Konsistensi dan Nasionalisme Amien Rais Oleh Hasanudin Bagi sebagaian orang, saat ini mungkin adalah saat paling sepi dalam karir politik Amien Rais. Setelah perolehan suara PAN pada pemilu legislatif lalu jauh dari yang diharapkan, Amien harus berjalan sendiri dalam upayanya menuju kursi kepresidenan. Satu-satunya yang masih setia bersamanya adalah Muhammadiyah. Itupun hanya secara formal, karena dukungan Muhammadiyah tidak otomatis berarti bahwa suara warganya akan disumbangkan ke Amien.
Posisi Amien memang serba tanggung kalau kita pandang sosoknya dengan kacamata dikotomi nasionalis-Islam. Bagi kalangan Islam Amien adalah sosok yang mengecewakan. Banyak kalangan Islam yang merasa telah ditinggalkan, bahkan terluka dengan sepak terjang Amien di pentas politik nasional. Ini terutama karena sikapnya yang secara tegas tidak mendukung perjuangan menegakkan syariat Islam sebagai hukum negara. Ini ditambah lagi dengan sikapnya soal ucapan selamat Natal, serta kehadirannya dalam berbagai perayaan keagamaan umat lain. Karena itu Amien dianggap telah meninggalkan habitatnya, yaitu umat Islam, demi merangkul kelompok nasionalis. Padahal dukungan yang berhasil diraih dari kelompok nasionalis juga tidak seberapa. Artinya, eksperimen Amien untuk mejadi seorang nasionalis-pluralis telah gagal karena bagi kalangan nasionalis sosok Amien tetaplah sosok yang mewakili Islam, bahkan terkadang dianggap mewakili kalangan fundamentalis. Sulit disangkal bahwa langkah Amien untuk "menjadi nasionalis" ini adalah sebuah langkah yang kontroversial. Bagi kalangan Islam hal ini menimbulkan pertanyaan, terutama karena Amien bisa dengan mudah meraup dukungan yang memadai bila dia konsisten berada di tengah habitatnya. Sementara itu bagi kalangan nasionalis, terutama non-muslim, langkah ini dipandang sebagai sebuah kepura-puraan. Sedikit yang menyadari bahwa kedua cara pandang itu keliru. Amien tidak sedang berkekspreimen untuk menjadi nasionalis. Dia [sejak awal] adalah seorang nasionalis. Kebetulan saja dia dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah. Pada isu negara [syariat] Islam misalnya, tidak ada yang baru dalam sikap Amien. Jauh sebelum dia menjadi politisi, dia sudah berulang-ulang menekankan bahwa konsep negara Islam itu tidak ada. Karenanya kalau ada yang menganggap atau berharap bahwa Amien berniat mendirikan negara Islam, ini adalah sebuah anggapan/harapan yang keliru. Pada masa awal karir politiknya Amien sempat dekat dengan dua partai Islam, yaitu PPP dan PBB [yang waktu itu belum terbentuk]. Tapi Amien akhirnya memilih untuk mendirikan PAN. "Baju Islam terlalu sempit bagi saya", begitu katanya waktu itu. Padahal PPP ketika itu tergolong sebuah kekuatan politik yang cukup besar dan mapan, dan cukup Amien punya peluang untuk menempati posisi puncak karena Hamzah Haz tidak terlalu popular saat itu. Pada Sidang Umum MPR 1999 Amien sempat "terperosok" dari jalur nasionalisnya ketika dia memotori Poros Tengah. Tapi perlu diingat bahwa Poros Tengah tidak mencalonkan Amien, pun tidak mencalonkan tokoh Islam yang lain. Yang dicalonkan adalah Abdurrahman Wahid, seorang nasionalis-pluralis yang -seperti juga Amien- kebetulan dibesarkan di sebuah komunitas organisasi Islam. Dari tinjauan ini sebenarnya dengan Poros Tengah pun Amien tetap konsisten dengan sikap nasionalisnya. Sekarang Amien nekat maju mencalonkan diri sebagai presiden dengan berbekal suara PAN. Dia tidak sedikitpun terlihat membuat penawaran politik ke partai-partai Islam, terutama