusi interaktif yang akan dipandu Sdr. Muslim Aisha.

Acara akan diakhiri pukul 13.00 WIB

SAMBUTAN PANITIA:
Sambutan disampaikan oleh Adib. Beberapa hal yang disampaikan dalam prakata adalah sbb: Ucapan terima kasih pada para narasumber yang telah hadir untuk mengisi diskusi tentang sebuah wacana yang akhir-akhir ini sedang ramai-ramainya dibicarakan, yaitu tentang rasionalisasi agama, rasionalisasi syariat, dll., yang akhirnya harus ada fatwa mati bagi para pencetus ide ini, tak lupa terima kasih kepada para hadirin atas partisipasinya pada diskusi kali ini. Kami (panitia) bersyukur karena pada akhirnya acara diskusi ini bisa terlaksana, sebetulnya kami hampir tidak diijinkan untuk menyelenggarakan diskusi ini, tetapi diskusi yang kami adakan ini hanya sederhana, yaitu untuk mendiskusikan sebuah wacana yang sedang berkembang. Namun akhirnya, kita juga nggak ngerti angin apakah yang membawa para narasumber kita yang hadir saat ini dari Jakarta, Yogyakarta dan Solo. Nanti kita akan bicara warna-warni dan aneka ragam pendapat yang ada di Indonesia ini. Dengan adanya acara ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua teman-teman yang terlibat dalam terselenggaranya acara ini. Harapan kami forum ini akan menjadi awal membuka wacana bahwa semakin lebarnya perbedaan yang ada di masyarakat Jepara yang konon katanya sangat sulit menerima berbedaan, dan semoga diskusi kali ini tidak akan terhenti begitu saja melainkan akan mungkin muncul diskusi-diskusi yang lain untuk kita saling membuka diri hingga tidak terjadi ke-aku-an dalam diri masing-masing. Sekali lagi terima kasih dan minta maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan selama diskusi ini, mohon maaf pula karena kami tidak bisa menghadirkan Sdr. Ulil karena ada kendala teknis dan diwakilkan kepada Sdr. Novriantoni. Yang kedua pembicara dari Lkis, Sdr. Jadul, dan pembicara ketiga yang rencananya dihadiri Bp. Farid pimpinan Ponpes Ngruki, tetapi digantikan Bp. Santosa. Yang keempat sebenarnya kita mengundang Bp. St. Sunardi, untuk melihat dari luar Islam sendiri karena wacana dari para narasumber kita semuanya dari Islam, tetapi beliau berhalangan hadir karena harus menghadiri pemakaman Bp. Th. Sumartana hari ini.

DISKUSI INTERAKTIF
Moderator : Muslim Aisha

Pembicara : 1. Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) Jakarta

2. Jadul dari Lembaga Kajian Islam & Sosial (LKiS) Yogyakarta

3. Drs. H. Santosa dari Ponpes Al Mu’min Ngruki Sukoharjo



Diskusi dimulai pukul 09.30

Muslim menyampaikan pengantar dan memperkenalkan para panelis.

Sebagaimana yang telah dipaparkan tadi inilah kehadiran para narasumber yang akan bersama-sama kita berdiskusi. Melihat judulnya sebenarnya cukup berat untuk kita bisa memahami apa itu liberalisme Islam, konservatisme Islam, tetapi kita akan coba diskusikan dengan lebih luas bersama para narasumber, yaitu:

Novriantoni, lahir tahun 1975, asli Riau, sekarang di Jl. Utan Kayu 68H Jakarta Timur (markas JIL), alumnus Gontor tahun 90/96, 96/97, alumni Al Azhar Kairo th. 97-2001 sekarang di pascasarjana UI jurusan Sosiologi th. 2001 hingga sekarang.

Bp. Santosa, lahir di Sukoharjo, 10 Februari 1945, Jl. RE. Martadinata 250 Solo, sekarang tinggal di belakang Kantor Radio Imanuel Surakarta, Alumnus SR, Gontor, PGAA, IAIN, UMII, organisasi: PII, IKPN, Pemuda Muhamadiyah, NU, LPBH NU Surakarta, Golkar, PKB, IFC, FSHKB, LKMD, MUI Jebres.

