Liberalisasi
Islam dan Agenda Global Barat
Gerakan liberalisasi
pemikiran Islam yang marak akhir-akhir ini, sebenarnya lebih berunsur pengaruh
eksternal ketimbang perkembangan alami dari dalam tradisi pemikiran Islam
sendiri
Pengaruh eksternal itu dengan mudah dapat ditelusur dari trend pemikiran
liberal di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leornard Binder, diantara
sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan pergerakan
Islam liberal dan mengorbitkannnya pada era 80-an, telah memerinci
agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A
Critique of Development Ideologies.
Dalam buku tersebut
ia menjelaskan premis dan titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal
didukung dan di sebar luaskan. Selain rational discourse yang merupakan tonggak
utamaya, gerakan ternyata tidak lebih daripada alat untuk mencapai tujuan
politik yaitu menciptakan pemerintahan liberal.
Binder menjelaskan: “ Liberal government is the product of a continuous
process of rational discourse…. Political Liberalism in this sense, is
indivisible. It will either prevail worldwide, or it will have to be defended
by nondiscursive action .” (Leonard Binder, 1988).
Fakta ini didukung oleh seorang lagi penulis dan pendukung Islam Liberal, Greg
Barton, dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Barton menggariskan
prinsip dasar yang dipegang oleh kelompok Islam liberal yaitu: (a) Pentingnya
kontekstualisasi ijtihad; (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan
(agama); (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama;
(d) Pemisahan agama dari parti politik dan kedudukan negara yang nonsektarian.
(Greg Barton, 1999)
Liberalisme
dan ‘Fundamentalisme'
Sebagaimana watak pemikiran postmodernis yang selalu mengkaitkan permikiran
dengan kekuasaan, gerakan Islam liberal nampaknya tidak jauh dari trend itu.
Maka dari itu dalam pemikiran Islam liberal, politik adalah salah satu agenda
terpenting. Terbukti ketika pemikiran Islam liberal memulai gerakannya apa yang
menjadi concern utamanya adalah membendung kekuatan arus pemikiran yang
dinamakan ‘fundamentalis'. Cara-cara gerakan ini menghadang kelompok ini
lebih cenderung frontal dan konfrontatif daripada persuasive. Tokoh-tokoh
pemikir liberal di kalangan masyarakat Muslim, seperti Nasr Hamid Abu Zayd,
Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Fatimah Mernisi, Aminah Wadud, Arkoun,
al-Jabiri, Abdullah al-Naim dll, muncul dengan ide-ide yang secara mencurigakan
menyerang pemikiran mainstream ummat Islam . Pandangan-pandangan mereka
terhadap kelompok salafi yang mereka anggap fundamentalis lebih keras daripada
kritik mereka terhadap Barat. Juga karena ide pluralisme agama kritik mereka
terhadap Islam dan ummat Islam lebih keras daripada kritik mereka terhadap
agama lain. Gejala ini perlu dicermati dengan seksama.
Perkataan fundamentalisme muncul pertama kali pada tahun 1920 oleh Curtis Lee
Laws dengan merujuk kepada golongan Kristen, American Protestant , yang
menentang modernisme dan liberalisme khususnya Darwinisme. Fanatisme mereka
terhadap Christianity dan penentangan terhadap pembaharuan ini menjadi ciri
utama fundamentalisme golongan Kristian tersebut. Oleh karena itu, istilah
fundamentalis ini sinonim dengan fanatik, ekstrimis, dan militant. Maka
perkataan tersebut membawa konotasi yang negatif, dan memberi makna yang
mencemooh dan memojokkan.
