Gerakan Mahasiswa:
Evaluasi dan Orientasi Baru
Oleh
Indra J. Piliang

Tanggal 13 November 2000 yang lalu, tepat 2 (dua) tahun Tragedi Semanggi. 
Ribuan mahasiswa masih memadati kampus Atmajaya, dan halaman gedung parlemen 
di Senayan. Ditengah peringatan itu, dan ditengah konflik elite politik 
sekarang ini dan beragamnya persoalan bangsa yang harus diselesaikan, 
benarkah mahasiswa seakan kehilangan arah perjuangannya? Seorang pengamat 
politik terkenal yang sekarang sedang belajar di USA dalam emailnya kepada 
penulis menyebutnya sebagai disorientasi gerakan mahasiswa. Pelan-pelan 
gerakan mahasiswa menjadi sangat marginal, padahal begitu banyak 
persoalan-persoalan bangsa yang notabene membutuhkan perhatian mahasiswa. 
Apakah benar fungsi mahasiswa hanya sekedar penghela sejarah atau pembuka 
kotak Pandora dari rezim otoritarian, lalu setelah itu membiarkan kelompok 
masyarakat lain memainkan peranannya?

Memang tidak seluruh komponen mahasiswa diam, setidaknya masih terdapat yang 
bergerak. Menurut pengamatan penulis, setidaknya terdapat tiga komponen 
mahasiswa yang masih melakukan gerakan:

Pertama, komponen mahasiswa yang konsisten dengan tuntutan-tuntutan 
reformasi, seperti pengadilan Soeharto, penghapusan dwi-fungsi ABRI, dan 
penghapusan korupsi-kolusi-nepotisme. Kebanyakan komponen yang mewakilinya 
berasal dari mahasiswa-mahasiswa radikal, seperti Forkot, Jarkot, dan 
sejenisnya. Sayangnya komponen mahasiswa ini sudah mengalami perpecahan 
internal, baik karena pergantian kepemimpinan, atau aktifis-aktifisnya sudah 
menamatkan bangku kuliah. Pasca Soeharto, mereka tergabung dalam kelompok 
Reformasi Total yang menyerukan pembentukan Komite Rakyat Indonesia. 
Kelompok ini juga menolak Pemilu karena merasa bahwa UU Pemilu dihasilkan 
oleh anggota legislatif yang tidak konstitusional. Pengertian mereka tentang 
Orde Baru adalah bagian dari kudeta militer yang melanggar konstitusi. 
Apapun kebijakan Orde Baru harus ditolak, karena proses awalnya sudah tidak 
konstitusional. Dari pembicaraan dengan sejumlah aktifisnya, penulis 
mendapat kesan bahwa mereka sedang menyiapkan revolusi generasi (Lebih jauh 
baca tulisan penulis dalam Kompas, 14 September 2000 tentang "Elite Politik 
dan Revolusi Generasi).

Kedua, komponen mahasiswa yang konsisten dengan tuntutan-tuntutan reformasi, 
tetapi jarang bergerak di lapangan. Komponen ini lebih memilih jalur aman 
dengan mempengaruhi wacana publik tentang reformasi lewat seminar dan 
diskusi di kampus-kampus. Umumnya mereka memilih bergerak berdasarkan 
momentum khusus, misalnya Sumpah Pemuda atau Hari Pahlawan. Kelompok ini 
kebanyakan berasal dari lembaga intra kampus, seperti Badan Eksekutif 
Mahasiswa, sekalipun juga ada yang berasal dari lembaga ekstra kampus. 
Sebagian besar dari kelompok ini, pasca Soeharto, memilih jalur reformasi 
konstitusional, termasuk dengan menerima pemilihan umum. Bahkan banyak 
diantaranya yang bertindak dalam lembaga pengawasan Pemilu, seperti UNFRELL. 
Agenda kelompok ini tidak begitu jelas mengingat sebagian besar pimpinannya 
sudah menyelesaikan kuliah. Agenda formal memang tetap ada, yaitu terkait 
dengan sejumlah visi reformasi yang diulang-ulang dalam setiap kali diskusi 
dan demonstrasi.