Muhammad Jadul Maula (Kang Jadul), lahir di Pekalongan, 3 September 1969, Rumah: Kota Gede Yogyakarta, Kantor: LKiS: Jl. Sorowajan, Yogyakarta, pendidikan: IAIN Sunan Kalijaga, Sanata Darma program religi dan budaya. Organisasi: Lembaga Kajian Islam dan Sosial Yogyakarta.


Sebagai pengantar:

Memang akhir-akhir ini menyeruak kembali wacana keIslaman yang sekarang ditandai dengan dua kecenderungan, untuk menyebut yang pertama adalah sebagian umat yang memahami Islam sebagai sebuah spirit kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang tidak segan-segan mencari formula baru terhadap apa yang dipahami oleh masyarakat. Mereka sering menyebut bahwa Islam harus di reinterpretasi ulang agar tidak ketinggalan jaman yang semakin mengglobal ini. Maka isu-isu seperti kebebasan, HAM, Lingkungan Hidup, kesetaraan Gender, dsb, yang kemudian menjadi isu utama oleh kelompok ini, Islam akan diterjemahkan menjadi konteks yang sekarang berkembang. Di sisi yang lain, ada kecenderungan sebagian umat Islam kita yang berpikir bagaimana negara kita ini bisa diberi suatu kebijakan yang sesuai dengan Islam atau bagaimana Islam diperjuangkan menjadi sebuah syariat di negara kita. Sementara itu Di sisi yang lain, ada fenomena keberagaman dalam kehidupan kita ini muncul suatu tudingan terhadap Islam: teroris, fundamentalis, dsb., oleh adanya beberapa kejadian yang luar biasa, baik yang terjadi di AS maupun di Indonesia (di Bali), yang kemudian “menggeret” perhatian dunia kepada dunia Islam bahwa ada watak pada agama Islam yang menjurus ke tindakan-tindakan yang anarkhis yang lalu disebut terorisme.

Bagaimana sesungguhnya sorotan dunia terhadap gambaran seperti ini. Ok, kita akan dengarkan dari para narasumber, saya kira akan dengan arif dan bijaksana memaparkan gagasannya.


Panelis I: Novriantoni (Jaringan Islam Liberal)

Saya merasa kecil diri, berhadapan dengan Kang Jadul yang mestinya Ulil yang ada di sini. Dan tentu harapan dari para hadirin di sini adalah berjumpa dg Ulil, tetapi karena akhir-akhir ini banyak sekali undangan kepada Ulil yang agak berbentuk pertanggungjawaban dari gagasan-gagasan Ulil yang dimuat di Koran, baik itu berbentuk diskusi maupun mencari bahan untuk tambahan pemberatannya di Pengadilan nanti, dan itu selalu dilayani oleh beliau. Sedangkan tugas saya di sini bertambah berat karena mewakili orang yang kapasitasnya lebih besar dari saya. Kedua, saya agak kurang paham dengan apa yang dimaui dalam diskusi ini, apa yang diminta tentang liberalisme Islam vis a vis konservatisme Islam ini.

