Dialog Ulil
Abshar-Abdalla dan H.M. Nur Abdurrahman Tanggal dimuat:
30/6/2003 Artikel Ulil
Abshar-Abdalla (UAA), Koordinator Jaringan Islam Liberal, di harian Kompas 18
November 2002 berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, ternyata
berbuntut panjang. Pada awalnya artikel kontroversial tersebut memantik diskusi
yang hangat. Akan tetapi, proses diskusi publik yang sehat itu tiba-tiba
"dimatikan" oleh adanya fatwa mati yang diputuskan Forum Ulama Umat Islam
(Bandung) terhadap Ulil Abshar-Abdalla. Berikut ini salah satu intisari
perdebatan yang positif sejak publikasi artikel Ulil Abshar-Abdalla. Perdebatan
tersebut melibatkan penulis dengan H.M. Nur Abdurrahman (HMNA), Wakil Ketua
Majelis Syura Komite Persiapan Penegakan Syari'at Islam (KPPSI)
Sulsel. Artikel Ulil Abshar-Abdalla
(UAA), Koordinator Jaringan Islam Liberal, di harian Kompas 18 November 2002
berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam", menjadi topik diskusi hangat,
juga di milis-milis internet. Satu tanggapan keras datang dari H.M. Nur
Abdurrahman (HMNA), Wakil Ketua Majelis Syura Komite Persiapan Penegakan
Syari'at Islam (KPPSI) Sulsel, ketika mengomentari bagian pernyataan Ulil dalam
artikel Kompas: "Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang
merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak," dapat dilihat misalnya di
milis [EMAIL PROTECTED],
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/15860 atau milis
[EMAIL PROTECTED],
http://groups.yahoo.com/group/sabili/message/38782. Selanjutnya kedua belah pihak
melakukan korespondensi via email antara tanggal 14-24 Desember 2002 berdialog
seputar ajaran Islam, wahyu, akal dan kultur Arab. Setelah diskusi berakhir,
HMNA mengirimkan berkas diskusi ini kepada saya (DWS) dan mengijinkan saya
memublikasikannya di beberapa milis. Saya juga mendapatkan ijin dari UAA untuk
publikasi ini. Selain itu untuk mempermudah
mengikuti diskusi email-email korespondensi disusun secara kronologis. Tidak ada
penyuntingan lebih dari itu. Ada kemungkinan dialog masih berlanjut. Mengenai
tanggapan dan penjelasan lebih lanjut dapat berhubungan langsung dengan
pihak-pihak yang berdialog. Semoga
bermanfaat. Ulil Abshar-Abdalla (UAA): Sent: Saturday, December 14, 2002 11:59 PM Subject: Wahyu itu non-hisoris dan hitoris sekaligus! Pak Nur yang
baik, Semula saya enggan menanggapi
posting-posting anda, karena nadanya yang memperlihatkan seolah-olah andalah
pemegang kebenaran mutlak, dan menempatkan saya sebagai pihak yang sudah pasti
salah (ini sangat tidak sesuai dengan "adabul khilaf" yang dikenal dalam tradisi
pemikiran Islam klasik); juga kata-kata "kasar" yang anda pakai membuat saya
agak sedikit ogah-ogahan untuk membuat tanggapan balik. Pelan-pelan anda mulai
menggunakan bahasa yang sopan, sehingga saya mulai percaya bahwa anda
menghendaki suatu "mujadalah billati hiya ahsan". Islam itu agama rahmat, jadi
jangan dibuat seram dan menakutkan, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar
Ba'asyir dan kawan-kawannya itu (anda setuju dia?). Saya hendak mencicil dengan
menanggapi sedikit demi sedikit keberatan anda pada pemikiran saya. Pokok soal
yang anda ulang-ulang terus adalah bahwa pernyataan saya tentang adanya pengaruh
kultur Arab dalam ajaran Islam anda anggap sebagai penghinaan atas Allah. Saya
tidak tahu, dari mana anda berkesimpulan seperti itu. Kalau saya tidak setuju
