Salam,
 
Tulisan ini, versi awalnya, dimuat di www.lippostar.com. Sedangkan versi akhir, yang ada dibawah ini. Saya belum sempat memberitahukan lippostar, berhubung karena kesibukan mengerjakan tugas lain. Versi lippostar, naik hari ini (Jum'at, 7 September).
 
Salam,
 
ijp
=======

Sumber:

www.lippostar.com/opinion

Korupsi Politik

 

Oleh

 

Indra J. Piliang

 

Arifin Panigoro, usai Pidato Megawati tanggal 16 Agustus 2001, menyampaikan siap dipotong kepalanya apabila terbukti sebagai koruptor. Selain itu, Arifin juga menyatakan agar siapapun yang menuduh orang lain korupsi, tetapi ternyata tak mampu membuktikannya, harus dipotong juga kepalanya. Ungkapan bersemangat Arifin itu menjadi pertanda derasnya keinginan kalangan parlemen dan pemerintah memberantas virus korupsi di Indonesia. Kalangan civil society dan aparat hukum pantas menyambutnya, dengan bekerja lebih keras lagi untuk membuktikan begitu banyak kasus korupsi di Indonesia.

 

Padahal kita tahu, korupsi merupakan musuh bangsa ini. Kalau belajar dari sejarah, VOC juga dibubarkan karena korupsi, yang berbuah kepada diberlakukannya periode Tanam Paksa untuk mengisi kekosongan kas negeri Belanda. Orde Lama juga jatuh secara moral akibat korupsi. “Siang tadi ketika aku momong kera, aku bertemu dengan seorang yang tengah memakan kulit mangga...Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga itu “paduka” kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istrinya yang cantik-cantik...,” demikian kesaksian Soe Hok Gie, yang tertulis dalam catatan hariannya tertanggal 10 Desember 1959. Kita juga mencatat, Soeharto dijatuhkan dengan isyu dahsyat gerakan mahasiswa: anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Ketika sebuah rezim (politik) sudah terbukti jatuh akibat korupsi, tinggal menunggu waktu saja, sebuah bangsa (dan negara) juga bisa runtuh akibat korupsi.

 

 

Defenisi Korupsi

 

Batasan awal untuk mendefinisikan korupsi belum sepenuhnya jelas. Terasa, tetapi tak terdefenisikan secara detil. Menurut SH Alatas (1987: 225), pada dasarnya korupsi adalah perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan. Dalam bentuknya yang bersifat memaksa, tulis Alatas lagi, ia adalah perampasan yang disertai kekerasan.

 

Alatas malahan mengkritik sejumlah kecil ilmuwan dan wartawan sebagai pencipta “ideologi korupsi”. Sejumlah nama disebutnya, termasuk Samuel P. Huntington dan Robert K. Merton. Dalam hubungan antar Indonesia dengan lembaga-lembaga international, seperti IMF, Jeffrey A. Winters juga melakukan kritikan tajam bahwa lembaga-lembaga itu turut bersalah dengan epidemi korupsi di Indonesia.

 

Sedangkan menurut UU no. 3 tahun 1971, yang menandai era baru setelah “tumbang”-nya Orde Lama, Penjelasan Pasal 1 mendefenisikan perbuatan korupsi merupakan perbuatan: “... yang mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang pegawai negeri atau kedudukan istimewa yang dipunyai seseorang didalam jabatan umum yang secara tidak patut atau menguntungkan diri sendiri maupun orang yang menyuap.”

 

Defenisi yang lebih umum banyak diungkap oleh ilmuwan dunia, antara lain menghubungkannya dengan favoritisme, nepotisme, sektarianisme dan bahkan komunalisme. Korupsi makin tumbuh subur di tengah budaya masyarakat yang menunjangnya, termasuk budaya tepo seliro, mikul duwur mendem jero, atau tut wuri handayani.  Makanya, ada situasi paradoks yang terbangun, bahwa kebanyakan pelaku korupsi justru para pejabat, orang-orang kaya, dan bukan orang-orang miskin dan lapar. Korupsi dilakukan oleh orang-orang yang sudah bisa memenuhi kebutuhan primer dan tersiernya.

 

Dari perspektif politik, korupsi bukan hanya soal penipuan dan pencurian dana publik untuk keuntungan pribadi. Korupsi bisa juga terhubung dengan adanya jarak yang terentang antara das sein dan das sollen konstituen politik. Hampir dipastikan, masalah umum sebagian besar rakyat Indonesia menyangkut kemiskinan dan bahkan kelaparan, juga pengangguran. Ketika masalah itu tidak menempati urutan terpenting pengambilan keputusan, para politisi itu telah nyata-nyata mengkhianati konstituennya.