Dalam beberapa hari ini, saya membaca di beberapa media Arab, ada sebuah kecenderungan saat ini di dunia-dunia Arab; Pertama, di Iran, saat ini ada kabar yang agak konyol: mulai dari kaum perempuan yang diperbolehkan jadi suporter sepakbola, dalam revolusi Iran th 1979, itu tidak diperbolehkan, alasannya agak lucu juga jika ini benar, yaitu karena meningkatnya kebrutalan supporter sepakbola di sana. Jadi karena kebrutalan supporter sepakbola yang adalah laki-laki itu, akan menjadi berkurang brutalnya kalau supporternya adalah perempuan. Tapi jika berita itu benar, saya kira akan ada implikasi-implikasi lain lagi tentunya. Kedua, Putra mahkota Arab Saudi (Amir Abdullah) mengatakan bahwa negara Arab perlu mengadakan reformasi sistem politik, agar ada asas keterbukaan dan perlu ada partisipasi publik yang lebih luas. Di pers-pers Arab, sekarang ini berkembang sebuah teka-teki: apakah ini hanyalah sebuah isu politik yang tidak relevan, karena selama ini Arab Saudi menjadi negara yang sangat tidak terbuka secara politik dan partisipasi publik bisa dikatakan nihil, yang ada hanya keputusan-keputusan elit, keputusan-keputusan keluarga kerajaan. Bagaimana ide itu muncul dari sebuah rejim yang nota bene mereka adalah orang-orang yang banyak melecehkan partisipasi publik. Fenomena yg lain, di Arab juga muncul tuntutan-tuntutan atas kekebasan publik yang lebih luas lagi (civil liberty), seperti misalnya perempuan tidak boleh menyetir mobil, KTP perempuan mengikuti suami, keluar rumah harus ijin suami, itu semua syariat, artinya konstruksi dari hukum fikih Islam yang selama ini sering didengung-dengungkan orang agar diperbaharui. Sebenarnya baru dua kasus ini yang saya soroti. Selain itu juga kasus mullah-mullah Islam yang selama ini malu menunjukkan identitasnya sebagai mullah karena para pemuda Iran yang meningkat brutalitasnya dan protesnya terhadap para mullah, yang mereka sinyalir sebagai orang yang mestinya paling bertanggung jawab terhadap bobroknya system perekonomian dan politik di negaranya. Kita tahu misal adanya kasus Hasyim Agari, seorang Iran yang mengkritik habis-habisan system politik yang dimunculkan para mullah, politik yang sangat-sangat bergandengan dengan agama yang berarti sangat kritis, sehingga Hasyim menyatakan bahwa ketaatan kepada system politik ini seakan menjadi keataatan terhadap agama itu sendiri, sehingga ketika kita mengkritik system politik maka kita dianggap mengkritik agama itu sendiri. Statement Agari saat itu: hanya monyet yang akan mau mengikuti aturan-aturan begitu saja tanpa mau mendiskusikan itu.

Dari beberapa kasus itu, sekiranya pemberitaan itu benar, maka kita dapat menyimpulkan bahwa di beberapa negara yang saat ini meningkat kecenderungan Islamismenya, negara-negara yang sudah menerapkan syariat Islam dalam negaranya, ternyata menginginkan adanya semacam kelonggaran yang lebih, menuntut adanya civil liberties yang lebih professional kepada masyarakatnya. Fenomena ini berbalikan dengan fenomena di negara yang belum menerapkan syariat Islam di negaranya. Indonesia misalnya, Indonesia sebenarnya berpengalaman karena beberapa perundang-undangan kita itu kan sangat Islam, seperti pernikahan, dsb. Fenomena di Indonesia pasca reformasi adalah wacana Islamisme, di mana berkembang isu-isu Islam, adanya wacana ttg negara Islam, kekilafahan universal, ada semacam wacana bahwa negara Islam dipahami sebagai negara yang tersusun atas keyakinan umat-umatnya/keyakinan rakyatnya.

Akhirnya saya teringat dg buku Abdul Karim seorang Iran yang terbit di misan: tantangan umat beragama saat ini jauh lebih berat daripada tantangan umat beragama pada fase-fase sebelumnya.

Bahkan beberapa pakar menyebutkan bahwasanya Islam adalah agama sebelum abad industri, Setelah abad industri Islam menjadi semakin tidak relevan, karena ada tantangan yg lebih besar yang dihadapi oleh para pemikir agama sejak jaman revivalisme agama, misalnya pada jamannya Jamaludin Al afghani, permasalahan pokoknya adalah bagaimana memposisikan agama dalam struktur social politik dan budaya yang sudah sama sekali berbeda dengan struktur social politik dan budaya pada jaman nabi atau jaman di mana umat Islam berada di bawah payung yang bernama filafah Islamiah. Ini problem serius. Umat Islam pernah bermasalah dengan nasionalisme. Bagaimana menghadapi dan menyikapi nasionalisme, saat ini Islam berhadapan dengan ketidak adilan global. Bagaimana memposisikan agama? Sebuah Teori yg menarik dari Abdul Karim adalah teori Albqodulwaba… (yaitu teori penyempitan dan pelapangan dalam ilmu agama) menyatakan secara tegas adanya pembedaan antara agama dg ilmu agama atau interpretasi terhadap agama. Teori ini juga menginginkan agar kita membedakan antara nilai-nilai konstan di dalam agama,nilai-nilai fundamental, juga nilai-nilai yang ada di dalam agama, atau kalau di Indonesia bagaimana melihat nilai-nilai keberagamaan yang substantif dan yang formalistic. Walaupun keduanya akan selalu tumpang tindih.