ke PPP yang perolehan suaranya pada pemilu legislatif lalu cukup besar. Sikap ini banyak disesalkan di kalangan Islam. Terlebih ketika Amien memilih Siswono Yudohusodo sebagai pendampingnya. Bagi sebagian kalangan Islam Siswono tidak sekedar seorang nasionalis, tapi juga musuh. Karenanya banyak masukan yang datang sebelum pencalonan Siswono secara resmi dideklarasikan, yang pada intinya menentang pilihan Amien ini. Tapi, entah bagaimana perhitungannya Amien tak bergeming. Dia tetap memilih Siswono tanpa mempertimbangkan bahwa dia akan ditinggalkan oleh lebih banyak lagi pemilih Islam. Ada yang menyebut bahwa pilihan ini didasarkan pada kekayaan Siswono yang cukup besar untuk mendukung kampanye nanti. Tapi ini jelas mengada-ada mengingat Siswono tak mungkin akan menghabiskan seluruh kekayaannya yang sebesar Rp 85 milyar itu untuk keperluan kampanye. Artinya, dana sebesar yang akan disetor Siswono sebenarnya juga tidak terlalu sulit diraih kalau Amien memilih pendamping lain dari kalangan Islam, misalnya. Dengan demikian, satu-satunya alasan logis pemilihan Siswono adalah karena kerbersihannya. Ini semakin menegaskan konsistensi Amien pada nasionalisme sekaligus pada kebersihan. Amien sepertinya sedang menghindari dagang sapi politik, terutama dengan PPP dan PBB. Kalau ada yang hendak disebut sedang meninggalkan habitatnya maka paling layak mendapat kehormatan itu dalah kedua partai ini, terutama pemimpinnya. PBB misalnya tak segan-segan bergabung mendukung SBY dengan melupakan janji-janji partai ini soal penegakan syariat Islam kepada pemilihnya. Sementara PPP akhirnya memilih menampilkan calon sendiri setelah praktek jual diri Hamzah Haz tidak menarik selera Megawati. Amien sepertinya sedang mencoba untuk menghindar dari kelompok-kelompok oportunis seperti PPP dan PBB. Dia pada akhirnya hanya akan menjual diri dia sendiri, beserta konsistensinya dalam hal nasionalisme dan kebersihan, untuk ditawarkan kepada pemilih. Dan selebihnya dia akan bertaruh dengan menjual program. Ini jelas sebuah pertaruhan besar. Dengan pilihan ini Amien secara sadar telah menempatkan dirinya pada posisi underdog. Dengan suara PAN Amien hanya punya modal awal sebesar 6%. Padahal dibutuhkan setidaknya 30% suara untuk bisa secara aman maju ke putaran kedua. Artinya Amien harus mampu menjual citra dan program untuk meraih sisa suara yang dibutuhkan. Dengan karakter pemilih kita yang sebagian besar irrasional, peluang Amien sebenarnya nyaris tertutup. Tentu aneh bila seorang pakar ilmu politik melupakan kalkulasi politik seperti ini. Kalau kita kesampingkan kemungkinan bahwa Amien sedang frustrasi, tak lain bahwa Amien sebenarnya sedang menegaskan kembali kepada kita tentang siapa dirinya. Bahwa dia seorang nasionalis, dan bahwa dia menjunjung tinggi kebersihan. Lebih dari itu dia sedang menunjukkan bahwa dia berpolitik untuk kepentingan bangsa, bukan semata-mata demi meraih kekuasaan. Terlebih lagi, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Bila demikian adanya maka tak penting benar apakah Amien akan terpilih atau tidak sebagai presiden. Kalau pemilihan presiden kali ini adalah ujung dari karier politik Amien, maka dia akan mengakhiri karisnya dengan khusnul khatimah. Dia adalah sedikit dari politisi kita yang mampu melakukan hal itu. Penulis adalah , dosen Universitas Tanjungpura, Pontianak, visiting researcher pada Kumamoto University, Jepang, dan mantan aktivis Jama'ah Shalahuddin UGM. ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________