 

Kita juga bisa melihat dari berbagai bentuk penghabisan anggaran negara untuk kunjungan kerja ke berbagai negara oleh anggota DPR-MPR. Mereka juga dengan mudah mendapatkan fasilitas mobil, rumah, mesin cuci, dan lain-lainnya, tanpa persetujuan rakyat. Ketika Indonesia memiliki jumlah pengungsi dan pengangguran terbesar di dunia, sebagian wakil-wakil rakyat justru menjadi importir mobil-mobil mewah yang harganya tak sebanding dengan gaji mereka.

 

 

Reduksi Demokrasi

 

Korupsi politik juga menyangkut 238 anggota MPR yang diangkat sebagai utusan golongan, utusan daerah, dan Fraksi TNI/Polri. Mereka tidak dipilih oleh rakyat. Orang yang duduk di legislative tanpa melalui Pemilu merupakan reduksi atas demokrasi. Padahal, pengangkatan anggota MPR non Pemilu ini sudah ditentang oleh Muhammad Hatta. Hatta, ketika melihat Pemilu 1971 tidak memilih sebagian anggota DPR-MPR karena langsung ditunjuk mewakili daerah dan golongan, mengingatkan Soeharto bahwa pemilihan umum seharusnya diberlakukan bagi segenap anggota lembaga perwakilan itu. Bila tidak, menurut Hatta, sebaiknya pemilihan umum tak usah diselenggarakan (Tempo, 19 Agustus 2001, hal. 86.). Demokrasi yang semestinya tumbuh subur sebagaimana diinginkan oleh para pendiri republik ini, nyatanya tak mendapat tempat di kalangan penguasa politik yang mengambil keuntungan darinya. 

 

Korupsi juga menyangkut dana-dana partai politik yang tidak jelas darimana asalnya, atau bahkan yang jelas-jelas melanggar UU Pemilu. Seorang pimpinan partai melenggang menjadi menteri, justru ketika kasusnya sedang diproses di pengadilan, karena pernah menerima dana dalam jumlah besar. Belum lagi kasus-kasus yang menyangkut money politics, yang lambat laun diolah secara smooth untuk tak termasuk sebagai  korupsi. Sejumlah penyelenggara negara juga dilaporkan menerima dana-dana hibah, yang tak jelas asal-usulnya. Banyak orang-orang kaya baru muncul, ketika sebagian besar rakyat menderita kelaparan.

 

Begitupun dalam hubungan antara rakyat di daerah dengan anggota parlemen di pusat. Ketika politisi lebih mengedepankan kepentingan elite politik nasional, daripada aspirasi penting yang menyangkut realitas kemasyarakatan,  lagi-lagi terjadi kesenjangan. Belum lagi dengan begitu menonjolnya kepentingan individu yang ditunjukkan oleh politisi, daripada kepentingan rakyat secara keseluruhan. Secara etik, tentu yang terjadi adalah korupsi politik.

 

Untuk menggambarkan apa yang terjadi, seorang fungsionaris partai yang kritis terhadap pimpinan pusatnya, menyebut era sekarang sebagai era Jafirun. Gabungan antara Dajjal (tukang adu domba), dengan Fir’aun (penguasa lalim), dengan Qorun (orang tamak yang tenggelam karena hartanya). Tiga simbol dari kehancuran akhlak ummat manusia, bergabung dalam satu pribadi manusia. Alangkah terkutuknya!!

 

Politik, ternyata,  telah dikorupsi oleh penyelenggara negara. Dan itu semua berlangsung secara konstitusional, mengingat tafsiran konstitusional tidaknya sebuah kebijakan berada di tangan lembaga MPR. Korupsi tak hanya sekadar bagaimana mempertanggung-jawabkan sejumlah angka dalam APBN, tetapi juga menyangkut pertanggungjawaban atas “kepercayaan” rakyat.

 

Kejelasan Aturan

 

Uraian itu menunjukkan, betapa sulitnya membuktikan korupsi, terutama korupsi dalam artian politik. Sistem perundang-undangan Indonesia belum mengenalnya, selain yang menyangkut kasus pidana dan perdata. Korupsi baru sekedar retorika politik murahan dalam berbagai kampanye politik. Padahal prasyarat demokrasi juga berarti adanya transparansi dan akuntabilitas keputusan-keputusan politik. Demokrasi bukan hanya menyangkut persoalan checks and balance antara lembaga-lembaga negara, melainkan juga mengatur nota serah terima yang jelas, lengkap dengan apa saja yang diserah-terimakan dan tanggung-jawab pihak-pihak yang membubuhkan tanda tangannya, baik rakyat (dalam Pemilu) maupun yang diserahkan (anggota parlemen terpilih).

 

Untuk itulah, pembuatan peraturan yang bisa dijadikan sebagai pegangan bersama mutlak dilakukan. Langkah pertama adalah perubahan konstitusi. Kalau perlu, konstitusi dibuat menjadi detil, sampai 1945 pasal. Tabiat kekuasaan yang korup, mestinya sudah lama kita kendalikan dengan peraturan demi peraturan itu. Nah, pendefenisian korupsi politik saja belum begitu jelas dan disepakati, bagaimana bisa mencarikan metode penumpasannya, berikut peraturan pendukungnya?

 

Sekalipun banyak sekali keraguan dari masyarakat tentang tak berjalannya fungsi legislasi parlemen, desakan kearah itu mutlak tetap diteruskan. Para koruptor tak perlu dipotong kepalanya, untuk tindakan korupsi yang dilakukan, mengingat peraturan pemotongan kepala koruptor itu sendiri belum ada. Semua koruptor, termasuk koruptor politik, mestinya bernafas lega, dengan ketiadaan peraturan itu. Dalam konteks inilah, pernyataan Arifin Panigoro menjadi pernyataan biasa-biasa saja, sekalipun mengingatkan kembali tentang pentingnya pembuatan peraturan yang menggantung dan memotong kepala para koruptor.

 

Peran Civil Society

 

Ketika penyelenggara negara tumbuh sedemikian rupa hingga tak lagi hirau pada amanat penderitaan rakyat dalam setiap fase sejarahnya, peranan civil society sungguh diperlukan. Civil society bukan hanya pelayan bagi sejumlah funding dari dalam dan luar negeri, tetapi juga bisa mengambil posisi oposisional terhadap perilaku penyelenggara negara. Korupsi, kalau diurai satu demi satu, nyatanya bersumber dari kelemahan konstitusi, juga begitu besarnya fungsi lembaga seperti MPR yang bahkan mempunyai kekuasaan untuk mengangkat sebagian orang sebagai wakil rakyat, tanpa pernah melewati proses demokrasi.

 

Persoalan klasik dalam upaya pemberantasan korupsi, baik yang berskala besar maupun kecil, lagi-lagi terhubung dengan lemahnya kalangan civil society. Sebagai kekuatan sosial, civil society belum berhasil menjadikan gerakan anti korupsi sebagai gerakan social. Malahan, lembaga-lembaga semacam Gempita dan ICW makin kehilangan gregetnya, ketika yang terungkap ke publik adalah kasus-kasus besar yang tidak jelas lagi follow up-nya. Sejumlah organisasi anti korupsi di daerah, juga dikenal sebagai lembaga yang melakukan “pemerasan” kepada koruptor masa lalu, sekalipun soal semacam ini sulit dibawa ke permukaan.

 

Padahal, sebagai ujung tombak diluar penyelenggara negara, civil society mestinya terlebih dahulu membersihkan dirinya dari persoalan yang disorot. Harus ada akuntabilitas publik atas berbagai yayasan atau pusat kajian yang dibuat kalangan Non Government Organization.  Begitu juga harapan terhubung kepada elemen-elemen gerakan mahasiswa yang getol berbicara soal KKN, mestinya lebih mengarahkan gerakan anti korupsi sebagai gerakan sosial yang berlandaskan moral kemahasiswaan, dan bukan ikut menari diatas tabuh yang dipukul politisi. Dengan jumlah kyai, ulama, pendeta, dan komponen masyarakat relegius lainnya, perang terhadap korupsi mestinya mampu lebih kuat. Dan tak lupa, kalangan pers pada umumnya, yang turut dikritik oleh Alatas, karena ulasan-ulasannya yang memberi celah bagi tumbuhnya ideology korupsi. Apabila komponen-komponen non penyelenggara negara ini sudah menyatukan gerakannya, tentu sedikit harapan terbuka bagi tereliminasinya kelompok-kelompok yang melakukan korupsi di tengah-tengah masyarakat.

 

 

Agustus 2001.

 

Indra J. Piliang, peneliti CSIS, Jakarta.

Reply via email to