http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0406/12/fokus/1075444.htm
Sabtu, 12 Juni 2004 "Revolusi" Itu Mulai Menyala di Padang BARANGKALI tidak ada kata yang tepat untuk melawan korupsi di negeri ini selain revolusi! Ini mengingat di era reformasi yang amanahnya membersihkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, praktik haram itu justru makin merajalela, terutama pascaotonomi daerah. Jika pejabat Orde Baru butuh waktu satu dasawarsa dari 32 tahun rezim Soeharto untuk kaya dari hasil korupsi, di era reformasi ini pejabat negara, aparat hukum/birokrasi, atau politisi bermasalah di legislatif hanya butuh tiga tahun agar bisa hidup mewah dari hasil korupsi. "Kalau mau kaya, jadilah politisi," ungkap Mochamad Basuki menuturkan pengalamannya selama ia menjabat sebagai Ketua DPRD Surabaya beberapa waktu lalu. REPUBLIK ini nyaris hancur digerogoti para penjarah baik yang bercokol di eksekutif maupun legislatif. Virus korupsi juga makin mewabah di lingkungan yudikatif sehingga bangsa ini bingung harus dengan cara apalagi perbuatan melawan hukum yang merusak sendi-sendi ekonomi, sosial, dan politik itu diperangi. Pemberantasan korupsi yang dilakonkan para pelaksana hukum mirip dagelan. Jaksa Agung MA Rachman yang seharusnya menjadi panutan dalam menegakkan hukum di negeri ini malah menimbulkan kontroversi. "Di mana pun di dunia, jika Jaksa Agung berstatus tertuduh, harus dinonaktifkan, bukan dipecat karena belum terbukti bersalah. Sebab, tanpa berbuat apa pun, posisinya sebagai Jaksa Agung sudah menghalangi pemeriksaan," ujar HS Dillon, Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia. Tidak jelasnya penyelesaian kasus ini menandakan bahwa pemerintah tidak serius dalam memberantas KKN. Padahal, pemerintah harus melaksanakan Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Akhirnya negara yang kaya raya, gemah ripah loh jinawi, ini masuk ke dalam kelompok negara paling korup dengan masa depan yang gelap. Akan tetapi, di tengah kegelapan itu muncul "revolusi" dari Sumatera Barat. Pengadilan Negeri (PN) Padang pertengahan Mei lalu memvonis tiga unsur pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumbar, H Arwan Kasri (Ketua), Ny Hj Hasmerti Oktini alias Titi Nazif Lubuk (Wakil Ketua), dan H Masfar Rasyid (Wakil Ketua), masing-masing 27 bulan penjara dan denda Rp 100 juta atau subsider dua bulan. Mereka terbukti melakukan tindak pidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2002 sebesar Rp 6,48 miliar. Dalam persidangan lain yang melibatkan 40 anggota DPRD sebagai terdakwa, majelis hakim memvonis hukuman penjara (bagi mereka semua) masing-masing 24 bulan dan denda Rp 100 juta atau subsider dua bulan penjara serta mengembalikan uang negara sebanyak yang mereka korupsi, masing-masing berkisar Rp 64 juta sampai Rp 120 juta. Seluruh anggota DPRD Sumbar oleh majelis hakim dinilai terbukti memperbesar pendapatan dari yang seharusnya dengan memasukkan anggaran sekretariat DPRD menjadi penghasilan tetap anggota DPRD. Penambahan penghasilan anggota DPRD di luar mata anggaran yang mencapai Rp 11 miliar lebih itu berasal dari tunjangan kehormatan, panitia musyawarah, panitia khusus, uang bensin, rumah dinas, dan polis asuransi. Sebelum Padang, sebetulnya sudah ada upaya penegakan hukum di lingkungan legislatif daerah, tetapi masih sporadis. Misalnya vonis terhadap Ketua DPRD Surabaya Mochamad Basuki. Namun, setelah "revolusi" Padang menyala, pengungkapan kasus korupsi di legislatif terus bermunculan di daerah lainnya. Selain Sumbar, Kota Padang sendiri, dan Kota Payakumbuh, api "revolusi" menyala di Kabupaten Garut (Jawa Barat), Pontianak (Kalimantan Barat), Bandar Lampung, dan Banda Aceh. Malah beberapa orang sudah mendekam di penjara, seperti Ketua DPRD Kota Payakumbuh Chin Star dan Ketua DPRD Kota Banda Aceh M Amin Said. Penegak hukum tidak ragu lagi bahwa telah terjadi penyalahgunaan APBD oleh politisi bermasalah yang menamakan dirinya wakil rakyat. SEANDAINYA peristiwa ini terjadi di Republik Rakyat China dalam kepemimpinan perdana menterinya, Zhu Rongji, barangkali semua anggota DPRD Sumbar sudah dihukum mati. Zhu Rongji terkenal setelah memesan 100 peti mati, satu di antaranya untuk dia sendiri dan 99 lainnya bagi pejabat pemerintah yang terbukti korupsi. Dengan tindakannya, dia berhasil membawa China menjadi negara paling aman dalam