Penggunaan Istilah tersebut dalam Islam muncul dan menjadi popular setelah
terjadi revolusi Iran, yaitu sebutan yang merujuk kepada aktifis militan
golongan Shi'ah di Iran, yang memprotes segala aktivitas Barat dan
mempromosikan penentangan terhadap Barat dan kepentingan Barat. Bahkan kemudia
fundamentalisme dikaitkan dengan aksi-aksi terrorisme. Menurut James Veitch
istilah fundamentalisme telah digunakan dengan sewenang-wenangnya oleh media
Barat dan penulis-penulis Barat sehingga tidak hanya melingkupi golongan
radikal dan ekstrim tetapi juga golongan yang dinamakan reformis atau
revivalis. (James Veitch, 1993)
Senada dengan James, Khurshid Ahmad menyangkal dimasukkanya gerakan revivalis
kedalam kategori Fundamentalis, fanatik dan militan. Karena gerakan-gerakan
tersebut tidak bersifat demikian. Beliau menjelaskan:
The West has failed to see the strength and potential of the Islamic movement.
It has chosen to dub it as fundamentalist, as fanatic, as anti- Western, as
anachronistic…Nothing could be farther from the truth. It appears that
the West is once again committing the fatal mistake of looking upon others as
belonging to a different paradigm, from the prism of its own distorted categories
of thought and history. (Khurshid Ahmad. “The Nature of the Islamic
Resurgence”, ed. John L. Esposito, Voices of Resuregent Islam , 225).
Richard Nixon Bekas presiden Amerika telah menulis sebuah buku yang berjudul
Seize the Moment . Buku ini menjadi rujukan utama dalam menentukan dasar
kebijaksanaan Luar negeri Amerika. Dalam buku tersebut Nixon memberikan lima
kreteria seorang fundamentalis Muslim. Pertama: Orang yang membenci Barat.
Kedua: orang yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dan negara. Ketiga:
orang yang ingin melaksanakan Syari'at Islam. Keempat: orang yang ingin membina
kembali peradaban Islam. Kelima orang yang beranggapan bahwa penyelesaian bagi
Umat Islam adalah dengan kembali kepada masa lampau (ajaran Islam yang benar).
Mafhum mukhalafah dari kriteria ini jelas bahwa orang yang tidak fundamentalis
bagi Barat adalah orang Islam yang meninggalkan syariat Islam, tidak concern
dengan masalah umat Islam, dan tidak bercita-cita membangun kembali
kegemilangan Islam. Jadi sejatinya yang menjadi ancaman bagi Barat bukan Muslim
“fundamentalis”, tapi kebangkitan Islam itu sendiri.
Sekularisasi
dan Depolitisasi Islam
Di Barat, sekularisme, modernisme dan liberalisme berjalan seiring. Ketiga-tiga
pemikiran ini adalah solusi bagi masyarakat Barat untuk maju dan modern. Itu
disebabkan, mereka telah menderita akibat pemerintahan kuku besi Gereja yang
telah membunuh sekitar 430.000 orang dan membakar hidup-hidup sekitar 32.000
orang atas alasan menentang kehendak tuhan. Galileo, Bruno dan Copernicus
adalah diantara saintis-saintis yang malang karena melontarkan idea yang
bertentangan dengan idea Gereja yang kononnya berasal daripada Tuhan.
Untuk melestarikan kekuasaannya, gereja membentuk satu institusi pengadilan
yang dikenal paling brutal di dunia, yaitu Mahkamah Inkuisisi. Karen Armstrong,
dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today's World,
(1991:456) menyatakan: “ Most of us would agree that one of the most evil
of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of
terror in the Catholic Church until the end of seventeenth century.”
Despotisme Gereja ini mengakibatkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja.
Konflik tersebut berakhir dengan kemenangan bagi filsafat dan Sains.
Sudah menjadi sunnatullah aksi yang kuat akan menghasilkan reaksi yang kuat,
setelah kekuasaan berada pada filsafat dan Sains, maka agama (Kristen) kemudian
menjadi korban tekanan dan pembatasan. Pemikiran sekularisme, modernisme dan
liberalisme ternyata adalah obat yang mujarrab yang telah berhasil membawa
masyarakat Barat dari era kegelapan ( the dark age ) ke era kebangkitan (
renaissance ) dan kemajuan.
Persoalannya adalah apakah konsep-konsep sekularisme, modernisme, liberalisme
dari Barat itu dapat dipakai untuk menyembuhkan penyakit umat Islam? Jawabnya
tentu negatif, sebab penyakit yang diderita Umat Islam amat berbeda dari
penyakit yang diderita masyarakat Barat. Umat Islam tidak pernah mengalami
pemerintahan kuku besi yang dilakukan oleh ‘clergy'; ulama tidak pernah
memerintah dan tidak berambisi memerintah. Sebab, Islam tidak mengenal
“institusi gereja” yang mengaku mendapatkan mandat dari Tuhan untuk
berkuasa.
Ternyata, konsep-konsep sekularisasi dan liberalisasi itu berdampak pada
penelanjangan politik (depolitisasi) ummat Islam. Dan ini telah dilakukan sejak
awal abad keduapuluhan yaitu bersamaan dengan kejatuhan Khilafah Uthmaniyyah
(1924). Pada tahun tahun ini muncul beberapa tokoh kontroversi seperti Kamal
Attaturk di Turki yang telah bertanggungjawab menghapuskan Khilafah Utmaniyyah
dan menggantikannya dengan negara sekular. Secara intelektual, muncul nama
‘Ali ‘Abd al-Raziq di Mesir, seorang qadi Shar'i yang mendapat
Ijazah doktor di London dengan bimbingan T.W. Arnold, seorang orientalis
terkenal. ‘Ali ‘Abd al-Raziq mungkin sarjana Muslim yang pertama
yang mendukung penghapusan Khilafah . Menurutnya, Islam dan Rasulullah SAW
sendiri memisahkan antara agama dengan politik. Karena itu, sistem Khilafah
adalah ciptaan manusia: pemerintah dan kerajaan pada masa itu yang
menjustifikasikan pemerintahan mereka dengan memperalat agama (‘Ali Abdul
Raziq, tt. Al-Islam wa Usul al-Hukm ). Sebaliknya Islam hendaknya hanya dilihat
dari sisi kerohaniannya saja ( spirituality ) yang tidak memerlukan kekuasaan dan
percaturan politik. (Buku ‘Ali Abdul Raziq mendapat tentangan yang hebat
daripada kebanyakan ulama pada masa itu, berpuluh-puluh buku telah ditulis
untuk menjawab buku tersebut diantaranya buku-buku yang ditulis oleh: Muhammad
Bakhit al-Mutii, Muhammad Khadr Husayn, Diya al-Din al-Rayyis dan lain-lain).
Setelah ‘Ali ‘Abd al-Raziq, muncullah kemudian orang-orang yang
lebih berani lagi mempersoalkan masalah-masalah pokok dalam Islam dengan
kritikan terhadap ajaran Islam, institusi Ulama, dan Rasulullah SAW. Golongan
ini di Mesir lebih dikenali dengan golongan al-‘almaniyyun (sekularis).
Ketika terjadi perdebatan tentang penegakan hukum Islam di negara-negara Islam
kelompok Islam liberal adalah golongan yang paling lantang menentangnya. Faraj
Fawdah, salah seorang dari mereka mengatakan bahwa “melaksanakan
Shari‘at Islam adalah bermakna menegakkan negara theokrasi, negara yang
diperintah oleh golongan agama ( rijal al-Din ) yang memerintah atas nama
Tuhan”. Wahid Ra'fat menambahkan, orang-orang yang ingin menegakkan
Shari‘at sebenarnya ingin menjadi golongan kahanah ( clergy ), institusi
yang mewakili Tuhan dan berkuasa penuh menentukan kehidupan manusia, sebab
mereka saja yang akan mempunyai hak untuk menafsirkan Shari‘ah. Muhammad
Sa‘id al-‘Ashmawi menolak campurtangan Islam dalam politik, ini
karena al-Qur'an tidak pernah membincangkan pemerintahan atau menjelaskan
bentuknya. Ashmawi juga mengatakan bahwa orang Islam yang menyeru penegakan
hukum Islam sebenarnya tidak mengetahui apa yang dimaksudkan dengan hukum
Islam. Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa apa yang diperjuangkan oleh Mawdudi
adalah pentafsiran beliau sendiri terhadap agama dan Shari‘at, dan
bukannnya Islam ataupun Shari‘at Islam. Sebab, menurut Engineer, tidak
ada definisi yang disepakati apa yang dimaksudkan dengan Shari‘ah. Asghar
berkesimpulan bahwa negara yang ingin ditubuhkan oleh Mawdudi adalah negara
theokrasi dan authoritarian, dimana golongan agama akan memerintah dengan kuku
besi (Untuk jawaban yang lebih terperinci terhadap kritikan Asghar ‘Ali
Engineer dan Nasr Hamid Abu Zaid lihat Thesis Master penulis yang tidak
diterbitkan bertajuk The Concept of al-Hakimiyyah (the Sovereignty of God ) in
Contemporary Islamic Political Thought . ISTAC, UIAM, 2003) :
Mawlana Mawdudi tries to explain the necessity for an Islamic state. He says
that according to the Qur'an God is the Master of the world..Mawdudi maintains
that over His own creation, over His own world, no one else has any right to
rule; it will be fundamentally wrong. …We have already seen that even on
matters of Shari‘ah there is no unanimity of opinion. It would therefore
be very difficult to maintain that this is the meaning of the Qur'anic
injunction and hence the Islamic state law in its light has to be so framed.
Then there are those Muslim thinkers like Mawlana Azad who feel, not without
justification from the Qur'an itself, that the Shari‘ah is not an
integral part of the religious faith i.e. Din. If it is so one can hardly
maintain that the Islamic state has to be based on Shari‘ah and that
God's rule means enforcing Islamic Shari‘ah as formulated in the early
Islamic period. And this is exactly what Mawlana Mawdudi means when he talks of
God's rule being established on earth. God's rule in that case would mean Islamic
Shari‘ah as formulated by Imam Abu Hanifah and as interpreted by Mawdudi
or his lieutenants. In fact Mawdudi's approach is so rigid and his attitude so
authoritarian that any state founded on his ideas would be a medieval
dictatorship. (Asghar Ali Engineer, The Islamic State, 134-135).
Tudingan-tudingan kaum liberal seperti itu bisa dipahami dalam perspektif,
bahwa mereka memang menjadi kepanjangan tangan Barat untuk menjalankan agenda
Barat terhadap dunia Islam. Sebab, bagi Barat yang imperialistik, Islam –
aqidah dan syariahnya — dipandang sebagai ancaman. Jika aqidah dan
syariah Islam tegak di muka bumi, maka ideologi, pemikiran, sistem hukum, dan
dominasi ekonomi Barat, otomatis akan goncang. Karena itulah, Barat mau
membangun pusat-pusat studi Islam yang canggih dan membiayai sarjana-sarjana
Muslim menimba ilmu di sana. Barat juga bersemangat membiayai kelompok-kelompok
liberal Islam, di mana pun berada. Untuk apa? Jelas niat utamanya adalah untuk
mengokohkan hegemoni mereka. Namun, itu adalah urusan Barat. Yang lebih penting
adalah bagaimana kaum Muslim memahami agenda-agenda Barat dan kaum liberal
pro-Barat, agar tidak terkecoh dan terjebak oleh agenda-agenda imperialis itu.
Biasanya, mereka pintar membuat jargon-jargon dan istilah-istilah yang indah,
yang seolah-olah untuk memajukan Islam. Padahal, justru menikam dari dalam dan
meruntuhkan bangunan Islam itu sendiri. Namun, kita tidak perlu apriori dengan
Barat, tetapi harus lebih cerdik dan lebih pintar dari Barat. Berbagai kemajuan
yang dicapai Barat perlu dipelajari dengan sikap kritis, tanpa perlu membebek
terhadap ideologi dan cara berpikir yang materialistik, sekularistik,
liberalistik, dan hedonistik. Wallahu a'lam .
Oleh Khalif Mu'ammar *
* Penulis adalah mahasiswa PhD ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, Malaysia. Tulisan
diambil dari INSISTNET.COM