Dalam makalah saya, saya memberikan sebuah kritik terhadap fenomena tentang Islamisme yang sedang berkembang di indonesia. Saya ambil definisi dari Pusat penelitian Islam dan masyarakat. Islamisme adalah sebuah paham yg mengatakan bahwa Islam mampu mengatur banyak hal mampu mengatur kehidupan social dan politik dalam konteks kenegaraan. Banyak permasalahan yang muncul dan muncul kontradiksi misalnya kita ingin agar agama ikut berperan dalam pembangunan, dalam pemberdayaan masyarakat, dalam kebijakan politik, dalam perkembangan sosial masyarakat. Sementara, ada kutub lain yang menginginkan agama sangat riskan ketika agama sudah memainkan peran-peran publik, ketika agama sudah memainkan pengaruhnya terhadap kebijakan-kebijakan publik, terhadap kebijakan-kebijakan kenegaraan, maka akan muncul semacam totalitarianisme agama dalam bungkus agama itu sendiri. Akhirnya dari sinilah muncul pemikiran apakah agama itu perlu dipisahkan dari politik, atau agama perlu berkolaborasi dengan system politik untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat, kesejahteraan dan lain sebagainya. Abdulah An Naim, Hasan Hanafi, dan banyak tokoh lain berpendapat bahwa agama Islam adalah agama yang sekularistik (wataknya), argumen-argumennya selalu merunjuk kepada nabi sebagaimana orang yang menolak Islam sebagai agama yang sekularistik, juga menggunakan argumen-argumen yang historic pada jaman nabi. Argumen-argumen itu sama-sama kuat, misalnya orang-orang yang mengatakan bahwa Islam itu sekularistik, mengatakan bahwa dalam sunah nabi dulu, nabi sangat tegas membedakan mana wilayah-wilayah di mana para sahabat nabi saat itu tidak boleh membantah di mana itu adalah wahyu dari Tuhan, dan itu menjadi sebuah legislasi hukum yang harus ditaati umat, dan wilayah-wilayah di mana bisa bernegosiasi dengan nabi tentang bagaimana baiknya menghadapi sebuah problem kehidupan. Yang kita tahu selama ini dalam kajian-kajian keIslaman, yang namanya sunah nabi itu yang popular hanya ada 3: sunah dalam bentuk ucapan, dalam bentuk perilaku, dan dalam bentuk ketetapan-ketetapannya. Tapi Muhamad Imaroh mengatakan bahwa ada satu bentuk sunah nabi yang semestinya juga diketahui dan bisa dibedakan oleh umat Islam. Sunah ini menyangkut apakah perilaku nabi itu akan berimplikasi terhadap legislasi hukum Islam atau tidak? Sunah tasriiyah = perilaku nabi yang nantinya punya implikasi hukum (hukum agama). Sunah yang tidak termasuk kategori sunah legislasi hukum misalnya hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari nabi yang merupakan hajat primer ttg kehidupan kita seperti makan, minum, mandi, pakaian, dll. Inilah yang tidak termasuk sunah tasriiyah.

