Dunsanak sadonyo, ado tulisan menarik ttg almarhum Hamid Jabar , 
penyair kelahiran kotogadang , yg meninggal beberapa saat yg lalu , 
ditulis oleh penyair awak lain nyo , Taufik Ismail.

hm
-----------------------

Memahami Jarak dan Aroma Ajal

HAMID Jabbar, 55 tahun, wafat ketika sedang baca puisi di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN), Ciputat, Sabtu malam, 23.00, 
29
Mei 2004, di depan mahasiswa, dosen, dan tamu yang memadati aula dalam
acara dies natalis perguruan tinggi itu. Dua larik puisi terbarunya 
itu
dibaca dari layar Communicator 9210i, berbunyi: 

Walaupun Indonesia menangis/ 
mari kita tetap menyanyi//

Besoknya, Abdurrahman Faiz menulis puisi berjudul "Berpuisi Sampai
Mati", mengenang kejadian itu. Faiz, berumur 8 tahun, murid kelas II
baru naik ke kelas III SD. Sebaya cucu Hamid, Faiz (mungkin) penyair
termuda di Indonesia, yang sudah menerbitkan buku puisinya, Untuk 
Bunda
dan Dunia (Januari 2004), dan buku keduanya akan terbit pula akhir 
tahun
ini.

// Malam itu
/ di atas sebuah panggung
/ dengan ratusan penonton di hadapan/
kau bacakan puisi terakhir/ lalu kau tiba-tiba rebah/ 
sambil tersenyum/
orang ramai/ 
bertepuk tangan menyoraki/ 
tapi kau tak bangun lagi/ 
tak akan pernah bangun kembali
/ Seperti tak ada
/ yang memahami jarak dan aroma ajal/ 
sedekat engkau//

Malam itu Jamal D. Rahman, Ketua Redaksi Horison, bersama Prof. Franz
Magnis
Suseno orasi, Hamid orasi dan baca puisi, Jamal baca puisi, Putu 
Wijaya
baca cerpen, dan Franky Sahilatua menyanyi di UIN. Pada pukul 23.15
Jamal menelepon Ati, istri saya, menangis memberitahu bahwa "Bang 
Hamid
sudah tidak ada."

Kami berdua segera berangkat ke Ciputat. Pekarangan poliklinik UIN di
seberang kampus penuh dengan mahasiswa, suasana malam hening, semuanya
tepekur dan diam. Hamid dibaringkan di atas tempat tidur beroda,
diselimuti, rahang dibebat dan mata terpicing.

Pada saat tersebut, Hamid sangat paham "jarak dan aroma ajal" itu.
Dengan ajal dia sudah tak berjarak lagi dan bagaimana aromanya, sudah
penuh dihirupnya. Saya belum. Kami, seperti semua orang di klinik UIN
Ciputat, saat itu masih terguncang keras oleh kepergian Hamid yang
sangat tiba-tiba. Padahal sebelumnya isyarat sudah sampai, yang 
tentulah
tidak seluruhnya terbaca. Dalam perjalanannya ke Kalimantan Tengah dan
Timur, untuk acara dan survei Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya tahun
kelima ini, tanda-tanda sebenarnya sudah membayang.

Bercerita tentang perjalanan surveinya ke Kalimantan Timur, 17-28 Mei,
ke kota Balikpapan, Tanjung Redeb, Tarakan, Nunukan, Bontang dan
Samarinda, ketika menyebut Balikpapan dia selalu kepleset, keliru,
tertukar dengan Pontianak. "Balikpapan kan artinya kuburan," kata 
Hamid.

Aktor Iman Soleh bercerita, ketika 13-14 April di Palangkaraya, 
bersama
Rendra di sebuah rumah makan di tepi sungai, Hamid sakit, napasnya
tersengal-sengal dan dia bilang, "Ini bukan serangan jantung. Ini
diabetes. Jangan khawatirkan kesehatanku." Kemudian katanya,
"Cita-citaku, kalau tidak mati di depan Ka'bah di Makkah, ya mati di
atas panggung," sambil ketawa-ketawa. Selanjutnya Hamid bilang: "Ini
penting!" Iman Soleh tak paham apa yang dimaksud Hamid penting itu.
Allah Yang Maha Pemurah mengabulkan cita-cita penting penyair ini, 
cepat
sekali, cuma 45 hari kemudian.

