Republika Online edisi: 05 Apr 2000 Tahun Baru dan Gema Kebangkitan Islam Tidak lama lagi kita akan memasuki tahun baru, 1 Muharram 1421 Hijriyah (jatuh pada Kamis 6 April 2000). Sayangnya posisi umat Islam dalam percaturan kebudayaan internasional saat ini berada dalam titik terendah dan kemungkinan akan semakin rendah, kendatipun 15-20 tahun lalu gema kebangkitan Islam sangat nyaring terdengar khususnya yang disuarakan di kalangan umat Islam. Fenomena itu bisa kita simak dari konstelasi politik internasional maupun domestik. Situasi memprihatinkan di berbagai negara yang penduduknya beragama Islam masih menghiasi berita di media massa, kekacauan, kemiskinan, pertentangan politik, isolasi, kolonialisasi masih terjadi negara seperti Iran, Pakistan, Sudan, Afganistan, Indonesia, Turky, Lybia, Alzajair, Iraq, Bangladesh, Bosnia, Kosovo, Kuzbekistan, Palestina, dan lain-lain. Di negara yang minoritas Islam lebih mengenaskan lagi seperti di India, Cina, Filipina, Uzbekishtan, Chechnya, Eropa, dan sebagainya. Kalau dua dekade yang lalu kita mengharap fajar kebangkitan Islam pada abad ke 15 hijriyah dan kita sudah memasuki hampir 20 tahun abad ini maka muncul pertanyaan dimana gema itu sekarang? Tak bisa dibantah dunia saat ini sedang dikuasai oleh sivilisasi Barat dengan konsep kapitalisme, liberalisme, dan demokrasi. Usai sudah ketegaran komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur dan kemudian! jadilah Barat menjadi satu-satunya pemegang hegemoni politik dan ekonomi dunia yang dimotori oleh Amerika dan sekutunya. Amerika menjadi 'polisi dunia' yang tidak mau lepas dari semua aspek perubahan dinamisme bangsa di segala penjuru dunia tentu termasuk di semua negara yang berbau Islam. Bagaimana dunia akademik melihat ini? Ada dua rujukan penting yang dapat kita simak dalam mengkaji fenomena ini. Samuel Huntington (1996) secara jelas memberikan pandangan bahwa setelah keruntuhan ideologi komunisme maka era berikutnya yang harus dihadapi Barat adalah era perbenturan kebudayaan dengan Timur yang diwakili oleh Islam dan Confucianism. Pemikiran ini tampaknya diterima kalangan elite politik sehingga upaya menghadang dua ideologi ini (khususnya Islam) diimplementasikan dalam kebijakan politik dan ekonominya. Implementasinya dapat dilihat dalam bentuk upaya melemahkan segala bentuk kekuatan yang mungkin muncul dari negara atau ideologi Islam. Agaknya fenomena politik dan ekonomi di berbagai negara Islam termasuk di Indonesia yang disinggung dimuka sejalan dengan hipotesa Huntington ini. Oleh karenanya tidak mengherankan apa yang menjadi kebijakan Amerika dan NATO menekan Irak, Lybia, Pakistan, dan Indonesia akhir-akhir ini. Tekanan itu dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung dengan berbagai macam bentuknya. Penulis lain adalah Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and the Last Man (1996).Argumentasi Fukuyama menekankan pada kesempatan ideologi kapitalisme yang dianggap merupakan ideologi universal dan akhir dari kebudayaan universal yang tidak akan mungkin bisa diganti lagi oleh konsep ideologi dan civilisasi manapun. Menurut Fukuyama, Islam memang punya potensi sebagai penerus sivilisasi Barat (kapitalisme) karena nilai-nilai universalismenya. Namun kemungkinan ini dihalangi oleh dua hal: pertama, sebahagian konsepnya masih dogmatis dan tabu dibicarakan. Kedua, karena agama ini tidak disu! kai oleh sebagian generasi muda di berbagai belahan bumi seperti di New York, Berlin, dan Tokyo yang dinilainya sebagai motor penggerak modernitas. Islam kalah populer di kalangan generasi muda baby boomers. Kedua alasan ini tentu masih bisa diperbincangkan, namun yang pasti umat Islam masih perlu mengoreksi atau merevitalisasi dirinya jika ia ingin menghadapi dominasi maupun kezaliman civilisasi Barat. Apa yang bisa kita petik dari fenomena di atas, sementara umat Islam masih meyakini benar bahwa Islam adalah umat terbaik (khaira ummatan), ideologi terbaik, ummatan wasathan dan sebutan tertinggi lainnya, la yu'la alaih? Apakah masih ada kebenaran keyakinan ini pada saat umat Islam di berbagai negara bergulat dengan pertentangan politik, pemusnahan, pembantaian, kelaparan, dan keterbelakangan? Pada saat umat Islam saling bunuh membunuh? saling jegal menjegal? Bahkan dibantai, seperti di Kosovo, Bosnia, dan di Indonesia. Sementara negara Islam lain yang kaya raya diam seribu bahasa dan mereka bergelimang dengan kekayaannya seperti di Arab Saudi, Kuwait, dan Brunei. Islamnya yang salah atau umatnya yang perlu introspeksi? Isu di atas baru mengenai segi kebutuhan primer manusia: keamanan dan pangan. Dari segi penguasaan ilmu, teknologi, dan keuangan di semua negara Islam dapat dinilai sangat jauh terbelakang dibanding dengan negara Barat tadi. Di beberapa negara bahkan di depan mata kita sendiri umat Islam termasuk yang namanya mayoritas menjadi bulan-bulanan kaumminoritas, sapi perah, bahkan diserang, dihancurkan, dikuasai, digoyang, dihujat, dan diadu domba. Kasus-kasus seperti pada saat krisis ekonomi di Indonesia dan kejadian akhir-akhir ini seperti pembantaian Muslim di Maluku, Aceh, Kalimantan membuktikan argumentasi ini. Perusakan tatanan ekonomi yang sangat kuat fundamental ekonominya gampang sekali diruntuhkan hanya dalam waktu relatif singkat. Kesempatan memerintah oleh kalangan proumat dan menerapkan konsep-konsep yang sebenarnya bersahaja, digoyang dengan mudahnya dengan menggunakan bungkus demokrasi, HAM, keadilan, dan sebagainya. Umat Islam dengan mudah diadu domba, dibayar, dan diprovokasi sehingga seolah yang bertarung adalah Islam dan Islam. Kesatuan umat, persaudaraan, ghirah, kesetiakawanan, solidaritas, penghargaan pada nilai Islam hilang. Teroris, pemerkosa, perusuh, penjarah, pembunuh, perusak menjadi stigma baru umat Islam. Masyarakat dihadapkan pada serangkaian serangan baik melalui pola pikir, pemakaian narkotik, kebudayaan, permissiveness, dan bentuk halus lainnya. Kebangkitan Islam menjadi buyar, cap negatif yang selama ini ditabalkan ke Islam semakin menebal dan semakin sulit dihilangkan. Gema kebangkitan Islam semakin terbang meninggalkan umat. Apanya yang salah? Sukar memang menjawab pertanyaan sederhana ini. Karena pertanyaan ini sejak dahulu telah menjadi bahan diskusi umat bahkan sejak Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, dan sebagainya. Namun meminjam pendapat Ziauddin Sardar (1999), umat kita saat ini adalah hasil gembelangan pemimpin umat yang masih mewarisi budaya kolonial yang terus menerapkan politik adu domba baik halus maupun kasar. Pemimpin formal Islam sekarang ini hanya komparador Barat katanya. Hegemomi politik Barat terus-menerus menguasai pemimpin ini dan menerapkan standar ganda untuk tetap menguasai umat Islam yang memang berpotensi menjadi rival civilisasi Barat. Sayangnya pemimpin kita masih tutup mata (atau tidak mau tahu) terhadap trik-trik kasar maupun halus yang dimainkan oleh mereka yang masih membenci Islam. Dan sayangnya lagi umat kita masih "defensive" dan kadang apologi dan tidak responsif dan proaktif mengikuti elan serangan yang terencana dan halus dari civilisasi Barat. Masyarakat kita banyak yang hanyut dengan elan kenikmatan budaya Barat. Padahal dalam surat Ali Imran jelas disebutkan bahwa kamu jangan terbuai oleh kenikmatan yang diperoleh orang kafir. Kita memiliki filosofi dan budaya sendiri yang mampu menghadapinya. Upaya umat yang selama ini dilakukan masih terbuai oleh perangkap metodologi Barat. Islam seolah ingin mengejar Barat dengan melalui jalur yang telah ditempuh Barat. Pendekatan yang dilakukan Barat kalau dikaji sejak awal adalah pendekatan rasionalistik dan materialistik sebagaimana yang diwariskan Romawi-Yunani. Memang pendekatan ini dapat mencapai kemajuan material kendatipun akhirnya keropos dan sampai diubah dan dikuasai oleh civilisasi Islam. Paradigma civilisasi Yunani yang diikuti Barat saat ini memang telah membawa manusia kearah kemajuan seperti saat ini namun masih mengandung risiko pembusukan sebagaimana kita lihat beberapa gejala dekadensi moral dan etik di Barat belakangan ini. Konsep pembangunan Rasulullah tidak menggunakan paradigma itu, dia datang dengan konsep Allah dengan paradigma sendiri yaitu supremasi rasional dan moral (bukan materialistik) dengan tetap menggunaan cara berpikir rasional. Konsep Islam mengutamakan membina kualitas SDM sebagai pelaku sentral dari suatu masyarakat dengan menanamkan kualitas Muslim, muchlis, dan ihsan dengan keyakinan pada petunjuk dan lindungan Allah SWT. Ia memiliki visi jangka panjang (akhirat) bukan jangka pendek (dunia). Dia tidak ke barat dan tidak ke timur, Islam agama bagi mereka yang berakal Islam rasional tidak dogmatis. Sayangnya nilai-nilai luhur itu tidak dipahami oleh para pemimpin formal umat Islam yang sudah menjadi komparador Barat paling tidak mereka tidak memiliki kemampuan filosofis untuk menerapkan konsep ini. Lapisan atas kita sudah terbuai oleh kenikmatan duniawi yang ditawarkan Barat. Paradigma perjuangan Islam bukan untuk mengejar kemewahan dan kenikmatan dunia yang sedikit ini, bukan pula pada bangunan fisik tetapi pada supremasi ketentuan Allah SWT. ------------------------------------------------------------ Free Web-email ---> http://mail.rantaunet.web.id Minangkabau WebPortal ---> http://www.rantaunet.web.id ================================================= WEB-EMAIL GRATIS ... @rantaunet.web.id ---> http://mail.rantaunet.web.id ================================================= Subscribe - Mendaftar RantauNet Mailing List, kirimkan email Ke / To: [EMAIL PROTECTED] Isi email / Messages: subscribe rantau-net email_anda Unsubscribe - Berhenti menerima RantauNet Mailing List, kirimkan email Ke / To: [EMAIL PROTECTED] Isi emai / Messages: unsubscribe rantau-net email_anda ================================================= WebPage RantauNet http://rantaunet.web.id dan Mailing List RantauNet adalah servis dari EEBNET http://eebnet.com, Airland Groups, USA =================================================