http://www.detik.com/kolom/200111/20011111-215409.shtml
Semen Padang & Globalisasi Minang
Penulis: Indra J. Piliang *

  
detikcom - Pengambil-alihan PT Semen Padang dengan “Maklumat 1 November 2001” menarik untuk dijelaskan, dalam konteks biografi orang Minang. Terlepas dari persoalan ekonomi dan implikasi hukum yang mengiringinya, juga hubungan yang buruk antara Pemerintah Pusat dan Daerah selama bergulirnya era reformasi, proses itu mungkin “muara” dari sejumlah persoalan psikologis masyarakat Minang atas Jakarta.

Sekalipun pernah mendapatkan sebutan sebagai propinsi paling maju dalam pembangunan, dalam Pelita III dan IV Orde Baru, hingga mendapatkan Parasamya Purnakarya Nugraha, ternyata lindasan ideologi developmentalisme represif Orde Baru yang berhimpitan dengan kapitalisme global yang masuk ke ruang-ruang pribadi penduduk telah menimbulkan implikasi luar biasa. Terkumpulnya lebih dari 10 ribu masyarakat ketika mendesakkan Maklumat 21 November itu, sungguh mencengangkan, karena belum pernah terjadi sebelumnya.

Saya tak akan membahas khusus masalah ini. Saya hanya ingin mencoba berefleksi, atas sejarah orang Minang, dalam konteks yang lebih luas, serta “pengaruh” kebijakan Jakarta atas mereka. Untuk itu, menarik juga mengikuti perhelatan dua hari, Jum’at dan Sabtu (21-22 September 2001), 40 orang anggota Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR. Mereka mengadakan seminar dan lokakarya tentang budaya Minang di Bukittinggi. Kota yang pernah menjadi ibukota negara RI selama Pemerintahan Darurat RI itu, kembali dijadikan sebagai tempat pencarian tatanan kehidupan kebangsaan kedepan ditengah situasi “darurat” berupa krisis kebudayaan yang dihadapi bangsa ini.

Upaya itu tentulah menarik, di tengah sedikitnya pembicaraan sekitar reformasi dan reformulasi kebudayaan nasional kita. Hampir seluruh agenda reformasi, termasuk yang dituntut mahasiswa, terhubung dengan agenda-agenda politik dan ekonomi.

Tentu kita bertanya, kenapa harus Minang? Tanpa bermaksud untuk “mencermati” apa yang terjadi di Bukittinggi sana, penulis menghubungkan kebudayaan Minang itu dengan dua agenda besar bangsa ini: transisi demokrasi dan sekaligus globalisasi dunia menyangkut keikut-sertaan Indonesia dalam AFTA tahun 2003, dan APEC tahun 2020. Kesiapan menghadapi dua hal ini, sangat terkait dengan kebudayaan atau mentalitas bangsa Indonesia, karena bisa saja transisi mengalami setback kearah rezim otoritarian, apabila kebudayaan yang menopang masyarakat Indonesia belum sepenuhnya demokratis.

Rezim otoritarian itu bukan hanya sebagai bentuk pemerintahan, yang bersandar kepada budaya feodal, melainkan telah berubah menjadi rezim pikiran. Dalam pemikiran Islam, misalnya, tanah Jawa sendiri sudah mengalami berbagai bentuk pemikiran alternatif – seperti komunitas Islam Liberal yang sekarang bermarkas di Utan Kayu --, sedangkan Minang justru terbelit dengan feodalisme akibat sedikitnya kontribusinya kedalam komunitas majemuk Indonesia. Hal terakhir ini ditunjukkan dengan Rencana Perda Pemberantasan Maksiat (Pekat).

Biografi Orang Minang

Padahal, apabila kita melirik catatan-catatan sejarah, biografi orang Minang dikenal sebagai kontributor utama kalangan intelektual, negarawan, dan agamawan Indonesia. Basis filosofis yang dibangunpun beragam, mulai dari Marxisme, Komunisme, Sosialisme, Nasionalisme, Islamisme, dan Liberalisme. Masing-masingnya terhubung dengan anak-anak Minang generasi pertama abad 20, antara lain Agus Salim, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Nasir Sutan Pamuncak, Rasuna Said, Rahmah el Yunusiah, Rohana Kudus, Muhammad Yamin, Sutan Syahrir sampai Chaerul Saleh, Chairil Anwar, AA Navis, dan HAMKA. Biografi individu-individu itu menjadi menarik untuk disimak, sebagai gambaran betapa demokrasi telah menemukan alamnya di ranah Minang dan tertanam dalam diri masyarakatnya.

Sebagai komponen masyarakat Minang, ternyata kemudian individu-individu itu menyangga banyak sekali pemikiran moderen di zamannya. Pengejawantahan dari masing-masing pemikiran itu juga tak bersifat mutlak, bahkan siap untuk didialogkan dan diterapkan secara sangat ketat, tanpa harus melanggar kebebasan orang lain. Apabila biografi sebagian besar suku bangsa lainnya di Indonesia terlihat seperti monografi, karena kulturnya yang homogen, biografi orang Minang justru sangat heterografi. Unsur heterogen begitu menonjol, bahkan tanpa segan-segan untuk mempertentangkannya di muka umum.