Dan kita tahu hadits itu banyak menunjukkan tentang apa yang dilakukan oleh nabi. Problem yang kita hadapi sekarang ini adalah sebuah pertanyaan: apakah ketika nabi melakukan sebuah perbuatan kita harus mengikutinya secara harafiah atau tidak? Tentu akan ada kategorisasi. Ketika nabi memakai jubah, nabi berjenggot, sementara orang di Indonesia jarang memakai jenggot, jadi apakah di Indonesia itu menjadi sebuah keharusan? Kalau di Thaliban, itu harus. Lalu setelah jatuhnya rejim Thaliban, pemuda di sana mulai ramai-ramai mencukur jenggotnya, karena mereka merasa lebih ganteng. Saya pernah bertemu di Saudi Arabia, di sana orang-orang berjenggot dan itu menunjukkan muka-muka orang berperang, apakah seperti itu yang diinginkan nabi? Sementara kelompok Islamisme menganggap itu sebagai keteladanan yang berarti sekali bagi mereka. Itulah sebabnya Ulil Ab’dala menggagas bahwa kita perlu membeda-bedakan antara nilai-nilai fundamental Islam yang bisa diberlakukan untuk konteks ruang dan waktu yang berjalan, beragam-ragam, berubah-ubah dengan nilai-nilai situasional, particular dan local. Pembedaan-pembedaan seperti ini termasuk pemikiran-pemikiran keagamaan. Apa salah kita berpikir seperti ini? Islam akan berhadapan dengan modernitas, globalisasi, modernisasi, dsb. Banyak sekali permasalahan kita ketika harus hidup dalam jaman modern. Maka tidak heran jika seorang pemikir Mesir bernama Zakinah bin Mahmud, menulis buku, yang berjudul tentang nilai-nilai legasi Islam. Ia menulis ada kira-kria 2 fase respon umat Islam terhadap dunia yang sudah berubah ini.

Fase pertama, adalah keterkejutan. mereka merasa sangat terbelakang, tertinggal, miskin, sementara yang lain sangat maju, kaya, berkembang sewaktu-waktu bisa menyerang mereka dengan alat perang yang canggih sementara mereka hanya bisa berdoa, dsb. Lalu muncul adanya gagasan tentang perlunya reformasi pemikiran Islam. Beberapa pelajar Islam disekolahkan ke barat. Akhirnya mereka punya pengetahuan Islam yang memadai sekaligus bisa melihat apa kelebihan-kelebihan, kekurangan-kekurangan peradaban-peradaban lain “yang jauh meninggalkan peradaban Islam ketika itu”. Oleh karena itu muncul gagasan-gagasan untuk reformasi ajaran-ajaran keagamaan bahkan reformasi agama itu sendiri bagi mereka. Karena agama disinyalir akan berperan dalam memundurkan umat ataupun mengeluarkan umat dari kemunduran. Bayangkan saja ketika kita harus menggunakan hukum yg sudah ketinggalan jaman, yang tidak sesuai dengan konteks, apakah sesuai dengan kehidupan masyarakat yang sudah berubah sedemikian rupa. Permasalahanannya memang agak rumit, bagaimana mendamaikan antara apa yg disebut Ulil sebagai ke”baka”an hukum-hukum/nilai-nilai fundamental Islam yang sifatnya transhistoris dengan nilai-nilai yang sifatnya particular-lokal tadi?

Jadi permasalahan-permasalahan tadi terjadi pada fase “ketercengangan”, saat ini ada trend lain, di mana umat Islam mengalami fase kepercayaan diri yang begitu tinggi (melonjak-lonjak) sehingga merasa cukup. Islam cukup bagi kita. Ada kecenderungan seperti begini jika anda berbicara masalah struktur ekonomi, social, budaya, politik dengan menggunakan metodologi-metodologi “pinjaman”, kita akan dikatakan sekuler, dikatakan barat, dikatakan tidak Islami. Sementara apa yang disebut metodologi Tuhan, hukum tuhan, dsb., Itu yang ditantang Ulil dalam kolom tulisannya dia mengatakan tidak ada hukum Tuhan. Dia kemukakan antitesisnya, karena sekalipun ada hukum Tuhan, Hukum-hukum tersebut adalah hukum-hukum fundamental yang nantinya akan diterjemahkan menurut Kemampuan akal manusia dan proses negosiasi antar manusia juga. Ada hal-hal yang tidak disadari oleh kelompok-kelompok Islamisme misalnya, betapa banyak hukum-hukum dalam Alquran yang tidak bisa diterapkan di jaman sekarang. Ulama Fikih mengatakan itu tidak bisa diterapkan, dan tidak bisa dilaksanakan secara temporal. Misalnya, teks Alquran bicara ttg adanya pembagian kewargaan negara berdasarkan keyakinan agama, sampai masa kesultanan Islam Turki Usmani, pada penghujungnya Usmani akan mengamandemen hukum Tuhan itu, sampai mereka akhirnya menerima kewarganegaraan bukan lagi atas dasar agama dan keyakinan tetapi atas dasar wilayah pemukiman. Teks-teks dalam Alquran ada yang bicara tentang ahli lilmi dengan ahli Islam masyarakat protektorat yang harus diproteksi umat Islam dalam sebuah negara yang mayoritas muslim dan Moslem itu sendiri.