Sesudah salat subuh, nomor HP Hamid di HP Iman Soleh terhapus. Dalam 
SMS
Iman yang diteruskan kepada saya mengenai misteri nomor telepon raib
itu, dia menyebut, "Wah, ada jiwa di balik nomor HP-nya."

Di kamar hotel Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, 21 April, penyair 
Cecep
Samsul Hari ketika mengobrol berdua, Hamid berulang-ulang membicarakan
maut. Sesudah capek bicara dua jam, "Kami turun ke kafe hotel dan
bernyanyi dan menari disaksikan penyair Jamal T. Suryanata dan Elki."

***

Hamid Jabbar periang, ekspresif, lincah bagai bola bekel, tegur-
sapanya
sejati, mudah bergaul dengan semua orang. Dia tidak suka dan tak 
pernah
saya dengar bergunjing, tidak hobi memperkatakan kejelekan orang lain.
Hamid tidak pemarah, dan cepat meminta maaf. Bila mendengar musik,
badannya tidak akan tahan diam, senantiasa bergoyang, kedua tangannya
naik melambai-lambai seperti hutan tangan kerumunan anak muda dalam
konser musik pop dan kepalanya akan bergerak ke kiri dan ke kanan.

Hamid sangat musikal. Entah mana yang lebih dulu: puisinya yang 
musikal
dengan permainan bunyi kata yang khas Hamid, atau memang sejak 
kecilnya
dia sudah senantiasa bersenandung-berdendang dalam bahasa Minang di
kampung kelahiran Koto Gadang. Saya rasa yang kedua ini yang jadi mata
air bagi puisi Hamid. Dia pembaca puisi papan atas Indonesia, sangat
komunikatif dan belakangan sering memakai musik sebagai latar 
belakang,
baik pop maupun jazz.

Sejak 1972, dia sudah mulai menulis puisi di berbagai media, dan 
hingga
wafatnya sudah berjumlah ratusan. Dalam rentang seperempat abad, 143
sajak pilihannya dikumpulkannya dalam Super Hilang, terbitan Balai
Pustaka (1998). Dia mengatakan bahwa dia berguru kepada Sutardji 
Calzoum
Bachri di Bandung.

Empat puisi Hamid yang penting dan khas dia adalah "Assalamu'alaikum 
I",
"Indonesiaku", "Homo Homini Lupus", dan "Proklamasi, 2". Kecuali puisi
keempat, semua puisinya "berakar dari pengungkaian total akan
(permainan) bunyi," demikian catatan Cecep Samsul Hari. Rima dalam
"Indonesiaku" maksimal digarap Hamid. Tipografi dibuatnya kacau, yang
memperkuat "kekacauan dan nasib bangsa Indonesia yang juga
berliku-liku". Dalam "Homo Homini Lupus", unsur pengulangan bunyi
"plakplakplakplak" menyedapkan pendengaran.


Secara politis Hamid pun sensitif, yang tampak jelas 
dalam "Proklamasi,
2", yang sempat dicekal di bawah rezim Orde Baru, "Indonesiaku" dan
banyak lagi yang lain. "Assalamu'alaikum I" contoh puisinya dengan 
rasa
religiusitas dan kesalehan yang dalam.

Hamid menulis enam buku puisi, biografi dan skenario, dua buku tentang
Pertamina dan El Nusa (bersama Taufiq Ismail), dan editor enam 
antologi
Horison Sastra Indonesia dan Horison Esai Indonesia. Keenam antologi
ini, sejalan dengan SBSB, sebanyak 36.000 eksemplar telah masuk ke 
4.500
perpustakaan SMU dan sekolah sederajat di Indonesia melalui bantuan
Yayasan Ford.

Kumpulan puisi terpenting Hamid adalah Super Hilang, yang pada tahun
1998 mendapat dua penghargaan, yaitu buku puisi terbaik dari Yayasan
Buku Utama dan dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan dan 
Kebudayaan.
Penyair ini pernah mewakili Indonesia dalam pertemuan/baca puisi di
Singapura, Malaysia, Mesir, dan
Bulgaria.

Ketika masih bersekolah, Hamid aktif dalam Kesatuan Aksi Pelajar
Indonesia (KAPI) Sukabumi dan Bandung. Kemudian dia pernah bekerja
sebagai mandor perkebunan di Sukabumi Selatan, kepala gudang Panca 
Niaga
Padang, wartawan di Bandung, Padang, dan Kuala Lumpur, asisten manajer
keuangan perusahaan swasta, redaktur penerbitan Balai Pustaka,
Sekretaris Dewan Kesenian Jakarta (1993-1996), dan terakhir redaktur
senior majalah sastra Horison.

Kemampuannya mengonsep ide dan mengatur pelaksanaan program merupakan
kelebihan Hamid dari rata-rata sastrawan rekannya. Sejak 1996, dia 
salah
seorang konseptor dari Enam Gerakan Sastra Horison, yaitu pembuatan
sisipan "Kakilangit" di Horison, lampiran khusus sastra yang bisa
dipakai langsung di kelas 4.500 SMA seluruh Indonesia. Kedua, 
pelatihan
guru bahasa dan sastra dalam membaca, menulis karangan dan apresiasi
sastra (MMAS, yang dilaksanakan di 11 kota Indonesia dan sudah melatih
kl 1.800 guru). Ketiga, acara sastrawan berdialog dengan siswa SMA,
Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB). Keempat, sastrawan berdialog
dengan mahasiswa, Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca (SBMM), di 12
universitas. Kelima, lomba menulis esai dan cerpen untuk guru bahasa 
dan
sastra (LMKS-LMCP), diikuti kurang lebih 400 guru setiap tahunnya.
Keenam, Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) di 11 kota Indonesia.
Tiga dari program di atas dibantu Ford, dan dua dari Depdiknas.

Acara favorit Hamid adalah SBSB. Dulu program ini akan diberi nama
Sastra Masuk Sekolah. Hamid mengeritik, karena mirip ABRI Masuk Desa.
Berubahlah, dan Hamid menciptakan nama Sastrawan Bicara Siswa 
Bertanya.
Begitu disebut, langsung ketahuan bentuknya. SBSB sudah masuk tahun
kelima (sejak 2000), menjalani seluruh provinsi (kecuali Aceh, Ambon 
dan
Papua, karena alasan keamanan), dan sekarang sedang berlangsung di
Kalimantan.

Sekembali Hamid survei di Kalimantan Timur (17-28 Mei), mendarat di
Cengkareng Jumat siang, dia menelepon Ati mau langsung datang sorenya 
ke
Rumah Horison untuk rapat laporan survei, tapi Ati menolak.
"Istirahatlah dulu, Mid. Hari Senin 31 Mei saja kita rapat." Sabtu
malam, Hamid beristirahat untuk selama-lamanya. Innalillahi wa inna
ilayhi raaji'uun.

Semoga Anis, ibu kedua anaknya Mutia dan Lillah, kedua menantu dan dua
cucunya, ikhlas ditinggalkan Hamid. Mudah-mudahan kegiatan Hamid
diterima sebagai ibadah oleh Yang Maha Pencipta, dan diampuni
kesalahan-kekhilafannya. Amin.

Demikianlah, maka Hamid tak akan hadir di acara penutupan SBSB
Kalimantan Sabtu, 11 September 2004, di Balikpapan. Pada waktu itu 
SBSB
telah menjalani 26 provinsi, 133 kota, 205 SMA, dihadiri (sekitar)
92.000 siswa dan guru, didatangi sekitar 90 sastrawan. Kita akan
merindukan Hamid. Paling kurang 100 SMA telah didatanginya dan 50.000
siswa dan guru telah mendengarkan langsung pembacaan puisi
"Assalamu'alaikum", lalu "Indonesiaku" dengan melagu bersama, dan
"Proklamasi, 2" yang selalu mendapat tepukan tangan sangat meriah. 
Siswa
akan mengenangnya selalu karena dalam baca puisi dia juga menyanyi dan
terkadang berjoget, dalam berdiskusi senantiasa hangat dan edukatif,
geraknya lincah bagai bola bekel, karena rambutnya putih pernah
dipanggil kakek atau eyang, dan tersebab postur badan serta matanya
mirip, disebut Habibie.

Selamat jalan, Mid, selamat beristirahat, tak perlu kau pikirkan lagi
Indonesia yang banyak rambu-rambu ini.

Taufiq Ismail
Penyair

[Seni, GATRA, Edisi 30 Beredar Jumat 4 Juni 2004]


____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke