Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Referensi saya mengenai syariat islam selalu berpedoman kepada orang yang dituakan dalam Islam atau dapatlah disebut orang yang telah mendalami tentang Islam, karena pandangannya sudah mencakup seluruh aspek serta telah mempelajari banyak buku dan pengalaman dari berbagai negara yang menjalankan syariat islam.
 
Berikut adalah pandangan bapak Amien Rais berkenaan dengan syariat islam:
 
'Pandangan dan pemikiran Amien Rais' sehingga (mungkin) dapat representatif dengan topik yang kita bahas saat ini: 

Di dalamnya disebutkan pernyataan Amien Rais yang dimuat oleh Panji Masyarakat No. 376, Th 1982 yakni:

"Islamic State atau negara Islam, saya kira tidak ada dalam Al Qur’an maupun dalam Al Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam. Yang lebih penting adalah selama suatu negara menjalankan etos Islam, kemu­dian menegakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat yang egalitarian, yang jauh dari eksploitasi manusia atas ma­nusia maupun eksploitasi golongan atas golongan lain, berarti menurut Islam sudah dipandang negara yang baik. Apalah artinya suatu negara menggunakan Islam sebagai dasar negara, kalau ternyata hanya formalitas kosong?"

Kemudian ketika mengomentari pertemuannya dengan Gus Dur di Masjid Sunda Kelapa, 1 Desember 1996, ia menyatakan:

"Jadi, saya setuju bahwa pengejawantahan nilai-nilai Islam lebih penting daripada mewujudkannya dalam bentuk institusional. Kalau keyakinan saya, saya memegang benang merah Al Qur’an, yaitu keadilan. Hal yang pertama disuruh Allah Swt untuk ditegakkan adalah keadilan, baru kemudian kebajikan, kemudian ihsan. Baru kemudian menghindari kezaliman."

"Jadi, buat saya, tanpa label Islam, bila kita sudah mampu membangun kehidupan ekonomi yang kurang-lebih adil, kehidupan hukum yang kurang-lebih adil, kehidupan pendidikan yang tidak feodalistik lagi, yah itulah yang dimaui Islam. Jadi gampang saja, saya tidak mementingkan label, tapi pada visinya. Karena, bisa saja sebuah negara tanpa label Islam tapi lebih Islami."
Jadi ada 2 aspek penting dari pandangan pak Amien Rais yaitu pertama tidak diwajibkan kepada umat Islam untuk menegakkan negara Islam, yang kedua bisa saja satu negara tanpa label Islam (maksudnya dengan memakai azas demokrasi) akan bertindak lebih islami.
 
Sedangkan mengenai syariat islam yang universal seprti yang dituliskan Proyogo di bawah ini,
 
Syariat Islam bersifat universal, mencakup seluruh aspek kehidupan :
1.    Ia mencakup aspek Ibadah yang mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya. Masalah ini dijelaskan oleh Fiqih Ibadah yang terdiri dari bab thaharah (bersuci), shalat, shaum, haji, nazar, berkorban, sumpah dan lain2nya.
2.    Mencakup hukum kerumahtanggaan, seperti nikah, talak, mengatur rumah tangga, nafkah, wasiat,  .............................................................

Memang diketahui bahwa umat Islam sebagian masih berpandangan, agama dan politik adalah satu dan ajaran Islam harus diselenggarakan melalui aparatus negara. Umat Islam ingin agama mencampuri keseluruhan kehidupan publik.

Tapi itu sesuatu yang tidak bisa serta-merta diterima. Itu harus didiskusikan terlebih dahulu: sejauh mana agama dibolehkan mengatur wilayah publik. Wilayah kehidupan publik - wilayah hubungan antarmanusia serta antara manusia dan negara - seharusnya diputuskan melalui musyawarah yang demokratis melalui pertimbangan mendalam (deliberation). Kita tidak bisa, misalnya, sesuatu yang dianggap hukum Tuhan dipaksakan sebagai landasan pengelolaan kehidupan publik tanpa melalui perdebatan. Tetapi karena yang punya paham bahwa agama dan politik adalah satu dan tidak mengakui demokrasi maka bisa diramalkan akan terjadi betrokan antar panganut agama.

Dalam syariat Islam banyak hal yang sebetulnya merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh pemahaman manusia, bukan merupakan hukum yang langsung diberikan oleh Tuhan. Kemungkinan seperti itu besar sekali, karena agama ketika berada di tangan manusia ditafsirkan menurut kerangka pemahaman manusia itu sendiri. Tentu saja, itu boleh dikritik, boleh diperdebatkan. Di dalam syariat sendiri, banyak hal perlu dipersoalkan - misalnya perlakuan terhadap perempuan yang diskriminatif. Di peradilan, misalnya, kalau perempuan menjadi saksi, dua orang perempuan sama dengan seorang laki-laki.

Itu berarti di dalam peradilan kapasitas perempuan untuk menjadi saksi itu besarnya separo laki-laki. dalam hukum Islam, kalau ada orang menuduh orang lain berzinah tetapi tidak bisa dibuktikan, dia dikenai hukuman cambuk 80 kali. Ini di Malaysia diperdebatkan.

Jadi, kalau ada seorang perempuan diperkosa, lalu dia mengadu ke peradilan, dia harus bisa membuktikan bahwa dia diperkosa. Pembuktiannya, dalam syariat Islam, dia harus menghadirkan empat laki-laki sebagai saksi - dan itu sangat sulit. Bagaimana tidak, suatu pemerkosaan disaksikan oleh empat orang laki-laki dan laki-laki itu mau menjadi saksi. Itu artinya, kalau ada perempuan diperkosa, dia berada dalam posisi sangat lemah. Jadi apa yang ditekankan dalam syariat Islam hanya pendapat para ahli hukum yang perlu diperdebatkan (bukan merupakan hukum yang langsung diberikan oleh Tuhan, karena telah mengalami penafsiran-penafsiran ketika berada dalam tangan manusia) .

Kalau kita mau menegakkan syariat Islam di Indonesia, sementara itu kita belum mempersoalkan masalah-masalah seperti ini, bisa timbul masalah. Umat Islam mau mengajukan syariat Islam sebagai alternatif bagi kehidupan hukum kita yang dianggap bobrok. Tapi dia ibarat menyodorkan kucing dalam karung. Kita tidak pernah tahu, kucingnya warna apa dan bulunya seperti apa. Sayangnya, mereka sulit diajak diskusi secara kritis. Sekarang, kalau kita mendiskusikan masalah itu secara kritis, lantas dianggap menghina syariat, menghina agama. Ini katanya mas Ulil.

Memang, dalam Islam, ide mengenai hukum itu kuat sekali. Dalam Islam ada sejarah pemikiran yang luar biasa kayanya berkaitan dengan masalah hukum. Dalam Islam ada suatu tradisi pemikiran hukum yang begitu kaya menyangkut semua aspek kehidupan manusia, menyangkut jual beli, kehidupan negara, kehidupan kesenian, dan kehidupan pribadi. Apalagi di negara yang masyarakatnya plural, tidak bisa diatur hanya dengan satu hukum agama saja. Hampir semua negara itu plural. Jarang ada negara yang komposisi demografisnya homogen mutlak. Watak kehidupan negara dalam masyarakat modern adalah plural. Taruhlah sebuah negara yang 90% atau bahkan 100% masyarakatnya beragama Islam. Tetapi hidup itu tidak statis. Orang Islam sendiri mempunyai pandangan berbeda-beda, mazhabnya berbeda-beda. Karena itu, kalau kita mau mengatur kehidupan, aturan mana yang mau dipakai: mazhab atau denominasi (dalam Kristen) mana yang mau dipakai.

Karena itu, ide mengenai negara agama harus ditolak. Kalau umat Islam mau mengatur hidup mereka berdasarkan agama, itu hak mereka sendiri, tetapi tidak boleh meminta negara mengatur itu karena negara merupakan lembaga milik publik. Jadi, kalau agama mau mengatur kehidupan publik, harus dibicarakan dulu oleh publik.

 
 
Wassalam
 
MII
____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Reply via email to