Pada dasarnya, generasi itulah yang langsung menjadi perantara dari pemikiran-pemikiran terbaru di dunia Barat dan Timur ke Indonesia. Tetapi kemudian, dalam perjalanannya, ketika terjadi character assasination terhadap orang-orang Minang pasca PRRI, biografi orang-orang Minang mengalami kegoncangan. Saat itu, sebagian nama-nama orang Minang yang mengambil dari bahasa Arab atau ayat-ayat dalam Al Qur’an, digantikan dengan nama-nama asing, mulai bahasa Inggris, sampai Sanskerta, bahkan Jawa (seperti nama Irwan Prayitno yang keluarganya merupakan aktifis PRRI). Ketika keluarga Kennedy begitu populernya di USA akhir tahun 1950-an sampai awal 1960-an (pasca PRRI), di Minang lahir bayi-bayi yang mengambil mentah-mentah nama keluarga Kennedy, bahkan nama baptisnya “F”. Memang, ketika nama Saddam Husein muncul ke permukaan dalam Perang melawan pasukan multi nasional, bayi-bayi di Minang juga kemudian banyak yang mengambil nama dari penguasa Irak itu.

Intervensi biografi orang Minang paling hebat terjadi selama Javanese Autocracy (istilah yang dilansir oleh FEER edisi Agustus 2001). Demokrasi menjadi kehilangan bentuknya, ketika sistem pemerintahan nagari digantikan dengan model-model desa di Jawa. Fungsi niniak mamak, urang sumando, ulama, bundo kanduang dan cerdik cendekia serta pemuda, yang biasanya ketika menyelesaikan perkara berada dalam status yang sejajar, menjadi hilang dan hanya bersifat seremonial dalam upacara perkawinan.

Begitu juga fungsi “tigo tungku sajarangan” (istilah yang bermuara kepada pemikiran Trias Politika), kehilangan basis sosialnya, mengingat dominannya peranan pemerintahan pusat akibat sentralisasi kekuasaan. Dari pintu birokrasi daerah yang harus menjalankan fungsi sabdo pandito ratu kepada pemerintahan pusat inilah, masuk feodalisme tanah Jawa, yang di Jawa sendiri mulai ditinggalkan. Ranah Minang akhirnya disibukkan dengan usaha memproduksi kaum birokrat, sebagaimana tercatat dalam komposisi Kabinet Pembangunan Orde Baru yang pernah didominasi orang-orang sipil dari Minang. Demokrasi mengalami mati suri, di tanahnya yang paling subur.

Perantau dan Globalisasi

Tradisi merantau kemudian hanya menjadi kegiatan ekonomi, bukan lagi kegiatan intelektual. Padahal generasi pertama awal abad ke-20 menggunakan perantauan sebagai sarana untuk menimba ilmu pengetahuan, sekalipun harus hidup miskin, seperti ditempuh Chairil Anwar, Tan Malaka, atau Agus Salim.

Kesadaran menggunakan budaya Minang sebagai local genius untuk melakukan filterisasi kebudayaan lainnya diluar ranah Minang, dibentuk oleh seperangkat nilai-nilai yang ditanamkan sejak kecil. Bahkan ketika terjadi lompatan pemikiran yang tak dikenal di masyarakat Minang, katakanlah komunisme, tetap saja basis sosialnya dikembalikan ke sistem masyarakat Minang. Tan Malaka, dalam bukunya Madilog, sangat menonjolkan kecintaan kepada ibunya, sebagai bentuk ketundukan atas garis matrilineal, dan juga tak melakukan pendiskreditan agama Islam yang disebutnya sebagai agama rasional.

Dalam abad ke 18 dan 19, memang kota-kota pantai di Minang sudah menjadi kota kosmopolitan untuk ukuran zamannya. Di kota kelahiran saya, Pariaman, sampai sekarang masih terdapat bangunan dan makam orang-orang Cina, sekalipun sekarang tak ada lagi seorangpun orang Cina tinggal disana akibat pembantaian yang dilakukan pada tahun 1940-an (versi dari peristiwa ini pernah penulis jadikan sebagai rencana skripsi). Kaum “keling” (keturunan India beragama Islam) juga masih ada di Pariaman dan menguasai sejumlah sektor perdagangan, selain keturunan Arab.

Upacara Tabut, yang kalau ditelusuri terhubung dengan riwayat kematian Hasan dan Husein, putra Ali bin Abi Thalib, sebetulnya bisa dikatakan sebagai bagian dari “budaya” kaum Syiah – sebagaimana ditemukan di Pakistan – tetapi proses akulturasi membuat upacara itu dilakukan oleh penganut Ahlul Sunnah Wal Jamaah. Belum lagi kunjungan berbagai kaum muslimin dari daerah lain ke makam Syeh Burhanuddin, seorang ulama besar yang berasal dari Aceh.

Minang memang tercatat sebagai daerah Sumatera kedua, setelah Aceh, sebagai tempat berlabuhnya pedagang dan ulama-ulama Muslim dari Gujarat.

Kota-kota pantai itulah yang melahirkan kultur pesisiran (maritim/perdagangan) sebagai miniatur awal dari embrio demokrasi di Minang, dan berhadapan secara kontras dengan kultur pedalaman (petani) di kerajaan-kerajaan Jawa. Daerah pesisir itu juga yang menjadi daerah rantau pertama bagi orang-orang Minang yang berasal dari “darek”, daerah pedalaman Minang, seperti Bukittinggi, Payakumbuh, Padang Panjang dan 50 Kota. Tetapi kemudian, daerah rantau itu juga yang paling cepat berubah, sementara daerah-daerah “darek” makin mengental nilai-nilai keagamaannya.

Ketika Islam pindah ke “darek” dari “rantau”, wajah Islam menjadi puritan, sekalipun tidak mengalami sinkretisme seperti yang dikenal di tanah Jawa. Sedangkan daerah pesisiran menjadi tempat yang paling terpengaruh oleh sekularisme.

Itulah sebabnya, globalisasi bukan lagi menjadi persoalan aneh, apabila dilihat dari perjalanan panjang kebudayaan Minang. Untuk ekstrimnya saja, bahkan raja orang Minang (Adityawarman) merupakan anak raja Jawa, dengan ibu yang berasal dari negeri Campa (India). Ibu “asing” inilah yang kemudian menjadi Bundo Kanduang, dan menurunkan garis matrilineal kepada orang Minang, sebagaimana juga berlaku di India. Sekalipun garis matrilineal bertentangan dengan Islam, toh tetap dipakai sampai sekarang, sebagaimana halnya dengan tradisi “bajapuik” berupa lamaran pihak perempuan kepada pihak laki-laki, terutama di Pariaman (tidak semua orang Minang menganutnya). Dengan ukuran itu, sebetulnya orang Minang tak berpatokan kepada garis sejarah yang bersifat linear. Gus tf Sakai, dalam novelnya Tambo, telah dengan sangat jelas mengungkapkan itu dengan nada satire. Dengan begitu, orang Minang tak melihat orang, tetapi apa kontribusi orang itu, sebelum “ditundukkan” oleh feodalisme yang dipaksakan oleh rezim Orba. Individualisme, sebagai satu ciri masyarakat moderen, telah tertanam dalam riwayat orang Minang.

Indonesia

Kalau memang ada upaya menggali kebudayaan alternatif, sebagai pengganti feodalisme yang dipakai selama Indonesia ada, memang nilai-nilai yang tertanam dalam kebudayaan Minang menjadi satu kontributor. Tetapi Indonesia bukan hanya Minang. Indonesia juga Bugis, Batak, Nias, Aceh, Madura, Dayak, Ambon, Bali, Jawa, Papua, dan etnis serta budaya lokal lainnya yang terbentang di seluruh Nusantara. Lebih tepat lagi kalau apa yang terjadi di Bukittinggi dibawa ke forum yang bersifat lintas etnis, lintas budaya. Jangan sampai ada klaim historis bahwa ada ras Arya di Nusantara ini, mengingat klaim itu sendiri akan membawa masalah dimasa depan. Klaim itu juga tak sesuai dengan biografi orang Minang.

Konflik etnis yang terjadi selama beberapa tahun ini, semestinya juga tak terjadi, apabila masing-masing etnis merasa bahwa mereka mempunyai saham dalam bangunan kebangsaan Indonesia. Yang menyebabkan rusaknya wajah ke-Indonesia-an justru ketika homogenisasi dan bahkan personalisasi kekuasaan terjadi.

Ketika satu pemikiran, budaya, sistem ekonomi, atau katakanlah ideologi, menjadi begitu dominan, justru yang terjadi adalah penolakan diam-diam oleh yang tidak dominan. Dengan demikian persoalan Mayoritas dan Minoritas mestinya juga tak disuarakan lagi, mengingat konsep itu juga abstrak ketika yang dilihat adalah individu-individu yang menyuarakannya.

Untuk itu, alangkah sejuk dan indahnya, apabila Indonesia menyatakan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dunia, sebagaimana tahun 1960-an dikemukakan oleh kelompok Manifes Kebudayaan yang berdiri dalam paham humanisme universal. Biografi orang Minang yang terhubung dengan bangsa-bangsa diluarnya, menunjukkan itu, betapa sebetulnya tak ada yang benar-benar asli atau murni berdarah tertentu. Bukan berarti tribalisme tidak diperlukan, justru penghormatan terhadap hak-hak ulayat atau indigenous people mutlak dilakukan, sebagai bagian dari penghormatan atas kemanusiaan dan diri sendiri.

Apabila memang benar nenek moyang manusia itu berasal dari satu ayah dan satu ibu, entah itu secara genetikal merupakan keturunan dari manusia purba atau bukan, dan entah itu berasal dari Adam dan Hawa bagi umat beragama, buat apa kemudian manusia-manusia Indonesia bertengkar dengan saudaranya, darah-dagingnya, sendiri? Wallahu ‘Alam. @

Jakarta, November 2001

* Penulis adalah peneliti CSIS dan perantau asal Minang.

Kirim email ke