Umat Islam selalu mengatakan mereka bukan second class dalam masyarakat, tapi sekarang ini, konotasinya selalu second class. Dalam kehidupan negara bangsa “(nation state) di mana sebuah negara telah terbentuk atas dasar kesepakatan, kesamaan nasib, keseperjuangan dalam mewujudkan sebuah bangsa, akhirnya konsep-konsep lama ttg kenegaraan sekalipun ada dalam teks itu, akhirnya berbenturan dg realitas sejarah. Bagaimana menyikapi mermasalahan seperti begini? Di sini harus ada interpretasi ulang atau kita akan memaksakan di mana hukum Tuhan harus berjalan? Saya kira kalau kita paksakan akan kembali pada masa kemunduran. Permasalahan menjadi sangat rumit ketika kita berhadapan dengan kenyataan-kenyataan social, budaya dan politik sekarang yang sudah amat jauh berbeda dengan kenyataan social, budaya, politik umat Islam dulu. Dan tentunya kita sekarang membutuhkan semacam mekanisme ataupun kondisi yang lebih memungkinkan kita untuk mengadakan diskusi-diskusi dan dialog-dialog yang lebih terbuka dan bebas untuk memperdebatkan wacana-wacana keagamaan yang amata sensitive sekalipun. Kran-kran dialog dan wacana itu harus kita pertahankan agar kita tidak kembali lagi menerima apa adanya apa-apa yang mungkin dalam perspektif orang tertentu hukum Tuhan. Take it or leave it (ambill semuanya atau tinggalkan semuanya), dalam perspektif Islamisme. Dalam perspektif kita, harus mendapatkan penafsiran-penafsiran ulang, dan pada hakekatnya teks-teks keagamaan itu tidak berbunyi sendiri, dia diam, yang membicarakannya adalah manusia (memusabaqoh tilawatil, melantunkan, mengucapkan, membaca, dst) tetapi menafsirkan teks-teks yang Illahi itu adalah proses yang dilakukan manusia. Ketika manusia yang menafsirkan itu punya kecenderungan konservatifisme, punya kecenderungan yang berlebihan untuk mengunci dari kebebasan sipil yang kurang, maka pembacaannya akan menjadi sangat ketat. Ketika Teks itu pertama kali datang kepada nabi Muhamad dan dibaca, maka sebenarnya teks itu telah memanusia, sudah merasuk dalam proses penafsiran manusia. Jadi ada problem di dalam penafsiran teks alquran sekarang. (pukul 10.22)

Moderator
Menarik sekali tadi apa yang disampikan oleh mas Novri, intinya adalah memberikan kritik terhadap kecendrungan prilaku Islamesme yang jika dibahasan dengan agak bercanda kira-kira begini: kalau Islam dianggap jawaban, lantas pertanyaannya apa. Baik kita akan masih mendengarkan lagi pemaparan bapak Santoso, sekali lagi, beliau adalah teman dari ustadz Baasyir, dan menurut informasi yang saya terima merupakan salah satu pendiri ponpes Al mukmin Ngruki solo.

                                                                                                  
                                                                                                       ooo000ooo
____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke