Tarimo kasih, Indra, acok-acok lah mangirim surek.

Ambo yo indak paham bana jo budayo minang,
kok dicaliek memang budayo minang kiniko ko sadang 
dalam proses ka manjadi batu...
ndak ado nan baru, carito lamo kasadoe, carito 
tahun 66 kabawah.
Untuang lai ado nan maangek-angek (DPRD), 
dek ambo, batua jo salah ndak baa bagai doh, nan
penting lai ndak hanap takah batu.


Fery.


--- indrapiliang <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0109/07/opi02.html
> 
> Islam, Minang dan Malin Kundang 
> 
> Oleh Indra J. Piliang 
> 
> Keprihatinan pantas dialamatkan ke ranah Minang yang
> selama ini dikenal sebagai tempat persemaian
> pemikiran-pemikiran Islam modernis, dan juga pusat
> pergerakan Islam yang berpengaruh. Keprihatinan itu
> menyangkut kegagalan budaya Minang melahirkan (lagi)
> generasi Islam yang sekaliber Natsir, Agus Salim,
> HAMKA, dan nama-nama lainnya. Ranah Minang
> sepertinya menjadi mandul dalam melahirkan pemikiran
> Islam, atau lebih luas lagi mengalami kejumudan
> pemikiran-pemikiran alternatif yang berdampak pada
> dinginnya dialog-dialog keagamaan.
> 
> Malah dalam perkembangan terakhir, kontraversi
> meletup dengan rencana dikeluarkannya peraturan
> pelarangan perempuan keluar malam, lewat pukul
> 22.00. Peraturan itu digunakan sebagai antisipasi
> atas maraknya prostitusi dan kasus-kasus yang makin
> melunturkan citra Minangkabau sebagai daerah yang
> agamis. Majalah Far Eastern Economic Review (FEER)
> menyorot khusus soal ini, dalam laporannya bulan
> Agustus 2001 ini. FEER juga menghubungkannya dengan
> pemberlakuan otonomi daerah dan berkembangnya
> kembali bentuk-bentuk nagari, sebagai ganti desa
> atau lurah yang dibentuk selama Orde Baru, yang
> disebut FEER sebagai Javanese autocracy. Sekalipun
> rencana Perda itu tidak jadi mencantumkan
> pasal-pasal yang berhubungan dengan perempuan keluar
> malam, geliat perbedaan pendapat sudah kembali
> mengemuka di ranah Minang.
> 
> Keinginan untuk menerapkan syariat Islam dalam
> praktek kehidupan bermasyarakat di Minang, dapat
> dihubungkan dengan perbedaan dalam memahami Islam,
> serta "konflik" laten di kalangan ummat Islam Minang
> yang terkenal inklusif dan modernis. Dalam
> sejarahnya, Islam di Minang mengenal beragam bentuk
> artikulasinya masing-masing. Berbagai "aliran"
> pemikiran Islam telah menemukan lahan suburnya untuk
> bertumbuh dan berkembang di ranah Minang. Dalam dua
> abad terakhir, "aliran" pemikiran Islam itu
> melahirkan berbagai konflik abadi antara berbagai
> kelompok Islam, dari konflik yang sifatnya wacana,
> sampai konflik yang berujung pada ditempatkannya
> kelompok Islam lain sebagai kelompok yang diluar
> Islam, seperti Ahmadiyah. 
> 
> Arus perbedaan itulah yang juga mengintari
> kontroversi Perda yang menyangkut kemaksiatan di
> ranah Minang. Apabila kita menggunakan terminologi
> umum dalam berbagai kelompok-kelompok Islam di
> Indonesia, biasanya bermuara kepada dua kategori,
> yaitu Islam modernis, dan Islam tradisional.
> Masing-masing kategori itu, dalam fase-fase tertentu
> dalam sejarah, mengalami pencabangan. Islam modernis
> biasanya terhubung dengan organisasi Muhammadiyah,
> sedangkan Islam tradisional diasosiasikan dengan
> organisasi NU. 
> 
> Sedangkan dalam perkembangan terakhir, dengan
> melihat begitu banyak literatur yang diterbitkan
> pasca jatuhnya Orba, varian-varian yang muncul dari
> kedua kategori umum itu adalah Islam Liberal, Kiri
> Islam, atau Sosialisme Islam. Satu varian Islam lagi
> yang agak sukar ditempatkan sebagai cabang-cabang
> dari dua arus dominan itu adalah Islam Puritan atau
> yang sering disebut sebagai Islam Fundamentalis. 
> 
> Uniknya, masing-masing varian Islam itu di
> Indonesia, hampir dipastikan terhubung dengan
> sejumlah tokoh yang dilahirkan di ranah Minang.
> Sosialisme Islam, misalnya, dihubungkan dengan
> Muhammad Hatta, terutama tulisan-tulisan Hatta
> sebelum Indonesia merdeka, atau ketika Hatta masih
> belajar di negeri Belanda. Kiri Islam, kecuali
> menyangkut soal "komunis adalah atheis", juga
> menemukan tokohnya, Tan Malaka. Partai Murba yang
> didirikan Tan Malaka, juga mempunyai pengaruh kuat
> di ranah Minang. Dalam kebijakan politik yang
> ditempuh Tan Malaka, juga dalam tulisan-tulisannya,
> Tan Malaka sama sekali tidak menjadikan Islam
> sebagai musuh komunis. Malah, Tan Malaka memuji
> Islam sebagai agama yang paling rasional, juga
> sebagai agama yang bermusuhan dengan imprealisme
> Eropa. 
> 
> Islam Puritan
> 
> Makin kuatnya pengaruh Islam Puritan (yang dalam
> awal abad 19 terhubung dengan gerakan Paderi
> pimpinan Imam Bonjol, dan di akhir abad 20 menemukan
> bentuk baru dalam kelompok-kelompok Usrah atau,
> minimal, terhubung dengan sayap politik Islam yang
> menyokong Partai Keadilan), mengemuka sekali ketika
> kontraversi Perda yang menyangkut kemaksiatan
> meletup di ranah Minang. Sekalipun kemaksiatan
> memang menjadi musuh bersama kelompok-kelompok
> Islam, dan ummat beragama umumnya, argumen-argumen
> yang dibangun berbagai kelompok Islam dalam
> menyikapi Perda ini nyata sekali berada dalam dua
> kutub berlawanan, ketika kelompok Islam Puritan
> menghadapi berbagai kelompok Islam lainnya. Paling
> tidak, ketika Rancangan Perda berhasil diajukan -
> sekalipun tidak jadi diputuskan - pengaruh Islam
> Puritan makin menemukan lahan suburnya di ranah
> Minang.
> 
> Keadaan ini tentu sulit digeneralisasi sebagai
> sebuah "kekalahan" Islam modernis - termasuk Islam
> liberal - dalam berhadapan dengan Islam
> fundamentalis atau bahkan Wahabiisme Baru (kalau
> "kategori" Islam modernis, Islam Liberal, dan Islam
> Fundamentalis atau Wahabiisme ini dianggap sebagai
> wacana yang pantas didialogkan, dan bukan kategori
> mati). Yang tampak nyata, justru Minang secara
> keseluruhan mengalami dehidrasi kultural yang akut,
> malahan mulai mengarah kepada praktek-praktek anti
> demokrasi. Himpitan feodalisme (Jawa) selama era
> Soeharto, telah menjepit kedudukan masyarakat
> demokratis Minangkabau pada tingkatan paling bawah.
> Feodalisme itu makin nyata, dengan kelakuan para
> perantau untuk menyematkan gelar adat dikepalanya,
> yang diukur dari sisi kekayaan atau jabatan. Sisi
> lain nyaris dilupakan, misalnya kemampuan mengelola
> konflik di masyarakat, sisi relegiusitas, maupun
> kontribusi pemikiran yang relevan dengan
> perkembangan zaman.
> 
> Kasus terakhir adalah diangkatnya seorang Gubernur
> yang bukan etnis Minang sebagai niniak mamak salah
> satu suku di Minang. Hanya karena ia seorang
> gubernur, elite-elite suku tertentu itu di Jakarta
> lantas mengangkatnya sebagai niniak mamak.
> Praktek-praktek semacam ini memperlihatkan, betapa
> feodalisme menemukan lahan suburnya di Minang,
> justru ketika tanah Jawa sedang bergeser
> meninggalkannya. "Keberhasilan" dari sisi ekonomi,
> dan ketertindasan politik akibat ditiupkannya trauma
> PRRI kepada masyarakat Minang, sebagai bentuk
> pengkhianatan terhadap NKRI, telah melahirkan
> generasi Minang yang takut dan gagap kepada politik
> dan pemikiran alternatif. Kecuali kalangan politisi
> yang berkiprah diluar Minang yang aktif di
> partai-partai Islam, dalam catatan hasil-hasil
> Pemilu Orde Baru, Minang merupakan kontributor
> Golkar pasca Pemilu 1971-1977, padahal Golkar adalah
> partai sekuler sebelum mengalami infiltrasi
> signifikan dari mantan-mantan aktifis Himpunan
> Mahasiswa Islam (HMI) di akhir 1980-an. 
> 
> Diberikannya gelar Parasamya Purna Karya Nugraha,
> selama Orde Baru, konon juga tak terlepas dari
> keberhasilan Gubernur Sumbar waktu itu dalam
> memenangkan Golkar menghadapi PPP. Kalau kita
> berkunjung ke restoran-restoran atau rumah-rumah
> makan Minang, pasti akan ditemukan foto-foto kostum
> militer. Ini pergeseran lain: militerisme Orde Baru
> dan trauma PRRI telah membuat masyarakat Minang
> merasa lebih terlindungi oleh keluarganya - atau
> kenalan yang diakui keluarga - yang menggunakan
> seragam militer. Menjadi anggota TNI sudah merupakan
> profesi favorit yang membanggakan, selain menjadi
> pegawai negeri. Keadaan ini menunjukkan betapa
> perlindungan fisik lebih diutamakan, ketimbang
> perlindungan intelektual berupa profesi di dunia LSM
> atau perguruan tinggi. 
> 
> Padahal, jamak sekali dikenal dalam masyarakat
> Minang, khususnya Minang Daratan - mengacu kepada
> Agam, Bukittinggi, Padang Panjang atau
> Payakumbuh-profesi militer dulunya kurang begitu
> mendapat tempat. Profesi militer dianggap sebagai
> tidak intelektual dan tidak relegius, jika melihat
> pada pendidikan para prajurit militer yang sangat
> kuat memegang garis komando kepada atasan, dan
> "bukan kepada Allah SWT".
> 
> Keadaan ini tentu memprihatinkan, sebagai negeri
> yang dipuji oleh intelektual Islam - seperti Gus
> Dur, Cak Nur dan Cak Nun - sebagai persemaian
> demokrasi. Tradisi Islam pesisiran yang
> membedakannya dengan Islam pedalaman, selama ini
> telah menempatkan Minang sebagai pusat perbenturan
> antar berbagai pemikiran, terutama Islam, dalam
> masyarakatnya. Kemampuan masyarakat dalam
> mengadopsi, menyeleksi, dan sekaligus menemukan
> sintesa pemikiran-pemikiran baru, selama ini sudah
> diakui oleh kalangan peneliti dalam dan luar negeri.
> Berbagai karya Indonesianis juga menjadikan
> kebudayaan Minang sebagai referensi utamanya sebagai
> unsur pendukung munculnya beragam manusia "kiri" dan
> "kanan" sebagai lapisan pertama kaum intelektual
> Indonesia.
> 
> Islam Liberal
> 
> 
=== message truncated ===


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Get email alerts & NEW webcam video instant messaging with Yahoo! Messenger
http://im.yahoo.com

RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email
Ke/To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
-mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda]
-berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda]
Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
===============================================

Reply via email to