dengan pendapat seseorang mengenai Islam, saya tidak akan mengatakan bahwa orang
itu telah menghina Allah; sebab, siapakah yang tahu kehendak Allah secara
persis. Kalau saya tidak sepakat dengan pendapat anda dalam hal "pengaruh
kebudayaan Arab dalam ajaran Islam," dan kemudian karena itu anda mengatakan
bahwa saya telah menghina Allah, maka yang terjadi adalah: seolah-olah anda
mengetahui dengan persis kehendak Allah; lebih celaka lagi, seolah-olah anda mau
meletakkan pendapat anda setara dengan "Tuhan" itu sendiri, sehingga orang-orang
yang berlawanan dengan pendapat anda sama dengan melawan Allah. Cara berargumen
yang sehat adalah: jika anda tak setuju dengan penafsiran seseorang atas Islam,
kemukakan kritik dan argumentasi anda, tetapi tidak usah menuduh bahwa lawan
diskusi anda, misalnya, telah keluar dari "manhaj" Islam, telah menghina Allah,
menghina Rasul, menghina Islam. Kalau mau jujur, saya mau katakan: bukan melawan
Allah, tetapi melawan pendapat anda sendiri. Dan janganlah "GR" bahwa pendapat
anda adalah mewakili seluruh kebenaran Islam. Anda mengatakan bahwa, "Budaya
bersumber dari akar yang historis, sedangkan wahyu sumbernya non-historis yaitu
Allah SWT." Oke, itu adalah pemahaman anda, bukan gambaran dari kebenaran Islam
itu sendiri. Saya tak tahu, dari mana anda mempunyai kesimpulan seperti itu.
Pandangan seperti itu meletakkan seolah-olah antara "budaya" dan "wahyu" adalah
saling bertentangan. Sumber wahyu memang "non-historis", tetapi ketika Allah
hendak berbicara dengan manusia melalui Rasul-Nya, maka Allah menggunakan
peralatan yang "historis" untuk bisa menyampaikan pesan kepada manusia. Qur'an
sendiri berfirman, "wa likullin ja'alna minkum syir'atan wa minhaja,"
masing-masing umat suatu rasul diberikan syari'at dan "manhaj" yang sesuai
dengan kondisi sosial mereka masing-masing. Artinya, wahyu dan firman Tuhan
mewujudkan diri melalui bahasa budaya lokal. Itulah sebabnya, Qur'an turun
secara "tadarruj", gradual, karena Allah tidak bisa mengabaikan begitu saja
konteks historis yang ada. Bagaimana mungkin Allah yang "non-historis" berbicara
dengan manusia yang "historis" kalau tidak menggunakan piranti-piranti kultural
yang historis. Contoh kongkret: karena Qur'an turun di tanah Arab, maka dengan
sendirinya wahyu Allah turun dengan menggunakan piranti kultural yang historis,
yaitu bahasa Arab, "Inna anzalnahu qur'anan 'arabyyan la'allaku ta'qilun".
Karena Qur'an turun dalam bahasa Arab, maka struktur linguistik Arab jelas
mempegaruhi ajaran Islam itu sendiri. Kalau anda mengikuti studi-studi
linguistik modern (karena studi ini berkembang di Barat, mungkin anda tak mau
terima ya? Barat kan "kafir"), maka dengan jelas diperlihatkan bahwa
sesungguhnya bahasa bukan sekadar deretan kalimat, tetapi juga "pandangan
dunia". Jadi, karena wahyu Islam turun dalam bahasa Arab, maka "pandangan dunia"
orang Arab jelas mempengaruhi ajaran Islam. Dengan mengatakan ini, saya tidak
sedang menghina Allah. Di mana menghinanya? Kalau Allah menggunakan bahasa Arab
(sesuatu "yang historis") untuk berkomunikasi dengan orang Arab, apakah Allah
menghina dirinya sendiri? Pendapat anda bahkan tidak pernah saya temukan dalam
tradisi kajian hukum Islam klasik yang paling konservatif pun. Di kalangan juris
Islam, pengaruh budaya atas ajaran Islam itu diakui sebagai sesuatu yang absah.
Itulah sebabnya ada diktum "al 'adah muhakkamah", adat masyarakat bisa dijadikan
sumber hukum Islam. Artinya: hukum Islam itu dipengaruhi oleh kultur setempat.
Apanya yang salah dengan fakta semacam ini. Contoh anda tentang "fil", gajah,
dan unta sangat superfisial dan tidak relevan, juga tidak jelas arahnya ke
mana. Anda juga mengatakan, "Artinya
menurut uaa-jil-kiuk ==> "Ada wahyu yang dipengaruhi kultur Arab", itu sudah
menghina Allah SWT. Artinya juga ==> uaa bervisi "Al Quran tidak murni
terdiri atas wahyu, sebab ada sebahagian yang dipengaruhi kultur Arab. Artinya
==> uaa telah mendustakan Nabi Muhammad SAW. ==> uua telah melebihi ghulam
ahmad, nabi palsu dari India itu. Sebab ? Ghulam Ahmad walaupun mengaku menerima
wahyu, masih mengakui bahwa Al-Quran itu murni dari wahyu."
Sekali lagi, kalau saya berbeda
pandangan dengan anda, anda tidak usah menempatkan diri sejajar dengan Nabi
Muhammad, sehingga berlawanan dengan pendapat anda sama dengan mendustakan Nabi.
Kalau wahyu tidak dipengaruhi oleh budaya lokal, kenapa setiap datang nabi baru,
sebagian ajaran nabi sebelumnya dibatalkan? Alasannya jelas: setiap nabi membawa
wahyu yang sesuai dengan kondisi historis yang dihadapinya; wahyu, dengan
demikian, dikondisikan oleh konteks yang historis. Wahyu ada "dalam" sejarah
manusia, bukan di "luar" sejarah manusia. Anda akan mengatakan bahwa Qur'an
adalah wahyu terakhir, sehingga hukum-hukumnya tidak akan mungkin dibatalkan
oleh ajaran lain; sebab setelah Qur'an tidak ada wahyu lagi. Saya setuju bahwa
Qur'an adalah wahyu terakhir; tetapi apa sih yang disebut dengan "hukum Qur'an"
itu? Osamah ben Laden, meniru Hasan Al Banna, melontarkan semboyan yang ditiru
oleh pengikutnya Abu Bakar Ba'asyir di sini, "Al Qur'an dusturuna," Qur'an
adalah undang-undang kami, konstitusi kami. Itulah landasan orang-orang yang
ingin menegakkan syari'at Islam. Apa sih yang disebut hukum Qur'an itu? Qur'an
memang panduan dan "guide" bagi kehidupan umat Islam (hudan lin nas), tetapi dia
bukan kitab hukum. Teks-teks Qur'an bisa ditafsirkan secara berbeda-beda oleh
para ulama dan sarjana. Ambil contoh: apakah bunga bank itu adalah "riba"
seperti yang dimaksud oleh Qur'an, dan kerana itu haram? Ayatnya memang jelas,
"wa ahallahul bai'a wa harramar riba." Tetapi "riba" didefinisikan secara
berbeda-beda oleh ulama, sehingga status bunga bank-pun diperselisihkan. Kalau
ada hukum Qur'an dalam soal bunga bank, maka pertanyaannya: manakah pendapat
yang paling sesuai dengan hukum Qur'an, pendapat yang menghalalkan atau
mengharamkan. Apakah orang yang menghalalkan bunga bank adalah menghina Qur'an,
Allah, dan Nabi? Soal riba ini juga memperlihatkan bahwa sebetulnya wahyu Qur'an
itu sangat dipengaruhi oleh budaya Arab setempat. Sebab, istilah "riba" itu
memang sudah ada dalam masyarakat Arab saat itu; pengertian mengenai "riba"
seperti disebut Qur'an juga merujuk kepada bagaimana istilah itu dimengerti oleh
masyarakat Arab. Karena pengertian "riba" dalam Qur'an terkait dengan
penggunaannya dalam masyarakat Arab maka para ulama modern berbeda pendapat:
apakah bunga bank termasuk dalam pengertian "riba" dalam Qur'an itu.
Contoh lain: penggambaran sorga
dalam Qur'an jelas sekali dipengaruhi oleh "ekspektasi" yang khas Arab terhadap
apa yang disebut dengan "jannah" atau kebun (surga). Qur'an menggambarkan sorga
sebagai "mengalir di bawahnya sungai-sungai". Dalam surah Al Ghasyiyah
dikatakan, "fiha 'ainun jariyah, fiha sururun marfu'ah, wa akwabun maudlu'ah, wa
namariqu mashfufah, wa zarabiyyu mabtsutsah ...". Surga dalam surah Al Ghasyuyah
ini persis seperti bayangan orang-orang Arab mengenai istana raja-raja yang
mereka kenal pada saat itu. Apakah sorga seperti itu? Kalau anda berpandangan
literalistik, dan beranggapan bahwa surga ya seperti digambarkan Qur'an itu,
maka surga semacam itu hanyalah surganya orang Arab. Kalau anda mengatakan: ya
itu kan ilustrasi saja agar orang Arab paham, maka anda telah menempuh suatu
metode penafsiran yang dalam tradisi tasawwuf disebut "ta'wil", yaitu memahami
kalimat bukan berdasarkan makana lahiriahnya, tetapi berdasarkan esensi
"esoterik" (bathin)-nya. Metode "ta'wil" inilah yang saya pakai untuk memahami
ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum pidana dan yang lain. Menurut saya:
qishash, rajam, dan lain-lain itu adalah cara menerjemahkan nilai dasar Islam
tentang "perlindungan nyawa dan keturunan" yang merupakan bagian dari "al
kulliyyatul khamsah" dalam cara yang sesuai dengan kultur Arab saat itu. Qishash
tidak wajib kita ikuti, yang wajib kita ikuti adalah nilai esensial yang ada di
baliknya. Umat Islam diwajibkan untuk berijtihad untuk mencari kerangka
kelembagaan agar nilai esensial tentang "perlindungan nyawa" itu bisa terwujud
dalam kehidupan yang kongkret. Itulah ta'wil. Dan janganlah anda kalau tak
seutuju dengan pendapat ini langsung mengecapnya sebagai "menghina Allah".
Kalau saya mau meradikalkan
pendapat saya, maka saya akan mengatakan: bahwa wahyu tidak bisa tidak kecuali
dipengaruhi oleh budaya setempat. Sebab wahyu sebagai "kehendak" Allah harus
memakai "baju" yang kongkret, yaitu kultur masyarakat yang ada. Kalau wahyu
adalah sepenuhnya "non-historis', maka dia akan seperti "hantu" yang
melayang-layang tanpa tubuh (Ini tamsil saja Pak, jangan "diambil hati" lalu
anda simpulkan lagi sebagai menghina Allah dan Qur'an; jangan mudah beranggapan
begitu ah....ndak baik). Jadi, struktur wahyu itu adalah begini:
Pesan universal (seperti
tersimpan dalam "Loh Mahfudz") --> Kultur setempat (sebagai "baju") = wahyu
Kita hanya diwajibkan untuk
mengikuti pesan universalnya, bukan "baju" tempat pesan itu menemukan wadahnya.
Jadi, bukan qishash atau rajam atau jilbab yang wajib diikuti, tetapi
nilai-nilai yang ada di baliknya. Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan
kedalam kehidupan kongkret, itu terserah kepada ijtihad manusia.
Salam, |
____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________