Ketiga, komponen mahasiswa yang bermain dalam lingkaran elite-elite politik. 
Sebagian besar berasal dari lembaga ekstra kampus, baik yang lama, atau yang 
baru. Pernyataan eksplisit Amien Rais bahwa dia juga membawa mahasiswa 
sebagai "teman" dalam tur ke Sumatera, memperlihatkan fenomena ini. Secara 
garis besar mereka memang berada dalam dua kubu politik, pendukung Amien 
Rais atau pendukung Gus Dur. Tidak heran kalau di lapangan kita melihat ada 
"benturan kecil" antara kelompok aktifis HMI (bukan lembaga, tapi 
perorangan. Pen.) dengan kelompok mahasiswa/santri NU. Dalam sejarah gerakan 
mahasiswa, mereka dikategorikan sebagai mahasiswa politisi. Agenda mereka 
apalagi kalau bukan menangguk keuntungan material dari gerakan-gerakan yang 
mereka lakukan, dan sekaligus melakukan mobilitas vertikal sebagai 
elite-elite politik baru. Agenda lain, mungkin, menjalankan idealisme 
perjuangan gerakan mahasiswa melalui orang-orang dan lembaga-lembaga yang 
mereka nilai "tepat". Dengan menempuh jalur politik, jenis mahasiswa ini 
menembus jalan pintas untuk mencapai jabatan-jabatan strategis dalam tubuh 
partai. Jika seorang aktifis partai membutuhkan waktu 5-10 tahun untuk 
menjadi pimpinan, misalnya, mereka cukup menempuhnya dalam hitungan setahun 
atau dua tahun setelah terlebih dahulu melakukan satu atau dua proyek 
politik.

Sebetulnya juga terdapat kelompok keempat, tetapi lebih merupakan aliansi 
pemuda-mahasiswa ekstra kampus. Penulis menemukan satu proposal yang 
ditujukan kepada penyandang dana, dalam dan luar negeri, untuk aktifitas 
mereka. Kelompok ini setengah LSM, setengah mahasiswa, dan banyak 
menyandarkan penghasilan dari pekerjaan-pekerjaan yang tercantum dalam 
proposal-proposal itu. Kelompok inilah yang banyak membikin pusing 
aktifis-aktifis mahasiswa intra kampus, karena kebanyakan hanya menjadikan 
unsur kemahasiswaannya sebagai status untuk mendapatkan proyek diluar. Tak 
jarang mereka melakukan pindah-pindah kampus, atau menjadi mahasiswa abadi, 
agar status kemahasiswaannya tetap dan lama.
Secara garis besar, komponen-komponen mahasiswa itu terbagi dalam dua 
orientasi, yaitu menjadikan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral (apapun 
dampak politik-nya) dan menjadikan perjuangan kemahasiswaan sebagai gerakan 
politik. Pilihan metode gerakannya juga dua, yaitu bergerak didalam sistem 
politik, atau berada diluar sistem politik. Uniknya mereka beranjak dari 
jargon yang sama, yaitu reformasi, sekalipun tujuan penggunaan jargon itu 
berbeda-beda.

Dari uraian ini sudah dapat diketahui, kenapa gerakan mahasiswa seperti 
kehilangan orientasi. Sebetulnya mereka tidak kehilangan orientasi, tetapi 
ketidaksamaan fokus gerakan karena tidak menemukan common enemy seperti 
Soekarno dan Soeharto, dulu. Dengan ketidak-samaan fokus gerakan akan lebih 
mudah memantau ketika komponen A bergerak, pasti tembakannya kepada isu B, 
sekalipun kelompok, waktu atau organisasinya berbeda.  Konflik Amien - Gus 
Dur sudah menunjukkan secara telanjang, kelompok-kelompok mana saja yang 
tergabung dengan Gus Dur atau dengan Amien, dan ini sudah bukan rahasia lagi 
di kalangan politisi.  PRD saja, yang banyak aktifisnya berasal dari 
mahasiswa, akhirnya terbelah dua akibat tidak tercapainya kompromi untuk 
menyikapi pemerintahan Gus Dur.

Hanya Gerakan, Belum Angkatan
Dalam pandangan penulis, gerakan mahasiswa 98 tidak jauh lebih maju dari 
gerakan mahasiswa 66, sekalipun massa yang terlibat jauh lebih banyak. 
Terlibatnya massa dalam jumlah luar biasa itu adalah bagian dari kemajuan 
teknologi informasi dan bukan karena keberhasilan mahasiswa membangun 
jaringan. Telepon, telegram dan TV ditahun 1966 masih terbatas, begitu juga 
media massa. Daya jangkaunya juga tidak terlalu luas. Makanya penulis 
menganggap bahwa gerakan mahasiswa 98 belum bisa dikategorikan sebagai suatu 
angkatan, tetapi hanya sebatas gerakan. Yang namanya gerakan akan berhenti, 
ketika objek yang memaksanya untuk bergerak sudah kalah.

Jefrey Winters, pengamat ekonomi-politik Indonesia itu, malah tidak 
memandang sama sekali pada keberhasilan gerakan mahasiswa 1998.  Baginya, 
Soeharto jatuh karena dollar, bukan karena gerakan mahasiswa. Ibarat orang 
yang sudah berada di pinggiran jurang, gerakan mahasiswa hanya memberikan 
the last touch.  Atau dalam analisis yang lebih serius, komponen mahasiswa 
hanyalah bagian dari kartu terakhir yang bergerak setelah rupiah dan modal. 
Dalam sistem perekonomian kapitalistik yang dijalankan Indonesia (Yusihara 
Kunio menyebutnya sebagai Erzats Capitalism, kapitalisme semu), sangat boleh 
jadi para pemilih modal sangat besar pengaruhnya kepada sistem politik 
Indonesia, sekalipun persoalan ini kurang begitu dipikirkan oleh 
komponen-komponen mahasiswa yang bergerak.

Dari sisi yang lebih abstrak, gerakan mahasiswa telah muncul sebagai 
kekuatan mitologis dalam sistem politik Indonesia. Gerakan mahasiswa selalu 
hadir sebagai bagian dari kutukan sejarah untuk menyelesaikan 
persoalan-persoalan rumit yang dihadapi bangsa Indonesia. Makanya banyak 
juga yang menyebut gerakan mahasiswa sebagai bagian dari turun gunungnya 
sosok-sosok resi yang selama ini bertapa di kampus-kampus. Atau bagi yang 
gandrung menonton film Amerika, gerakan mahasiswa bagian dari cowboys yang 
tugasnya menumpas kejahatan. Baik sebagai resi atau sebagai cowboys, gerakan 
mahasiswa tetap dianggap mengandung misi suci, tak peduli dengan pandangan 
sejumlah pengamat yang menemukan banyak anggota perempuan KAPPI yang hamil 
semasa gerakan mahasiswa 66, atau yang menemukan tumpukan kondom di gedung 
DPR-MPR ketika gerakan mahasiswa 98.

Padahal gerakan mahasiswa belum tentu sesuci itu. Ia tidak hadir dalam 
kevakuman politik. Malah sebaliknya, ia bahkan menjadi salah satu kekuatan 
politik di dunia ketiga, tetapi sering hanya sedikit sekali mahasiswa yang 
menyadarinya. Menurut Hans Dieter-Evers, mahasiswa juga menjadi bagian dari 
kelompok strategis, sebagaimana halnya dengan tentara, kaum agamawan, atau 
kaum intelektual. Bagi Dieter, gerakan mahasiswa dan gerakan petani termasuk 
kelompok-kelompok strategis baru yang sulit terintegrasi kedalam sistem 
patronase politik. Sebaliknya mereka menjadi ancaman terbesar bagi sistem 
kelas (Hans-Dieter Evers & Tilman Schiel, Kelompok-kelompok Strategis: Studi 
Perbandingan tentang Negara, Birokrasi, dan Pembentukan Kelas di Dunia 
Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992, hal. 16-17.)

Mengacu pada gerakan mahasiswa 1998 terlihat bahwa pola-pola gerakannya 
tidak mengalami perubahan. Ia hadir dalam situasi krisis, dan kepemimpinan 
yang dihasilkanpun -- baik dalam diri mahasiswa atau elite politik nasional 
yang kemudian tampil -- kepemimpinan by crisis atau by accident yang secara 
struktural dan kultural lemah, kecuali pemimpin-pemimpin itu punya bakat 
otoriter. Kalau dirunut satu demi satu, tuntutan mahasiswa 98 mengandung 
kesamaan substansi dengan gerakan mahasiswa 66, sekalipun konteks dan 
objek-objek yang dituntut berbeda. Tuntutan bubarkan PKI tahun 1966, 
misalnya, paralel dengan tuntutan hapuskan dwi-fungsi ABRI. Dimata 
mahasiswa, sesuai zamannya, ketelibatan PKI dalam sistem politik Orde Lama, 
sebanding dengan keterlibatan militer dalam sistem politik Orde Baru. 
Keduanya sama-sama anti demokrasi.

Begitu juga tuntutan kepada Soekarno dan Soeharto, mengandung substansi yang 
sama, yaitu mereka mengembangkan rezim otoritarian dan menjebloskan 
lawan-lawan politiknya ke penjara. Soeharto jauh lebih beruntung, karena di 
akhir masa jabatannya banyak melakukan rekonsiliasi dengan lawan-lawan 
politiknya, kecuali dengan Sri Bintang Pamungkas, aktifis Islam, dan aktifis 
PRD. Sedangkan Soekarno mati di rumah tahanan, Wisma Yasso, karena tidak 
diperbolehkan menemui rakyat oleh rezim Soeharto.

Makanya, kembali ke tesis awal, gerakan mahasiswa 98 belum bisa disebut 
sebagai angkatan, menyamai angkatan 1928 dan 1945. Mahasiswa 1928 memberikan 
identitas nasional, sekaligus visi kearah kemerdekaan. (Sebetulnya yang 
lebih visioner adalah Angkatan 1925 yang mengeluarkan Manifesto Politik di 
negeri Belanda, sebagaimana selalu diulang oleh sejarawan Sartono 
Kartodirdjo). Mahasiswa 1945 memberikan kemerdekaan, dan visi kedaulatan 
rakyat, sekalipun kemudian diselewengkan oleh pemerintah. Sedangkan gerakan 
mahasiswa 1966 bisa dikatakan 1/2 angkatan dan 1/2 gerakan karena berhasil 
menumbangkan komunisme dan mendudukan Soeharto di tampuk kekuasaannya, 
tetapi gagal meminta atau memaksa Soeharto berdiri dari kursi empuknya itu.


Kembali Ke Basis Daerah
Sebetulnya mahasiswa sekarang bisa lebih berperan, jika memulai 
langkah-langkah baru dalam visi gerakannya. Salah satunya adalah kembali ke 
basis daerah, dan mengurangi orientasi vertikal yang mengarah ke pusat 
kekuasaan di Jakarta. Jakarta selain pusat pemerintahan, kaum intelektual, 
dan konglomerat, juga menjadi pusat kejahatan, koruptor, dan 
politisi-politisi serakah. Dan sepanjang sejarah gerakan mahasiswa, selalu 
saja yang mendapat keuntungan politik dan ekonomi adalah pelaku-pelaku 
gerakan yang berada di Jakarta. Pelaku-pelaku gerakan mahasiswa di daerah 
kadangkala hanya bertindak sebagai pengiring penganten, padahal mereka tak 
kalah hebatnya dalam bergerak. Malahan, menurut catatan penulis, gerakan 
mahasiswa 98 bermula dari daerah-daerah, terutama Yogya. Radikalisasi 
mahasiswa juga dimulai di daerah, antara lain di Lampung, Salatiga, dan 
Yogya. Tapi ketika Soeharto tumbang, yang menjadi selebritis adalah justru 
mahasiswa-mahasiswa Jakarta yang kerjanya hanya memberikan keterangan pers. 
Ironis, memang.

Pelaksanaan otonomi daerah bulan Januari 2001 bisa menjadi ajang pergulatan 
baru bagi mahasiswa-mahasiswa daerah. Sudah selayaknya kantong-kantong 
intelektual dan calon-calon pemimpin bermutu dikembangkan di daerah-daerah, 
tidak lagi di Jakarta atau Jawa. Kesenjangan intelektual dan informasi yang 
tinggi antara mahasiswa Jakarta/Jawa dengan daerah selama ini sudah saatnya 
diakhiri. Dalam bidang distribusi intelektual ini, kita memang tidak 
mengalami perkembangan berarti dibandingkan dengan zaman kolonial Belanda. 
Batavia dari dulu memang pusat pendidikan, karena akan lebih mudah 
mengontrol kalangan intelektualnya. 50 tahun pengembangan pendidikan, 
keadaan ini tidak banyak berubah.

Penulis sangat yakin, kalau persoalan distribusi anggaran pendidikan, dan 
pembentukan kantong-kantong intelektual di daerah-daerah ini tidak 
dilaksanakan, pola-pola gerakan mahasiswa tetap tak berubah. Mereka akhirnya 
hanyalah korban dari elite-elite politik, dan malahan korban dari 
elite-elite mahasiswa yang memainkan kepentingannya secara sendiri-sendiri. 
Dengan visi gerakan mahasiswa yang mengarah ke daerah-daerah ini, 
sekurang-kurangnya mahasiswa daerah bisa lebih berperan menentukan masa 
depan daerahnya sendiri. Wallahu "Alam.

Jakarta, November 2000
*) Penulis adalah pengamat gerakan mahasiswa, juga penulis soal-soal sejarah 
dan politik.

_____________________________________________________________________________________
Get more from the Web.  FREE MSN Explorer download : http://explorer.msn.com


RantauNet http://www.rantaunet.com
=================================================
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

Atau kirimkan email
Ke / To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email / Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
- mendaftar: subscribe rantau-net [email_anda]
- berhenti: unsubscribe rantau-net [email_anda]
Ket: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
=================================================
WebPage RantauNet http://www.rantaunet.web.id dan Mailing List RantauNet
adalah servis dari EEBNET http://eebnet.com, Airland Groups, USA
=================================================

Kirim email ke