berinvestasi. Kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dilakukan para anggota DPRD Sumbar tidak hanya merugikan rakyat Sumbar dan merusak citra pejabat wakil rakyat, tetapi juga telah merecoki tatanan hukum negeri ini. Mereka telah menyebarkan virus korupsi ke semua daerah dan membuat para penegak hukum kehilangan pijakan setelah mereka mengajukan uji materi (judicial review) terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Setelah Mahkamah Agung mengabulkan uji materi, tidak ada lagi rambu-rambu untuk kontrol publik terhadap sepak terjang para wakil rakyat di legislatif. "Anggaran biaya operasional itu bisa dipakai untuk apa saja. Mau dipakai bayar rumah atau apa, terserah, sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota Dewan," demikian komentar Wakil Ketua DPRD Sumatera Selatan Zamzami Ahmad enteng. Ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo menegaskan, pembatalan PP No 110/2000 yang secara substansi mendorong good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) justru mendorong penyalahgunaan wewenang legislatif dalam menyusun anggaran. Semestinya anggota dewan menyadari peran dan batasan bertindak sehingga tidak berpandangan masa jabatan sebagai momentum untuk mengeruk uang. Kedudukan sebagai anggota dewan bukan berarti bisa bebas mengajukan anggaran sekehendak hati. Apalagi setelah pembatalan PP itu, para anggota DPRD seolah bebas bertindak mengajukan anggaran tanpa batasan normatif melampaui kewajaran. PP No 110/2000 secara substantif masuk akal, tetapi karena alasan yuridis formal langsung dimentahkan hanya demi memenuhi asas lex inferiori derogat lex inferior atau produk hukum yang berkedudukan lebih kuat mengalahkan ketentuan hukum yang lebih rendah. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 memberikan keleluasaan pengajuan anggaran sehingga kedua produk hukum ini saling bertentangan. Akhirnya terjadilah rangkaian kegiatan korupsi di sejumlah DPRD di seluruh Indonesia. Tindak lanjut terhadap kasus korupsi DPRD seharusnya berwujud hukuman keras karena mereka termasuk pejabat publik yang seharusnya menjadi panutan. Sekarang, apakah hakim mau mengimplementasikan hukum terhadap kasus korupsi pejabat publik secara tegas. Aturan yang ada mengatur hukuman maksimal hingga pidana mati dengan pertimbangan negara berada pada keadaan krisis. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa sehingga memerlukan upaya ekstra atau nonkonvensional. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), peradilan in absentia, dan pembuktian terbalik harus berlangsung secara maksimal. Seandainya dalam penanganan kasus korupsi tercium adanya pelanggaran oleh penegak hukum, KPK harus langsung bertindak. Sejauh ini belum terdengar aparat penegak hukum yang diperiksa KPK karena penyimpangan dalam penanganan kasus korupsi. Sambil memeriksa aparat, jika ditemukan bukti baru, tentu saja para koruptor itu harus segera diperiksa kembali. MEREBAKNYA korupsi di DPRD sangat menyedihkan karena ini terjadi di era otonomi daerah yang seharusnya membawa locus decision making lebih dekat dengan rakyat. "Dengan kedekatan itu diharapkan membuat keputusan benar-benar berpihak kepada rakyat," ujar HS Dillon. Namun, desentralisasi ini dibuat terburu-buru ketika pusat sedang kolaps sehingga seakan-akan melimpahkan ketidakmampuan pusat kepada daerah. Idealnya, desentralisasi didesain dan dibuat ketika pusat sedang kuat. Kerawanan dalam penerapan otonomi daerah saat ini karena tidak dilakukan bertahap dengan memperhitungkan kapasitas daerah. Selain itu, provinsi dibuat tidak berdaya, padahal provinsi sepatutnya mengevaluasi dan memonitor pelaksanaan di daerah di bawahnya. KKN berkembang dan terus meluas ke daerah karena adanya impunitas atau kekebalan hukum. Impunitas terbesar pada Soeharto. Sekitar enam bulan setelah Soeharto jatuh sempat terasa ada ketertiban karena orang takut. Tetapi lewat masa itu Soeharto tidak terbukti dan tidak bisa disentuh, muncul kekecewaan besar. Akibatnya, mengutip pendapat Hasyim Muzadi, setiap orang jadi punya insentif untuk hidup dengan uang haram. Tidak diberikan insentif untuk hidup halal. Ini juga merupakan kegagalan para pemuka agama. Semua orang yang korupsi itu tidak bertuhan karena mereka pada dasarnya berlaku seperti orang yang tidak percaya pada hari kiamat. Kecurangan itu pada dasarnya dikarenakan keinginan para pejabat untuk hidup mewah. Sebagai warisan sikap feodal, rakyat terbiasa memberi upeti dan mendukung pejabat hidup mewah. Itulah sebabnya, kolonialis Belanda bisa menjajah Indonesia dengan jumlah sumber daya manusia yang sebenarnya relatif sedikit. Karena itu, yang ada hingga saat ini adalah kawula, bukan warga negara. Desentralisasi juga semakin mempertegas bukti bahwa bangsa ini belum terbentuk. Negeri ini menjadi semacam soft state. Di negara "lunak" semacam itu, kerangka berpikir orang tidak bisa melintasi diri, kerabat, keluarga, kelompok, dan mengidentifikasi dirinya dengan bangsa. Di berbagai daerah, istilah "putra daerah" yang makin ramai seiring maraknya otonomi membuktikan hal itu. Pada dasarnya itu bukan perkara memperjuangkan putra daerah, tetapi mengejar jabatan. Wewenang itu tidak dimanfaatkan dengan rasa "sebangsa". Sentralisasi di era Orde Baru mengakibatkan terjadinya pembangunan tidak merata. Ini yang menjadi akar korupsi. Penyebab lainnya adalah terus-menerus terjadi impunitas hingga hari ini; tidak ada koruptor atau hakim yang menyeleweng yang dihukum. "Belajarlah dari Korea Selatan yang bisa mengadili dan menghukum mantan presiden dan jenderal-jenderal," kata Dillon menyarankan. Untuk itu butuh pemimpin yang mencintai rakyat. Dengan begitu, penegakan hukum bukan atas dasar dendam, tetapi cinta kepada rakyat. Bangsa ini tidak hanya butuh reformasi, tetapi butuh "revolusi" seperti yang dilakukan Sumatera Barat. Jika "api revolusi" ini terus memanasi hati nurani para penegak hukum di seantero negeri, niscaya bangsa ini akan segera bangkit kembali. Bukankah republik ini terkenal dengan ketidakpastian hukumnya. (ong/day/dmu) http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0406/12/fokus/1076871.htm Sabtu, 12 Juni 2004 Di Balik Kebanggaan Meloloskan "Judicial Review" SEBAGAI salah satu pijakan penyusunan anggaran belanja dan anggaran sekretariat tahun 2002, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Barat menerakan Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Namun, dalam praktiknya peraturan pemerintah itu dilanggar. Masyarakat Sumbar dibohongi. Ironisnya, Gubernur Sumbar tak berkutik. Ini terbukti dengan ditetapkannya APBD Tahun 2002 melalui Peraturan Daerah Nomor 02/SB/2002. Para wakil rakyat Sumbar itu berdalih, Peraturan Pemerintah (PP) No 110/2000 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No 4/1999 dan UU No 22/1999. Untuk menguji kebenaran dalih mereka, DPRD Sumbar melakukan hak uji materi (HUM) atas PP No 110/2000, melalui gugatan HUM tanggal 14 Mei 2001 yang terdaftar di Mahkamah Agung RI, 25 Mei 2001. Atas gugatan HUM itu, MA membatalkan PP No 110/2000 tanggal 9 September 2002. Sepulang dari Jakarta, betapa bangganya Arwan Kasri, Ketua DPRD Sumbar, karena memenangi gugatan itu. Pihaknya lalu menggelar jumpa pers karena judicial review (uji materi) terhadap PP No 110/2000 itu sangat berarti dan bisa menyelamatkan seluruh DPRD provinsi dan DPRD kota/kabupaten se-Indonesia atas tuduhan melakukan tindak pidana korupsi. Namun, dalam putusan MA itu, ungkap Kepala Kejaksaan Tinggi Sumbar, ketika itu Halius Hosen, ada catatan: bila dalam tempo 90 hari kemudian PP Nomor 110/2000 itu tidak dicabut pemerintah, lalu menggantinya dengan yang baru, maka otomatis PP No 110/2000 berlaku kembali, dan harus menjadi acuan DPRD. Hal ini dipertegas Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno ketika beberapa kali melakukan kunjungan kerja di Sumbar, bahwa PP No 110/2000 tetap berlaku. Atas dasar itu, 7 November 2002 Mendagri mengeluarkan surat izin untuk melakukan tindakan kepolisian terhadap ketua DPRD dan para anggota DPRD Sumbar. ARWAN pun melawan. Ia lalu menggugat surat Mendagri itu di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan terdaftar di PTUN tanggal 30 Januari 2003. Akan tetapi, 31 Desember 2002, Kejaksaan Tinggi Sumbar sudah melayangkan surat panggilan pemeriksaan. Mereka diperiksa. Ada yang siang hari, ada pula yang malam hari untuk menghindari kejaran pers. Para wakil rakyat itu pun dinyatakan sebagai tersangka. Tanggal 12 April 2003 digelar sidang pertama, dengan terdakwa Arwan Kasri (Ketua), Masfar Rasyid (Wakil Ketua), dan Hj Hasmerti Oktini alias Ny Titi Nazief Lubuk (Wakil Ketua). Seluruh terdakwa anggota DPRD Sumbar itu didakwa telah merugikan negara sebesar Rp 5.904.105.350. Sementara itu, PTUN Jakarta pada 1 Mei 2003 mengabulkan gugatan para anggota DPRD Sumbar dengan amar putusan antara lain menyatakan surat izin untuk melakukan tindakan kepolisian terhadap ketua DPRD dan para anggota DPRD batal demi hukum. Sidang tetap berlanjut. Di luar sidang tiga unsur pimpinan itu ada sidang empat kloter lagi. Yang dimaksud kloter di sini adalah kelompok terdakwa. Setiap kloter ada 10 terdakwa. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Padang, Senin, 17 Mei 2004, majelis hakim yang diketuai Bustami Nusyirwan, memvonis penjara masing-masing 2 tahun 3 bulan kepada ketiga unsur pimpinan DPRD Sumbar itu. Ketiganya didenda masing-masing Rp 100 juta atau subsider kurungan dua bulan penjara serta harus mengembalikan uang sebanyak yang dikorupsi. Sebanyak 40 anggota DPRD Sumbar lainnya divonis hukuman penjara masing-masing dua tahun, bayar dendaRp 100 juta, dan mengembalikan uang sebanyak yang dikorupsi masing-masing. Putusan majelis hakim lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa, yakni 4 tahun 6 bulan, dengan denda masing-masing Rp 200 juta. Sembari menunggu hasil banding, ke-43 terpidana itu masih bisa bernapas lega karena vonis penjara itu tidak disertai kata- kata langsung masuk penjara. "Harus ada pemikiran progresif dari hakim. Di sini dituntut keberanian hakim agar vonis yang dijatuhkan memberikan efek jera. Kalau dalam putusan segera masuk penjara, maka bisa menimbulkan efek jera 3-4 kali lipat," tutur Saldi Isra, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat. (NAL) http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0406/12/fokus/1078184.htm Sabtu, 12 Juni 2004 Sekali Korupsi Sesudah Itu Mati ADA apa dengan Sumatera Barat? Tanyaan seperti ini terlalu sering mengapung tatkala pers habis-habisan memberitakan DPRD Sumbar dalam empat tahun terakhir, menyusul sikap pongah para wakil rakyat terhormat itu. Dengan kekuasaan di tangan, mereka seperti sekehendak hati menggunakan (dan terakhir terbukti mengorupsi) uang rakyat. SEJUMLAH perantau mengaku malu dengan perbuatan itu dan menilainya sebagai aib bagi orang Minangkabau. "Di daerah lain lebih besar uang yang dikorupsi. Satu anggota DPRD korupsi Rp 10 miliar, pers tak ada meributkannya," kata seorang tokoh Minang perantau di Riau awal Juni lalu. "Tapi di sini, DPRD Sumbar yang korupsinya hanya Rp 5,9 miliar, beritanya bertubi- tubi. Ini mancabiak baju di dado, membuka aib sendiri, namanya." Sebenarnya, menurut H Basril Djabar, tokoh masyarakat dan mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah Sumbar, harga diri orang Minang terletak pada kejujuran dan kebenaran yang sebenar- benarnya. Kalau sudah keluar dari sana, itu pantang. Artinya, siapa yang tak jujur dengan dirinya dan tak jujur kepada rakyat, maka mereka akan berhadapan dengan rakyat. "Karakter orang Minang antara lain dibentuk oleh ungkapan kalau Waang kayo, aden indak kamamintak, kalau Waang pandai aden indak kabaraja, tapi kalau Waang babuek dilua alua jo patuik, waang berhadapan jo kami (kalau Anda kaya, saya tak akan meminta; kalau Anda pandai, saya tak akan belajar/berguru; tapi kalau Anda berbuat di luar alur dan patut, Anda akan berhadapan dengan kami-Red)," ujarnya. Atas dasar ini orang Minang tak pandang bulu walau yang berbuat kesalahan atau aib masih sanak saudara. Yang dilihat bukan siapa orangnya, tapi kesalahan yang dilakukannya. Orang luar tak banyak tahu sudah berapa pejabat yang harus hengkang dan atau menanggalkan jabatan di Sumbar karena, menurut penilaian masyarakat, bertindak dan berlaku di luar batas. Tidak saja di era Orde Baru, tapi juga pasca-Reformasi. Bahkan, dengan menyimak sejarah PRRI, jauh sebelum tahun 1998, masyarakat Sumbar sudah reformasi. Persisnya di tahun 1958. Lantas, apa hubungan karakter orang Minang dan korupsi di DPRD Sumbar atau DPRD kota atau kabupaten di Sumbar? Kata kuncinya: pongah. Merasa diri hebat, merasa diri berkuasa, dan menafikan orang lain. Itulah kepongahan yang tecermin dari para wakil rakyat itu. Dalam penyusunan RAPBD 2002 Sumbar, misalnya, gubernur Sumbar pernah mengungkapkan ia tidak dilibatkan membahas anggaran legislatif. "Pihak eksekutif hanya menerima apa yang disodorkan pihak legislatif. Perilaku DPRD dalam penyusunan anggaran tidak memerhatikan rasa keadilan dengan munculnya berbagai mata anggaran yang mencerminkan arogansi anggota DPRD," kata Rahmad Wartira, mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Padang. Dari awal penyusunan, menurut Rahmad, APBD 2002 Sumbar sudah diketahui mengandung masalah dalam segi hukum dan substansi. Berbagai elemen masyarakat memang telah diminta memberi masukan untuk APBD itu meski dilakukan secara mendadak. Namun, kritik masyarakat untuk penyusunan anggaran tersebut dianggap angin lalu. Bahkan wakil gubernur, sebagaimana dikutip ekonom Azhar Makmur dalam makalahnya Penyusunan RAPBD 2002 dan Realitas Provinsi Sumbar, mengatakan, "Kita sudah siap dicarut-marut karena inilah konsekuensi jadi pejabat." Pendek kata, sosialisasi seperti yang diharuskan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, Pasal 27 dan 28, tidak memadai. Lalu, nota keuangan APBD 2002 itu hanya mengemukakan prioritas dan tujuan pembangunan. Tak ada sasaran yang ingin dicapai secara gamblang, sementara yang ditetapkan gubernur Sumbar melalui Perda Nomor 02/SB/2002 tentang APBD 2002 hanya plafon anggaran. Rincian anggaran baru menyusul kemudian. Ini tidak lazim! Banyak pula tumpang tindih mata anggaran. Beberapa mata anggaran tidak relevan untuk suasana krisis seperti saat itu. Program yang diusulkan berbagai instansi banyak yang tak sesuai dengan program yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis dan Kewenangan Daerah Provinsi. Penetapan plafon sebelum penetapan mata anggaran, yang dilakukan di Sumbar ini, akan mengakibatkan dana APBD tidak terkoordinasi dengan baik karena rencana penggunaannya tidak jelas. Rahmad Wartira yang juga praktikus hukum melukiskan salah satu mata anggaran yang seolah tak pernah dikritik gubernur adalah dana aspirasi senilai Rp 11 miliar. Gubernur memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anggota DPRD menentukan alokasi anggaran ini, padahal menurut Pasal 2 Ayat (1) PP No 105/2000, kepala daerah adalah pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah. Banyak kalangan menduga anggaran dana aspirasi Rp 11 miliar atau Rp 200 juta per anggota itu semacam kolusi eksekutif dan legislatif. Semacam tawar-menawar agar laporan pertanggungjawaban gubernur tidak ditolak anggota DPRD, gubernur harus menyetujui dana aspirasi Rp 11 miliar. Setelah APBD 2002 Sumbar ditetapkan, sementara masukan masyarakat tidak dipedulikan, di situlah protes berbagai kalangan masyarakat muncul. Aksi unjuk rasa mahasiswa, organisasi massa, dan lembaga swadaya masyarakat hampir tiap hari. Tuntutan mereka: APBD tersebut direvisi. Sementara itu, DPRD seolah- olah berbuat sudah benar. Mereka bersikukuh menolak revisi APBD itu. Karena aspirasi masyarakat tak dihiraukan, Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB) sehari setelah memberikan masukan ke DPRD melaporkan tindak pidana korupsi kepada kepala Kejaksaan Tinggi Sumbar. Kejadian ini berlangsung 7 Februari 2002. Dalam laporan setebal lima halaman, FPSB merinci penyimpangan hukum dan modus operasi tindak pidana korupsi DPRD Sumbar. FPSB terdiri dari sejumlah aktivis organisasi bukan pemerintah, akademisi, pengusaha, dan wartawan seperti Mestika Zed, Elwi Danil, Saldi Isra, Rahmad Wartira, Rusmazar Ruzuar, Werry Darta Taifur, Oktavianus Rizwa, dan Abel Tasman. Kejaksaan Tinggi kemudian membentuk tim intelijen untuk penyidikan. Temuan Kejaksaan Tinggi melebihi apa yang dilaporkan FPSB. Wakil Ketua DPRD Sumbar Masfar Rasyid ditahan oleh kejaksaan dan dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan Muara Padang untuk memudahkan pemeriksaan. Modus operandi Menjadi anggota dewan ibarat berjudi. Taruhannya uang. Sudah rahasia umum, untuk masuk daftar caleg saja, seseorang harus mengeluarkan jutaan rupiah. Jadi caleg tetap ujung-ujungnya uang juga sebab dia harus memberi sumbangan kepada partai. Masih keluar uang untuk kampanye dan membeli berbagai atribut untuk massa pendukung. Berbilang puluhan bahkan ratusan juta rupiah untuk bisa duduk di kursi legislatif. Ada pula kebijakan partai: kader yang duduk di legislatif harus menyisihkan pendapatannya (dari DPRD) untuk partai. Persentasenya bergantung pada kebijakan partai. Ini mau tidak mau mendorong anggota dewan mendapatkan uang dengan berbagai cara. Selain untuk menutupi pengeluaran sejak menjadi caleg sampai sumbangan kepada partai, anggota dewan pun butuh uang banyak untuk kepentingan pribadi. Yang disebut terakhir inilah sebetulnya tujuan seseorang menjadi anggota dewan. Dari surat dakwaan jaksa terungkap hal berikut. Dalam kasus di DPRD Sumbar, uang penunjang kegiatan DPRD sesuai dengan Pasal 14 PP No 110/ 2000 merupakan belanja sekretariat, tapi para terdakwa telah mengaturnya sebagai anggaran DPRD dan digolongkan sebagai belanja DPRD. Rinciannya: (1) pembayaran penunjang kegiatan setiap bulan sejumlah Rp 500.000 per bulan per anggota sehingga secara keseluruhan berjumlah Rp 923.185.000, (2) pembayaran biaya taktis DPRD yang dibayarkan kepada anggota dewan sebagai penghasilan tetap setiap bulan sejumlah Rp 541.450.000, (3) pembayaran penggantian biaya telepon genggam yang dibayarkan sebagai penghasilan tetap setiap bulan sejumlah Rp 19.000.000, (4) pemberian bantuan ongkos menunaikan ibadah haji dan bantuan biaya perjalanan pengobatan kepada anggota dewan sejumlah Rp 14.500.000, dan (5) pembayaran uang bantuan cuti kepada anggota dewan untuk pembinaan daerah asal pemilihan sejumlah Rp 2.500.000 untuk setiap anggota dewan, sehingga secara keseluruhan berjumlah Rp 117.500.000. Juga ada pembayaran uang kehormatan untuk semua anggota dewan setiap bulan yang sampai Juli 2002 berjumlah Rp 286.705.000. Tunjangan untuk badan kehormatan DPRD tidak diatur dalam PP No 110/2000, namun para terdakwa telah mengatur adanya pembayaran honorarium Badan Kehormatan secara tunai sebagai penghasilan tetap setiap bulan sejumlah Rp 20.332.000. Fasilitas rumah dinas sesuai dengan Pasal 12 PP No 110/2000 hanya diberikan kepada ketua DPRD, namun para terdakwa telah mengatur adanya pembayaran untuk bantuan perumahan bagi wakil ketua dan anggota dewan yang diberikan dalam bentuk pembayaran tunai sejumlah Rp 526.575.000. Yang mendapat mobil dinas dan pemeliharaannya hanya ketua dan wakil ketua, sedangkan transpor bagi anggota dewan telah dialokasikan dalam pemberian uang paket; namun para terdakwa telah mengatur adanya pemberian bantuan BBM kepada anggota dewan sebanyak 300 liter per bulan per orang, yang diberikan sebagai penerimaan tetap setiap bulan sehingga berjumlah Rp 295.542.000. Sesuai dengan penjelasan Pasal 14 Ayat 1 butir c PP No 110/2000, tarif perjalanan dinas anggota dewan disesuaikan dengan tarif perjalanan dinas PNS golongan IV. Namun, para terdakwa telah mengatur perjalanan dinas untuk anggota dewan dengan sistem paket, sehingga berjumlah Rp 673.288.000. Itu antara lain karena dalam dakwaan setebal 24 halaman, cukup banyak modus yang dilakukan, yang menyebabkan uang negara dikorupsi senilai Rp 5,90 miliar. Dalam kasus dugaan korupsi di DPRD Kota Padang, modus seperti itu ada juga. Bahkan lebih berani dan lebih canggih. Buktinya, uang yang diduga dikorupsi DPRD Kota Padang lebih besar nilainya: Rp 10,44 miliar. Modus yang baru antara lain perjalanan dinas fiktif dengan tiket pesawat Garuda dan tiket pesawat Mandala. Jadi, seorang wakil rakyat yang kini terdakwa itu melakukan perjalanan dinas fiktif senilai Rp 27,3 juta sampai Rp 46,5 juta. Bagaimana modus operandi di DPRD Kota Payakumbuh? Kita tunggu saja, karena berkas perkaranya belum tuntas. Sementara itu, Ketua DPRD Kota Payakumbuh Chin Star sejak 15 Mei lalu sudah ditahan pihak Kepolisian Daerah Sumbar. Mogok, mundur, dan bencana Di tengah tuntutan masyarakat yang begitu besar mendesak DPRD Sumbar merevisi APBD, Moh Zen Gomo-ketika itu anggota Komisi C-menyatakan mogok kerja untuk sementara sebagai konsekuensi moral terhadap harapan masyarakat Sumbar. Surat resmi mogok kepada pemimpin DPRD Sumbar dikirim pada 22 Mei 2002. "Kinerja dan citra DPRD Sumbar sekarang ini sudah jauh menyimpang: bohong terhadap publik serta tidak aspiratif lagi terhadap tuntutan masyarakat," kata Gomo yang beberapa bulan kemudian mundur sehingga statusnya dalam kasus korupsi DPRD ini adalah saksi, bukan terdakwa. "Penyimpangan dewan adalah indikasi kolusi antara dewan dan eksekutif, serta penolakan PP No 110/2000." Gomo mengungkapkan penerimaan anggota DPRD Sumbar tahun 2002 adalah Rp 11.519.000. Rinciannya, gaji Rp 4.579.000, tunjangan (6 macam) Rp 2.440.000, dan pengeluaran lain-lain Rp 4.500.000. Penerimaan sebesar Rp 11.519.000 per orang per bulan itu belum mencakup biaya perjalanan dinas, baik di dalam daerah maupun keluar daerah. "Padahal, berdasarkan PP No 110/2000, penerimaan tiap anggota dewan mestinya Rp 3.216.970 per bulan," katanya. Bencana itu datang ketika majelis hakim Pengadilan Negeri Padang, yang diketuai Bustami Nusyirwan, pada 17 Mei lalu menjatuhkan vonis 2 tahun 3 bulan penjara, bayar denda masing-masing Rp 100 juta, dan mengembalikan uang sebanyak yang mereka korupsi (Rp 101 juta sampai Rp 112 juta) untuk Arwan Kasri, Masfar Rasyid, dan Ny Titi Nazief Lubuk. Selain itu, hukuman penjara 2 tahun, bayar denda Rp 100 juta dan mengembalikan uang sebanyak yang dikorupsi (Rp 26 juta sampai Rp 120 juta) bagi tiap anggota DPRD Sumbar (40 orang terpidana). Sejumlah kasus anggota lain dari fraksi TNI/Polri akan disidangkan di peradilan militer. "Kasus yang melibatkan anggota DPRD dari fraksi TNI/Polri ini harus diselesaikan cepat, agar citra TNI baik di masyarakat," kata Saldi Isra, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat dan juga Koordinator FPSB. "Kami tidak ingin melihat kasus yang sama dengan putusan berbeda. Jangan terkesan peradilan militer melindungi korpsnya." Putusan majelis hakim yang menghukum penjara anggota DPRD Sumbar dipujikan masyarakat Sumbar, diapresiasi berbagai kalangan di Tanah Air. Sampai-sampai PN Padang dan Kejaksaan Tinggi Sumbar jadi obyek studi daerah lain menangani kasus sejenis. "Pertimbangannya tidak semata terdakwa melanggar PP No 110/2000, tapi juga rasa keadilan masyarakat. Tidak saja bukti-bukti formil, tapi juga bukti-bukti materiil," kata Ketua Majelis Hakim Bustami Nusyirwan seusai menerima Penghargaan Pejuang Antikorupsi dari Masyarakat Profesional Madani Jakarta, Rabu 26 Mei di Padang. Penghargaan yang sama juga diberikan kepada Kejaksaan Tinggi Sumbar, yang diterima Kepala Kejaksaan Tinggi Sumbar Muchtar Arifin. (YURNALDI) http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0406/12/fokus/1071280.htm Sabtu, 12 Juni 2004 Dari Padang dengan Harapan Satjipto Rahardjo MENJADI kewajiban kita semua, khususnya komunitas hukum, untuk memberi garis bawah yang tebal terhadap keberhasilan sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Padang membawa para terdakwa koruptor ke pengadilan dan menghukumnya. Benar-benar kejadian tersebut tidak boleh dianggap kecil dan biasa, apalagi untuk sebentar kemudian dilupakan begitu saja. DI tengah-tengah kekeringan keadilan di negeri kita sekarang ini, apa yang dilakukan pengadilan di Padang seyogianya benar-benar mendapatkan penghargaan setimpal. Maka sekarang menjadi tugas kita semualah, khususnya dunia hukum, menggelindingkan "keadilan Padang" itu sehingga "virus Padang" tersebut menyebar ke seluruh penjuru pengadilan di negeri ini. Banyak kritik ditujukan kepada Jaksa Agung yang dianggap kurang mampu menjadikan kejaksaan sebagai tumpuan pemberantasan korupsi di negeri ini. Namun, kritik itu ternyata ditepiskan bukan oleh Kejaksaan Agung, tetapi oleh jaksa dan hakim kecil nun di Padang sana. Ternyata kecil itu tidak hanya "indah", tetapi juga "mampu". Berkali-kali sudah diingatkan jangan memandang remeh orang-orang kecil, jaksa kecil, hakim kecil, karena dari mereka itu justru sering datang putusan-putusan yang mengejutkan ("Mengangkat Orang-orang Baik", Kompas, 23 Mei 2003). Belum lama kita juga "dikejutkan" oleh putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin "hakim kecil" Amiruddin Zakaria, yang menghukum penjara Ketua DPR Akbar Tandjung sekalipun putusan itu akhirnya dibatalkan oleh para hakim yang "lebih besar". Amiruddin Zakaria akhirnya memilih berhenti karena alasan tidak memiliki kebanggaan lagi sebagai hakim. Tidak disetujuinya untuk memberhentikan semua jaksa dan hakim di negeri ini karena masih ada kepercayaan kepada sejumlah hakim dan jaksa baik-baik sekalipun jumlahnya sedikit. Dan ternyata harapan tersebut hari-hari ini terpenuhi. Yang juga menarik, para "kampiun keadilan" itu adalah hakim-hakim kecil atau "setengah besar", seperti Benjamin Mangkoedilaga, waktu itu hakim tinggi yang memenangkan majalah Tempo. Masih ada lagi hakim kecil (?) seperti Teguh Haryanto yang dengan lantang menolak l'esprit de corps di antara para hakim yang justru bisa menyuburkan korupsi di pengadilan (Kompas, 2 Februari 2004). Tidak ada niat untuk mengecilkan peranan para hakim besar, seperti Adi Andojo Soetjipto, Asikin Kusumahatmadja, Bismar Siregar, dan Jaksa Agung Baharuddin Lopa (almarhum), yang juga sama progresifnya dengan sejawatnya yang kecil-kecil itu. TERNYATA pendapat yang selama ini dikemukakan bahwa manusia bisa lebih menentukan dari peraturan cukup mendapatkan pembuktiannya di Indonesia. Peraturan, undang-undang sudah banyak, tetapi mengapa pemberantasan korupsi begitu mengecewakan? Kita tidak perlu jauh-jauh mengutip Taverne dari Belanda yang mengatakan, "Berikan padaku jaksa dan hakim yang baik, dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik." Kita mengerti itu dan orang Indonesia pun bisa melakukannya. Sewaktu belum menjadi jaksa agung, almarhum Baharuddin Lopa pernah mendatangi teman-temannya para jaksa yang sedang sibuk ingin membawa Soeharto ke pengadilan. Lopa cuma mengambil satu dua lembar kertas dari bukti-bukti yang menumpuk dan mengatakan, "Dengan satu dua lembar ini saja saya sudah bisa membawa Soeharto ke pengadilan." Begitu juga dengan mantan Hakim Agung Bismar Siregar, yang selalu mengatakan bahwa "keadilan berada di atas undang- undang" sehingga putusan-putusannya sering disebut kontroversial. Jadi, manusia di atas hukum bukan sekadar retorika dan teori di Indonesia. Sejumlah tindakan dan putusan memberikan validasi empirik mengenai hal itu. Maka sebaiknya kita berhati-hati dalam "membabat" habis begitu saja para penegak hukum. Kita merasa kasihan terhadap mereka yang tidak atau belum terkenal, tetapi sungguh menunjukkan moralitas dan keberanian yang amat terpuji, seperti hakim Teguh Haryanto di atas. Apakah mereka juga harus ditebas habis? Penghukuman terhadap para anggota DPRD di Padang tidak akan terjadi apabila seluruh bagian dari sistem peradilan pidana tidak bersatu paham dan bergerak sebagai suatu kesatuan. Bagaimanapun piawainya jaksa, apabila hakim menentukan lain, maka lain pula jadinya proses yang sudah digelindingkan. Kritik-kritik juga dikemukakan terhadap kemampuan jaksa dalam mengajukan dakwaan dan menguasai asas-asas hukum pidana (laporan "Jangan Cuma Berdebat, Konkretlah...!", Kompas, 25 Mei 2004). Secara normatif mungkin begitu, tetapi secara sosiologis masih terbuka cara-cara yang bisa dijelajahi. Oleh karena itu di sini lebih senang digunakan tamsil "berangkat perang" daripada membiarkan proses pidana menjadi medan argumentasi akademis ("Para Penegak Hukum, Pukullah Genderang Perang", Kompas, 20 April 2004). Forum di mana para hakim, jaksa, polisi, dan advokat berkumpul memang bisa dicurigai sebagai suatu ajang persekongkolan buruk, tetapi itu bergantung pada semangat mereka. Apabila semangatnya adalah "berangkat perang untuk memenangi perang terhadap korupsi", maka tidak ada salahnya untuk diteruskan. Kita mesti berani membangun suatu kultur penegakan hukum baru sesuai dengan kebutuhan bangsa sendiri. BAGUSNYA, bola sudah mulai menggelinding dan "virus Padang" sudah mulai menyebar ke mana-mana. Di Semarang, pesan dari Padang sudah mulai ditangkap, dalam hal ini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) dan Koordinator Konsorsium LSM Antimoney Politics. Keduanya menyoroti kasus-kasus dugaan korupsi di tubuh legislatif Jateng sebagai sudah keterlaluan. Mendapat ilham dari keberhasilan sistem penegakan hukum di Padang, mereka mendesak jaksa tinggi untuk mengungkap kasus-kasus dugaan korupsi di Jateng yang sementara itu sudah dilaporkan. Dikatakan bahwa kasus di Padang mirip dengan yang terjadi di Jateng, yaitu dugaan korupsi massal oleh DPRD (Suara Merdeka 2004). Diharapkan para pemimpin tinggi di jajaran pengadilan dan kejaksaan jangan diam-diam saja, tetapi benar-benar memberikan dukungan profesional dan semangat untuk mendorong "era baru" yang mulai menggeliat. Tidak hanya itu, sebaiknya komunitas akademis juga bersama-sama "mengeroyok" dan memberikan dukungan "peluru akademis" terhadap "trace baru" dalam penegakan hukum tersebut. Ada waktu untuk bersedih dan menangis, tetapi dengan kasus Padang ini kita bolehlah berbangga terhadap institusi penegakan hukum kita. Kita memang tidak bisa cepat-cepat bersorak-sorai mengelu-elukan kesuksesan di Padang itu karena keberhasilan yang berantai masih harus dibuktikan. Akan tetapi, janganlah juga membiarkan momentum yang bagus ini lewat tanpa menjadikannya bola yang menggelinding, makin lama makin besar yang akhirnya mudah-mudahan merontokkan korupsi di negeri ini. Pejuang Antikorupsi dari Masyarakat Profesional Madani Jakarta sudah memelopori dengan memberikan penghargaan terhadap Ketua Pengadilan Negeri Padang dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat (Kompas, 27 Mei 2004). Itu sangat bagus. Mudah-mudahan kita bisa mengatakan bahwa suatu "revolusi" telah dimulai dari bawah. Ternyata bangsa ini mampu dan bisa mulai bangkit dari keterpurukannya. Satjipto Rahardjo Guru Besar Emiritus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________